Nasib Sistem Pemerintahan Presidensil Pasca Pemilihan Presiden 2014

Nasib sistem pemerintahan Presidensil Indonesia 2014-2019 dibayangi perolehan bunyi "horizontal" dalam Pileg 2014 kemarin. Tidak satu partai pun ditengarai memperoleh bunyi 51%. Akibatnya, transaksi-transaksi politik berkeliaran bebas. Jangankan untuk menyusun koalisi yang besar lengan berkuasa di dalam parlemen (51%), untuk mengajukan Capres-Cawapres saja, yaitu 25% bunyi sah nasional, semua partai politik kalang-kabut. Tidak satu pun partai politik bisa menepuk dada, bahkan pemenang Pileg 2014 sekalipun. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana politik Indonesia 5 tahun ke depan dibenturkan dengan sistem Presidensil yang jelas-jelas termaktub dalam konstitusi Indonesia 1945.

Ketidakpastian sekarang mengguyur Indonesia. Ketidakpastian yang melanda hampir seluruh aspek kehidupan: Ekonomi, inflasi yang terus membayang; Sosial, posisi kekerabatan antar-etnis dan antar-agama; Pertahanan, teritori perbatasan luar yang semakin mengabur; Hukum, kegamangan masyarakat akan tugas agen-agennya; Keamanan, kekhawatiran apakah seseorang masih bisa menjalani perjalanan antar tempat; dan ketidakpastian politik, apa yang Republik ini sanggup peroleh 5 tahun ke depan? Ketidakpastian-ketidakpastian belum memeroleh balasan yang memuaskan dari hasil Pileg 2014 kemarin. Aksi jual-beli, tawar-menawar, kental sekali dilakukan antar tokoh, antar partai, dalam upaya mereka sekadar menangguk kuasa "sesaat" untuk 5 tahun ke depan. Pilihan yang publik lakukan dalam Pileg menyerupai cek kosong, yang sekarang prerogatif isiannya ada di tangan oligarki partai politik.

Kembali kepada substansi makna Pemilu. Baik Pileg dan Pilpres bekerjsama hanyalah media rekrutmen politik dan sirkulasi elit. Rekrutmen politik di mana rakyat menentukan orang-orang yang mereka "percayai" untuk duduk di kursi administrator (presiden, wakil presiden, menteri-menteri) maupun kursi legislatif (DPR, DPD, DPRD I, DPRD II). Orang-orang ini harus konsisten, bahwa apabila sudah dipilih, mereka harus bekerja sesuai apa yang mereka janjikan tatkala kampanye kemarin. Sirkulasi elit yakni meniadakan "lumpen-elit", yaitu elit yang sudah menjadi "garbage" (entah lantaran cuma pentingkan diri sendiri, malas, tidak sensitif, atau cacat moral) dengan elit-elit gres yang segar, 'amanah, dan mau bekerja keras demi rakyat. Dari substansi makna Pemilu ini, maka tidak ada pilihan lain bagi para elit yang dipilih baik dari Pileg maupun Pilpres untuk bekerja demi rakyat. Tidak ada yang lain-lain. Mereka bekerja dengan pemerintahan yang sistemnya telah dibakukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dalam rujukan sistem pemerintahan Presidensil.


Presidensil-kah Indonesia?

Bagaimana suatu negara dikatakan menganut sistem pemerintahan Presidensil? Matthew Soberg Shugart menyatakan, suatu negara dinyatakan menganut sistem pemerintahan Presidensil apabila punya tiga ciri berikut: [1]

  1. Eksekutif dikepalai seorang presiden yang dipilih rakyat secara eksklusif sekaligus bertindak selaku kepala eksekutif;
  2. Istilah kepala administrator dan DPR telah dibatasi, dan keduanya bukan subyek yang saling bergantung; dan
  3. Presiden menyusun dan mengatur kabinet dilengkapi kemampuan merancang Undang-undang.

Mengenai butir pertama, yaitu "Eksekutif dikepalai seorang presiden yang dipilih rakyat secara langsung" dinyatakan dalam Pasal 6A ayat 1 yang bunyinya "Presiden dan Wapres dipilih dalam satu pasangan secara eksklusif oleh rakyat." Sementara untuk "[presiden] bertindak selaku kepala administrator dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 1 yang bunyinya "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan Undang-undang Dasar." Presiden Indonesia dipilih rakyat secara eksklusif dan alasannya yakni itu, dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, bukan kepada parlemen. Hal ini dikarenakan presiden dipilih rakyat dalam Pemilu tersendiri, yang berbeda dengan Pemilu untuk menentukan anggota legislatif.

Mengenai butir kedua, yaitu "Istilah kepala administrator dan DPR telah dibatasi, dan keduanya bukan subyek yang saling bergantung" hal ini telah tertera terang di dalam konstitusi Indonesia. Tugas, wewenang, posisi, hak, dan kewajiban kepala administrator diatur dalam Pasal 4, 5, 6, 6A, 7, 7A, 7B, 7C, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. Sementara untuk DPR diatur dalam Pasal-pasal 19, 20, 20A, 21, 22, 22A, 22B, 22C, 22D. Bahwa DPR mempunyai kuasa tersendiri juga dibuktikan dalam Pasal 20 ayat 1 yaitu "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang." Khusus mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat di Pasal 2 dan 3. Ada satu pasal krusial yaitu Pasal 7A bahwa Presiden/Wakil Presiden sanggup diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas seruan DPR. Namun, hal ini dengan sejumlah catatan yaitu apabila Presiden/Wakil Presiden telah melaksanakan pelanggaran aturan berupa:

  1. Pengkhianatan terhadap negara;
  2. Korupsi;
  3. Penyuapan;
  4. Tindak pidana berat;
  5. Perbuatan tercela; dan
  6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Apabila DPR menganggap bahwa hal-hal tersebut "terbukti" dilakukan Presiden/Wakil Presiden, maka alasan pemberhentian tersebut harus diajukan kepada MPR, hanya sehabis Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa, mengadili, dan tetapkan itu terbukti. Dan, pengajuan kepada MK ini harus menerima pemberian dari 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna untuk itu (apabila hadir semua, maka 373 orang harus baiklah dari 560 total anggota). Juga, apabila memang MK memutus sesuai kesimpulan DPR, DPR harus mengajukan kembali kepada MPR yang nantinya bersidang. MPR yang bersidang dalam memutus usualan DPR tersebut harus dihadiri minimal 3/4 anggota MPR dan disetujui 2/3 dari anggota yang hadir tersebut. Tentu saja, dalam proses "impeachment" ini, Presiden/Wakil Presiden tetap diberi kesempatan mengatakan klarifikasi dalam rapat paripurna MPR itu. Dengan demikian, proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden berdasarkan usulan DPR ini harus melalui "jalan panjang" dan melibatkan 4 institusi independen yaitu: MPR, DPD (bertindak di sidang MPR), DPR (selaku inisiator dan bersidang di MPR) dan MK.

Mengenai "Presiden menyusun dan mengatur kabinet dilengkapi kemampuan merancang Undang-undang" ditegaskan dalam Pasal 17 ayat 2 yaitu "menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden." Dalam hal menyusun undang-undang, pasal 5 ayat 1 menyatakan "Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat." Pasal 20 ayat 2 menyatakan "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan rakyat dan Presiden untuk menerima persetujuan bersama."

Sehubungan dengan 3 ciri sistem pemerintahan presidensil mirip diujar oleh Shugart, maka Indonesia memanglah menganut sistem pemerintahan ini. Hal yang menjadi dilema yakni sistem presidensil --- di mana presiden berposisi sebagai kuasa administrator --- membutuhkan tugas DPR. Presiden menjalankan undang-undang yang telah disahkan secara bersama dengan DPR. Persetujuan atas suatu undang-undang hanya sanggup efektif apabila parlemen menyerminkan posisi kuasa presiden. Artinya, presiden didukung oleh partai yang juga lebih banyak didominasi di parlemen. Apabila hal ini tidak terjadi, sanggup dipastikan sistem presidensil akan "terganggu." Misalnya, parlemen punya fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi ini menjadi bargain politik utama DPR dalam mengendalikan Presiden. Apabila DPR dikuasai oleh lebih banyak didominasi partai presiden, maka jalannya ketiga fungsi ini gampang diselaraskan dengan tindakan-tindakan presiden. Begitu pula sebaliknya, apabila kekuatan politik DPR berkebalikan dengan Presiden, DPR justru akan mendikte Presiden dengan mudahnya. Terlebih, masih terdapat jaminan di dalam konstitusi bahwa parlemen sanggup mengusulkan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Di masa lampau, rezim Orde Baru peka atas masalah "mayoritas simetris" ini yaitu dengan upayanya memerkuat Golkar semoga selalu lebih banyak didominasi di dalam parlemen. Tidaklah mengherankan bahwa di sepanjang Orde Baru, Presiden bisa memerintah hampir tanpa ganjalan berarti dari parlemen.

Dengan demikian, sistem presidensil di Indonesia bekerjsama sekarang diperhadapkan dengan tantangan, terutama dalam jaminan efektivitas kerjanya. Apabila kekuatan presiden di DPR tidak simetris maka idiom "strong government menjadi mahal. Prerogatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri misalnya, hanya leluasa dilakukan apabila komunikasi yang baik terjalin dengan DPR. Apabila presiden tetap memertahankan menteri yang tidak disukai parlemen, maka sanggup dipastikan kinerja menteri tersebut akan mengalami gangguan mirip dialami Sri Mulyani di pemerintah Indonesia dahulu kala.


Hubungan Parlemen-Presiden di Sistem Pemerintahan Presidensil

Dalam sistem Presidensil, tidak ada kekerabatan hirarkis antara parlemen-presiden. Parlemen tidak bisa mendikte dan mengarahkan Presiden dan kabinet kerjanya. Presiden bukan subyek subordinasi parlemen mirip terjadi di sistem pemerintahan Parlementer. Presiden mempunyai kekuatan bargaining utama terhadap DPR (juga DPR terhadap presiden) bahwa ia dipilih rakyat secara langsung. Presiden hanya bertanggung jawab kepada konstituennya (rakyat) yang memilihnya secara langsung, bukan kepada parlemen. Hubungan kuasa politik antara presiden - parlemen hanyalah transaksional. Transakasi tersebut terjadi antara dua struktur politik yang setara.

Pada prakteknya, kekerabatan parlemen-presiden menjadi lebih rumit manakala suatu negara yang menerapkan sistem presidensil sekaligus menerapkan sistem kepartaian multi partai. Kerumitan akan lebih bertambah manakala tidak satupun partai-partai tersebut lebih banyak didominasi mutlak di parlemen. Sungguhpun demikian, apabila dikembalikan kepada raison d'etre-nya, dependensi presiden kepada parlemen hanya pada aras promosi dan pengawasan atas program-program yang ia susun dan laksanakan. "Tugas" presiden dalam sistem presidensil dalam sistem kepartaian multi partai hanyalah bagaimana presiden bisa menggolkan program-program yang ia janjikan selama masa kampanye. Bagaimana presiden "memengaruhi" parlemen semoga mendukung program-programnya yakni warna utama yang seharusnya ada di sistem presidensil dengan banyak partai.

Berdasarkan aras jadwal presiden ini, maka kekerabatan legislatif-eksekutif dalam sistem presidensil sanggup diprediksi sebagai berikut: "Perluasan divergensi antara legislatif-eksekutif atas suatu kebijakan bergantung pada bagaimana kepentingan para konstituen (pemilih mereka masing-masing) diterjemahkan lewat proses pemilu." [2] Berdasarkan divergensi kepentingan ini, sanggup diprediksi 3 kekerabatan antara presiden dengan parlemen dalam paragraf-paragraf di bawah.

Dominasi. Perluasan divergensi yakni perbedaan posisi politik antara presiden dengan [para anggota] legislatif terkait dengan program-program pemerintahan yang digadang presiden. Program-program ini sanggup diselenggarakan presiden tanpa memandang apakah ia punya bunyi lebih banyak didominasi di parlemen ataukah tidak. Atau, simetriskah antara kekuatan partai politik pengusung presiden dengan koalisi lebih banyak didominasi di dalam parlemen? Program-program yang digadang presiden tersebut, apabila sebagian besarnya sesuai dengan aspirasi konstituen yang menentukan para legislator, akan memunculkan koherensi kekerabatan presiden-legislatif. Terlebih, apabila presiden bisa menyosialisasikan program-program yang ia gadang kepada kantung-kantung utama para anggota legislatif. Apabila presiden bisa memengaruhi rakyat yang menentukan para para legislator untuk mendukung programnya maka sanggup dipastikan akan terselenggara kekerabatan legislatif-eksekutif di mana ia pihak administrator mendominasi. Presiden akan minus penentangan di DPR kendatipun partai pengusung presiden bukanlah lebih banyak didominasi di kalangan parlemen. Ini sanggup menjadi alternatif stabilitas politik administrator dalam sistem presidensil dengan multi partai. Kata kuncinya yakni "turun ke bawah" dan "pengaruhi konstituen" para anggota legislatif. Begitu presiden mengalami "permusuhan" dari kalangan parlemen, presiden akan keluar dari ruang parlemen dan menjelaskan konfliknya kepada rakyat secara eksklusif di kantung-kantung mereka. Rakyat lah yang nantinya melaksanakan pressure politik kepada para wakil mereka di parlemen untuk menyetujui jadwal Presiden. Koalisi efektif sanggup dibangun atas dasar similaritas kepentingan para konstituen. Hubungan jenis ini yakni bukan sesuatu hal yang sulit.

Anarki. Anarki akan terjadi lantaran dua hal. Pertama, kepentingan dari konstituen legislatif (rakyat yang menentukan anggota legislatif) tidak diakomodasi oleh presiden dalam program-programnya. Kedua, partai (atau koalisi partai) yang mendukung presiden yakni kecil di parlemen. Konsekuensi yang pertama, presiden akan sibuk "kasak-kusuk", lantaran ia hanya punya jadwal ad hoc yang bisa disepakati dengan legislatif. Kesepakatan yang terbangun pun hanya antara presiden dengan pimpinan faksi-faksi atau patron-patron tertentu dalam parlemen tanpa pernah membangun kekerabatan yang stabil dengan partai induk mereka untuk jangka panjang. Terbentuklah politik kartel, yang merupakan simbiosis antara presiden dengan oligarki partai di parlemen. Juga, presiden akan terpengaruhi memanfaat kuasa de facto yang ia miliki (kuasa birokrasi, kuasa militer) untuk melaksanakan pemaksaan-pemaksaan tertentu atas parlemen guna menggolkan tujuan politiknya. Anarki ini menciptakan presiden kehilangan fokus pada program-program prioritas yang ia kampanyekan dan sekadar bertahan hidup selama 5 tahun pemerintahannya. Pemerintahan tidak efektif dan buang-buang waktu. Anarki juga berkesempatan besar untuk hadir apabila kabinet yang dibuat oleh presiden tidak merefleksikan keragaman partai di dalam parlemen. Konsekuensi yang kedua, akhir kecilnya dukungan, presiden "terpaksa" mengorbankan" jadwal yang dijanjikan dengan politik akomodasionis dengan cara membagi-bagi posisi kabinet kepada partai-partai yang potensial menghadang posisi politiknya. Istilah umum dari hal ini "bagi-bagi kursi dengan cara dagang sapi."

Transaksi. Transaksi yang dilakukan presiden-legislatif bersifat dua hal. Pertama, presiden tetapkan pembagian kursi kabinet sesuai komposisi bunyi partai-partai yang berkoalisi dengannya. Kedua, presiden tetapkan kursi kabinet yang diisi oleh orang-orang non partai. Jika opsi pertama yang dipilih maka presiden harus siap kehilangan arah suksesi jadwal akhir besarnya kemungkinan partai yang menduduki kursi kabinet memanfaatkannya untuk kepentingan partai darimana anggota koalisi itu berasal. Kendati kehilangan fokus, presiden sanggup memrediksi stabilitas bunyi di parlemen terkait kebijakan-kebijakannya. Orientasi pilihan jenis ini yakni pada kekuasaan, bukan program. Apabila opsi kedua yang dipilih, presiden harus menyiapkan insentif-insentif lain kepada partai anggota koalisi di luar keanggotaan dalam kabinet tetapi mempunyai kans besar untuk tidak kehilangan fokus jadwal pemerintahan. Orientasi opsi ini yakni pada jadwal kerja presiden tetapi rentang "pemberontakan" di badan koalisi apabila "insentif" yang dijanjikan presiden dinilai "kurang" atau "harus ditambah." Mengenai "insentif" ini sanggup saja berupa pembangunan atas kantung-kantung bunyi partai anggota koalisi, prioritas proyek pembangunan, atau pengangkatan isu-isu yang merupakan trade mark partai yang menjadi anggota koalisi dengan "stempel" partai tersebut, bukan eksekutif.


Bagaimana Presidensil Indonesia 2014 ke Depan ?

Berdasarkan hitung cepat, maka sanggup dilihat komposisi Pileg sebagai berikut:

PDIP_______19,25
PGK________14,55
PGIR_______11,88
PD ________9,68
PKB________9,13
PAN________7,42
PKS________6,87
PPP________6,68
PND________6,55
PHNR_______5,31
PBB________1,49
PKdPI______0,99

*) akronim partai mengikuti nama dari partai-partai bersangkutan.

Hasil di atas diambil berdasarkan rata-rata survey hitung cepat yang diadakan 4 forum yang melakukannya pasca Pileg 9 April 2013, yaitu LSI (Lingkaran Survei Indonesia), IPI-MeTV (Indikator Politik Indonesia - Metro TV), HCK (Hitung Cepat Kompas), dan C-CSIS (Cyrus-CSIS). Dari hasil rata-rata tersebut PBB dan PKPI diprediksi tidak lolos electoral threshold 3,5 %. Sebab itu prediksi koalisi parlemen terjadi antara 10 partai politik.

Diasumsikan koalisi terbentuk antara 2 capres besar lengan berkuasa yaitu pasangan Joko Widodo - Ryamizard Ryacudu (JWRR) dan pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa (PSHR). Penyebutan nama-nama capres/cawapres sepenuhnya sekadar upaya melaksanakan prediksi. Juga, berdasarkan alasan klasik mirip perpaduan Jawa-Luar Jawa dan Sipil-Militer. Juga diasumsikan persyaratan untuk ikut Pilpres sudah sanggup dipenuhi baik oleh JWRR maupun PSHR.

Diasumsikan pula dalam kubu JWRR bergabung PDIP + PKB + PPP + PND = 19,25% + 9,13% + 6,68% + 6,55% = 41,61% bunyi parlemen. Sementara dalam kubu PSHR bergabung PGK + PGIR + PD + PAN + PKS + PHNR = 14,55% + 11,88% + 9,68% + 7,42% + 6,87% + 5,31% = 55,71%. Berdasarkan prediksi, JWRR yang didukung 4 partai politik hanya menguasai 41,61% bunyi parlemen sementara pasangan PSHR yang didukung 6 partai politik menguasai lebih banyak didominasi parlemen atau 55,71%. Apabila terpilih, secara kuantitatif JWRR harus bekerja ekstra keras untuk memajukan program-programnya tetapi secara kualitatif lebih ringan upayanya dalam menjalin kesalingpengertian intra koalisi. Sebaliknya, secara kuantitatif PSHR lebih ringan pekerjaannya dalam menjamin bunyi mereka di parlemen, tetapi secara kualitatif lebih berat pekerjaannya dalam membina kekerabatan dan kekompakan intra koalisi.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dalam sistem pemerintahan presidensil, presiden dipilih dalam pemilu tersendiri, anggota legislatif pun tersendiri. Hasil dalam pileg bisa simetris ataupun tidak simetris dengan pilpres. Di atas semua kemungkinan, seorang presiden dalam sistem presidensil tidaklah bertanggung jawab kepada parlemen melainkan kepada rakyat yang memilihnya secara langsung. "Hukuman ringan" bagi seorang presiden di dalam sistem presidensil yakni didemonstrasi setiap hari oleh rakyat, "hukuman menengahnya" yakni diberhentikan oleh parlemen, dan "hukuman terberatnya" yakni tidak dipilih lagi oleh rakyat di pemilu kemudian. Presiden dalam sistem presidensil sanggup mengatasi (dengan perjuangan keras berbeda) eksekusi ringan dan menengahnya. Namun, sulit bagi presiden mendapatkan eksekusi terberat yaitu tidak dipilih lagi oleh rakyat di pemilu kemudian. Ketidakterpilihan presiden di pemilu berikutnya yakni bukti kegagalan seorang presiden di dalam sistem pemerintahan presidensil. Presiden dalam sistem presidensil akan berjuang semaksimal mungkin semoga tidak mendapatkan "hukuman berat."


Prediksi JWRR

Apabila pasangan JWRR yang terpilih maka rujukan apakah yang akan digunakan oleh pasangan ini dalam konteks kekerabatan legislatif-eksekutif? Pilihan model kekerabatan ada 3 yaitu dominasi, anarki, dan transaksi. Adalah sulit apabila eksklusif mengatakan vonis seputar rujukan yang akan mereka ambil. Apabila yang pertama yaitu dominasi yang diambil, maka JWRR yang hanya didukung oleh 41,61 % bunyi fokus pada pembacaan kepentingan konstituen (para pemilih) partai-partai di luar kubunya. JWRR akan melihat kepentingan apa yang disuarakan oleh para pendukung PG, PGIR, PAN, PD, PKS, dan PHNR. JWRR akan mengambil jalan memutar: Membangun pemberian bukan dari dalam parlemen melainkan dari luar parlemen lantaran ada kemungkinkan bahwa para pemilihnya (JWRR) yakni rakyat yang di pileg menentukan kubu lawan. Dari luar parlemen, JWRR menginventarisasi kepentingan mereka kemudian menjadikannya portofolio tawar-menawar politik di dalam parlemen. Isu-isu agama lebih banyak didominasi sanggup diserahkan kepada PPP dan PKB untuk ditanggulangi, lantaran bekerjsama basis konstituen PPP yang sebagiannya yakni Nahdliyin yakni serupa dengan PKB. Sementara itu, apabila info modernis Islam disuarakan maka di kalangan PPP dalam melaksanakan counter politiknya. Di sisi lain, PDIP dan PND telah melaksanakan kritisi yang cukup atas rujukan pemerintahan rezim sebelumnya selama 10 tahun. PND dalam bentuk embrionya (gerakan Nasional Demokrat) tentu telah menginventarisasi isu-isu di akar rumput dan ini cukup berhasil mengingat sebagai partai baru, PND eksklusif beroleh bunyi cukup yaitu 6,68 (mengalahkan partai lama, PHNR). Hal serupa pun telah dilakukan oleh PDIP dikala menjadi "oposisi", yaitu tidak bergabung di pemerintahan, yaitu dengan membangun pemerintahan lokal yang besar lengan berkuasa dan populis lewat tokoh-tokohnya mirip Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, ataupun Teras Narang.

Apabila pasangan JWRR menentukan opsi anarki, yaitu tetapkan bahwa kepentingan masing-masing partai lebih utama dari kepentingan jadwal pemerintahan, maka masa pemerintahannya sekadar menjadi bulan-bulanan kubu lain. JWRR lebih sibuk mengurus intra koalisi ketimbang meraih konstituen ekstra koalisi mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di wilayah-wilayah "gemuk" konstituen masing-masing sehingga kehilangan isu-isu yang lebih berskala nasional. Kubu lainnya akan dengan gampang melaksanakan bulan-bulanan lantaran mereka menguasai 55,71 bunyi parlemen. Prestasi maksimal dari JWRR hanyalah kemampuannya bertahan selama 5 tahun dan sehabis itu dilupakan masyarkat Indonesia. Tetapi, pilihan opsi ini tetap menarik mengingat apabila antar keempat partai ini benar-benar tidak bisa menjalin kesalingpahaman dan kesalingpengertian. Masa-masa pemerintahan selama 5 tahun kendati kehilangan fokus pemerintahan, sanggup diisi dengan pengisian "logistik" partai masing-masing untuk menghadapi pileg 2019.

Apabila pasangan JWRR menentukan opsi transaksi maka tetap akan beresiko. Dalam opsi ini, pilihan pertamanya yakni "menjinakkan parlemen" dengan mengambil orang dari luar kubu mereka sebagai menteri untuk duduk di kabinet. Hal ini bekerjsama sanggup dilakukan dengan memanfaatkan kebutuhan partai-partai politik di luar kubu mereka akan kebutuhan logistik. Dapat saja JWRR mengambil menteri-menteri dari luar kubu untuk "memecah" konsentrasi kubu lain mirip contohnya mengatakan posisi menteri kepada kaden PG, PKS, ataupun PD. Kompensasi transaksinya yakni bunyi mereka di parlemen diserahkan kepada JWRR. Pilihan lain dalam opsi ini yakni memperlihatkan info dari konstituen kubu lain untuk dimasukkan ke dalam jadwal pemerintahan. Pilihan ini sifatnya informal dan berbuah pada tekanan konstituen di luar parlemen untuk mendukung jadwal JWRR, tetapi di sisi lain cenderung menciptakan jadwal JWRR sendiri berpotensi ambigu.


Prediksi PSHR

Apabila pasangan PSHR memenangkan Pilpres 2014 dan menentukan opsi pertama yaitu dominasi, maka dipersyaratkan bahwa di dalam internal mereka yakni solid terlebih dahulu. Membina kekerabatan 6 orang selalu lebih sulit ketimbang yang lebih sedikit. Elemen kubu ini mirip PD pernah punya pengalaman "tidak enak" akhir sikap PKS dan PG di rezim pemerintahan sebelumnya. Hubungan antara PD dengan PKS-PG pernah kurang serasi dalam info Bank Century dan Kenaikan Harga BBM. Bagaimana PSHR menjembatani kekerabatan ketiganya, merupakan kata kunci yang harus diperhatikan apabila hendak menjalin soliditas internal. Soliditas internal ini yakni penting lantaran pilihan dominasi menghendaki PSHR sudah "tidak punya masalah" dalam tubuhnya sendiri. Pilihan dominasi menghendaki PSHR turun eksklusif kepada konstituen PDIP, PND, PKB, dan PPP, mengatakan keyakinan kepada mereka bahwa PSHR pun membawakan kepentingannnya. Sama mirip JWRR, kubu PSHR pun punya badan yang relatif lengkap: Kalangan nasionalis direpresentasikan PG, PGIR, PD, dan PHNR, sementara kalangan agama diwakili PKS dan PAN. Persoalan utamanya yakni bagaimana PKS dan PAN bisa memasuki kalangan Nahdliyin? Mungkin itu sanggup dilakukan PSHR dengan cara eksklusif mengatakan keyakinan kepada tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama. Kalangan modernis sekiranya telah sanggup terepresentasi oleh PKS dan PAN.

Apabila PSHR mengambil opsi anarki yakni pilihan yang mustahil mengingat kubu ini telah mempunyai 55,71% bunyi parlemen. Tentu ini dengan syarat bahwa benar-benar tidak ada masalah berarti intra koalisi. PSHR kiranya bukan menentukan opsi anarki melainkan "tertimpa" opsi ini secara tidak disengaja. Opsi ini terjadi apabila terjadi kerenggangan antara bagian-bagian tubuhnya: Misalnya, PKS berseberangan dengan PD, PD berseberangan dengan PG, PHNR berseberangan dengan PGIR, ataupun sejenisnya. Apabila opsi ini terjadi, akan cukup gampang JWRR mengambil 1 atau 2 dari pecahannya untuk membalikkan posisi mereka menjadi lebih banyak didominasi parlemen semisal menarik PHNR atau PAN ke dalam kubunya. Apabila ini terjadi, PSHR akan menjadi bulan-bulanan di dalam parlemen dalam menjalankan program-programnya.

Apabila PSHR mengambil opsi ketiga, bekerjsama yakni lebih gampang lantaran badan dalam kubu ini yaitu PD, PKS, PG, dan PAN sudah pernah berkoalisi sebelumnya. Pola-pola transaksi antarmereka sudah pernah terbangun. Persoalannya yakni apakah PSHR sanggup berperan selaku unsur kohesif koalisi di antara keempatnya ataukah tidak. Selain itu, PGIR dan PHNR dalam periode sebelumnya yakni "pasukan" oposisi terhadap 4 intra koalisi lainnya. Dalam pilihan pertama dalam opsi ini, PSHR hanya dipersyaratkan membangi kursi menteri secara adil dan mereka kepada 6 anggota koalisinya dan untuk hal tersebut yakni gampang lantaran fatwa utamanya yakni perolehan suara. Apabila opsi kedua yang dipilih yaitu transaksi bukan berdasarkan pembagian kursi kabinet melainkan sharing program, yakni cukup sulit. PSHR harus benar-benar menjembatani perbedaan kepentingan di antara PGIR, PG, PD, PHNR, PKS, dan PAN. Harus terjadi dialog-dialog "panjang" untuk menjalin kesepakatan dalam membangun pemerintahan transaksi bukan berdasarkan jumlah kursi melainkan program.

Lihat Juga:

Pengertian Jenis Kekuasaan Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
---------------------------

Referensi:
[1] Matthew Sögard Shugart, “Comparative Executive-Legislative Relations” dalam R.A.W. Rhodes, Sarah A. Binder, and Bert Rockman, eds., The Oxford Handbooks of Political Institutions (New York: Oxford University Press, 2006)
[2] Ibid.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nasib Sistem Pemerintahan Presidensil Pasca Pemilihan Presiden 2014"

Posting Komentar