Pemilihan umum untuk anggota legislatif tahun 2014 telah digelar. Kendati hasil resmi dari KPU belum dikeluarkan, sekurangnya 4 versi Quick Count telah di tersebar secara online. Lembaga-lembaga menyerupai Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia - MetroTV (IPI-MetroTV), Hitung Cepat Kompas (HCK), dan Cyrus-CSIS (C-CSIS) kurang lebih menunjukkan hasil serupa, sekurangnya per jam 21:19 tanggal 9 April 2014.
Hasil dari hitung cepat lembaga-lembaga tersebut sebagai berikut:*)
Hasil dari hitung cepat lembaga-lembaga tersebut sebagai berikut:*)
PDI Perjuangan duduk di posisi pertama dengan rata-rata 19,25%, disusul oleh Partai Golkar dengan 14,55%, Partai Gerindra 11,88%, Partai Demokrat 9,68%, PKB 9,13 %, PAN 7,42 %, PKS 6,87 %, PPP 6,68 %, Partai NasDem 6,55 %, Partai Hanura 5,31 %, PBB 1,49 %, dan PKPI 0,99 %. Hasil ini sanggup saja mengasumsikan pola-pola politik yang muncul di hajat besar nasional kemudian: Pilpres 2014 bulan Juli 2014. Dengan parliementary-threshold 3,5 %, kemungkinkan besar PBB dan PKPI sulit ambil cuilan dalam pertarungan koalisi.
Undang-undang Pilpres tahun 2008, pasal 9 menyebutkan: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik penerima pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan dingklik paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah dingklik dewan perwakilan rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari bunyi sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, hipotesis yang sanggup diajukan terkait kasus hasil hitung cepat dan Pilpres 2014 nanti ialah tidak ada satu pun partai politik yang nyaman melenggang tentukan capres dan cawapresnya. Semua partai yang beroleh bunyi > 10 % "terpaksa" harus koalisi dengan partai lain. Koalisi ialah "suatu pemerintahan dengan mana aneka partai yang berbeda berkomitmen untuk saling melayani dan aneka macam pekerjaan (portofolio) di dalam sebuah kabinet serta mengembangkan portofolio kiprah kepala eksekutif. Berdasarkan hasil sementara, maka skenario koalisi yang diajukan sanggup beragam.
Koalisi Polaris
Skenario ini membelah teladan koalisi menurut garis ideologi secara zero-sum. Apabila garis ideologi digunakan, maka hanya ada dua macam koalisi untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres (CPCW) yaitu koalisi parpol Nasional dan parpol Islam. Koalisi nasional terdiri atas PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, dan Hanura. Berdasarkan hasil hitung cepat kekuatan bunyi sah nasional apabila mereka berkoalisi ialah 67,22 %. Dengan 67,22 % bunyi total, secara kuantitatif koalisi parpol nasionalis menguasai tubuh legislatif dan direktur Indonesia ditambah mengajukan CPCW sendiri. Di pihak lain, koalisi parpol Islam yaitu PKB, PAN, PKS, dan PPP berkekuatan 30,10 % bunyi sah secara nasional. Suara total 30,10 % sanggup menjadi modal rintisan koalisi parpol Islam, dimulai dengan pembentukan platform kerja dan pengajuan CPCW secara berdikari guna memengaruhi bunyi parlemen. Koalisi polaris ini bersifat zero sum. Kemampuannya untuk terwujud cukup kecil mengingat sejumlah perbedaan di masing-masing kubu.
Di dalam kubu nasional, hampir seluruh partai masih bertipikal partai elit menyerupai Gerindra, PDIP, Demokrat, NasDem dan Hanura. Partai elit cenderung melembagakan tokoh partai sebagai partai itu sendiri. Akibatnya, partai amat bergantung pada political will dan political competence sang tokoh dalam menjalin koalisi. Dengan demikian, bagaimana PDIP bersikap kepada Demokrat dan Gerindra ialah bergantung pada perilaku Megawati SP sebagai ketua umum, kepada, baik SBY maupun Prabowo. Di sisi lain, NasDem dan Golkar tentu harus menggali jalinan pengertian mendalam, terutama antara Surya Paloh dan Aburizal. Dalam kubu nasional ini, Golkar merupakan satu-satunya partai yang paling jauh terdesentralisasi. Desentrasilasi ini mendorong Golkan secara gampang disebut partai catch-all, yaitu partai yang berorientasi pemenangan Pemilu. Dengan gampang partai ini sanggup mengatakan kompromi-kompromi kepada kubu nasional lainnya semoga koalisi CPCW sanggup terbentuk. Paling jauh adalah, Golkar meninjau kembali positioning Aburizal sebagai capres dengan mengatakan tokoh lain contohnya Jusuf Kalla, Priyo, maupun Akbar Tanjung sebagai figur koalisi ini.
Selain kasus figur, platform partai pun sanggup menjadi masalah. PDIP dan Gerindra ialah nasionalis-populis. Keduanya lebih banyak meng-endorse informasi politik dari akar rumput ke level nasional. Endorsement ini mendorong kekhawatiran munculnya instabilitas atas status quo. Status quo yang dimaksud ialah power relations dan economic relations yang telah mapan sepanjang 10 tahun pemerintahan SBY. Apabila koalisi polaris terwujud, maka relasi paradoks antara kedua partai ini terjadi vis a vis Golkar dan Demokrat. Demikian pula, NasDem dan Hanura tentu akan mencicipi dampak yang sama mengingat Surya Paloh dan Hary Tanoe mempunyai kepentingan bisnis yang tidak bisa dikatakan kecil di Indonesia. Di sisi lain, apabila PDIP dan Gerindra memoderasi platform mereka semoga selaras dengan kepentingan-kepentingan ikutan yang terbit dari ikut sertanya Golkar, Nasdem, Hanura, dan Demokrat, sanggup dipastikan jargon populisme yang keduanya usung selama ini akan anti klimaks.
Selain kasus tokoh dan platform, koalisi nasional dihantui adanya 3 partai "cukup" besar yang terlanjut mengusung "bacapres" sendiri-sendiri. PDIP mengusung Joko Widodo, Gerindra mengusung Prabowo, dan Golkar mengusur Aburizal Bakri. Kendati PDIP punya bunyi 19 %, tentu tidak gampang apabila menimbulkan Aburizal ataupun Prabowo sebagai wakil. Ini belum ditambah perundingan dari NasDem dan Hanura seputar posisi cawapres. Negosiasi rumit dan alot akan terjadi di kalangan parpol nasional apabila mereka hendak jalan bersama, selain koalisi "tambun" yang mungkin saja memicu inefektivitas dan disorientasi kerja direktur yang nantinya terbentuk.
Koalisi polaris di antara parpol Islam tidak kalah menariknya. Pasca Pileg 2009, sempat muncul "niatan" koalisi partai Islam. Koalisi ini bukan mustahil terwujud asalkan elit partai sanggup membangun kesepakatan politik dengan Islam sebagai pemersatu. Masalah yang muncul umumnya positioning sektoral. PKB mungkin menganggap mempunyai basis massa Nahdliyin dan sekarang (dari hitung cepat) punya bunyi terbesar (sekitar 9,13 %). Di sisi lain, PAN tentu mempunyai klaim yang serupa. PKS mempunyai teladan rekrutmen massa yang cukup spesifik. Sementara PPP kemungkinan merasa diri paling berpengalaman sehingga menaruh harga yang cukup tinggi dalam planning koalisi ini. Koalisi polaris di antara parpol Islam sanggup menjadi test-case, alasannya ada kemungkinan pengusungan CPCW akan mendorong pada terciptanya "common-enemy". Kesibukan atas "common-enemy" ini melepas sekat di antara keempat parpol sehingga bisa mengorganisir diri ke dalam bentuk koalisi stabil.
PKB sanggup saja mengambil inisiatif awal membangun koalisi parpol Islam. Hal ini seharusnya sanggup menjadi lebih gampang alasannya di kala pemerintahan SBY, PKB, PKS, PAN, dan PPP ialah cuilan dari koalisi (Muhaimin Iskandar, Tifatul Sembiring, Hatta Rajasa, dan Suryadarma Ali tentu sering rapat bersama). Masalah-masalah yang terjadi di antara keempat partai ini bahu-membahu telah sanggup diinventarisasi dan dijadikan draft awal dalam planning agresi koalisi mereka.
Bahkan, lebih jauh lagi, dengan bermodalkan pengalaman 10 tahun berkoalisi, parpol-parpol Islam tentu sudah tidak lagi berpikir mengenai apakah mungkin koalisi dibangun di antara mereka. Hal itu sudah lagi bukan merupakan kasus alasannya selama ini mereka telah duduk bersama, baik di dalam direktur maupun legislatif. Koalisi parpol Islam seharusnya sudah masuk ke dalam pembahasan mengenai inventarisasi kegiatan prioritas menyerupai kedaulatan ekonomi, kedaulatan wilayah, pemihakan berimbang atas buruh-pengusaha, pemberdayaan PKL (juga tentunya petani dan nelayan), reformasi birokrasi secara nyata, pemberantasan riba, pemberantasan korupsi, pemberdayaan zakat, pengamanan/pertahanan wilayah-wilayah terluar, dan sejenisnya yang sifatnya nasionalis dan populis. Islam tentu saja menjadi faktor pemersatu di antara penerima koalisi dalam memilih program. Mengingat urgensi dari isu-isu ini, maka kasus siapa yang menjadi CPCW dan siapa sanggup kementerian apa menjadi terlihat "sangat" kecil.
Koalisi Program Aksi
Koalisi kegiatan agresi ialah koalisi yang terbentuk menurut kesamaan kesepakatan kampanye masing-masing parpol. Pembentukan koalisi jenis ini bukanlah suatu hal yang biasa pasca Pemilu 1999, 2004, dan 2009 di Indonesia. Namun, ketidakbiasaan ini bahu-membahu sanggup mulai "dibiasakan" semenjak 2014 ini dan ke depan. Dengan terbentuknya koalisi kegiatan agresi maka koalisi yang terbentuk akan lebih simetris dengan janji-janji yang para parpol ujarkan selama masa kampanye.
Koalisi ini disusun mengingat singkatnya masa kekuasaan suatu pemerintahan (hanya 5 tahun). Adalah sulit mewujudkan sekian banyak "janji" hanya dalam waktu 5 tahun saja. Dengan demikian, apa yang sanggup dilakukan oleh para parpol ialah sungguh-sungguh membangun koalisi menurut kegiatan agresi apa yang mereka rencanakan.
Dalam konteks koalisi kegiatan agresi ini, Gerindra dan PDIP terlihat mempunyai kesamaan yang cukup jelas. Suara total keduanya ialah 31,13 %. Hal ini sufficient alasannya memenuhi persyaratan 25 % bunyi untuk CPCW dan cukup secara umum dikuasai di dalam parlemen. Tantangan terhadap koalisi terbentuk apabila ke-8 parpol lain bersatu sehinggga berkekuatan 66,19 %. Tantangan ini akan semakin besar mengingat representasi kalangan secara umum dikuasai sanggup diasumsikan menjadi tidak ada apabila sekadar PDIP-Gerindra saja. Koalisi action PDIP-Gerindra, kendati mungkin terjadi, tetapi berat apabila dilaksanakan begitu saja.
Koalisi action lain yang mungkin muncul ialah antara sesama parpol Islam yaitu PKS, PPP, PKB, dan PAN. Penguasaan keempatnya atas 30,10 % bunyi tentu akan menjadi modal berpengaruh apabila dilandasi kegiatan action yang sistematis, jelas, terarah, dan mengikat. Koalisi action lain yang mungkin muncul ialah antara Golkar, NasDem, dan Hanura yang mengambil kekuatan 26,41 % suara. Jumlah total bunyi ini menjadi basis kekuatan di tubuh legislatif dan direktur untuk mengamankan action-action yang direncanakan mengingat kesamaan posisi kapital para penyandang dana dari ketiga partai ini. Apabila hendak lebih kuat, sanggup saja koalisi ini mengajak Demokrat untuk memberi imbas yang lebih signifikan menjadi koalisi 4 parpol.
Koalisi Safety
Koalisi safety ialah koalisi bertujuan tetap ikut serta di dalam kepemimpinan eksekutif. Koalisi jenis ini menyerupai dengan koalisi di dalam pemerintahan SBY pasca 2009. Koalisi ini beresiko disorientasi, gamang, tidak disiplin, dan kurang berwibawa. Koalisi ini dibuat sekadar memenuhi kuasa secara umum dikuasai dalam tubuh legislatif 50 + 1.
Koalisi safety yang mungkin terbentuk ialah antara PDIP, NasDem, PAN, PKB, PKS, Hanura dengan total 54,52 % bunyi tubuh legislatif dan tubuh terdiri atas 6 parpol. Atau alternatifnya antara Gerindra, Golkar, Demokrat, PKB, dan PAN dengan penguasaan 52,66 % bertubuh 5 parpol. Koalisi safety yang kedua lebih langsing ketimbang yang pertama.
*) keterangan:
LSI (Lingkaran Survei Indonesia)
IPI-MeTV (Indikator Politik Indonesia - Metro TV)
HCK (Hitung Cepat Kompas)
C-CSIS (Cyrus-CSIS)
Average (Rata-rata)
0 Response to "Prediksi Koalisi Pasca Pileg 2014"
Posting Komentar