Partai Politik Pasca Reformasi Antara Disalignment Dan Realignment

Partai politik pasca reformasi antara disalignment dan realignment. Tesis ini mengentara pasca Pileg 2014 kemarin. Kendati hanya berdasar rata-rata hasil quick-count dari 4 forum survei (terlampir), kelihatan bahwa posisi mereka semua mendatar. Tidak satu pun partai punya boarding-pass 25% biar bisa prerogatif mengusung capres-cawapres sendiri. Mereka semua harus negosiasi, baik dengan 1 atau lebih parpol lain guna mengusung kandidat kepala direktur negara 2014-2019. Hampir seluruh parpol harus mengadaptasi bentuk mereka menjadi "catch-all" party. Bentuk ini biar meluaskan spektrum pemilih biar bunyi mereka tidak mau jadi menyusut di pileg 2019 nanti.


Disalignment dan Realignment

Kembali ke judul tulisan. Disalignment dan realignment ialah konsep yang di antaranya bisa ditemukan dalam goresan pena Charles S. Mack dalam bukunya "When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment" yang terbit tahun 2010 lalu. Mack mengaji fenomena disalignment dan realignment yang menimpa Whig Party (AS), Liberal Party (Inggris), dan Progressive Conservative Party (Kanada). Dalam tulisannya, Mack mendefinisikan disalignment sebagai: "A severe loss of support for a major political party among its core base voters."[1] Sementara itu, realignment didefinisikannya sebagai "A substantial, persistent, and pervasive transfer of support among medial voters from one major party to another."

Menurut Mack, suatu partai politik akan mengalami disalignment apabila ia kehilangan proteksi dari para pemilih yang menjadi basis partai tersebut. Misalnya, kalangan Nahdliyin pedesaan di Jawa Timur tidak lagi mau menentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau penggagas tarbiyah yang meningggalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di setiap pemilu. Sementara itu, realignment ialah suatu kondisi dengan mana terjadi transfer proteksi dari pemilih suatu partai ke partai lainnya. Misalnya, para pemilih Partai Amanat Nasional mengalihkan proteksi kepada PKS atau para pendukunga Partai Demokrat lebih menentukan Partai Gerindra di suatu pemilu. Fenomena "perpindahan" proteksi ialah suatu hal yang mengentara baik pada disalignment maupun realignment.

Konsep kunci dalam kedua fenomena tersebut (disalignment dan realignment) ialah voter (pemilih dalam pemilu). Kategori pemilih dalam kedua kejadian tersebut sanggup dibagi menjadi 3 kategori yaitu core base voter (CBV), medial voter (MV), dan peripheral base voters (PBV). [2] CBV ialah suatu segment pemilih yang terbiasa dan normalnya selalu menentukan para kandidat dari suatu partai tertentu, terkadang tidak peduli siapa kandidat yang partai itu tawarkan di setiap pemilu. Para CBV inilah yang sesungguhnya menciptakan suatu partai selalu memeroleh dingklik di setiap pemilu. Kegagalan partai dalam memelihara CBV ini pula yang menciptakan suatu partai politik gulung tikar suaranya. MV ialah para pemilih yang menjadi subyek yang potensial untuk ditarik oleh kandidat suatu partai lantaran mereka sesungguhnya bukan CBVpartai manapun. PBV ialah mirip CBV tetapi lebih kritis lantaran mereka sewaktu-waktu sanggup berpindah pilihan ke partai lain apabila berdasarkan mereka partai yang biasa mereka pilih melaksanakan suatu pengabaian.

Baik kejadian disalignment dan realignment maupun karakteristik pemilih yaitu CBV, MV, dan PBV, seluruhnya menciptakan konstelasi stabilitas partai politik menyerupai terus ada di ujung tanduk. Tidak ada jaminan resmi bahwa hasil di Pileg 2014 ialah serupa dengan Pileg 2019. Tidak ada jaminan bahwa CBV suatu partai politik akan terus menjadi CBV tanpa pernah beranjak menjadi PBV.


Disalignment Partai Politik

Mengapa partai politik bisa mengalami disalignment? Mack menginventarisasi sejumlah faktor selaku variabel bebas yang menciptakan partai politik mengalami kejadian ini. Variabel-variabel tersebut adalah:
  1. Gagalnya kepemimpinan
  2. Kerapnya terjadi pembelahan warta dan positioning terkait identitas nasional
  3. Alienasi partai atas CBV
  4. Adanya partai(atau partai-partai) alternatif
  5. Kemungkinan akhir penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP)

Gagalnya kepemimpinan. Gagalnya kepemimpinan partai politik dicurigai menjadi sumber dari disalignment partai tersebut dari pemilu ke pemilu. Gagalnya kepemimpinan ini sanggup dilihat dari terjadinya kondisi ketika elit partai salah melaksanakan penilaian atas posisi dirinya dikala diperhadapkan dengan konstituen dan konfigurasi kekuatan partai-partai secara aktual. Aneka korupsi yang dilakukan elit partai ialah salah satu dari tanda-tanda ini. Juga, inkompetensi elit (dan para kandidat partai) contohnya dalam melontarkan statement, mengatasi konflik internal partai, pembangunan aspirasi di level grass-root, eksklusivitas elit, merupakan ragam hal yang sanggup dimasukkan ke dalam kategori ini. Gagalnya kepemimpinan ini bahkan semakin terang di kala informasi yang terbuka. Para CBV sanggup mengamati dan mengevaluasi sikap elit partai lewat blog, twitter, facebook, bbm, dan social media lain selain tentu saja televisi. Selain lantaran alamiah dilakukan elit partai, gagalnya kepemimpinan juga sanggup di-framing secara sengaja oleh lawan politiknya dari partai lain lantaran punya kekuatan media.

Kerapnya terjadi pembelahan warta dan positioning terkait identitas nasional. Hal ini berkaitan dengan pengambilan posisi kasatmata partai atas isu-isu nasional dan identitas CBV diperhadapkan dengan posisi elit. Para CBV merasa bahwa mereka telah selesai dalam mengidentifikasi diri mereka dengan partai politik. Posisi partai politik diasumsikan telah fix sehingga CBV merasa kondusif dengan pilihannya. Namun, akhir dinamisasi perpolitikan dalam skala nasional dan global, partai terkadang harus mengambil posisi berbeda dengan pendirian konservatifnya. Apabila ini terjadi, CBV akan mempertanyakan hal tersebut dan apabila balasan memuaskan tidak diperoleh, mereka akan mulai merasa diasingkan oleh partai.

Alienasi partai atas CBV. Situasi alienasi sanggup dikatakan sebagai perulangan dua penyebab pertama, yang semakin intens, sehingga CBV seolah tidak mempunyai kaitan afeksi lagi dengan partai. Dalam kondisi alienasi ini, CBV mungkin saja mulai bertransformasi menjadi PBV. Situasi CBV menjadi "galau" dan di titik inilah partai kompetitor mulai menyuguhkan diri mereka sebagai "pelipur lara." Atau, sanggup saja CBV sama sekali menjadi apolitis dan ia pun bertransformasi menjadi MV. Mereka terombang-ambing, mengambang, dan gres menentukan pilihan apabila iman mereka kepada politik telah kembali.

Adanya partai(atau partai-partai) alternatif. Kendati pun CBV telah menjadi MVataupun PBV, jarangkali mereka menaruh pilihan kepada partai lain dengan melintasi garis ideologis. Mereka umumnya "menyeberang" ke partai lain yang mempunyai ideologi sama kendati "gerbongnya" berbeda. Seorang CBV partai berbasis agama, yang mengaitkan pilihan politik dengan kesalehan agama, akan sulit menyeberangkan pilihan mereka kepada partai lain yang berbasiskan sekularitas. Hal yang demikian pun sanggup terjadi sebaliknya. Pada variabel keempat ini, situasi disalignment mulai mengental.

Kemungkinan akhir penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP). Ini terjadi di negara-negara yang menganut sistem kepartaian dwi-partai mirip Inggris, Kanada, Australia, ataupun Amerika Serikat. Indonesia tidak menganut FPP dalam prosedur Pileg. Namun, ini bukan berarti sistem proporsional tidak rentang mengakibatkan disalignment terhadap partai. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan selanjutnya.


Belajar dari Empat Pileg

Analisis selanjutnya diketengahkan berdasarkan 4 Pileg yang diselenggarakan 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dari hasil tersebut dapatlah kiranya citra mengenai disalignment lebih terjelaskan.

Data untuk pileg 1999, 2004, 2009, dan 2014 diambil dari KPU.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. PDIP memeroleh bunyi 33,74% di pileg 1999, kemudian turun menjadi 18,31% di pileg 2004, terus turun di pileg 2009 menjadi 14,01%, untuk kembali naik menjadi 18,95% di pileg 2014. Apakah terjadi disalignment atas PDIP? Jawabannya ialah terang apabila diletakkan dalam rentang 1999 sampai 2009, yaitu dari 33,74% menjdi 14,01. Suara partai tersebut turun lebih dari setengahnya semenjak 1999. Suara tersebut bahkan turun dari 2004 ke 2009 selama masa partai menjadi menjadi oposisi pemerintah. Pemulihan gres terjadi dari 2009 ke 2014 di mana partai ini naik dari 14,01% menjadi 18,95%. Lalu, apa yang bisa dikatakan kepada PDIP ini.

Pertama, apabila mundur ke determinan historis, PDIP ialah representasi dari PNI tahun 1955. Basis konstituen (CBV) partai PDIP sulit untuk dikatakan berasal dari luar partai ini. Di Pileg 1955, PNI berhasil memeroleh 22,32% sementara untuk Konstituante 23,97%. Apabila didasarkan pada perkiraan tersebut, pada bunyi 33,74% di pileg 1999 terkesan agak berlebihan. CBV PDIP maksimal memang berada di sekitar 20%-an bunyi nasional. Pernyataan ini membawa dampak pada pernyataan selanjutnya: Disalignment terjadi pada PDIP semenjak 2004, 2009 dan gres sedikit pulih pada 2014.

Kedua, elit partai di PDIP kurang berhasil bertindak selaku perekat CBV lantaran hanya mengandalkan trah Sukarno, yaitu Megawati S.P. (juga almarhum Taufik Kiemas). Kerja suatu partai politik tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan orang per orang sehingga menihilkan tugas partai sebagai sebuah organisasi. Baru lah ketika PDIP melaksanakan kaderisasi di luar trah, mirip contohnya memroyeksikan elit-elit gres mirip Tri Rismaharini, Teras Narang, Rieke Dyah Pitaloka, Joko Widodo, ataupun Ganjar Pranowo, para CBV kembali bisa diyakinkan bahwa partai sesungguhnya memikirkan nasib mereka. Juga, ideologi yang diemban oleh tokoh-tokoh tadi tidak jauh dari ideologi yang juga ada di benak para CBV : Nasionalisme dengan tidak berpatokan pada disiplin agama tertentu.

Ketiga, fenomena anjloknya CBV PDIP dari 1999 sampai 2009 juga akhir terciptanya image bahwa PDIP berdiri di posisi "kapitalis" sehubungan isu-iso salah satu segmen PDIP yang cukup luas: Buruh dan tani. Isu keberpihakan Megawati atas outsourcing dan penjualan aset kepada absurd merupakan dua warta yang menghempas para CBV sehingga mereka teralienasi dari melirik partai lain untk dipercayakan aspirasi mereka. Terlebih sekarang para CBV mempunyai pilihan yaitu Partai Gerindra yang secara ideologi tidaklah berbeda jauh dengan PDIP yang mana mereka bersedia menjadi pilihan pengganti PDIP.

Partai Golkar. Partai Golkar ialah dominator dalam setiap pemilu Orde Baru, semenjak 1971 sampai 1997. Begitu diadakah pemilu demokratis pertam 1999, suaranya anjlok menjadi 22,44%. Kendati ia menempati peringkat ke-2, sanggup dipastikan bahwa partai ini sekedar mempunyai CBV di kisaran 20%-an pemilih. Di Pileg 2004 suaranya turun menjadi 21,62%, terus turun di 2009 menjadi 14,45% dan stagnan-cenderung naik menjadi 14,75% di 2014. Pemilih Golkar di tiap-tiap pileg Orde Baru, kendati selalu mayoritas, ternyata bukanlah melukiskan CBV yang sebenarnya. Pemilih terbesar mereka di masa-masa tersebut kiranya hanya merupakan MV, dan ini ditunjukkan secara besar lengan berkuasa pada pileg 1999: Dari 60%-an bunyi mereka di pileg 1997 segera anjlok menjadi 22,44% dan terus turun di masa-masa kemudian.

Disalignment benar-benar terjadi pada PG. Mayoritas pemilih mereka di Orde Baru ialah MV, yang "terpaksa" menentukan partai ini lantaran sejumlah alasan. Pileg 1999 pun bukanlah memperlihatkan siapa CBV mereka. Di antara 22,44% pemilih mereka di 1999 masihlah terdapat PBV. Ini segera ditunjukkan di Pileg 2004 di mana bunyi mereka menyusut 0,82%. Dilanjutkan dengan penyusutan sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Seperti dalam teori disalignment, faktor gagalnya elit mengentara di keanjlokan 2004 ke 2009 ini. Kepemimpinan PG pecah antara kubu Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. Surya Paloh kemudian dikenal menyebarkan gerakan sosial Nasional Demokrat, Kalla fokus pada organisasi di luar PG (Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia), sementara Bakrie yang mengandalkan kekuatan finansial dan medianya memimpin PG yang sekarang kurang padu. Pemilih PG mengalami alienasi dan mereka yang mengalami hal ini benar-benar siap menransformasikan bunyi mereka kepada partai lain.

Disalignment PG di antaranya juga disebabkan berdirinya Partai Demokrat (PD). PD yang semenjak Pileg 2004 sudah ikut serta diduga menjadi muara pemilih PG yang sudah menjadi PBV. Para pengikut Hayono Isman dan Susilo Bambang Yudhoyono kemungkinan besar masuk ke gerbong gres ini. Gagalnya elit PG dalam distribusi kekuasaan pun kian memermanensi dugaan CBV partai ini yang sekadar di kisaran 14% terkait perolehan bunyi mereka di Pileg 2014. Ini ditunjukkan dengan hadirnya 2 partai gres yang difigurisasi oleh bekas tokoh senior PG mirip Prabowo (Partai Gerindra/PGIR) dan Wiranto (Partai Hanura/PHNR). Kehadiran 2 partai inilah yang menciptakan PG benar-benar mempunyai sekadar PBV di Pileg 2004. Banyak dari antara PBV ini yang dengan mudahlah menyeberang ke PGIR dan PHNR. Pileg 2014 tidak lebih sekadar mengambarkan kecenderungan-kecenderungan ini secara lebih lanjut.

Partai Persatuan Pembangunan. PPP ialah partai fusi, yaitu dari partai-partai berbasis Islam yang dikompres oleh Orde Baru menjadi 1 partai Islam tunggal. Adalah Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (pewaris Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah menjadi pembangunnya. Dengan demikian, semenjak awalnya, pemilih PPP ialah perpaduan dari CBV dan PBV yang cukup menarik. Di selama pileg Orde Baru, PPP mengalami pengaruh depolitisasi dari pemerintah. Para pendukung partai Islam, untuk sebagian, menentukan PPP sebagai pilihan minimal. Banyak pula di antara pemilih Islam yang melabuhkan bunyi mereka di partai korporatis PG.

Suara PPP cenderung stabil semenjak Orde Baru sampai Pileg 1999 dengan posisi 10,71% suara. Namun, posisi pendukung partai Islam mempunyai sejumlah kesempatan untuk menerjemahkan pilihan politik mereka secara lebih asertif. Hadir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasiskan kaum Nahdliyin, Partai Amanat Nasional (PAN) yang berbasisnya ormas Muhammadiyah, dan Partai Keadilan (PK) yang berbasiskan kalangan pergerakan Tarbiyah dan revivalis Islam internasional. Kemunculan PK, PKB, dan PAN ini mendorong pemilih Islam untuk lebih tegas memosisikan sikap Islam dan hidup politik mereka. PBV di badan PPP pun segera melabuhkan pilihan mereka ke ketiga partai tersebut, sementara CBV mereka menetap di PPP. Akibatnya, bunyi PPP menyusut sebesar 2,55% dari Pileg 1999 ke 2004. Untuk kemudian menyusut lagi sebesar 2,83% dari Pileg 2004 ke 2009.

Seperti telah diketahui, sesungguhnya PPP sendiri mempunyai basis-basis pemilih yang berlainan di dalam tubuhnya. Dapat diprediksi bahwa kalangan NU di badan PPP berlabuh ke PKB, kalangan Muhammadiyah, PSII, dan Perti berlabuh ke PK(S) dan PAN. Kemungkinan juga banyak di antara PBV di badan PPP berlabuh ke partai-partai nasionalis yang mengiklankan diri sebagai juga religius (misalnya PD). Kini, CBV PPP sanggup dikatakan sekadar berisikan 5 - 6% bunyi nasional. Hal ini pun dengan sejumlah catatan bahwa PPP benar-benar sanggup mengendalikan konflik internal di dalam partai yang sesungguhnya mempunyai CBV yang berasal dari basis berbeda.

Partai Kebangkitan Bangsa. PKB seharusnya menjadi labuhan partai NU yang berkembangan semenjak tahun 1952 dan NU yang serupa yang difusikan Orde Baru tahun 1971. Pada Pileg 1955 partai Nahdlatul Ulama menguasai 18,71% bunyi nasional, sementara pada Pileg 1971 menguasai 18,68% suara. Sebagai partai, NU dahulunya sanggup dikatakan mempunyai CBV yang cukup "tulen." Basis mereka ialah para santri di wilayah pedesaan (terutama Jawa Tengah dan Timur). Suara NU cukup stabil di periode 1955 sampai 1971.

Manakala fusi dilakukan semenjak 1971, kalangan NU mirip kehilangan pakem politik nasional. Para pemilihnya kemudian berubah menjadi MVhampir di sepanjang masa Orde Baru: Ada di antara mereka yang melabuhkan bunyi ke PG maupun PPP (mungkin juga bisa ke PDI, kendati kurang kuat). Di kedua partai tersebut, para pendukung NU sekadar bersifat MV.

Menjelang Pileg 1999 berdirilah PKB dimotori tokoh NU Abdurrahman Wahid (cucu K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU). Berbondong-bondong kaum Nahdliyin merampungkan rindu-rendam mereka dalam politik nasional Indonesia. PKB pribadi meraup bunyi sebesar 12,61% sekalig menempatkan dirinya sebagai pemenang ke-3 Pileg 1999. Dapatlah dikatakan bahwa bunyi ini memang sungguh-sungguh berasal dari CBV kalangan NU. Namun, PKB ternyata mempunyai "rasa" berbeda dengan Partai NU, lantaran khittah 1984 menyatakan NU keluar dari arena politik. Namun, hengkangnya NU dari politik (sebagai partai) masih kurang dirasakan para CBV partai NU dahulu. Mereka tetap yakin bahwa PKB ialah partai NU itu sendiri. Hal ini ternyata tidak mirip diharapkan.

NU ialah salah satu pemikiran yang berkembang jauh sebelum reformasi 1998 terjadi. NU ialah pernyataan tegas kesalehan Islam versi masyarakat tradisional Islam di Indonesia. NU (kalangan Nahdliyin-nya) memegang saham cukup besar dalam peralihan politik dari kolonial ke kemerdekaan dan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai kekuatan politik, NU ialah kekuatan yang mandiri. Kemandirian ini dirasakan masih harus terdapat di PKB.

Ternyata, PKB bukanlah partai NU. Bentuk-bentuk pernyataan Islam yang tegas (versi NU) sulit diperoleh pada PKB. PKB lebih bernuansakan partai nasionalis dan sedikit sekuler. Akibatnya, para CBV NU merasa kegamangan sehubungan dengan pernyataan tegas kesalehan Islam ini. Hal ini kemudian terbukti berkurangnya bunyi PKB sebesar 2% dari 1999 ke 2004 dan 5,66% dari 2004 ke 2009. Sepanjang 2004 ke 2009, PKB dilanda konflik elit antara kubu Abdurrahman Wahid versus Muhaimin Iskandar. Dan bukan itu saja, kerindungan kalangan Nahdliyin akan kesalehan Islam yang lebih tegas disediakan oleh sebuah partai lain: Partai Keadilan Sejahtera. Banyak di antara tokoh-tokoh NU yang cukup simpatik terhadap PKS ini (misalnya Nurmahmudi Ismail dan kawan-kawan).

Akibatnya, para pendukung PKB (yang Nahdliyin) lekas menransformasikan diri mereka menjadi PBV dan melabuhkan bunyi mereka kepada PKS. Partai yang belakangan ini banyak mengelola basis-basis tradisional kalangan Nahdliyin mirip forum pendidikan dan masjid-masjid. Melonjaknya bunyi PKS dari 1999 (ketika masih PK) ke 2004 dan 2009 di antara sanggup dilacak pada fenomena ini.

Begitu para tokoh NU di dalam PKB menjadi waspada, lekas mereka lakukan reorganisasi para CBV NU. Hal ini menghasilkan bunyi PKB yang mulai pulih di Pileg 2014 dari 4,95% (pileg 2009) menjadi 9,04% (pileg 2014). Perolehan bunyi PKB di Pileg 2014 memperlihatkan kecenderungan realignment ini.

Partai Amanat Nasional. PAN sulit untuk tidak dikatakan sebagai sama sekali lepas dari ormas Muhammadiyah. Logo matahari PAN, kendati tanpa kaligrafi, ialah mirip dengan logo Muhammadiyah. Tokoh-tokoh PAN pun mirip M. Amien Rais atau Hatta Rajasa ialah pecahan dari Muhammadiyah.

Dalam sejarah politik Indonesia, Muhammadiyah ialah gerakan sosial yang fokus pada bidang pendidikan dan kesehatan. Gerakan ini menjaga diri terhadap politik kendati membebaskan para anggota untuk menentukan gerbong-gerbong politik yang sesuai. Dalam pemikiran politik, Muhammadiyah ialah representasi kalangan modernis, dengan basis utama pencaharian selaku pedagang di kota-kota (urban). Dengan demikian, aspirasi politik kalangan ini lebih akrab kepada Masyumi (dahulu) dan reinkarnasinya Parmusi di kala awal Orde Baru.

Dengan demikian, kendati perlu lebih diteliti, pada CBV Parmusi di Pileg 1971 ialah sebagiannya berasal dari para pendukung Muhammadiyah. Suara Parmusi di Pileg 1971 sebesar 5,36%. Di Pileg 1999, PAN memeroleh bunyi sebesar 7,12% dan memosisikan dirinya sebagai 4 besar Pileg. Suara PAN di Pileg 1999 ini seharusnya sanggup lebih bertambah apabila para pemilih Masyumi, PSII, atau PUI melabuhkan bunyi mereka ke partai Islam modernis ini.

Namun, serupa mirip PKB, PAN sendiri tidak menentukan bentuk tegas sebagai representasi Muhammadiyah di dalam politik nasional. Posisi ini mendorong para berkurangnya bunyi partai sebesar 0,71% dari 1999 ke 2004, dan sebesar 0,38% dari 2004 ke 2009. Bahkan, bunyi PAN naik sebesar 1,56% dari 2009 ke 2014. Jumlah bunyi mereka di 2014 juga sanggup dikatakan naik bahkan jikalau diperbandingkan dengan 1999 yaitu sebesar 0,47%.

Disalignment PAN serupa dengan yang dialami PKB di sepanjang Pileg 2004 dan 2009 kendati lebih kurang signifikan dibanding PKB. Melihat dari bunyi mereka semenjak 1999 sampai 2014, PAN cenderung sanggup memelihara CBV mereka. CBV mereka yang berubah menjadi PBV jauh lebih kecil ketimbang di kalangan PKB. Pelacakan PBV dari PAN sama mirip PKB, sanggup dilacak pada munculnya PKS sebagai muara PBV partai-partai Islam.

Partai Demokrat. PD ialah sebuah partai catch-all. Fokusnya pada pemenangan Pemilu. Partai ini tumbuh sebagian besarnya sanggup dilacak pada gagalnya kepemimpinan elit di badan PG. Terdapat organisasi sayap dan para bekas tokoh Golkar yang ikut memerkuat PD baik di masa awal pembentukan sampai selanjutnya.

Turunnya bunyi Golkar, terutama dari 2004 ke 2009, salah satunya sanggup dilacak pada semakin stabilnya PD ini. Seperti diketahui sebelumnya, bunyi PG turun sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Di sisi lain, bunyi PD cukup signifikan yaitu 7,46% begitu ikut Pileg 2004. Suara ini bahkan jauh naiknya dari 2004 (7,46%) menjadi 20,81% di Pileg 2009. Dari manakah bunyi PD berasal?

Sesuai dengan bentuk PD yaitu sebagai catch-all party, ia memanfaatkan MV yang berkeliaran menjadi pemilih PDIP, PG, PPP, PKB, dan PAN. Signifikansi bunyi PD sampai 20,81% untuk kemudian "terjun bebas" secara drastis menjadi 10,19% di Pileg 2014 mengindikasikan banyaknya pemilih MV di PD. CBV PD bukanlah pemilih true believer melainkan sekadar MV yang melihat Pileg sebagai suatu kepentingan an sich. PD relatif lebih gampang mengalami disalignment ketimbang PG, dengan mana ini sanggup dilihat pada perolehan bunyi mereka yang fluktuatifnya lebih tinggi ketimbang PG.

PK dan PKS. Partai Keadilan (PK) ialah debutan gres di Pileg 1999. Namun, sejarah mereka ialah sejarah gerakan tarbiyah di perguruan-perguruan tinggi yang berkelindan dengan warta revivalisme Islam global. PK menyampaikan kehausan kalangan Islam "santri" akan partai Islam yang lebih tegas perjuangannya dalam nuansa kesalehan agama. PK kemudian berubah nama (juga metamorfosis organisasional) di Pileg 2004 menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di Pileg tersebut, PKS bisa menaikkan bunyi PK dari sekadar 1,36% di Pileg 1999 menjadi 7,20% di Pileg 2004. Dalam konteks ini, PKS tentu tidak mengalami dealigment sama sekali.

Bahkan, bunyi PKS stabil-cenderung naik dari 2004 ke 2009. PKS memunculkan diri sebagai "genre" gres partai politik berbasis Islam yang lebih tegas. Dalam Pileg 2004, ketika PPP, PKB, dan PAN mengalami penurunan suara, PKS justru bertahan-cenderung naik. Juga, mirip telah dibahas sebelumnya, PKS memanfaatkan para PBV yang melingkari PPP, PKB, dan PAN. Ada kemungkinan bahwa kini, para PBV tersebut telah beralih menjadi CBV-nya PKS. Hal ini terungkap lewat bunyi PKS di Pileg 2014, yang kendatipun turun dari 2009 sebesar 1,10%, tetapi tidaklah signifikan. PKS tidak mirip PD yang fluktuatif dan cenderung punya MV yang besar. PKS sekarang siap berdiri sebagai salah satu pilihan politik umat Islam sejajar dengan PKB, PAN, dan PPP.

Fenomena PKS sulit untuk dimasukkan ke dalam tanda-tanda disalignment melainkan realignment. Kendati sanggup saja PKS mengambil para PBV di PPP, PAN, dan PKB, sesungguhnya PKS sekarang telah membentuk CBV mereka sendiri. CBV ini merupakan khas lantaran mewakili generasi gres umat Islam yang terbuka atas isu-isu Islam di level global. Selain itu, PKS cenderung mempunyai CBV yang besar lengan berkuasa di perguruan-perguruan tinggi, kalangan intelektual, dan gerakan sosial yang bersifat akar rumput. Di masa mendatang, sanggup diprediksi bahwa CBV PKS akan tetap stabil apabila tidak bisa dikatakan akan menaik.

Partai Gerakan Indonesia Raya. Partai Gerakan Indonesia Raya (PGIR) ialah partai debutan baru. Ia gres ikut Pileg pertama kali tahun 2009. Fenomena munculnya PGIR hampir mirip dengan PD. Dimotori bekas tokoh PG (Prabowo), PGIR pribadi memeroleh bunyi 4,46% di Pileg 2009. Hasil ini cukup lumayah mengingat bahkan PKB hanya memeroleh bunyi 4,95% di Pileg ini.

Secara ideologi, tentu sulit apabila dikatakan bahwa PGIR pribadi mempunyai CBV. Namun, sanggup dilacak hilangnya bunyi PDIP dan PG di Pileg 2009 sanggup ditelusuri ke partai ini. Prediksi bunyi PGIR bahkan meningkat tajam di Pileg 2014 di mana terjadi kenaikan sebesar 7,35%. Tentu saja, di Pileg 2009 ini, bunyi PGIR sanggup dilacak pada berkurangnya secara signifikan bunyi PD. Karakter pemilih PD yang berupa MV mendorong mudahnya mereka untuk berpindah dari PD ke PGIR ini.

Serupa dengan PD, PGIR mengandalkan figur tokoh partai sebagai basis pemersatu elit. Secara karakter, para pemilih PGIR ini lebih mirip dengan PDIP ketimbang PD dan PG. PGIR lebih fokus pada isu-isu populis ketimbang isu-isu pemodal kendati Prabowo (dan adiknya) ialah juga berprofesi pengusaha. Berbeda dengan PKS, menyampaikan bahwa PGIR mempunyai CBV masihlah terlalu dini. Berkaitan dengan PD, kemampuan PGIR menyedot bunyi PD salah satunya dikuatkan oleh kejenuhan para MV di badan PD terhadap elit PD yang memegang kuasa manajemen pemerintahan selama 10 tahun. Tokoh PGIR yaitu Prabowo muncul mengatasi kejenuhan tersebut untuk kemudian bisa tampil sebagai pemenang ke-3 Pileg 2014.

Partai Hati Nurani Rakyat. PHNR memulai debut gres berbarengan dengan PGIR. Sama mirip PGIR, lahirnya PHNR dimotori oleh para bekas elit PG. Jika PGIR dimotori Prabowo, maka PHNR dimotori oleh Wiranto. Eksistensi PHNR memanfaatkan PBV yang ada di badan PG. Di Pileg 2009 di mana PHNR ikut pemilu, bunyi diperoleh sebesar 3,77%. Besaran ini lebih kecil ketimbang partai sejenisnya, PGIR. Suara PHNR juga menaik sebesar 1,54%. Ada kemungkinan, sama mirip PGIR, bunyi PHNR memanfaatkan para MV yang di Pileg 2009 menentukan PD. Hal ini menjadi mungkin lantaran bunyi PG di Pileg 2014 mengalami stagnasi dari 14,45% di Pileg 2009 menjadi 14,75% di Pileg 2014.

Juga serupa dengan PGIR agak sulit memrediksi apakah PHNR mempunyai CBV ataukah sekadar MV mengingat gres kali kedua partai ini mengikuti Pileg. Pengandalan PHNR kepada seorang tokoh dirasakan akan sulit menciptakan partai ini mempunyai CBV yang genuine.

Partai Nasional Demokrat. PND hadir sebagai bukti kegagalan PG dalam mengohesikan elitnya. Pasca Pileg 2009, seorang elit PND yaitu Surya Paloh mendirikan gerakan Nasional Demokrat. Gerakan yang kemudian berubah menjadi menjadi PND ini kemudian ikut serta dalam Pileg 2014. Suara PND dalam debutan pertama relatif lebih sukses ketimbang PHNR dan PGIR lantaran pribadi menyabet 6,72% bunyi nasional.

Secara umum, pola yang dipakai PND dalam menyebarkan partai mirip dengan PGIR. Hanya saja, kekuatan PND disupport oleh kekuatan media yang dimiliki promotornya. PND relatif lebih bisa menjangkau para MV yang berkeliling di seputar PD. Cukup banyak kandidat yang ditawarkan PND yang awalnya merupakan para kandidat PD. Sama mirip PGIR, PND mengandalkan kejenuhan para MV di badan PD atas pola kepemimpinan nasional selama 10 tahun terakhir. PND hadir dengan gagasan-gagasan gres (restorasi Indonesia). Isu gres ini mendorong para MV di badan PD untuk menyeberangkan pilihan mereka kepada partai gres ini.


Fenomena Realignment Partai Politik

Peralihan CBV menjadi PBV mendorong beralihkan bunyi dari partai usang kepada partai baru. Fenomena ini ditunjang oleh terjadinya disalignment di badan partai-partai lama, terutama pada kalangan CBV-nya. Apabila CBV dinyatakan telah ada, maka itu sanggup dikatakan terdapat pada partai-partai "senior" mirip PDIP, PG, PPP, PKB, PAN, dan PKS. PKS merupakan sebuah perkecualian lantaran partai ini secara genuine bisa membentk CBV yang cukup terang dan sulit bagi mereka untuk bertranformasi menjadi PBV ataupun MV. Keenam partai ini, apabila mengikuti analisis pileg-pileg pasca reformasi dan sejarah politik aliran, sanggup dikatakan telah membentuk CBV mereka sendiri. Persoalan utama keenam partai ini ialah melaksanakan pemeliharaan atas para CBV yang mereka miliki.

Pada pihak lain, kemunculan PD, PGIR, PHNR, dan PND, untuk sementara sanggup dinyatakan sebagai pengaruh dari disalignment yang terjadi di badan partai-partai senior. Akan tetapi ialah sulit apabila menyatakan bahwa disalignment yang terjadi di badan partai senior kemudian membentuk CBV di empat partai nasionalis ini. Fenomena anjloknya PD dari 2009 ke 2014 ialah referensi kasus bahwa pemilih mereka sanggup saja hanya berupa PBV ataupun MV. Melonjaknya bunyi PGIR dari 2009 ke 2014 juga sanggup dinyatakan sebagai sekadar kejenuhan para MV di badan PD terhadap pilihan mereka di 2009. Demikian pula, PHNR dan PND memeroleh limpahan bunyi dari fenomena serupa dengan PGIR.

Justru fenomena realignment mengalami siklus balik terhadap partai-partai senior. Misalnya, PDIP bertambah bunyi mereka dari 14,01% di Pileg 2009 menjadi 18,95% di Pileg 2014. Para PBV kelihatannya kembali menjadi CBV. Hal serupa juga terjadi dengan PKB, di mana terjadi "pemulihan" bunyi mereka dari 4,95% di Pileg 2009 menjadi 9,04% di Pileg 2014. PAN juga mengalaminya, dari 6,03% di Pileg 2009 menjadi 7,59% di Pileg 2014. Untuk kasus sedikit berbeda, PPP juga mengalami kenaikan dari 5,33% menjadi 6,53% dari 2009 ke 2014. Sejarah PPP yang cukup panjang, kendati organnya beragam, menciptakan PPP layak untuk dinyatakan sebagai punya CBV tersendiri berbeda dengan partai-partai berbasis Islam lainnya.

Fenomena realignment ini hanya akan terus terjadi apabila partai-partai mirip PDIP, PG, PPP, PAN, PKB, dan PKS gagal dalam mengantisipasi sebab-sebab terjadinya disalignment partai politik. Apabila hal ini tidak bisa dicegah oleh partai-partai itu, PD, PGIR, PHNR, dan PND kemungkinan besar akan membentuk CBV mereka sendiri untuk sama sekali lepas dari partai-partai induk.

----------------------------

Rujukan:

[1] Charles M. Mack, When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment (Santa Barbara: Praeger, 2010) p. 8.
[2] ibid.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Partai Politik Pasca Reformasi Antara Disalignment Dan Realignment"

Posting Komentar