Resensi Novel 86 Karya Okky Madasari

Resensi novel 86 ini mencoba untuk mengangkat kelabunya batas antara norma preskriptif dan norma proskriptif dalam kehidupan manusia. Novel ini ditulis Okky Madasari. Novelis muda kelahiran 1984. Lulusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada. Berkiprah di dunia jurnalistik dan mengelola yayasan Muara Bangsa. Muda usia, tetapi tidak dengan substansi novel-novelnya. Selain 86, Entrok yaitu novel yang ditulisnya terlebih dahulu.


86 yaitu idiom yang dipakai pegawanegeri penegak aturan untuk menuntaskan persoalan secara "damai." Tentunya dengan komplemen uang. Uang yaitu segalanya, demikian garis besar pesan yang hendak disampaikan novel ini. Bukannya sang novelis mata duitan, melainkan tokoh-tokoh di dalam 86 yang semuanya menempatkan uang dalam segala perkara. Potret Indonesia

Tokoh utama yaitu Arimbi. Lulusan kampus swasta di Solo. Nasibnya beruntung sanggup jadi juru ketik Pengadilan di Jakarta tanpa pakai sogokan. Arimbi selama 4 tahun kerja "normal." Artinya, ia terima uang murni dari honor negara saja. Namun, tidak demikian dengan temannya Anisa. Wanita asal Timur Inodnesia ini "main." Artinya, ia terima uang bukan sekadar dari gaji, tetapi dari "kasak-kusuk" pengacara, hakim, dan panitera pengadilan. Anisa banyak terima uang di luar honor (yang bahkan lebih tinggi).

Anisa menceritakan permainan di Pengadilan. Arimbi terperangah, gamang, dan balasannya menjadi "pemain" juga. Permainan di ruang pengadilan dimoderasi oleh Danti, Panitera pengadilan. Perempuan senior ini "dandy". Ia banyak main sama hakim dan pengacara. Danti jadi makelar kasus. Menghubungkan kepentingan terdakwa, pengacara, dan hakim. Danti sanggup mensinkronisasi kepentingan terdakwa untuk menang, lewat pengacara mereka, dan mengabsahkannya lewat keputusan hakim.

Danti yang menanyakan "tarif" yang diajukan hakim kepada pengacara. Dari "tarif" tersebut, Danti meminta komisi. Komisi tersebut sanggup didapat dari hakim maupun pengacara. Demikian-lah permainan Danti. Permainan yang agak kecil yaitu pengetikan amar putusan hakim. Kendati masalah sudah ada putusan hakim, kalau pengacara tidak menyogok Panitera, yang amar putusan tidak akan diketik dan ditandatangani hakim. 

Permainan kecil Danti ini yang awalnya ditawarkan pada Arimbi. Setiap Danti sanggup "pesanan" amar putusan dari pengacara, ia menyuruh Arimbi mengetik. Jika ada pihak yang berterima kasih, Arimbi juga kecipratan. Misalnya, Arimbi beroleh AC dari seseorang yang berperkara alasannya yaitu merasa dibantu baik oleh Danti dan Arimbi.

Setelah beberapa kali "berlatih", Arimbi mulai paham permainan. Arimbi sudah tidak ragu meminta uang eksklusif dari pengacara yang memohon amar putusan hakim. Arimbi tidak malu-malu lagi dalam bermain, bahkan ketagihan.

Permainan yang Arimbi mainkan ini pun tidak dicela oleh keluarganya. Bahkan, bapak Arimbi di kampung memahami permainan tersebut sudah ibarat yang semestinya. Terlebih, ada lurah di kampung Arimbi yang meminta tolong memasukkan anaknya yang sarjana ke Pengadilan daerah Arimbi kerja. Terus terang, lurah tersebut mencadangkan uang 50 juta untuk menyogok. Masalah ibarat itu diperbincangkan di depan Arimbi, bapak Arimbi, ibu Arimbi, dan Lurah tersebut.

Akibat sudah punya banyak uang, Arimbi pindah dari rumah kontrakan ke kos-kosan model apartemen. Penyebabnya, pemilih rumah kontrakan Arimbi tertimpa peristiwa alam kebakaran dan meminta Arimbi pindah alasannya yaitu ia hendak tinggal di daerah Arimbi.

Di kos-kosan model apartemen, berbiaya 750 ribu sebulan, Arimbi bertemu Ananta. Ananta punya bapak yang jabatannya Pesuruh plus. Plus di sini artinya makelar. Lokasi kerja bapak Ananta yaitu kantor pertanahan di kampung. Bapak Ananta membantu pemilik tanah yang mau menciptakan sertifikat. Ia menghubungkan para pembuat dengan pejabat berwenang. Dari kemakelarannya, bapak Ananta cukup menerima komisi. Ananta memandang justru dari kemakelarannya tersebut, bapaknya sanggup menghidupi keluarga, bukan dari honor resmi. Dengan demikian, Ananta memandang kemakelaran bapaknya itu sebagai baik.

Kepada Ananta, Arimbi menceritakan "kemakelarannya" juga. Ananta mendorong Arimbi supaya lebih ulet bermakelar ria. Itu kalau Arimbi mau hidup enak. Sambil mendorong, Arimbi dan Ananta "samen leven." Dan, sehabis beberapa lama, Ananta mengajak Arimbi berkenalan dengan keluarganya. Bapak Ananta melamarkan Ananta kepada bapak Arimbi untuk menikahi anaknya. Menikahlah mereka dengan bahagia.

Permainan 86 juga terjadi di ketika ijab kabul Arimbi. Ananta lupa menciptakan surat menumpang nikah. Sesaat sebelum akad, Arimbi didatangi petugas KUA yang tidak tahunya salah satu anak lura yang jadi pamong. Ia meminta Arimbi mengatakan surat menumpang nikah Ananta. Ternyata tidak ada surat tersebut. Namun, si pamong memberi jalan keluar bahwa dengan menambah biaya satu kali lipat, surat menumpang nikah sudah sanggup dihadirkan. Arimbi membayarnya dan urusan pun beres.

Setelah menikah, Arimbi dan Ananta tinggal di kos-an Arimbi. Ananta kerja sebagai surveyor leasing motor. Penghasilannya tidak seberapa. Jauh lebih besar penghasilan Arimbi, terutama kemakelarannya. Arimbi tumbuh bukan lagi petugas lugu dan jujur, melainkan pemain handal.

Tibalah saatnya Arimbi "apes." Danti, panitera pengadilan atasannya, menyuruh Arimbi menemui penghubung dan pengacara terdakwa di sebuah restoran. Arimbi datang, bicara dengan pengacara dan penghubung. Ternyata, mereka hendak menyogok 3 hakim untuk memenangkan kasus kliennya. Danti menghubungkan dengan tiga orang hakim pemutus perkara. Masing-masing hakim meminta 500 juta. Sehingga total uang sogok khusus hakim 1,5 milyar. Ditambah komisi untuk Danti 500 juta yang ia niatkan bagi-bagi lagi dengan "orang-orang yang mendengar."

Arimbi takjub. Seumur hidup belum pernah pegang uang sebanyak itu: Dua milyar di dalam koper. Singkat kata, Arimbi pulang dari pertemuan dan "setor" ke Danti. Oleh Danti, Arimbi dikasih persen 50 juta. Arimbi senang sekali dan merancang apa saja yang sanggup dibeli dengan uang sebesar itu. Tiba-tiba, pintu diketuk, petugas KPK masuk. Danti gelagapan dan menyuruh pembantu menyembunyikan koper di kamarnya. Petugas KPK menggeledah tas Arimbi dan menyita uang 50 juta. Kamar pembantu digeledah, dan ditemukan uang sogokan milyaran itu. Arimbi dan Danti diseret ke tahanan.

Arimbi dan Danti ditahan di sel polisi. Karena punya uang, Danti sanggup memesar ruang tahanan yang ber-AC. Arimbi, alasannya yaitu tidak punya uang, bersesak-sesak dengan sejumlah tahanan lain. Seorang pengacara yang ingin tenar mengajukan diri selaku pembela Arimbi cuma-cuma. Motifnya, ingin tenar alasannya yaitu membela tersangka koruptor. Harapan pengacara itu, akan banyak koruptor-koruptor berduit lain yang tertarik memakai jasanya sebagai pembela mereka nanti.

Arimbi ditawari pengacara Danti untuk 86. Komisinya 500 juta untuk meniadakan keterlibatan Danti. Arimbi tersinggung alasannya yaitu merasa selama ini Danti yang menjerumuskannya. Tapi, sekali lagi "money is almighty." Arimbi menekan kemarahannya dan mendapatkan anjuran Danti. Celakanya, hakim tipikor yang menangani masalah Danti dan Arimbi. Danti divonis 7 tahun, Arimbi 4 tahun. Sayangnya, novelis ini tidak menceritakan apa yang terjadi pada 3 hakim peminta suap tersebut.

Arimbi dan Danti terdampar di penjara perempuan Pondok Bambu. Sekali lagi, alasannya yaitu punya uang, Danti sanggup memesan kamar di lantai atas lengkap dengan dapur, kamar mandi, televisi, dan AC. Sementara, ibarat biasa Arimbi di satu sel dengan 4 orang lainnya.

Arimbi satu sel dengan Tutik, yang punya kecenderung lesbian. Arimbi dan Tutik kerap saling memuaskan diri tatkala tahanan lain sudah lelap tertidur. Tutik yaitu kepala kamar. Ia bekerja sebagai pembantu Danti menyetrika dan mencuci. Tutik juga penggalan dari pengedar sabu-sabu dari dalam penjara. Produsennya Cik Aling, perempuan tahanan usang yang justru memproduksi sabu-sabu di dalam penjara. Cik Aling menyelundupkan bahan-bahan pembuat sabu-sabu dari luar penjara. Ia membayar sipir-sipir supaya bahan-bahan tersebut sanggup masuk. Danti yaitu salah satu pelanggan sabu-sabu Cik Aling.

Ibu Arimbi di kampung sakit ginjal dan harus basuh darah seminggu sekali. Arimbi tahu kabar tersebut dari Ananta. Ananta setia menjenguk Arimbi di tahanan. Syahwat suami istri mereka dipuaskan lewat cara mengonanikan satu sama lain di ruang pertemuan penjenguk. Sehingga, Arimbi perempuan asal desa tersebut sekarang berkecenderungan biseksual.

Tutik mengetahui kebutuhan Arimbi akan uang. Ia menawarinya bisnis selaku pengedar sabu-sabu ke para tahanan lain. Arimbi menyanggupinya dengan upah 200 ribu sekali antar. Selain itu, Arimbi bertemu eksklusif Cik Aling dan buntutnya, Arimbi menawari Ananta untuk mengantar sabu-sabu pada para pelanggan Cik Aling di luar tahanan. Ananta menyanggupi bahkan ulet mencari pelanggan-pelanggan baru.

Tiba saatnya, Arimbi menerima anjuran dari kepala penjara untuk bebas dini. Namun, biayanya 50 juta. Arimbi menyanggupi dengan meminjam uang dari Cik Aling lewat perantaraan Tutik. Tutik membantunya alasannya yaitu Arimbi pasangan lesbiannya.

Akhirnya, Arimbi bebas dan kembali berkumpul dengan Ananta. Ananta sekarang punya pekerjaan dobel: Surveyor dan pengedar sabu-sabu. Mereka mempunyai anak. Ananta dan Arimbi ingin membuka bisnis baru: Warung rumahan. Warung rumahan bangun dan beroperasi baik. Tapi, Ananta mengulur waktu untuk menghentikan bisnis sabu-sabu. Ia menjanjikan sebenar lagi akan berhenti. Hingga tiba saatnya ARimbi menonton televisi dan melihat Ananta digelandang polisi alasannya yaitu terlibat peredaran sabu-sabu. Cerita selesai. Kendati selesai, mungkin sanggup diprediksi uang Arimbi akan habis mengongkosi Ananta yang ada di dalam penjara. Lingkaran setan akan terus mengentara.

Secara keseluruhan, novel ini mengetengahkan kesuraman. Namun, novelisnya kendati muda, variatif dalam memberi aneka alternatif. Dunia dipotret tidak hitam-putih melainkan "pelangi." Ia menceritakan realitas kontradiksi batin antara aturan masyarakat dengan kebutuhan pribadi keluarga. Pertentangan batin dalam alur maju dan gampang dicerna. Layak untuk dinikmati, utamanya bagi pembaca yang juga penggalan dari permainan 86 di alam nyata.

---------
tags:
resensi buku novel 86 novel 86 karya okky madasari lulusan ilmu hubungan internasional fisip universitas gadjah mada mantan wartawan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Resensi Novel 86 Karya Okky Madasari"

Posting Komentar