Proses terbentuknya masyarakat Indonesia ini merupakan pecahan dari kajian sistem budaya Indonesia yang mempunyai lokus masyarakat Indonesia. Apakah masyarakat itu? Masyarakat sanggup didefinisikan sebagai kumpulan individu dan forum yang terorganisir, yang dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang merupakan subyek dari satu otoritas politik, dan terorganisasikan sedemikian rupa melalui nilai-nilai serta keinginan bersama.
Menurut Kimmel and Aronson, maksud dari kumpulan individu dan forum yang yang terorganisir adalah, masyarakat bukan merupakan kumpulan acak melainkan kumpulan yang sengaja dibuat serta diorganisir. Masyarakat tidak hanya terdiri atas individu, melainkan juga lembaga-lembaga menyerupai keluarga, agama, pendidikan, atau perekonomian. Masyarakat dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang berarti masyarakat sungguh-sungguh menempati suatu tempat, mempunyai eksistensi nyata, bukan sebuah gagasan imajinatif. Potret Indonesia
Masyarakat juga harus merupakan subyek otoritas politik yang sama, yang bermakna setiap orang di satu lokasi tertentu tersebut (masyarakat) supaya sanggup disebut satu kesatuan, setiapnya harus merupakan subyek dari peraturan (regulasi) yang sama. Sementara itu, kumpulan individu yang terorganisir tersebut mempunyai keinginan serta nilai-nilai bersama bermakna bahwa setiap anggota masyarakat mengakui dan mempraktekkan nilai-nilai konsensual serupa sekaligus mempunyai keinginan ataupun tujuan hidup yang secara umum juga serupa.
Masih berdasarkan Kimmel and Aronson, masyarakat tidak sekonyong-konyong ada. Masyarakat sengaja diciptakan baik melalui metode bottom-up maupun up-to-bottom. Individu-individu dan lembaga-lembaga di dalam masyarakat saling berinteraksi satu sama lain yang mengakibatkan masyarakat juga dikatakan sebagai sekumpulan interaksi sosial yang terstruktur.
Terstruktur mengartikan bahwa setiap tindakan individu ketika berinteraksi dengan sesamanya tidaklah terjadi bergerak di ruang vakum lantaran terjadi dalam konteks sosial. Misalnya, interaksi tersebut berlangsung di dalam komunitas keluarga, kelompok keagamaan, hingga negara. Masing-masing konteks membutuhkan sikap yang spesifik, berbeda-beda. Namun, keseluruhan interaksi tersebut diikat oleh norma serta dimotivasi oleh nilai-nilai yang diakui secara bersama. Kata sosial mengacu pada fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang hidup sendiri. Individu selalu hidup di dalam keluarga, kelompok, dan jaringan. Kata interaksi mengacu pada cara berperilaku disaat bekerjasama dengan orang lain. Akhirnya, sanggup dikatan bahwa masyarakat diikat melalui struktur sosial.
Perilaku kekerabatan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lain. Konsep-konsep yang juga terkandung di dalam masyarakat – selain yang sudah disebutkan – yaitu sosialisasi, peran, status, kelompok, jaringan, organisasi, dan lembaga.
Berdasarkan definisi menyerupai dikemukakan Kimmel and Aronson, Indonesia merupakan sebuah masyarakat. Kumpulan individu yang ada di 33 provinsi di Indonesia yaitu masyarakat Indonesia. Mereka ini terorganisir melalui struktur-struktur sosial yang dikembangkan baik oleh komunitas-komunitas budpekerti setempat, pemerintah lokal, juga pemerintah pusat. Di masing-masing wilayah, terdapat lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bervariasi, yang berkisar pada forum keluarga, pendidikan, ekonomi, atau agama.
Batasan antara masyarakat Indonesia dengan Timor Leste (misalnya) terperinci dan spesifik dan bahkan dilegalisasi oleh aturan internasional. Setiap individu di dalam wilayah Indonesia tunduk pada regulasi dari pemerintah pusat maupun pemerintah lokal di masing-masing wilayah. Pengharapan-pengharapan serta nilai-nilai bersama telah dikembangkan dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945) yang sifatnya mengikat, sementara nilai-nilai bersama Indonesia dikodifikasi dalam bingkai Pancasila.
Genealogi Masyarakat Indonesia
Kajian sistem budaya Indonesia tidak akan lengkap tanpa sebelumnya terlebih dahulu dibahas garis besar mengenai genealogi konsep Indonesia. Kajian dititikberatkan pada aspek genealogi istilah Indonesia, ditinjau dari faktor-faktor geografis, demografis, sosiologis, dan politis negara ini. Selain itu, perlu pula dicarikan definisi yang memadai seputar ras dan etnik untuk memudahkan analisis seputar kemunculan budaya dari orang-orang yang disebut Indonesia. Untuk keperluan analisis atas genealogi masyarakat Indonesia ini ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu konsep-konsep ras, etnis, dan nasionalisme.
Ras. Definisi ras (race) yaitu sistem simbol dan kepercayaan yang menekankan pada relevansi karakteristik-karakteristik sosial dan budaya berdasarkan aspek biologis. Definisi lain dari ras yaitu “ ... kategori yang dikonstruksi secara sosial mengenai orang-orang yang punya sifat-sifat yang diturunkan secara biologis yang oleh para anggota suatu masyarakat dinilai sebagai penting.” Orang biasa membedakan ras berdasarkan karakteristik biologis menyerupai warna kulit, bentuk wajah, bentuk rambut, dan atau bentuk tubuh.
Masyarakat Amerika Serikat cenderung memisahkan ras menjadi white, black, asia, atau hispanik. Masyarakat di Brasil cenderung memisahkannya menjadi branca (kulit putih), parda (kulit coklat), morena (brunette), mulata (mulato), preta (kulit hitam), dan amarela (kulit kuning). Namun, cara pandang antar ras pun berbeda.
Orang berkulit putih di Amerika Serikat cenderung melihat orang kulit gelap mempunyai warna kulit yang lebih gelap ketimbang orang kulit gelap yang satu memandang orang kulit gelap lain. Dengan demikian, ras sanggup dikatakan sebagai konsep yang dikonstruksi secara sosial ketimbang murni bersifat biologis, kendati determinisme biologis ini kerap dijadikan contoh utama cara pandang mengenai ras.
Delusi akhir konsep ras muncul contohnya tatkala seorang lelaki kulit putih melaksanakan perkawinan dengan wanita kulit gelap dan mempunyai anak. Anak mereka kemudian melaksanakan perkawinan dengan seorang Asia (Cina, misalnya). Lalu, anak dari anak mereka ini (cucu) melaksanakan perkawinan dengan seorang parda di Brasil. Bagaimana memilih ras anak dari cucu mereka tersebut?
Penilaian berlebih (juga delutif) atas ras mendorong munculnya tindak diskriminasi, terutama di negara-negara yang salah satu ras-nya menjadi mayoritas terhadap ras lain yang minoritas: Rasisme! Kendati demikian, kajian atas masalah ras tidaklah berhenti. Ras masih sering digunakan dalam melaksanakan kategorisasi sosial suatu populasi berdasarkan sifat-sifat turunan. Sejalan dengan masalah ras ini, penulis akan menunjukkan genealogi ras dari penduduk Indonesia yang gotong royong mencerminkan imbas delutif dari konsep ras terhadap analisis atas kategori sosial.
Etnis. Jika ras dikonstruksi secara biologi, maka etnis dikonstruksi secara sosial. Etnis yaitu kategorisasi sosial berdasarkan bahasa dasar, agama, kebangsaan, dan gagasan kepemilikan budaya bersama. Dengan demikian, etnis lebih merujuk pada karakteristik suatu kelompok sosial yang didasarkan pada identitas bersama. Identitas bersama tersebut sanggup berakar pada budaya, sejarah, agama, maupun tradisi bersama.
Ras dan etnis yaitu dua konsep berbeda. Konsep etnis bergerak dalam alur determinisme sosial, sementara konsep ras bergerak dalam alur determinisme biologis. Dalam konsep etnis, sanggup saja suatu etnis minoritas melaksanakan asimilasi terhadap budaya etnis mayoritas sehingga etnis minoritas tersebut mengalami pembauran menjadi etnis tunggal. Namun, dalam konsep ras, lantaran determinisme-nya biologi, proses asimilasi tersebut sukar dilakukan kecuali melalui proses evolusi yang menjadikan ciri-ciri fisik sekelompok orang menjadi sama dengan ciri-ciri fisik kelompok lainnya. Konsep etnis bersifat lebih longgar ketimbang ras lantaran sifat sosialnya ini. Penulis akan menunjukkan etnis-etnis yang ada di Indonesia, yang ternyata sangat bermacam-macam tetapi ternyata mempunyai sejumlah kesamaan secara parsial.
Minoritas. Minoritas didefinisikan sebagai kategori insan yang dibedakan berdasarkan perbedaan fisik atau budaya yang dianggap oleh suatu masyarakat lain sebagai terpisah ataupun subordinat. Seperti dikatakan oleh definisi, minoritas sanggup didasarkan pada aspek fisik dan budaya ataupun gabungan antara keduanya. Minoritas punya dua karakteristik, yaitu : (1) mereka saling membuatkan identitas unik, yang sanggup saja didasarkan atas ciri budaya ataupun fisik, dan (2) minoritas selalu mengalami subordinasi oleh kelompok lain yang lebih lebih banyak didominasi (mayoritas).
Hubungan minoritas dan mayoritas di Indonesia tidak selalu berjalan harmonis. Persoalan kemudian terletak pada interaksi-simbolik yang terbangun antara kelompok minoritas dan mayoritas serta prejudis-prejudis (termasuk stereotip-stereotip) yang muncul dan membayangi kekerabatan yang muncul antara keduanya. Pola-pola kekerabatan minoritas-mayoritas berbeda-beda di tiap provinsi Indonesia bergantung pada kuantitas masing-masing etnis, jenis etnis yang berhubungan, serta kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupi. Hal ini menjelaskan mengapa kekerabatan antara minoritas-mayoritas di provinsi Indonesia yang satu berbeda dengan kekerabatan di provinsi lainnya.
Nasionalisme. Nasionalisme yaitu konsep yang mengkombinasikan perasaan identifikasi dengan orang, ideologi (yang menjelaskan kesamaan sejarah dan nasib), serta gerakan sosial (yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan ideologi). Nasionalisme kerap bertumpang-tindih dengan konsep ras dan etnis. Hitler, misalnya, membangun nasionalisme Jerman berdasarkan ras, yaitu ras Arya. Etnis Tamil di Srilangka berupaya mendirikan kebangsaan sendiri berdasarkan etnis Tamil lantaran merasa diopresi oleh Sinhala, etnis mayoritasnya. Aceh, di Indonesia, oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka-nya (dahulu) berupaya memerdekakan diri dari Republik Indonesia berdasarkan etnis Aceh akhir ketimpangan ekonomi, Belgia membangun negaranya berdasarkan dua bangsa: Belanda dan Perancis, atau etnis Catalan dan Basque di Spanyol terus terlibat dalam kekerabatan yang rumit dalam menyepakati nasionalisme Spanyol.
Berbeda dengan konsep ras dan etnis, konsep nasionalisme mempunyai prasyarat ideologi, gerakan sosial, dan gerakan politik. Nasionalisme, dengan demikian sanggup saja mendasarkan diri pada konsep ras ataupun etnis. Indonesia yaitu contoh dari nasionalisme ini. Etnis-etnis, ras-ras, yang mengalami penjajahan Belanda di sekujur kepulauan Hindia, secara politik dinyatakan mempunyai nasib yang sama dan lantaran itu, secara ideologis merupakan satu bangsa menyerupai suara Soempah Pemoeda 1928 yaitu: (1) Berbangsa Satoe, Bangsa Indonesia; (2) Bertanah Air Satoe, Tanah Air Indonesia; dan (3) Berbahasa Satoe, Bahasa Indonesia. Ketiga sumpah ini yaitu sumpah nasionalisme, wujud dari gerakan politik dalam menentang kekuasaan kerajaan Belanda atas wilayah-wilayah disekujur kepulauan Hindia. Sumpah politik tersebut sekaligus mengatasi perbedaan garis etnis, agama, dan ras yang tersebar di antara elemen-elemen bangsa Indonesia.
Moyang Masyarakat Indonesia
Penyebutan Indonesia pada goresan pena ini mengacu pada wilayah yang kini termasuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah ini, sebelumnya masuk ke dalam kolonial Belanda. Gugusan kepulauan berikut penduduk yang menempatinya merupakan genius lokal yang berhasil mengakulturisasi dan mensinkretisasi aneka jenis budaya luar yang tiba menghampirinya.
Tidak kurang budaya-budaya Hindu-Buddha, Islam, Timur Jauh, dan tentunya Barat (Portugis, Belanda, Inggris) tiba dan meninggalkan bekas, untuk kemudian perpaduannya dengan budaya lokal diakui sebagai pecahan dari budaya Indonesia. Kendati masing-masing budaya luar tersebut berbeda dalam tingkat pengaruhnya, masyarakat kepulauan Indonesia berhasil meracik dan dianggap sebagai pecahan budaya Indonesia sendiri. Hal ini akan kita perlihatkan dalam pembahasan-pembahasan kemudian.
Terlebih dahulu akan dilakukan pemfokusan pada dinamika saling efek antara budaya lokal dengan budaya yang tiba dari luar kepulauan nusantara. Sebab itu, menjadi suatu keharusan untuk menjelaskan menyerupai apa bentuk-bentuk budaya lokal yang dianut penduduk Indonesia. Ini penting dilakukan demi keperluan analisis seputar efek yang diberikan budaya luar atas Indonesia. Namun, tentu dibutuhkan literatur yang besar bahkan penelitian tersendiri guna mendeskripsikan menyerupai apa bentuk budaya yang lokal Indonesia. Kajian ini agak sulit mengingat penduduk Indonesia sendiri berkembang melalui sejumlah migrasi penduduk dari wilayah selatan Cina. Termasuk ke dalamnya tidak diketahui batasan niscaya mengenai kapan penduduk lokal Indonesia memulai kontak dengan kebudayaan luar.
Kesulitan mengenai batasan antara mana yang disebut penduduk orisinil Indonesia dengan yang bukan juga dialami Bernard H. M. Vlekke. Sejarawan Belanda itu menyebutkan alasan bahwa akhir kepulauan Indonesia terletak di jalur bahari utama antara Asia pecahan timur dan selatan maka dengan sendirinya sanggup diperkirakan akan terdapat populasi yang terdiri atas bermacam-macam ras. Jika kajian Vlekke dijadikan sebagai titik pijak, maka sanggup diasumsikan akan terjadi percampuran ras di antara moyang Indonesia.
Moyang atau nenek moyang yaitu pengertian awam yang merujuk pada konsep genealogi insan yang terlebih dahulu dilanjutkan dengan yang muncul di masa kemudian. Mengenai moyang insan Indonesia ini, Koentjaraningrat menyebut sekurangnya 1 juta-an tahun lampau, sudah ada Pithecanthropus Erectus yang hidup di lembah sungai Bengawan Solo. Makhluk sejenis dengan Pithecanthropus Erectus ini juga ditemukan di gua-gua akrab Peking (Cina) dan wilayah Asia Timur.
Teori dari Sarasin bersaudara (Paul dan Fritz Sarasin) menyebutkan bahwa populasi orisinil Indonesia yaitu ras berkulit gelap serta bertubuh kecil dan keturunan dari ras orisinil ini disebut orang Vedda. Koentjaraningrat menyebut orang Vedda mempunyai persamaan dengan penduduk orisinil Australia (Aborigin) sehingga menyebutnya sebagai Austro-Melanosoid. Penamaan Vedda diambil dari salah satu suku yang populer di Srilanka. Termasuk ke dalam ras ini yaitu suku Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, Senoi di Semenanjung Malaya, Kubu, Lubu, dan Mamak di Sumatera, serta Toala di Sulawesi.
Ras ini awalnya mendiami wilayah Asia pecahan tenggara yang ketika itu masih bersatu sebagai satu daratan di dalam periode Glasial (zaman es). Di simpulan periode Glasial, es mencair dan menjadikan permukaan bahari naik. Hasil lelehan es ini membuat Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Kedua bahari ini memisahkan pegunungan vulkanik Indonesia dari daratan utama Asia. Penduduk orisinil (yang berkulit gelap tadi) tinggal di wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir dihuni oleh kaum pendatang. Kaum pendatang ini akan dibahas lebih lanjut oleh paragraf-paragraf di bawah.
Orang Vedda atau Austro-Melanosoid ini kemudian menyebar ke Timur dan mendiami Papua, Sulawesi Selatan, Kai, Flores Barat, Timor Barat, Seram – sebelum es periode Glasial mencair – dan terus ke timur dan mendiami Kepulauan Melanesia. Sebagian dari mereka menyebar ke Barat dan menghuni pulau Sumatera. Di Sumatera ini mereka mengembangkan perkakas berupa kapak genggam. Mereka juga suka memakan kerang yang dibuktikan lewat tumpukan fosil kulit kerang di akrab Medan Sumatera Utara, akrab Langsa (Aceh), Perak, Kedah, dan Pahang di wilayah Semenanjung Malaysia.
Selain di Sumatera, bukti penggunaan kapak genggam juga ditemukan di gua-gua Jawa semisal Gua Sodong (Besuki), Gua Petruruh (Tulungagung), Gua Sampung (Ponorogo) bahkan hingga Vietnam Utara. Sebab itu, Koentjaraningrat mengajukan pendapat bahwa telah terjadi perpindahan penduduk Austro-Melanosoid dari timur ke barat, dari Jawa menuju Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, hingga Vietnam Utara. Melalui perpindahan ini dimungkinkan terjadinya percampuran antara ras Austro-Melanosoid dengan Mongoloid.
---> pict
Kaum pendatang kemudian tiba dalam dua gelombang. Gelombang pertama disebut Proto-Melayu dan gelombang kedua disebut Deutero-Melayu.
Proto-Melayu dipercaya sebagai moyang dari penduduk yang menghuni tempat kepulauan dari Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka ini tiba dari Cina pecahan selatan, tepatnya wilayah Yunnan. Mereka bermigrasi dalam jumlah besar, pertama menuju Indochina, Siam, dan terakhir ke Kepulauan Indonesia. Taksiran waktunya yaitu 11.000 - 2000 sM.
Perkakas mereka berasal dari periode neolitik. Selain dari Yunnan, Koentjaraningrat juga menyebut kemungkinan Proto-Melayu ini tiba dari Kepulauan Ryukyu Jepang, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi Selatan yang dibuktikan dengan adanya Suku Toala Proto-Melayu. Mereka ini sudah mengembangkan budaya berburu dengan busur dan panah.
Proto-Melayu yang juga disebut Koentjaraningrat dengan Paleo-Mongoloid ini kemudian didesak oleh gelombang migrasi kedua (Deutero-Melayu) sekitar 300 s/d 200 sM. Manusia yang migrasi ini berasal dari Indochina pecahan utara dan sekitarnya. Perkakas mereka ini sudah terbuat dari logam, termasuk senjata yang terbuat dari besi. Mereka juga sudah melaksanakan kegiatan bercocok tanam di ladang dan memakai bahtera bercadik.
Padi dibawa oleh Deutero-Melayu dari wilayah Assam Utara atau Birma Utara, melalui lembah sungai Yang-tze (Cina Selatan), terus ke selatan dan jadinya hingga di Jawa, tempat di mana padi sanggup tumbuh lebih subur.
Pada perkembangannya, Proto-Melayu dan Deutero-Melayu membaur secara bebas sehingga sulit dibedakan. Sebagai taksiran, sanggup disebut Suku Gayo dan Alas di Sumatera pecahan utara serta Toraja di Sulawesi sebagai representasi Proto-Melayu. Setelah itu, hampir seluruh suku lain (kecuali Papua) dimasukkan ke dalam kategori Deutero-Melayu. Kendati demikian, gotong royong sanggup dikatakan bahwa moyang dari penduduk di wilayah kepulauan Indonesia yaitu serumpun yaitu turunan dari penduduk orisinil (orang Veddar) dan dua gelombang migrasi dari utara.
Paparan di atas membagi genealogi ras awal Indonesia lewat kronologi waktu kedatangan. Hal menyerupai ini serupa dengan upaya periodisasi kurun kehidupan masyarakat Indonesia. Kajian semacam ini melibatkan kajian kesejarahan yang dianggap perlu akhir penduduk orisinil Indonesia tidak meninggalkan suatu bukti tertulis (misalnya yang berupa prasasti yang memuat goresan pena tarikh), maka kajian atas budayanya dilakukan lewat periodisasi era atau zaman.
Serumpunnya kategori ras-ras yang mendiami kepulauan nusantara juga sanggup dibuktikan melalui kajian linguistik. Hampir 170 bahasa yang digunakan di penjuru kepulauan nusantara termasuk ke dalam kelompok Austronesia dengan sub linguistik Melayu-Polinesia. Sub Melayu-Polinesia ini kemudian terpecah lagi menjadi dua: Kelompok pertama terdiri atas bahasa yang berkembang di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; kelompok kedua terdiri atas bahasa yang berkembang di Batak, Melayu standar, Jawa dan Bali. Bahasa kelompok kedua ini tiba usang sesudah yang pertama. Selain kedua kelompok tersebut, perlu dilakukan kajian atas susunan bahasa lain yaitu Papua dan Halmahera Utara.
Lalu bagaimana Melayu sanggup menjadi bahasa persatuan Indonesia? Bahasa Melayu awalnya hanya digunakan orang-orang yang tinggal di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Pada perkembangannya, wilayah-wilayah tersebut ulet melaksanakan kegiatan dagang yang meluas hingga ke pecahan timur kepulauan Indonesia. Banyaknya acara perdagangan di pelabuhan dagang di Sumatera maupun Semenanjung Malaya yang memakai Melayu sebagai bahasa pengantar membuat bahasa ini menjadi Lingua Franca di perairan Indonesia secara umum.
Jaman Batu dan Logam. Yang dimaksud dengan kebudayaan penduduk orisinil Indonesia yaitu orisinalitas budaya insan Indonesia sebelum bercampur dengan budaya-budaya lain yang masuk ke dalam kategori menyerupai Timur Jauh (Cina), Hindu-Buddha, Islam, ataupun Barat. Cukup sulit guna memilih hal ini oleh lantaran tiadanya bentuk goresan pena sebagai bukti adanya kebudayaan orisinil tersebut.
Sebab itu, sejumlah jago memakai peninggalan-peninggalan material guna menaksir jenis kebudayaan yang berkembang di era prasejarah ini. R. Soekmono sebagai misal, membagi periodisasi perkembangan budaya Indonesia menjadi empat, yaitu:
Kajian budaya orisinil Indonesia, lantaran itu masuk ke dalam Jaman Prasejarah dengan perkiraan pada jaman ini bentuk-bentuk orisinal budaya Indonesia tumbuh. R. Soekmono kemudian membagi kajian peninggalan prasejarah Indonesia ini ke dalam beberapa tarikh, yaitu Jaman Batu dan Jaman Logam. Jaman Batu terbagi atas Paleolithikum, Mesolithikum, dan Neolithikum. Jaman Logam terbagi atas Jaman Tembaga, Jaman Perunggu, dan Jaman Besi.
Paleolithikum. Bukti kebudayaan ini ditemukan di Pacitan dan Ngandong sehingga dikenal sebagai sebagai Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong. Penemunya von Koenigswald tahun 1935. Kebudayaan Pacitan yaitu kebudayaan yang dikembangkan Pithecanthropus Erectus dan berwujud kapak-kapak batu. Kapak-kapak tersebut biasanya digunakan untuk menyiangi (menguliti) binatang sehingga diprediksi kebudayaan mereka yaitu pemburu-peramu.
Kebudayaan Ngandong (dekat Ngawi, Madiun) lebih kompleks, lantaran selain kapak kerikil juga ditemukan peralatan dari tulang binatang dan tanduk rusa. Selain itu, budaya ini juga ditemukan di Cabenge (Sulawesi Selatan). Tulang dan tanduk rusa, selain digunakan untuk menguliti hewan, juga digunakan untuk mengorek umbi-umbian. Sebab itu diasumsikan budaya cocok tanam (hortikultural) mulai digagas di Kebudayaan Ngandong ini.
---> pict
Mesolithikum. Kebudayaan Mesolithikum ini terutama ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Budaya yang berkembang yaitu berburu dan menangkap ikan, selain juga telah bercocok tanam. Mereka hidup di gua-gua dan pinggir pantai. Di periode inilah, sampah-sampah kulit kerang ditemukan. Selain itu, mereka sudah menemukan cara bagaimana menggiling dan menghaluskan sesuatu. Kapak-kapak kerikil yang digunakan lebih halus ketimbang dari masa Paleolithikum.
Selain berbahan batu, peralatan dari tulang binatang juga diketemukan layaknya di masa Paleolithikum. Suku Toala di Sulawesi yaitu contoh dari masyarakat Mesolithikum ini sesuai citra Vlekke, yaitu insan Proto-Melayu. Pada masa ini, juga berlaku teori Fritz and Paul Sarasin wacana orang Vedda dari Srilanka.
Moyang di masa Mesolithikum ini juga telah mengenal panah yang mulai rumit dengan matanya yang bergerigi serta pangkalnya yang bertangkai. Selain panah, moyang Indonesia ini juga mulai mengembangkan daya seni. Ini dibuktikan dengan cap-cap tangan di dinding gua Leang-leang (Sulawesi Selatan), juga gambar babi hutan.
Kapak-kapak yang digunakan pada masa Neolithikum sudah berbentuk persegi serta mempunyai ketajaman di sisi-sisinya. Kapak jenis ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali. Sementara di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi masih relatif jarang. Kapak berjenis sama juga ditemukan di Malaysia Barat dan India selatan kendati di sana bentuknya masih kasar. Sebab itu sanggup dikatakan bahwa budaya yang berkembang di Indonesia relatif lebih rumit ketimbang di dua wilayah tersebut.
Selain kapak, juga ditemukan aneka pemanis berupa gelang-gelang dari batu. Gelang kerikil ini menghendaki teknik pemahatan dan pengamplasan yang rumit dan lantaran itu dibutuhkan intelektual yang lebih tinggi dalam pengerjaannya. Pakaian juga sudah berkembang kendati gres berbahan kulit kayu dan mengambarkan bahwa moyang Indonesia di era Neolithikum sudahlah berpakaian. Selain pemanis dan pakaian, tembikar pun telah dikembangkan di era Neolithikum ini. Namun, metode pembuatannya berbeda dengan masa kini yang memakai roda landasan. Di masa neolithikum, sesudah bentuk tembikar tercipta, penghalusan kemudian dilakukan memakai kerikil asah.
Jaman Logam. Dengan dimulainya Jaman Logam, bukan berarti Jaman Batu berakhir. Penggunaan kerikil tetap dilakukan, sementara logam pun telah mulai digunakan orang. Dua jaman berjalan beriringan, tetapi jaman kerikil mulai senja sementara jaman logam mulai terbit. Penggunaan logam menghendaki teknologi yang jauh lebih rumit lagi. Tidak menyerupai kerikil yang sanggup eksklusif dipecah dan diasah, logam haruslah dikayak serta dilebur terlebih dulu sebelum dibentuk. Setelah dilebur, cairan logam kemudian dicetak dengan cetakan tanah sesuai bentuk-bentuk yang dikehendaki.
Logam Perunggu digunakan sebagai material pembuat kapak corong. Kapak corong ini dibuat dari logam perunggu dengan cetakan tanah. Ia dikembangkan di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Pulau Selayar, dan Papua (dekat Danau Sentani). Kapak Corong ini mempunyai mata dan lubang tempat terpasangnya kayu pemegang.
Selain kapak corong, masa logam ini ditandai dengan penggunaan Nekara. Nekara fungsinya hampir menyerupai dengan dandang yaitu untuk menanak nasi atau memasak selain nasi. Nekara ini ditemukan di Pulau Selayar, Sumatera, Jawa Bali, Sumbawa (dekat Pulau Sangean), Roti, Leti, dan Kepulauan Kei.
Megalithikum. Megalithikum yaitu kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan besar. Jauh sebelum datangnya efek Hindu-Buddha, masyarakat orisinil Indonesia telah mengembangkan bangunan-bangunan besar menyerupai keranda kerikil tempat mayat, kubur batu, punden berundak (di Lebak Sibedug, Banten Selatan), serta ukir-ukiran batu. Sebab itu, moyang Indonesia telah punya seni dan budaya sendiri sebelum datangnya budaya luar. Budaya luar yang masuk sekadar memberi efek terhadap budaya yang telah ada. Arca atau patung pra era Hindu-Buddha pun sudah mulai dibuat moyang Indonesia, semisal yang ditemukan di Pasemah (Sumatera Selatan).
Genealogi Konsep Masyarakat Indonesia
Konsep Indonesia merupakan adonan dari aneka gagasan dalam bidang politik, sosiologi, ekonomi, budaya, sejarah, bahkan post-colonialism. Sebelum Indonesia yang dikenal kini, konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa awalnya tidak ada. Jika kita lihat peta, maka Indonesia terdiri atas rangkaian pulau yang tersebar dari Sabang yang paling Barat hingga daerah Merauke di paling Timur. Dari Sangir di paling Utara hingga Timor di paling Selatan. Hampir di setiap wilayah di kisaran pulau tersebut dihuni masyarakat berbeda, dengan budaya yang berbeda pula. Lalu, apa yang sanggup dikatakan sebagai budaya Indonesia?
Indonesia awalnya yaitu sebuah gagasan. Gagasan kesatuan yang abstrak, yang mencakup wilayah jajahan Belanda. Gagasan yang kiranya masih gres dan terus mengalami perubahan dan pembiasaan hingga ketika ini. Gagasan yang kerap menghadapi sejumlah penolakan, separatisme, dan dekonstruksi ideologi hingga ketika ini. Dari gagasan ini maka kajian sistem sosial dan budaya Indonesia berawal.
Menurut R.E. Elson, kata Indonesia pertama kali digagas oleh George Samuel Windsor Earl, pengamat sosial dari Inggris tahun 1850. Kata yang ia gagas yaitu Indu-nesians. Saat itu Earl mencari istilah etnografis guna mengkategorisasi cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia (kepulauan kini Indonesia yang dibawah jajahan Belanda). Atau, istilah untuk menggambarkan ras-ras kulit coklat di Kepulauan Hindia. Namun, sesudah membuat istilah Indu-Nesians, Earl eksklusif batal menggunakannya akhir terlalu umum kemudian menggantinya dengan Malayunesians.
Rekan Earl berjulukan James Logan, mengabaikan sikap Earl dan memutuskan bahwa Indu-Nesian (kemudian disebut Indonesian) tetap lebih sempurna ketimbang Malayunesians. Indonesian, bagi Logan, lebih menjelaskan istilah geografis bukan etnografis. Logan menyebut bahwa kata Indonesian yaitu pemendekan dari istilah geografis Indian Archipelagian. Sebab itu, Logan merupakan orang pertama yang memakai istilah yang mendekati kata Indonesia.
Tahun 1877, E.T. Hamy, antropolog Perancis, memakai kata Indonesia untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di kepulauan Indonesia. Tahun 1880, antropolog Britania, A.H. Keane, mengikuti penggunaan Hamy. Di tahun yang sama, istilah Indonesia dalam pengertian geografis juga digunakan oleh jago bahasa Britania, N.B. Dennys. Lalu di tahun 1882, Sir William Edward Maxwell, direktur kolonial dan jago bahasa Melayu dari Britania mengikuti praktek Dennys.
Penggunaan istilah Indonesia kemudian meluas. Adolf Bastian, etnograf Jerman, memakai kata Indonesia dalam 5 jilid karyanya berjudul Indonesien order die Inseln des Malayischen Archipel. Karya tersebut terbit tahun 1884-1894. Bastian ini mempunyai reputasi ilmiah yang tinggi. Sebab itu, kata Indonesia kemudian lebih dihormati serta digunakan secara lebih luas.
Pada September 1885, G.A. Wilken, seorang etnograf dan mantan pejabat Hindia Belanda (sekaligus profesor di Universitas Leiden Belanda) juga memakai istilah Indonesia. Wilken ini memakai istilah Indonesia secara geografis, sama menyerupai James Logan sebelumnya.
Para perkembangan kemudian, istilah Indonesia tidak lagi merujuk pada aspek geografis. Istilah itu juga kerap digunakan dalam konteks etnis dan budaya. Sejak karya Adolf Bastian, istilah Indonesia juga berfungsi menjabarkan suatu tempat yang dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang mirip. Ciri tersebut mencakup bahasa, fisik, dan adat. Indonesia yaitu kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut. Sementara kata Indonesian yaitu orang-orang dengan ciri-ciri umum menyerupai itu, yang juga kadang digunakan untuk melukiskan penghuni pulau Madagaskar hingga Formosa. Indonesia yaitu kata guna melukiskan tempat-tempat yang mereka huni.
Menurut Elson, aspek pertama gagasan Indonesia sebagai wilayah politik diutarakan pejabat Belanda. Pada tahun 1909, J.B. Van Heutsz, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda telah meluaskan otoritasnya hingga seluruh penjuru terjauh Nusantara. Monumen peringatan insiden tersebut didirikan tahun 1932 dan kini terletak di kompleks Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta.
Aspek kedua munculnya Indonesia sebagai gagasan politik yaitu integrasi horisontal seluruh wilayah Indonesia. Integrasi ini tercipta akhir perkembangan-perkembangan sarana berikut:
Salah satu faktor berpengaruh tersemaikannya integrasi horisontal ini yaitu sumbangan Malaka sebagai bandar dagang penting bagi tempat nusantara. Ricklefs mengutip Tome Pires, yang menginventarisasi interaksi simbiosis-mutualistis wilayah-wilayah nusantara dalam duduk masalah dagang ini. Tabel di bawah ini mendeskripsikan proses interaksi perdagangan antar wilayah nusantara:
--->pict
Seluruh perkembangan di atas semakin merumitkan kegiatan ekonomi, terutama di masa Belanda di seantero kepulauan, merangsang pergerakan orang atau perantauan skala besar yang melintasi wilayah Indonesia. Ini contohnya akhir meluasnya perkebunan di Sumatra Timur serta transmigrasi yang disponsori pemerintah Belanda maupun kemauan sendiri. Hasil dari proses ini yaitu makin banyak kontak antara banyak sekali ras dan etnis di Indonesia. Tercipta kondisi saling paham menggantikan persaingan yang marak sebelumnya. Pemahaman ini diperkuat dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar, yang penggunaannya meluas hingga ke seluruh pecahan kepulauan nusantara.
Kini Indonesia telah menunjukkan bentuknya sebagai kesatuan yang politis. Ekses negatif kesatuan yang bersifat politis ini yaitu terjadinya pembongkaran, pengabaian, serta pembentukan ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang sudah ada. Ekonomi kolonial yang berpusat di Jawa dijadikan model, dengan fokus pada tunjangan kemudahan kepada negara-negara Barat yang mengimpor produk dari tempat tropis.
Pada masa sebelum Jawa menjadi sentral, wilayah-wilayah lain di kepulauan nusantara lebih condong memalsukan Singapura dan Penang, lantaran kedua wilayah tersebut telah terintegrasi ke dalam jalur perdagangan antarnegara. Namun, kini mereka harus memindahkan jalur perdagangan ke pulau Jawa dan mengikuti pola ekonomi pemerintah kolonial yang berkedudukan di Jawa, khususnya Batavia. Ekses lain dari Jawa sebagai model yaitu menjadi terisolasinya tempat Indonesia Timur dari dunia luar sehingga keunggulan-keunggulan kompetitif mereka di dalam perdagangan antar bangsa kehilangan signifikansinya. Di sisi lain, posisi negara Hindia-Belanda menjadi kuat, terpusat, birokratis, diatur dari dan dibuat berdasarkan pengalaman model pemerintahan kolonial di Jawa.
Aspek ketiga dari munculnya gagasan politik Indonesia yaitu gerakan yang dilakukan para perintis pergerakan nasional Indonesia untuk membentuk sebuah nation baru. Mereka ini terdiri atas penggagas surat kabar, mahasiswa, pemeluk agama (Islam), bahkan birokrat pribumi yang bekerja pada Belanda.
Setelah politik etis Belanda diberlakukan, banyak orang pribumi Hindia-Belanda yang mulai mencar ilmu menguasai bahasa Belanda. Penguasaan bahasa ini penting lantaran seluruh bahasa ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan penyebaran informasi yang beredar di masyarakat memakai bahasa tersebut. Selain itu, mulai terbuka kesempatan menempuh jenjang pendidikan secara lebih umum bagi kalangan pribumi kendati distribusi kesempatannya tidak merata.
Beberapa media cetak menyerupai Retno Dhoemilah, Bintang Hindia, dan Pewarta Panji banyak membuka wawasan pengetahuan kalangan elit Indonesia untuk menyadari kebangsaan mereka. Dalam Retno Dhoemilah ini juga ikut bergabung Dr. Wahidin Sudirohusodo yang menjabat selaku pemimpin redaksi. Melalui media tersebut Wahidin menyebarkan gagasan kebangsaan Indonesia.
Pergerakan kebangsaan ini juga dilakukan oleh kalangan mahasiswa asal Hindia-Belanda yang menimba ilmu pengetahuan di negeri Belanda. Justru di negara penjajah ini mereka membiakkan wawasan kebangsaan baru. Sebagian mahasiswa tersebut merupakan wakil dari kelas aristokrat Jawa modernis yang berniat melaksanakan perubahan sosial. Mereka disebut sebagai priyayi baru. Juga, terdapat pula priyayi yang berasal dari Sumatera Barat, orang-orang yang menganut budaya rantau yang memungkinkan keterbukaan mereka atas cara bersikap, berpikir, dan bertindak yang baru. Mahasiswa asal Hindia Belanda ini kemudian menggabungkan diri ke dalam Indische Vereeniging (IV, Perhimpunan Hindia). Tujuan IV yaitu memperjuangkan kepentingan orang Hindia di Belanda dengan tetap menjaga kekerabatan baik dengan pemerintah Hindia Timur Belanda.
Benih lain pergerakan kebangsaan muncul akhir acara rombongan haji orang Hindia-Belanda di Mekah. Snouck Hurgronje (islamolog Belanda) secara khusus mengamati proses interaksi jamaah haji ini. Sebagian dari mereka menetap di Mekkah dan mendirikan Kampung Jawi, suatu koloni orang Hindia-Belanda di kota Mekah. Di Mekah, jamah haji dari kepulauan Indonesia mempelajari aliran-aliran Islam reformis dan modernis yang tengah mengalami revivalisasi ketika itu. Mereka membayangkan bagaimana jikalau mereka bersatu melawan kemapanan negara kolonial Belanda sebagai representasi Barat. Mulai muncul keinginan mendirikan negara Islam di Indonesia.
Gerakan kebangsaan lain yang bersifat politis dilakukan oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya mengkampanyekan penciptaan sebuah bangsa yang satu jiwa yang hidup dan romantis. Dekker kemudian mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) bersama Soewardi dan Tjipto. Dekker ini yaitu indo, peranakan adonan Jawa-Belanda, sementara dua lainnya priyayi Jawa yang progresif.
Gagasan dasar Indische Partij yaitu mendirikan suatu negara yang bukan didasarkan solidaritas etnis, ras, keterikatan pada agama tertentu, ataupun kedekatan geografis. Tujuan yang hendak dicapai IP yaitu ikatan kebangsaan yang sama sekali baru, yaitu berdasarkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas yang muncul dari pengalaman tersebut. Pengalaman yang dimaksud yaitu rasa sama-sama ditindas oleh kekuatan kolonial. Bagi Dekker, yang membentuk negara bukanlah kesatuan ras, kepentingan ataupun bahasa, melainkan kesatuan aturan yang mengatur wacana negara. Akibat aktivitasnya, tiga serangkai kemudian dibuang ke negeri Belanda dan IP sebagai organisasi dibubarkan pemerintah kolonial.
Secara umum, konsep Indonesia yang tengah ini berkembang tidaklah monolitik. Hindia-Belanda ketika itu juga disemaraki semangat berdasar primordialisme yang membentuk masyarakat majemuk. Sentimen-sentimen agama, suku atau kedaerahan juga sangat berpengaruh jauh sebelum Indonesia merdeka. Contohnya Sarekat Islam, satu organisasi massa besar dan lintas pulau tetapi mendasarkan diri pada agama ini tumbuh 1912. Sarekat Islam bukan satu-satunya organisasi yang didasarkan pada semangat primordialisme.
Reaksi yang sama juga terjadi dengan didirikannya Pasundan tahun 1914, yang berupaya memperkuat identitas suku Sunda di Jawa Barat. Juga ada Kaum Betawi, yang melibatkan penduduk orisinil Batavia. Bulan Mei 1920 berdiri pula Sarekat Ambon, disusul Jong Java dan Jong Sumatranen Bond (JSB) berdiri 1917. Jong Java terinsirasi konsep Jawa Raya, sementara JSB yaitu kumpulan orang Sumatra dari aneka wilayah dan tinggal di Jawa. JSB menghendaki penyisihan sentimen kesukuan berdasarkan asal-usul wilayah Sumatera dan menyebut diri hanya selaku orang Sumatera saja.
Sarekat Ambon (SA) didirikan di Semarang. Kebanyakan anggotanya orang Ambon yang jadi tentara kolonial Belanda yang bermarkas di Semarang. Para pendirinya berupaya merangkul banyak orang Nasrani Ambon yang bekerja di kalangan kerah putih di Jawa. Salah satu tokohnya, A.J. Patty, sangat terpengaruh gagasan Douwes Dekker. Baginya, tujuan SA yaitu mengangkat orang Ambon secara material dan spiritual, termasuk minoritas Muslim dalam masyarakat Ambon, dan dengan demikian SA ini mulai mengatasi sentimen primordial. Terdapat pula seorang pemimpin Batak, Manullang, pada 1919 yang membandingkan nasib mereka dengan kemakmuran dan kekuasaan kaum kapitalis kulit putih. Di kalangan jurnalis, Abdul Muis – jurnalis Sumatera Barat – menyatakan bahwa kemerdekaan Hindia-lah, bukan kemerdekaan koloni Hindia Belanda, yang harus menjadi tujuan tindakan Pemerintah.
Maraknya sentimen kesukuan di kalangan penduduk Hindia Belanda dimanfaatkan Belanda untuk memecah belah (divide et impera). Lewat distributor utamanya yaitu H. Colijn, mereka menghembuskan provokasi yang berupaya menguatkan sentimen perbedaan suku, bahaya dominasi Jawa, serta mengibarkan rasa takut akan hilangnya identitas etnis masing-masing jikalau Indonesia jadi berdiri. Tindakan ini dibalas oleh Perhimpunan Hindia dengan pernyataan orang Jawa tetap orang Jawa, orang Sumatera tetap orang Sumatera, orang bukan bunglon, tapi semuanya bergabung menjadi satu bangsa, satu negara.
Pembentukan nation Indonesia awal ini mempunyai sejumlah kontradiksi. Kontradiksi tersebut muncul akhir terdapatnya 2 kaidah – berdasarkan Elson – yang berbeda seputar perlunya suku-suku Hindia-Belanda bersatu.
Kaidah pertama mengutamakan kesatuan budaya pribumi Indonesia, dengan tokohnya Soeryo Poetro di Belanda. Kaidah ini menganggap orang-orang Hindia Belanda bukanlah kumpulan ras yang bermacam-macam melainkan satu bangsa yang berasal dari leluhur yang sama. Alasan lainnya, sejarah menunjukkan mereka telah terlibat kekerabatan dagang yang aktif antar sesamanya. Sehingga, kekuatan Indonesia akan tiba dari kesadaran bangsa Indonesia bahwa mereka semua bersaudara. Pada akhirnya, mereka semua akan melihat kekuatan besar macam apa yang tersembunyi di dalam bangsa Indonesia yang terbentuk berdasarkan kesatuan budaya ini.
Kaidah kedua mengutamakan kesatuan berdasar nasib terjajah. Ini diajukan oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo dengan visinya sendiri berupa nasionalisme antarpulau Indonesia yang terbangun atas ikatan yang tidak mempedulikan seberapa besar perbedaan budaya dan sejarah setiap suku. Hal yang paling penting, berdasarkan Tjipto, yaitu mengupayakan terbentuknya suatu ikatan besar yang mempersatukan mereka semua. Ikatan tersebut yaitu kesamaan penjajahan ekonomi dan politik oleh suatu kekuatan asing, yang dialami oleh semua suku, agama, ras, dan golongan yang ada di Hindia Belanda.
Rasialisme juga mulai menggejala di pergerakan awal Indonesia. Pada tahun 1919 misalnya, Hasan bin Sumayt (seorang Arab Yaman, Hadramaut) ditolak masuk Sarekat Islam lantaran dianggap orang asing. Kasus tersebut bukanlah satu-satunya. Kasus-kasus ini muncul akhir acara persamaan hak Insulinde yang dipromosikan pemerintah Kolonial. Muncul kekhawatiran di kalangan pribumi bahwa tidak usang lagi, tanah orang Jawa akan beralih dari kolonial Belanda ke tangan kolonial berbangsa Arab, Cina, dan ataupun Eropa selain Belanda.
Hingga tahun 1920-an, gagasan Indonesia sudah sangat berpengaruh berhembus. Tahun 1922, mahasiswa Indonesia dan Malaya di Universitas Al Azhar Kairo mendirikan Jama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azharian al-Djawiah (Jamaah Kesejahteraan Mahasiswa Jawa Al-Azhar). Di Belanda, pada 1922 juga, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan memakai nama Perhimpunan Indonesia secara tetap mulai 1925. Kata Indonesia mulai digunakan, dan kemerdekaan Indonesia yaitu tujuan utama dari Perhimpunan Indonesia ini.
Tahun 1922 Kongres Seluruh Hindia di Hindia-Belanda diadakan. Tujuannya mengupayakan persatuan berdasarkan model Kongres India dan memperjuangkan otonomi Hindia di bawah persemakmuran Belanda dengan kemitraan setara. G.S.S.J. Ratulangie mulai memperkenalkan nama Indonesia. Tahun 1923, H.O.S. Tjokroaminoto mengadakan Kongres Nasional Hindia, juga memalsukan model India. Tujuan kongres yaitu menyatukan organisasi-organisasi lokal dan regional untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan nasional. Di kongres tersebut, Tjokroaminoto menyatakan untuk jangan melupakan gagasan kesatuan bangsa. Jangan pula membeda-bedakan antar ras dan suku, orang Sumatra, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi dan Borneo. Semuanya orang Hindia. Sayangnya, Sarekat Islam yang dipimpinnya lambat-laut semakin larut dalam gerakan Pan-Islamis, untuk kemudian hilang dari proses-proses pembentukan nasion Indonesia kemudian.
Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, memulai tugas pentingya selaku motor konsep Indonesia merdeka. Jurnal bulanan organisasi ini, Indonesia Merdeka, mulai terbit semenjak 1924. Pelanggannya yaitu Tjokroaminoto, Abdul Muis, Tjipto Mangoenkoesoemo, Abdul Rivai, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Sarekat Islam, Indonesische Studieclub, bupati dan pejabat pemerintah senior pribumi, van Vollenhoven, Sneevliet, G.J. Hazeu, Snouck Hurgronje, redaksi koran-koran Belanda, organisasi-organisasi internasional, pangeran Solo dan pendukung nasionalisme Jawa, Mangkunegoro VII, dan redaktur Seruan Al Azhar (jurnal organisasi Jama’ah yang didirikan di Kairo).
Tahun 1927 Sukarno mendirikan Partai Indonesia. Akibat acara politiknya, Sukarno dipenjarakan oleh pemerintah kolonial. Dalam eksepsinya, Indonesia Menggugat, Sukarno menyatakan harus diakhirinya penghisapan bangsa oleh bangsa. Penegasan ke arah Indonesia merdeka pun semakin kentara. Dengan kata lain, penegasan Sukarno dan lain-lain pemimpin pergerakan kemerdekaan mewakili kenyataan bahwa secara politik konsep Indonesia sebagai sebuah nation relatif sudah terbentuk secara jelas. Tahun 1928 dalam Kongres Nasional Pemuda Indonesia diucapkan Soempah Pemoeda yang diucapkan oleh gabungan jong-jong primordial. Dalam sumpah ini representasi masing-masing daerah hadir untuk berikrar hendak mengikatkan diri ke dalam satu nasion baru: Indonesia.(sb)
pembentukan masyarakat indonesia siapa insan indonesia moyang orang indonesia jenis-jenis masyarakat perubahan
Menurut Kimmel and Aronson, maksud dari kumpulan individu dan forum yang yang terorganisir adalah, masyarakat bukan merupakan kumpulan acak melainkan kumpulan yang sengaja dibuat serta diorganisir. Masyarakat tidak hanya terdiri atas individu, melainkan juga lembaga-lembaga menyerupai keluarga, agama, pendidikan, atau perekonomian. Masyarakat dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang berarti masyarakat sungguh-sungguh menempati suatu tempat, mempunyai eksistensi nyata, bukan sebuah gagasan imajinatif. Potret Indonesia
Masyarakat juga harus merupakan subyek otoritas politik yang sama, yang bermakna setiap orang di satu lokasi tertentu tersebut (masyarakat) supaya sanggup disebut satu kesatuan, setiapnya harus merupakan subyek dari peraturan (regulasi) yang sama. Sementara itu, kumpulan individu yang terorganisir tersebut mempunyai keinginan serta nilai-nilai bersama bermakna bahwa setiap anggota masyarakat mengakui dan mempraktekkan nilai-nilai konsensual serupa sekaligus mempunyai keinginan ataupun tujuan hidup yang secara umum juga serupa.
Masih berdasarkan Kimmel and Aronson, masyarakat tidak sekonyong-konyong ada. Masyarakat sengaja diciptakan baik melalui metode bottom-up maupun up-to-bottom. Individu-individu dan lembaga-lembaga di dalam masyarakat saling berinteraksi satu sama lain yang mengakibatkan masyarakat juga dikatakan sebagai sekumpulan interaksi sosial yang terstruktur.
Terstruktur mengartikan bahwa setiap tindakan individu ketika berinteraksi dengan sesamanya tidaklah terjadi bergerak di ruang vakum lantaran terjadi dalam konteks sosial. Misalnya, interaksi tersebut berlangsung di dalam komunitas keluarga, kelompok keagamaan, hingga negara. Masing-masing konteks membutuhkan sikap yang spesifik, berbeda-beda. Namun, keseluruhan interaksi tersebut diikat oleh norma serta dimotivasi oleh nilai-nilai yang diakui secara bersama. Kata sosial mengacu pada fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang hidup sendiri. Individu selalu hidup di dalam keluarga, kelompok, dan jaringan. Kata interaksi mengacu pada cara berperilaku disaat bekerjasama dengan orang lain. Akhirnya, sanggup dikatan bahwa masyarakat diikat melalui struktur sosial.
Perilaku kekerabatan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lain. Konsep-konsep yang juga terkandung di dalam masyarakat – selain yang sudah disebutkan – yaitu sosialisasi, peran, status, kelompok, jaringan, organisasi, dan lembaga.
Berdasarkan definisi menyerupai dikemukakan Kimmel and Aronson, Indonesia merupakan sebuah masyarakat. Kumpulan individu yang ada di 33 provinsi di Indonesia yaitu masyarakat Indonesia. Mereka ini terorganisir melalui struktur-struktur sosial yang dikembangkan baik oleh komunitas-komunitas budpekerti setempat, pemerintah lokal, juga pemerintah pusat. Di masing-masing wilayah, terdapat lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bervariasi, yang berkisar pada forum keluarga, pendidikan, ekonomi, atau agama.
Batasan antara masyarakat Indonesia dengan Timor Leste (misalnya) terperinci dan spesifik dan bahkan dilegalisasi oleh aturan internasional. Setiap individu di dalam wilayah Indonesia tunduk pada regulasi dari pemerintah pusat maupun pemerintah lokal di masing-masing wilayah. Pengharapan-pengharapan serta nilai-nilai bersama telah dikembangkan dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945) yang sifatnya mengikat, sementara nilai-nilai bersama Indonesia dikodifikasi dalam bingkai Pancasila.
Pandangan yang lebih sistemik atas konsep masyarakat Indonesia tentu harus dianalisis lebih lanjut. Masyarakat Indonesia yaitu sebuah konsep yang sangat luas dan sangat tidak sederhana. Indonesia awalnya yaitu sebuah konsep yang sengaja diciptakan. Secara kuantitatif, masyarakat Indonesia terbentuk atas sub-sub masyarakat (masyarakat di masing-masing daerah). Secara kualitatif, konsep Indonesia merupakan peleburan interaksi dari masyarakat-masyarakat daerah, yang mencakup garis ras, etnis, dan agama. Sebelum Indonesia terbentuk, di setiap wilayah yang kini masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan telah mengembangkan konsep sendiri-sendiri mengenai masyarakat politiknya. Penggabungan masyarakat-masyarakat ini ke dalam konsepsi masyarakat Indonesia terperinci bukan hal mudah. Proses kuantitatif (pemekaran wilayah) dan kualitatifnya (integrasi masyarakat) masih berlangsung hingga ketika goresan pena ini dibuat.
Genealogi Masyarakat Indonesia
Kajian sistem budaya Indonesia tidak akan lengkap tanpa sebelumnya terlebih dahulu dibahas garis besar mengenai genealogi konsep Indonesia. Kajian dititikberatkan pada aspek genealogi istilah Indonesia, ditinjau dari faktor-faktor geografis, demografis, sosiologis, dan politis negara ini. Selain itu, perlu pula dicarikan definisi yang memadai seputar ras dan etnik untuk memudahkan analisis seputar kemunculan budaya dari orang-orang yang disebut Indonesia. Untuk keperluan analisis atas genealogi masyarakat Indonesia ini ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu konsep-konsep ras, etnis, dan nasionalisme.
Ras. Definisi ras (race) yaitu sistem simbol dan kepercayaan yang menekankan pada relevansi karakteristik-karakteristik sosial dan budaya berdasarkan aspek biologis. Definisi lain dari ras yaitu “ ... kategori yang dikonstruksi secara sosial mengenai orang-orang yang punya sifat-sifat yang diturunkan secara biologis yang oleh para anggota suatu masyarakat dinilai sebagai penting.” Orang biasa membedakan ras berdasarkan karakteristik biologis menyerupai warna kulit, bentuk wajah, bentuk rambut, dan atau bentuk tubuh.
Masyarakat Amerika Serikat cenderung memisahkan ras menjadi white, black, asia, atau hispanik. Masyarakat di Brasil cenderung memisahkannya menjadi branca (kulit putih), parda (kulit coklat), morena (brunette), mulata (mulato), preta (kulit hitam), dan amarela (kulit kuning). Namun, cara pandang antar ras pun berbeda.
Orang berkulit putih di Amerika Serikat cenderung melihat orang kulit gelap mempunyai warna kulit yang lebih gelap ketimbang orang kulit gelap yang satu memandang orang kulit gelap lain. Dengan demikian, ras sanggup dikatakan sebagai konsep yang dikonstruksi secara sosial ketimbang murni bersifat biologis, kendati determinisme biologis ini kerap dijadikan contoh utama cara pandang mengenai ras.
Ras, sebagai alat analisis, gotong royong bersifat delutif’ lantaran sifat-sifat obyektifnya sanggup mengecoh, akhir hanya didasarkan atas karakteristik-karakteristik fisik seorang individu.
Delusi akhir konsep ras muncul contohnya tatkala seorang lelaki kulit putih melaksanakan perkawinan dengan wanita kulit gelap dan mempunyai anak. Anak mereka kemudian melaksanakan perkawinan dengan seorang Asia (Cina, misalnya). Lalu, anak dari anak mereka ini (cucu) melaksanakan perkawinan dengan seorang parda di Brasil. Bagaimana memilih ras anak dari cucu mereka tersebut?
Penilaian berlebih (juga delutif) atas ras mendorong munculnya tindak diskriminasi, terutama di negara-negara yang salah satu ras-nya menjadi mayoritas terhadap ras lain yang minoritas: Rasisme! Kendati demikian, kajian atas masalah ras tidaklah berhenti. Ras masih sering digunakan dalam melaksanakan kategorisasi sosial suatu populasi berdasarkan sifat-sifat turunan. Sejalan dengan masalah ras ini, penulis akan menunjukkan genealogi ras dari penduduk Indonesia yang gotong royong mencerminkan imbas delutif dari konsep ras terhadap analisis atas kategori sosial.
Etnis. Jika ras dikonstruksi secara biologi, maka etnis dikonstruksi secara sosial. Etnis yaitu kategorisasi sosial berdasarkan bahasa dasar, agama, kebangsaan, dan gagasan kepemilikan budaya bersama. Dengan demikian, etnis lebih merujuk pada karakteristik suatu kelompok sosial yang didasarkan pada identitas bersama. Identitas bersama tersebut sanggup berakar pada budaya, sejarah, agama, maupun tradisi bersama.
Ras dan etnis yaitu dua konsep berbeda. Konsep etnis bergerak dalam alur determinisme sosial, sementara konsep ras bergerak dalam alur determinisme biologis. Dalam konsep etnis, sanggup saja suatu etnis minoritas melaksanakan asimilasi terhadap budaya etnis mayoritas sehingga etnis minoritas tersebut mengalami pembauran menjadi etnis tunggal. Namun, dalam konsep ras, lantaran determinisme-nya biologi, proses asimilasi tersebut sukar dilakukan kecuali melalui proses evolusi yang menjadikan ciri-ciri fisik sekelompok orang menjadi sama dengan ciri-ciri fisik kelompok lainnya. Konsep etnis bersifat lebih longgar ketimbang ras lantaran sifat sosialnya ini. Penulis akan menunjukkan etnis-etnis yang ada di Indonesia, yang ternyata sangat bermacam-macam tetapi ternyata mempunyai sejumlah kesamaan secara parsial.
Minoritas. Minoritas didefinisikan sebagai kategori insan yang dibedakan berdasarkan perbedaan fisik atau budaya yang dianggap oleh suatu masyarakat lain sebagai terpisah ataupun subordinat. Seperti dikatakan oleh definisi, minoritas sanggup didasarkan pada aspek fisik dan budaya ataupun gabungan antara keduanya. Minoritas punya dua karakteristik, yaitu : (1) mereka saling membuatkan identitas unik, yang sanggup saja didasarkan atas ciri budaya ataupun fisik, dan (2) minoritas selalu mengalami subordinasi oleh kelompok lain yang lebih lebih banyak didominasi (mayoritas).
Hubungan minoritas dan mayoritas di Indonesia tidak selalu berjalan harmonis. Persoalan kemudian terletak pada interaksi-simbolik yang terbangun antara kelompok minoritas dan mayoritas serta prejudis-prejudis (termasuk stereotip-stereotip) yang muncul dan membayangi kekerabatan yang muncul antara keduanya. Pola-pola kekerabatan minoritas-mayoritas berbeda-beda di tiap provinsi Indonesia bergantung pada kuantitas masing-masing etnis, jenis etnis yang berhubungan, serta kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupi. Hal ini menjelaskan mengapa kekerabatan antara minoritas-mayoritas di provinsi Indonesia yang satu berbeda dengan kekerabatan di provinsi lainnya.
Nasionalisme. Nasionalisme yaitu konsep yang mengkombinasikan perasaan identifikasi dengan orang, ideologi (yang menjelaskan kesamaan sejarah dan nasib), serta gerakan sosial (yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan ideologi). Nasionalisme kerap bertumpang-tindih dengan konsep ras dan etnis. Hitler, misalnya, membangun nasionalisme Jerman berdasarkan ras, yaitu ras Arya. Etnis Tamil di Srilangka berupaya mendirikan kebangsaan sendiri berdasarkan etnis Tamil lantaran merasa diopresi oleh Sinhala, etnis mayoritasnya. Aceh, di Indonesia, oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka-nya (dahulu) berupaya memerdekakan diri dari Republik Indonesia berdasarkan etnis Aceh akhir ketimpangan ekonomi, Belgia membangun negaranya berdasarkan dua bangsa: Belanda dan Perancis, atau etnis Catalan dan Basque di Spanyol terus terlibat dalam kekerabatan yang rumit dalam menyepakati nasionalisme Spanyol.
Berbeda dengan konsep ras dan etnis, konsep nasionalisme mempunyai prasyarat ideologi, gerakan sosial, dan gerakan politik. Nasionalisme, dengan demikian sanggup saja mendasarkan diri pada konsep ras ataupun etnis. Indonesia yaitu contoh dari nasionalisme ini. Etnis-etnis, ras-ras, yang mengalami penjajahan Belanda di sekujur kepulauan Hindia, secara politik dinyatakan mempunyai nasib yang sama dan lantaran itu, secara ideologis merupakan satu bangsa menyerupai suara Soempah Pemoeda 1928 yaitu: (1) Berbangsa Satoe, Bangsa Indonesia; (2) Bertanah Air Satoe, Tanah Air Indonesia; dan (3) Berbahasa Satoe, Bahasa Indonesia. Ketiga sumpah ini yaitu sumpah nasionalisme, wujud dari gerakan politik dalam menentang kekuasaan kerajaan Belanda atas wilayah-wilayah disekujur kepulauan Hindia. Sumpah politik tersebut sekaligus mengatasi perbedaan garis etnis, agama, dan ras yang tersebar di antara elemen-elemen bangsa Indonesia.
Moyang Masyarakat Indonesia
Penyebutan Indonesia pada goresan pena ini mengacu pada wilayah yang kini termasuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah ini, sebelumnya masuk ke dalam kolonial Belanda. Gugusan kepulauan berikut penduduk yang menempatinya merupakan genius lokal yang berhasil mengakulturisasi dan mensinkretisasi aneka jenis budaya luar yang tiba menghampirinya.
Tidak kurang budaya-budaya Hindu-Buddha, Islam, Timur Jauh, dan tentunya Barat (Portugis, Belanda, Inggris) tiba dan meninggalkan bekas, untuk kemudian perpaduannya dengan budaya lokal diakui sebagai pecahan dari budaya Indonesia. Kendati masing-masing budaya luar tersebut berbeda dalam tingkat pengaruhnya, masyarakat kepulauan Indonesia berhasil meracik dan dianggap sebagai pecahan budaya Indonesia sendiri. Hal ini akan kita perlihatkan dalam pembahasan-pembahasan kemudian.
Terlebih dahulu akan dilakukan pemfokusan pada dinamika saling efek antara budaya lokal dengan budaya yang tiba dari luar kepulauan nusantara. Sebab itu, menjadi suatu keharusan untuk menjelaskan menyerupai apa bentuk-bentuk budaya lokal yang dianut penduduk Indonesia. Ini penting dilakukan demi keperluan analisis seputar efek yang diberikan budaya luar atas Indonesia. Namun, tentu dibutuhkan literatur yang besar bahkan penelitian tersendiri guna mendeskripsikan menyerupai apa bentuk budaya yang lokal Indonesia. Kajian ini agak sulit mengingat penduduk Indonesia sendiri berkembang melalui sejumlah migrasi penduduk dari wilayah selatan Cina. Termasuk ke dalamnya tidak diketahui batasan niscaya mengenai kapan penduduk lokal Indonesia memulai kontak dengan kebudayaan luar.
Kesulitan mengenai batasan antara mana yang disebut penduduk orisinil Indonesia dengan yang bukan juga dialami Bernard H. M. Vlekke. Sejarawan Belanda itu menyebutkan alasan bahwa akhir kepulauan Indonesia terletak di jalur bahari utama antara Asia pecahan timur dan selatan maka dengan sendirinya sanggup diperkirakan akan terdapat populasi yang terdiri atas bermacam-macam ras. Jika kajian Vlekke dijadikan sebagai titik pijak, maka sanggup diasumsikan akan terjadi percampuran ras di antara moyang Indonesia.
Moyang atau nenek moyang yaitu pengertian awam yang merujuk pada konsep genealogi insan yang terlebih dahulu dilanjutkan dengan yang muncul di masa kemudian. Mengenai moyang insan Indonesia ini, Koentjaraningrat menyebut sekurangnya 1 juta-an tahun lampau, sudah ada Pithecanthropus Erectus yang hidup di lembah sungai Bengawan Solo. Makhluk sejenis dengan Pithecanthropus Erectus ini juga ditemukan di gua-gua akrab Peking (Cina) dan wilayah Asia Timur.
Teori dari Sarasin bersaudara (Paul dan Fritz Sarasin) menyebutkan bahwa populasi orisinil Indonesia yaitu ras berkulit gelap serta bertubuh kecil dan keturunan dari ras orisinil ini disebut orang Vedda. Koentjaraningrat menyebut orang Vedda mempunyai persamaan dengan penduduk orisinil Australia (Aborigin) sehingga menyebutnya sebagai Austro-Melanosoid. Penamaan Vedda diambil dari salah satu suku yang populer di Srilanka. Termasuk ke dalam ras ini yaitu suku Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, Senoi di Semenanjung Malaya, Kubu, Lubu, dan Mamak di Sumatera, serta Toala di Sulawesi.
Ras ini awalnya mendiami wilayah Asia pecahan tenggara yang ketika itu masih bersatu sebagai satu daratan di dalam periode Glasial (zaman es). Di simpulan periode Glasial, es mencair dan menjadikan permukaan bahari naik. Hasil lelehan es ini membuat Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Kedua bahari ini memisahkan pegunungan vulkanik Indonesia dari daratan utama Asia. Penduduk orisinil (yang berkulit gelap tadi) tinggal di wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir dihuni oleh kaum pendatang. Kaum pendatang ini akan dibahas lebih lanjut oleh paragraf-paragraf di bawah.
Orang Vedda atau Austro-Melanosoid ini kemudian menyebar ke Timur dan mendiami Papua, Sulawesi Selatan, Kai, Flores Barat, Timor Barat, Seram – sebelum es periode Glasial mencair – dan terus ke timur dan mendiami Kepulauan Melanesia. Sebagian dari mereka menyebar ke Barat dan menghuni pulau Sumatera. Di Sumatera ini mereka mengembangkan perkakas berupa kapak genggam. Mereka juga suka memakan kerang yang dibuktikan lewat tumpukan fosil kulit kerang di akrab Medan Sumatera Utara, akrab Langsa (Aceh), Perak, Kedah, dan Pahang di wilayah Semenanjung Malaysia.
Selain di Sumatera, bukti penggunaan kapak genggam juga ditemukan di gua-gua Jawa semisal Gua Sodong (Besuki), Gua Petruruh (Tulungagung), Gua Sampung (Ponorogo) bahkan hingga Vietnam Utara. Sebab itu, Koentjaraningrat mengajukan pendapat bahwa telah terjadi perpindahan penduduk Austro-Melanosoid dari timur ke barat, dari Jawa menuju Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, hingga Vietnam Utara. Melalui perpindahan ini dimungkinkan terjadinya percampuran antara ras Austro-Melanosoid dengan Mongoloid.
---> pict
Kaum pendatang kemudian tiba dalam dua gelombang. Gelombang pertama disebut Proto-Melayu dan gelombang kedua disebut Deutero-Melayu.
Proto-Melayu dipercaya sebagai moyang dari penduduk yang menghuni tempat kepulauan dari Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka ini tiba dari Cina pecahan selatan, tepatnya wilayah Yunnan. Mereka bermigrasi dalam jumlah besar, pertama menuju Indochina, Siam, dan terakhir ke Kepulauan Indonesia. Taksiran waktunya yaitu 11.000 - 2000 sM.
Perkakas mereka berasal dari periode neolitik. Selain dari Yunnan, Koentjaraningrat juga menyebut kemungkinan Proto-Melayu ini tiba dari Kepulauan Ryukyu Jepang, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi Selatan yang dibuktikan dengan adanya Suku Toala Proto-Melayu. Mereka ini sudah mengembangkan budaya berburu dengan busur dan panah.
Proto-Melayu yang juga disebut Koentjaraningrat dengan Paleo-Mongoloid ini kemudian didesak oleh gelombang migrasi kedua (Deutero-Melayu) sekitar 300 s/d 200 sM. Manusia yang migrasi ini berasal dari Indochina pecahan utara dan sekitarnya. Perkakas mereka ini sudah terbuat dari logam, termasuk senjata yang terbuat dari besi. Mereka juga sudah melaksanakan kegiatan bercocok tanam di ladang dan memakai bahtera bercadik.
Padi dibawa oleh Deutero-Melayu dari wilayah Assam Utara atau Birma Utara, melalui lembah sungai Yang-tze (Cina Selatan), terus ke selatan dan jadinya hingga di Jawa, tempat di mana padi sanggup tumbuh lebih subur.
Pada perkembangannya, Proto-Melayu dan Deutero-Melayu membaur secara bebas sehingga sulit dibedakan. Sebagai taksiran, sanggup disebut Suku Gayo dan Alas di Sumatera pecahan utara serta Toraja di Sulawesi sebagai representasi Proto-Melayu. Setelah itu, hampir seluruh suku lain (kecuali Papua) dimasukkan ke dalam kategori Deutero-Melayu. Kendati demikian, gotong royong sanggup dikatakan bahwa moyang dari penduduk di wilayah kepulauan Indonesia yaitu serumpun yaitu turunan dari penduduk orisinil (orang Veddar) dan dua gelombang migrasi dari utara.
Paparan di atas membagi genealogi ras awal Indonesia lewat kronologi waktu kedatangan. Hal menyerupai ini serupa dengan upaya periodisasi kurun kehidupan masyarakat Indonesia. Kajian semacam ini melibatkan kajian kesejarahan yang dianggap perlu akhir penduduk orisinil Indonesia tidak meninggalkan suatu bukti tertulis (misalnya yang berupa prasasti yang memuat goresan pena tarikh), maka kajian atas budayanya dilakukan lewat periodisasi era atau zaman.
Serumpunnya kategori ras-ras yang mendiami kepulauan nusantara juga sanggup dibuktikan melalui kajian linguistik. Hampir 170 bahasa yang digunakan di penjuru kepulauan nusantara termasuk ke dalam kelompok Austronesia dengan sub linguistik Melayu-Polinesia. Sub Melayu-Polinesia ini kemudian terpecah lagi menjadi dua: Kelompok pertama terdiri atas bahasa yang berkembang di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; kelompok kedua terdiri atas bahasa yang berkembang di Batak, Melayu standar, Jawa dan Bali. Bahasa kelompok kedua ini tiba usang sesudah yang pertama. Selain kedua kelompok tersebut, perlu dilakukan kajian atas susunan bahasa lain yaitu Papua dan Halmahera Utara.
Lalu bagaimana Melayu sanggup menjadi bahasa persatuan Indonesia? Bahasa Melayu awalnya hanya digunakan orang-orang yang tinggal di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Pada perkembangannya, wilayah-wilayah tersebut ulet melaksanakan kegiatan dagang yang meluas hingga ke pecahan timur kepulauan Indonesia. Banyaknya acara perdagangan di pelabuhan dagang di Sumatera maupun Semenanjung Malaya yang memakai Melayu sebagai bahasa pengantar membuat bahasa ini menjadi Lingua Franca di perairan Indonesia secara umum.
Jaman Batu dan Logam. Yang dimaksud dengan kebudayaan penduduk orisinil Indonesia yaitu orisinalitas budaya insan Indonesia sebelum bercampur dengan budaya-budaya lain yang masuk ke dalam kategori menyerupai Timur Jauh (Cina), Hindu-Buddha, Islam, ataupun Barat. Cukup sulit guna memilih hal ini oleh lantaran tiadanya bentuk goresan pena sebagai bukti adanya kebudayaan orisinil tersebut.
Sebab itu, sejumlah jago memakai peninggalan-peninggalan material guna menaksir jenis kebudayaan yang berkembang di era prasejarah ini. R. Soekmono sebagai misal, membagi periodisasi perkembangan budaya Indonesia menjadi empat, yaitu:
- Jaman Prasejarah (sejak moyang muncul hingga 500 M);
- Jaman Purba (sejak efek India hingga lenyapnya Majapahit tahun 1500 M);
- Jaman Madya (sejak efek Islam di simpulan Majapahit hingga simpulan masa ke-19); dan
- Jaman Baru (sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknik moderen, dari 1900 hingga sekarang).
Kajian budaya orisinil Indonesia, lantaran itu masuk ke dalam Jaman Prasejarah dengan perkiraan pada jaman ini bentuk-bentuk orisinal budaya Indonesia tumbuh. R. Soekmono kemudian membagi kajian peninggalan prasejarah Indonesia ini ke dalam beberapa tarikh, yaitu Jaman Batu dan Jaman Logam. Jaman Batu terbagi atas Paleolithikum, Mesolithikum, dan Neolithikum. Jaman Logam terbagi atas Jaman Tembaga, Jaman Perunggu, dan Jaman Besi.
Paleolithikum. Bukti kebudayaan ini ditemukan di Pacitan dan Ngandong sehingga dikenal sebagai sebagai Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong. Penemunya von Koenigswald tahun 1935. Kebudayaan Pacitan yaitu kebudayaan yang dikembangkan Pithecanthropus Erectus dan berwujud kapak-kapak batu. Kapak-kapak tersebut biasanya digunakan untuk menyiangi (menguliti) binatang sehingga diprediksi kebudayaan mereka yaitu pemburu-peramu.
Kebudayaan Ngandong (dekat Ngawi, Madiun) lebih kompleks, lantaran selain kapak kerikil juga ditemukan peralatan dari tulang binatang dan tanduk rusa. Selain itu, budaya ini juga ditemukan di Cabenge (Sulawesi Selatan). Tulang dan tanduk rusa, selain digunakan untuk menguliti hewan, juga digunakan untuk mengorek umbi-umbian. Sebab itu diasumsikan budaya cocok tanam (hortikultural) mulai digagas di Kebudayaan Ngandong ini.
---> pict
Mesolithikum. Kebudayaan Mesolithikum ini terutama ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Budaya yang berkembang yaitu berburu dan menangkap ikan, selain juga telah bercocok tanam. Mereka hidup di gua-gua dan pinggir pantai. Di periode inilah, sampah-sampah kulit kerang ditemukan. Selain itu, mereka sudah menemukan cara bagaimana menggiling dan menghaluskan sesuatu. Kapak-kapak kerikil yang digunakan lebih halus ketimbang dari masa Paleolithikum.
Selain berbahan batu, peralatan dari tulang binatang juga diketemukan layaknya di masa Paleolithikum. Suku Toala di Sulawesi yaitu contoh dari masyarakat Mesolithikum ini sesuai citra Vlekke, yaitu insan Proto-Melayu. Pada masa ini, juga berlaku teori Fritz and Paul Sarasin wacana orang Vedda dari Srilanka.
Moyang di masa Mesolithikum ini juga telah mengenal panah yang mulai rumit dengan matanya yang bergerigi serta pangkalnya yang bertangkai. Selain panah, moyang Indonesia ini juga mulai mengembangkan daya seni. Ini dibuktikan dengan cap-cap tangan di dinding gua Leang-leang (Sulawesi Selatan), juga gambar babi hutan.
Neolithikum. Beda Neolithikum dengan dua masa sebelumnya yaitu relatif tersebarnya budaya yang berkembang di dalam periode ini ke seluruh kepulauan nusantara. Di masa ini telah beralih budaya dari food-gathering menjadi food-producing. Kehidupan mengembara telah jarang digantikan dengan menetap, bertani, dan beternak. Mereka telah membuat rumah sehingga dasar-dasar pertama bagi terciptanya kebudayaan orisinil Indonesia mulai menampakkan bentuk.
Kapak-kapak yang digunakan pada masa Neolithikum sudah berbentuk persegi serta mempunyai ketajaman di sisi-sisinya. Kapak jenis ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali. Sementara di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi masih relatif jarang. Kapak berjenis sama juga ditemukan di Malaysia Barat dan India selatan kendati di sana bentuknya masih kasar. Sebab itu sanggup dikatakan bahwa budaya yang berkembang di Indonesia relatif lebih rumit ketimbang di dua wilayah tersebut.
Selain kapak, juga ditemukan aneka pemanis berupa gelang-gelang dari batu. Gelang kerikil ini menghendaki teknik pemahatan dan pengamplasan yang rumit dan lantaran itu dibutuhkan intelektual yang lebih tinggi dalam pengerjaannya. Pakaian juga sudah berkembang kendati gres berbahan kulit kayu dan mengambarkan bahwa moyang Indonesia di era Neolithikum sudahlah berpakaian. Selain pemanis dan pakaian, tembikar pun telah dikembangkan di era Neolithikum ini. Namun, metode pembuatannya berbeda dengan masa kini yang memakai roda landasan. Di masa neolithikum, sesudah bentuk tembikar tercipta, penghalusan kemudian dilakukan memakai kerikil asah.
Jaman Logam. Dengan dimulainya Jaman Logam, bukan berarti Jaman Batu berakhir. Penggunaan kerikil tetap dilakukan, sementara logam pun telah mulai digunakan orang. Dua jaman berjalan beriringan, tetapi jaman kerikil mulai senja sementara jaman logam mulai terbit. Penggunaan logam menghendaki teknologi yang jauh lebih rumit lagi. Tidak menyerupai kerikil yang sanggup eksklusif dipecah dan diasah, logam haruslah dikayak serta dilebur terlebih dulu sebelum dibentuk. Setelah dilebur, cairan logam kemudian dicetak dengan cetakan tanah sesuai bentuk-bentuk yang dikehendaki.
Logam Perunggu digunakan sebagai material pembuat kapak corong. Kapak corong ini dibuat dari logam perunggu dengan cetakan tanah. Ia dikembangkan di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Pulau Selayar, dan Papua (dekat Danau Sentani). Kapak Corong ini mempunyai mata dan lubang tempat terpasangnya kayu pemegang.
Selain kapak corong, masa logam ini ditandai dengan penggunaan Nekara. Nekara fungsinya hampir menyerupai dengan dandang yaitu untuk menanak nasi atau memasak selain nasi. Nekara ini ditemukan di Pulau Selayar, Sumatera, Jawa Bali, Sumbawa (dekat Pulau Sangean), Roti, Leti, dan Kepulauan Kei.
Megalithikum. Megalithikum yaitu kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan besar. Jauh sebelum datangnya efek Hindu-Buddha, masyarakat orisinil Indonesia telah mengembangkan bangunan-bangunan besar menyerupai keranda kerikil tempat mayat, kubur batu, punden berundak (di Lebak Sibedug, Banten Selatan), serta ukir-ukiran batu. Sebab itu, moyang Indonesia telah punya seni dan budaya sendiri sebelum datangnya budaya luar. Budaya luar yang masuk sekadar memberi efek terhadap budaya yang telah ada. Arca atau patung pra era Hindu-Buddha pun sudah mulai dibuat moyang Indonesia, semisal yang ditemukan di Pasemah (Sumatera Selatan).
Genealogi Konsep Masyarakat Indonesia
Konsep Indonesia merupakan adonan dari aneka gagasan dalam bidang politik, sosiologi, ekonomi, budaya, sejarah, bahkan post-colonialism. Sebelum Indonesia yang dikenal kini, konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa awalnya tidak ada. Jika kita lihat peta, maka Indonesia terdiri atas rangkaian pulau yang tersebar dari Sabang yang paling Barat hingga daerah Merauke di paling Timur. Dari Sangir di paling Utara hingga Timor di paling Selatan. Hampir di setiap wilayah di kisaran pulau tersebut dihuni masyarakat berbeda, dengan budaya yang berbeda pula. Lalu, apa yang sanggup dikatakan sebagai budaya Indonesia?
Indonesia awalnya yaitu sebuah gagasan. Gagasan kesatuan yang abstrak, yang mencakup wilayah jajahan Belanda. Gagasan yang kiranya masih gres dan terus mengalami perubahan dan pembiasaan hingga ketika ini. Gagasan yang kerap menghadapi sejumlah penolakan, separatisme, dan dekonstruksi ideologi hingga ketika ini. Dari gagasan ini maka kajian sistem sosial dan budaya Indonesia berawal.
Indonesia yaitu sebuah negara dengan hampir 18.000 pulau yang tersebar di antara benua Asia dan Australia. Hampir setiap pulau dihuni oleh etnis dengan budaya yang spesifik. Satu sama lain berbeda. Lalu, bagaimana mereka sanggup mengikatkan diri ke dalam sebuah nation?
Menurut R.E. Elson, kata Indonesia pertama kali digagas oleh George Samuel Windsor Earl, pengamat sosial dari Inggris tahun 1850. Kata yang ia gagas yaitu Indu-nesians. Saat itu Earl mencari istilah etnografis guna mengkategorisasi cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia (kepulauan kini Indonesia yang dibawah jajahan Belanda). Atau, istilah untuk menggambarkan ras-ras kulit coklat di Kepulauan Hindia. Namun, sesudah membuat istilah Indu-Nesians, Earl eksklusif batal menggunakannya akhir terlalu umum kemudian menggantinya dengan Malayunesians.
Rekan Earl berjulukan James Logan, mengabaikan sikap Earl dan memutuskan bahwa Indu-Nesian (kemudian disebut Indonesian) tetap lebih sempurna ketimbang Malayunesians. Indonesian, bagi Logan, lebih menjelaskan istilah geografis bukan etnografis. Logan menyebut bahwa kata Indonesian yaitu pemendekan dari istilah geografis Indian Archipelagian. Sebab itu, Logan merupakan orang pertama yang memakai istilah yang mendekati kata Indonesia.
Tahun 1877, E.T. Hamy, antropolog Perancis, memakai kata Indonesia untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di kepulauan Indonesia. Tahun 1880, antropolog Britania, A.H. Keane, mengikuti penggunaan Hamy. Di tahun yang sama, istilah Indonesia dalam pengertian geografis juga digunakan oleh jago bahasa Britania, N.B. Dennys. Lalu di tahun 1882, Sir William Edward Maxwell, direktur kolonial dan jago bahasa Melayu dari Britania mengikuti praktek Dennys.
Penggunaan istilah Indonesia kemudian meluas. Adolf Bastian, etnograf Jerman, memakai kata Indonesia dalam 5 jilid karyanya berjudul Indonesien order die Inseln des Malayischen Archipel. Karya tersebut terbit tahun 1884-1894. Bastian ini mempunyai reputasi ilmiah yang tinggi. Sebab itu, kata Indonesia kemudian lebih dihormati serta digunakan secara lebih luas.
Pada September 1885, G.A. Wilken, seorang etnograf dan mantan pejabat Hindia Belanda (sekaligus profesor di Universitas Leiden Belanda) juga memakai istilah Indonesia. Wilken ini memakai istilah Indonesia secara geografis, sama menyerupai James Logan sebelumnya.
Para perkembangan kemudian, istilah Indonesia tidak lagi merujuk pada aspek geografis. Istilah itu juga kerap digunakan dalam konteks etnis dan budaya. Sejak karya Adolf Bastian, istilah Indonesia juga berfungsi menjabarkan suatu tempat yang dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang mirip. Ciri tersebut mencakup bahasa, fisik, dan adat. Indonesia yaitu kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut. Sementara kata Indonesian yaitu orang-orang dengan ciri-ciri umum menyerupai itu, yang juga kadang digunakan untuk melukiskan penghuni pulau Madagaskar hingga Formosa. Indonesia yaitu kata guna melukiskan tempat-tempat yang mereka huni.
Menurut Elson, aspek pertama gagasan Indonesia sebagai wilayah politik diutarakan pejabat Belanda. Pada tahun 1909, J.B. Van Heutsz, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda telah meluaskan otoritasnya hingga seluruh penjuru terjauh Nusantara. Monumen peringatan insiden tersebut didirikan tahun 1932 dan kini terletak di kompleks Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta.
Aspek kedua munculnya Indonesia sebagai gagasan politik yaitu integrasi horisontal seluruh wilayah Indonesia. Integrasi ini tercipta akhir perkembangan-perkembangan sarana berikut:
- angkutan, terutama rel kereta api dan jalan di Jawa serta jalur bahari yang dibangun perusahaan perkapalan Belanda, Koninklijk Paketwaart maatschappij;
- kesaman mata uang;
- sistem administratif, pajak, dan aturan yang terpusat; dan
- wilayah-wilayah menyerupai Yogyakarta, Makassar, Medan, bahkan Kupang tidak sanggup lagi dikatakan terisolasi dari pusat (Batavia/Jakarta).
Salah satu faktor berpengaruh tersemaikannya integrasi horisontal ini yaitu sumbangan Malaka sebagai bandar dagang penting bagi tempat nusantara. Ricklefs mengutip Tome Pires, yang menginventarisasi interaksi simbiosis-mutualistis wilayah-wilayah nusantara dalam duduk masalah dagang ini. Tabel di bawah ini mendeskripsikan proses interaksi perdagangan antar wilayah nusantara:
--->pict
Seluruh perkembangan di atas semakin merumitkan kegiatan ekonomi, terutama di masa Belanda di seantero kepulauan, merangsang pergerakan orang atau perantauan skala besar yang melintasi wilayah Indonesia. Ini contohnya akhir meluasnya perkebunan di Sumatra Timur serta transmigrasi yang disponsori pemerintah Belanda maupun kemauan sendiri. Hasil dari proses ini yaitu makin banyak kontak antara banyak sekali ras dan etnis di Indonesia. Tercipta kondisi saling paham menggantikan persaingan yang marak sebelumnya. Pemahaman ini diperkuat dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar, yang penggunaannya meluas hingga ke seluruh pecahan kepulauan nusantara.
Kini Indonesia telah menunjukkan bentuknya sebagai kesatuan yang politis. Ekses negatif kesatuan yang bersifat politis ini yaitu terjadinya pembongkaran, pengabaian, serta pembentukan ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang sudah ada. Ekonomi kolonial yang berpusat di Jawa dijadikan model, dengan fokus pada tunjangan kemudahan kepada negara-negara Barat yang mengimpor produk dari tempat tropis.
Pada masa sebelum Jawa menjadi sentral, wilayah-wilayah lain di kepulauan nusantara lebih condong memalsukan Singapura dan Penang, lantaran kedua wilayah tersebut telah terintegrasi ke dalam jalur perdagangan antarnegara. Namun, kini mereka harus memindahkan jalur perdagangan ke pulau Jawa dan mengikuti pola ekonomi pemerintah kolonial yang berkedudukan di Jawa, khususnya Batavia. Ekses lain dari Jawa sebagai model yaitu menjadi terisolasinya tempat Indonesia Timur dari dunia luar sehingga keunggulan-keunggulan kompetitif mereka di dalam perdagangan antar bangsa kehilangan signifikansinya. Di sisi lain, posisi negara Hindia-Belanda menjadi kuat, terpusat, birokratis, diatur dari dan dibuat berdasarkan pengalaman model pemerintahan kolonial di Jawa.
Aspek ketiga dari munculnya gagasan politik Indonesia yaitu gerakan yang dilakukan para perintis pergerakan nasional Indonesia untuk membentuk sebuah nation baru. Mereka ini terdiri atas penggagas surat kabar, mahasiswa, pemeluk agama (Islam), bahkan birokrat pribumi yang bekerja pada Belanda.
Setelah politik etis Belanda diberlakukan, banyak orang pribumi Hindia-Belanda yang mulai mencar ilmu menguasai bahasa Belanda. Penguasaan bahasa ini penting lantaran seluruh bahasa ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan penyebaran informasi yang beredar di masyarakat memakai bahasa tersebut. Selain itu, mulai terbuka kesempatan menempuh jenjang pendidikan secara lebih umum bagi kalangan pribumi kendati distribusi kesempatannya tidak merata.
Beberapa media cetak menyerupai Retno Dhoemilah, Bintang Hindia, dan Pewarta Panji banyak membuka wawasan pengetahuan kalangan elit Indonesia untuk menyadari kebangsaan mereka. Dalam Retno Dhoemilah ini juga ikut bergabung Dr. Wahidin Sudirohusodo yang menjabat selaku pemimpin redaksi. Melalui media tersebut Wahidin menyebarkan gagasan kebangsaan Indonesia.
Pergerakan kebangsaan ini juga dilakukan oleh kalangan mahasiswa asal Hindia-Belanda yang menimba ilmu pengetahuan di negeri Belanda. Justru di negara penjajah ini mereka membiakkan wawasan kebangsaan baru. Sebagian mahasiswa tersebut merupakan wakil dari kelas aristokrat Jawa modernis yang berniat melaksanakan perubahan sosial. Mereka disebut sebagai priyayi baru. Juga, terdapat pula priyayi yang berasal dari Sumatera Barat, orang-orang yang menganut budaya rantau yang memungkinkan keterbukaan mereka atas cara bersikap, berpikir, dan bertindak yang baru. Mahasiswa asal Hindia Belanda ini kemudian menggabungkan diri ke dalam Indische Vereeniging (IV, Perhimpunan Hindia). Tujuan IV yaitu memperjuangkan kepentingan orang Hindia di Belanda dengan tetap menjaga kekerabatan baik dengan pemerintah Hindia Timur Belanda.
Benih lain pergerakan kebangsaan muncul akhir acara rombongan haji orang Hindia-Belanda di Mekah. Snouck Hurgronje (islamolog Belanda) secara khusus mengamati proses interaksi jamaah haji ini. Sebagian dari mereka menetap di Mekkah dan mendirikan Kampung Jawi, suatu koloni orang Hindia-Belanda di kota Mekah. Di Mekah, jamah haji dari kepulauan Indonesia mempelajari aliran-aliran Islam reformis dan modernis yang tengah mengalami revivalisasi ketika itu. Mereka membayangkan bagaimana jikalau mereka bersatu melawan kemapanan negara kolonial Belanda sebagai representasi Barat. Mulai muncul keinginan mendirikan negara Islam di Indonesia.
Pembiakan ideologi kebangsaan jamaah haji ini kemudia berpindah dari Mekah ke Kairo, yang lebih dinamis secara intelektual. Suasana sosial dan intelektual Kairo juga lebih segar ketimbang Hijaz. Di Universitas Al Alzhar mereka mempelajari pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Di Kairo ini pula kemudian sebuah organisasi berjulukan Jamiah Setia Pelajar berdiri pada 1912. Secara ideologis, organisasi ini banyak dipengaruhi pemikiran Muhammad Rasyid Ridha diwarnai berkembangnya rasa kesatuan Jawi.
Gerakan kebangsaan lain yang bersifat politis dilakukan oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya mengkampanyekan penciptaan sebuah bangsa yang satu jiwa yang hidup dan romantis. Dekker kemudian mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) bersama Soewardi dan Tjipto. Dekker ini yaitu indo, peranakan adonan Jawa-Belanda, sementara dua lainnya priyayi Jawa yang progresif.
Gagasan dasar Indische Partij yaitu mendirikan suatu negara yang bukan didasarkan solidaritas etnis, ras, keterikatan pada agama tertentu, ataupun kedekatan geografis. Tujuan yang hendak dicapai IP yaitu ikatan kebangsaan yang sama sekali baru, yaitu berdasarkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas yang muncul dari pengalaman tersebut. Pengalaman yang dimaksud yaitu rasa sama-sama ditindas oleh kekuatan kolonial. Bagi Dekker, yang membentuk negara bukanlah kesatuan ras, kepentingan ataupun bahasa, melainkan kesatuan aturan yang mengatur wacana negara. Akibat aktivitasnya, tiga serangkai kemudian dibuang ke negeri Belanda dan IP sebagai organisasi dibubarkan pemerintah kolonial.
Secara umum, konsep Indonesia yang tengah ini berkembang tidaklah monolitik. Hindia-Belanda ketika itu juga disemaraki semangat berdasar primordialisme yang membentuk masyarakat majemuk. Sentimen-sentimen agama, suku atau kedaerahan juga sangat berpengaruh jauh sebelum Indonesia merdeka. Contohnya Sarekat Islam, satu organisasi massa besar dan lintas pulau tetapi mendasarkan diri pada agama ini tumbuh 1912. Sarekat Islam bukan satu-satunya organisasi yang didasarkan pada semangat primordialisme.
Perserikatan Minahasa (juga berdiri 1912) terbentuk sebagai reaksi atas munculnya Budi Utomo (1908) yang menekankan pada Kejawaan. Perserikatan Minahasa juga terbentuk akhir kekerabatan khas wilayah tersebut dengan kolonial Belanda. Inti dari perserikatan ini yaitu wahana berkumpulnya para prajurit Nasrani Manado yang ditempatkan di Jawa Tengah. Pada perkembangannya, perserikatan ini mengupayakan pemerintahan sendiri dan dibalas oleh kolonial Belanda dengan pembatalan hak-hak istimewa mereka.
Reaksi yang sama juga terjadi dengan didirikannya Pasundan tahun 1914, yang berupaya memperkuat identitas suku Sunda di Jawa Barat. Juga ada Kaum Betawi, yang melibatkan penduduk orisinil Batavia. Bulan Mei 1920 berdiri pula Sarekat Ambon, disusul Jong Java dan Jong Sumatranen Bond (JSB) berdiri 1917. Jong Java terinsirasi konsep Jawa Raya, sementara JSB yaitu kumpulan orang Sumatra dari aneka wilayah dan tinggal di Jawa. JSB menghendaki penyisihan sentimen kesukuan berdasarkan asal-usul wilayah Sumatera dan menyebut diri hanya selaku orang Sumatera saja.
Sarekat Ambon (SA) didirikan di Semarang. Kebanyakan anggotanya orang Ambon yang jadi tentara kolonial Belanda yang bermarkas di Semarang. Para pendirinya berupaya merangkul banyak orang Nasrani Ambon yang bekerja di kalangan kerah putih di Jawa. Salah satu tokohnya, A.J. Patty, sangat terpengaruh gagasan Douwes Dekker. Baginya, tujuan SA yaitu mengangkat orang Ambon secara material dan spiritual, termasuk minoritas Muslim dalam masyarakat Ambon, dan dengan demikian SA ini mulai mengatasi sentimen primordial. Terdapat pula seorang pemimpin Batak, Manullang, pada 1919 yang membandingkan nasib mereka dengan kemakmuran dan kekuasaan kaum kapitalis kulit putih. Di kalangan jurnalis, Abdul Muis – jurnalis Sumatera Barat – menyatakan bahwa kemerdekaan Hindia-lah, bukan kemerdekaan koloni Hindia Belanda, yang harus menjadi tujuan tindakan Pemerintah.
Maraknya sentimen kesukuan di kalangan penduduk Hindia Belanda dimanfaatkan Belanda untuk memecah belah (divide et impera). Lewat distributor utamanya yaitu H. Colijn, mereka menghembuskan provokasi yang berupaya menguatkan sentimen perbedaan suku, bahaya dominasi Jawa, serta mengibarkan rasa takut akan hilangnya identitas etnis masing-masing jikalau Indonesia jadi berdiri. Tindakan ini dibalas oleh Perhimpunan Hindia dengan pernyataan orang Jawa tetap orang Jawa, orang Sumatera tetap orang Sumatera, orang bukan bunglon, tapi semuanya bergabung menjadi satu bangsa, satu negara.
Pembentukan nation Indonesia awal ini mempunyai sejumlah kontradiksi. Kontradiksi tersebut muncul akhir terdapatnya 2 kaidah – berdasarkan Elson – yang berbeda seputar perlunya suku-suku Hindia-Belanda bersatu.
Kaidah pertama mengutamakan kesatuan budaya pribumi Indonesia, dengan tokohnya Soeryo Poetro di Belanda. Kaidah ini menganggap orang-orang Hindia Belanda bukanlah kumpulan ras yang bermacam-macam melainkan satu bangsa yang berasal dari leluhur yang sama. Alasan lainnya, sejarah menunjukkan mereka telah terlibat kekerabatan dagang yang aktif antar sesamanya. Sehingga, kekuatan Indonesia akan tiba dari kesadaran bangsa Indonesia bahwa mereka semua bersaudara. Pada akhirnya, mereka semua akan melihat kekuatan besar macam apa yang tersembunyi di dalam bangsa Indonesia yang terbentuk berdasarkan kesatuan budaya ini.
Kaidah kedua mengutamakan kesatuan berdasar nasib terjajah. Ini diajukan oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo dengan visinya sendiri berupa nasionalisme antarpulau Indonesia yang terbangun atas ikatan yang tidak mempedulikan seberapa besar perbedaan budaya dan sejarah setiap suku. Hal yang paling penting, berdasarkan Tjipto, yaitu mengupayakan terbentuknya suatu ikatan besar yang mempersatukan mereka semua. Ikatan tersebut yaitu kesamaan penjajahan ekonomi dan politik oleh suatu kekuatan asing, yang dialami oleh semua suku, agama, ras, dan golongan yang ada di Hindia Belanda.
Rasialisme juga mulai menggejala di pergerakan awal Indonesia. Pada tahun 1919 misalnya, Hasan bin Sumayt (seorang Arab Yaman, Hadramaut) ditolak masuk Sarekat Islam lantaran dianggap orang asing. Kasus tersebut bukanlah satu-satunya. Kasus-kasus ini muncul akhir acara persamaan hak Insulinde yang dipromosikan pemerintah Kolonial. Muncul kekhawatiran di kalangan pribumi bahwa tidak usang lagi, tanah orang Jawa akan beralih dari kolonial Belanda ke tangan kolonial berbangsa Arab, Cina, dan ataupun Eropa selain Belanda.
Hingga tahun 1920-an, gagasan Indonesia sudah sangat berpengaruh berhembus. Tahun 1922, mahasiswa Indonesia dan Malaya di Universitas Al Azhar Kairo mendirikan Jama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azharian al-Djawiah (Jamaah Kesejahteraan Mahasiswa Jawa Al-Azhar). Di Belanda, pada 1922 juga, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan memakai nama Perhimpunan Indonesia secara tetap mulai 1925. Kata Indonesia mulai digunakan, dan kemerdekaan Indonesia yaitu tujuan utama dari Perhimpunan Indonesia ini.
Tahun 1922 Kongres Seluruh Hindia di Hindia-Belanda diadakan. Tujuannya mengupayakan persatuan berdasarkan model Kongres India dan memperjuangkan otonomi Hindia di bawah persemakmuran Belanda dengan kemitraan setara. G.S.S.J. Ratulangie mulai memperkenalkan nama Indonesia. Tahun 1923, H.O.S. Tjokroaminoto mengadakan Kongres Nasional Hindia, juga memalsukan model India. Tujuan kongres yaitu menyatukan organisasi-organisasi lokal dan regional untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan nasional. Di kongres tersebut, Tjokroaminoto menyatakan untuk jangan melupakan gagasan kesatuan bangsa. Jangan pula membeda-bedakan antar ras dan suku, orang Sumatra, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi dan Borneo. Semuanya orang Hindia. Sayangnya, Sarekat Islam yang dipimpinnya lambat-laut semakin larut dalam gerakan Pan-Islamis, untuk kemudian hilang dari proses-proses pembentukan nasion Indonesia kemudian.
Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, memulai tugas pentingya selaku motor konsep Indonesia merdeka. Jurnal bulanan organisasi ini, Indonesia Merdeka, mulai terbit semenjak 1924. Pelanggannya yaitu Tjokroaminoto, Abdul Muis, Tjipto Mangoenkoesoemo, Abdul Rivai, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Sarekat Islam, Indonesische Studieclub, bupati dan pejabat pemerintah senior pribumi, van Vollenhoven, Sneevliet, G.J. Hazeu, Snouck Hurgronje, redaksi koran-koran Belanda, organisasi-organisasi internasional, pangeran Solo dan pendukung nasionalisme Jawa, Mangkunegoro VII, dan redaktur Seruan Al Azhar (jurnal organisasi Jama’ah yang didirikan di Kairo).
Tahun 1927 Sukarno mendirikan Partai Indonesia. Akibat acara politiknya, Sukarno dipenjarakan oleh pemerintah kolonial. Dalam eksepsinya, Indonesia Menggugat, Sukarno menyatakan harus diakhirinya penghisapan bangsa oleh bangsa. Penegasan ke arah Indonesia merdeka pun semakin kentara. Dengan kata lain, penegasan Sukarno dan lain-lain pemimpin pergerakan kemerdekaan mewakili kenyataan bahwa secara politik konsep Indonesia sebagai sebuah nation relatif sudah terbentuk secara jelas. Tahun 1928 dalam Kongres Nasional Pemuda Indonesia diucapkan Soempah Pemoeda yang diucapkan oleh gabungan jong-jong primordial. Dalam sumpah ini representasi masing-masing daerah hadir untuk berikrar hendak mengikatkan diri ke dalam satu nasion baru: Indonesia.(sb)
- Michael Kimmel and Amy Aronson, Sociology Now (Boston: Pearson Higher Education, 2010) p. 70.
- Ibid., p. 70-1.
- Paparan mengenai genealogi terbentuknya Indonesia disajikan dalam goresan pena selanjutnya.
- Mark Kirby, et.al., Sociology in Perspective (Oxford: Heinemann Educational Publishers, 2000) p.731.
- John J. Macionis, Sociology ..., op.cit.,p.358.
- Ibid., p. 732.
- Ibid., p.361.
- Saad Z. Nagi, Nationalism dalam Edgar F. Borgatta and Rhonda J.V. Montgomery, eds. Encyclopedia of Sociology, Volume 3, Second Edition (New York: Macmillan Reference USA, 2000) p.1939.
- Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: KPG, 2008) h.7.
- Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, Cet.22, 2007) h.1-21.
- Bernard H. M. Vlekke, Nusantara ..., op.cit., h.8. Teori klarifikasi kemudian masih mengacu pada catatan kaki ini.
- Koentjaraningrat, Manusia ..., op.cit., h.4.
- Ibid., h.7.
- Ibid., h.8.
- R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, (Yogyakarta: Kanisius, Cet.23, 2008) h.23-4. Sebelum terbit catatan kaki lain, kajian mengikut pada pendapat Soekmono ini.
- R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: Serambi, 2008). h.1-11. Penjelasan selanjutnya, sebelum diseling footnote lain, dilakukan mengikuti pendapat R. E. Elson ini.
- Jan B. Avé, Indonesia, Insulinde and Nusantara: Dotting the i’s and crossing the ‘t (Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde 145 (1989), No. 2/3, Leiden) pp. 220-234.
- Ibid. Keduanya juga lahir di Indonesia: Wilken lahir di Tomohon, Minahasa (Sulut) sementara Kern lahir di Purworejo (Jateng).
- Ibid.
- R.E. Elson, The Idea ..., op.cit.
- M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008) h. 58-9.
- Jan B. Avé, Indonesia ..., op.cit. Jurnalnya yaitu Hindia Poetra berubah nama menjadi Indonesia Merdeka tahun 1923.
pembentukan masyarakat indonesia siapa insan indonesia moyang orang indonesia jenis-jenis masyarakat perubahan
0 Response to "Proses Terbentuknya Masyarakat Indonesia"
Posting Komentar