Pengaruh Sistem Pemerintahan Terhadap Kinerja Birokrasi

Pengaruh sistem pemerintahan parlementer ataupun presidensil terjadi pada performa kerja suatu birokrasi, yang terutama di Negara-negara demokratis tidak lepas begitu saja dari proses pemilihan pejabat publik yang dihasilkan. Legitimasi atas keberhasilan suatu Pemilihan Umum, sebagai missal, sangat menentukan kontribusi masyarakat atas pejabat-pejabat publik yang nantinya duduk di struktur birokrasi. Ini kemudian juga berafiliasi dengan jenis sistem pemerintahan yang dianut atau diatur konstitusi suatu Negara. Potret Indonesia


Pada bagian-bagian awal telah dipaparkan, dilema dasar dari kekerabatan demokrasi dan birokrasi yaitu melaksanakan harmonisasi antara paradoks-paradoks yang dikandungnya. Demokrasi menghendaki keterbukaan, kompetisi, pelibatan seluruh warganegara, sementara birokrasi menghendaki efektivitas, hirarki keputusan, dan keketatan.

Di dunia, dikenal 2 jenis sistem pemerintahan yang banyak dipakai: Presidensil dan Parlementer. Dalam sistem Presidensil, Presiden yaitu kepala pemerintahan. Ia dipilih pribadi dari suatu Pemilu. Pasca pemilu selesai dan menang, kemudian presiden mempunyai hak prerogative untuk menyusun kabinet menteri dan menjalankan birokrasi. Partai-partai yang kalah biasanya membentuk oposisi di tingkat dewan legislatif guna mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dijalankan presiden dari partai yang menang. Sementara, anggota dewan legislatif dari partai yang menang relative menggalang kontribusi bagi kebijakan presiden dari partai mereka.

Dalam sistem parlementer persoalannya berbeda. Dari satu pemilu sudah termaktub terang komposisi perolehan dingklik di parlemen. Pemimpin dari partai yang menang biasanya otomatis menjadi Perdana Menteri. Perdana Menteri ini menjadi kepala pemerintahan. Namun, ia tidak sanggup “leluasa” menentukan anggota kabinet menterinya. Ia harus memperhatikan komposisi suara. Semakin besar perolehan bunyi suara partai, semakin banyak “jatah” dingklik menteri yang didapat suatu partai akseptor pemilu. Kerumitan ini pun ditambah sebagian partai yang menyatakan diri selaku oposisi.

Di antara dua model ini (parlementer dan presidensil), juga terdapat sejumlah varian yang disebut hybrid (semi-parlementer atau semi-presidensil). Model hybrid ini biasanya diterapkan untuk mengatasi sejumlah kebuntuan kekerabatan legislatif-eksekutif dalam sistem presidensil ataupun demi pembentukan pemerintahan yang lebih efektif dalam sistem parlementer. Indonesia, yang meski konstitusinya menganut sistem presidensil pada prakteknya yaitu semi-parlementer. Ini jawaban fragmentasi partai politik yang menyebar sehingga satu partai pemenang pemilu tidak menguasai 50 plus 1 dingklik di parlemen.

Akibat tidak menguasai parlemen, partai pemenang pemilu lakukan koalisi. Ini guna mengefektifkan proses pengesahan undang-undang yang diajukan presiden di legislatif. Sebagai kompensasisnya, partai yang diajak koalisi meminta sejumlah syarat, contohnya “jatah” di kementerian.

Jadi, kendati di sistem presidensil presiden punya hak prerogative menentukan menteri, ini menjadi tidak berlaku tatkala bunyi partai presiden bukanlah dominan 50 plus satu di parlemen. Kabinet yang meritokrasi tidaklah sanggup diwujudkan oleh lantaran belum tentu calon menteri yang diajukan partai akseptor koalisi yaitu expert di bidang kedepartemenannya. Menteri-menteri inilah yang nantinya menjalankan roda birokrasi harian Negara.

Dengan kata lain, dilema kekerabatan antara birokrasi dan demokrasi tidaklah sederhana. Pengharmonisasian paradoks yang terkandung dalam kekerabatan birokrasi dan demokrasi juga harus memperhatikan polarisasi (pengkutuban) ataupun fragmentasi partai-partai politik yang ada di suatu Negara. Ini dengan perkiraan birokrasi yang terbentuk di suatu Negara tidaklah lepas dari komposisi perolehan bunyi partai-partai. Setiap partai yaitu biro mobilisasi yang punya kepentingan mewujudkan bunyi konstituennya dalam kebijakan-kebijakan Negara.

Bagaimana mewujudkan strong government di sebuah Negara demokratis, lantaran itu, menjadi dilema yang harus diperhatikan. Strong government ini penting guna menjamin efektifnya suatu birokrasi. Sebab, kerja-kerja birokrasi membutuhkan kejelasan dan ketetapan sebuah instruksi. Apa yang terjadi apabila kebijakan politik terus dalam kondisi pro dan kontra ataupun sering berubah-ubah?

Bentuk Sistem Pemerintahan

Presidensial dan Parlementer meruapakan 2 jenis sistem pemerintahan yang popular dikala ini. Tentu saja, di antara kedua model tersebut terdapat sejumlah varian yang disebut “hybrid.” Mengapa dilema kedua bentuk sistem pemerintahan tersebut penting dalam masalah tata kekerabatan antara birokrasi dan demokrasi? Apa kekerabatan antara kedua bentuk sistem pemerintahan tersebut dengan masalah polarisasi politik?

Masalah tata kekerabatan antara birokrasi dan demokrasi haruslah dipandang secara komprehensif. Demokrasi merupakan prosedur yang menghasilkan pejabat-pejabat public. Pejabat-pejabat public ini kemudian yang akan mengangkat staf-staf birokrasi yang tersebar di anekan departemen Negara. Dalam mengangkat staf tersebut, terdapat sejumlah cara berbeda terkait dengan model sistem pemerintahan yang berlaku di Negara tersebut.

Lalu, polarisasi politik muncul dengan efek berbeda terkait model sistem pemerintahan yang berlaku. Dalam sistem parlementer, polarisasi politik inheren (melekat) di dalam bangunan direktur jawaban direktur merupakan hasil pribadi dari komposisi bunyi hasil pemilu. Sementara, dalam sistem presidensil, polarisasi politik secara diametral terbangun antara direktur vis a vis legislatif.

Polarisasi politik ini kemudian besar lengan berkuasa terhadap roda birokrasi. Seperti diketahui, birokrasi merupakan lini pemerintah yang pribadi berhadapan dengan layanan masyarakat atau warganegara. Dalam menjalankan roda birokrasi, birokrat memerlukan “payung” aturan lantaran dasar mengambil suatu kebijakan.

Masyarakat merupakan entitas yang dinamik yang selalu mengalami perubahan setiap saat. Butuh undang-undang gres terkait perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat. Eksekutif tidak sanggup begitu saja menerbitkan undang-undang tanpa ada persetujuan dari legislatif. Jika kekerabatan antara direktur dan legislatif kurang harmonis, maka sanggup dipastikan produk sebuah undang-undang gres akan menerima kendala. Ujungnya, birokrasi kesulitan dalam menerapkan suatu peraturan terkait perkembangan gres itu.

Sebab itu, perlu kiranya disampaikan sejumlah kelebihan dan kekurangan yang menempel pada baik sistem presidensil maupun parlementer. Telaah atas kelebihan dan kekurangan masing-masingnya akan mempermudah analisis atas polarisasi politik yang menjadi hambatan kerja birokrasi.

Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem parlementer murni merupakan kesalingtergantungan murni antara direktur dan legislatif.1 Kekuasaan kepala direktur (perdana menteri) harus didukung oleh dominan legislatif dan sanggup jatuh lewat mosi tidak percaya parlemen. Perdana menteri dalam sistem parlementer punya posisi hampir setara dengan menteri-menteri lain, kendati punya wewenang tertentu yang lebih tinggi dalam menciptakan keputusan.

Menteri-menteri dalam sistem parlementer sekaligus pula anggota parlemen. Pemerintah, lantaran itu, bertanggung jawab kepada parlemen. Sebab itu, kekerabatan antara direktur dan legislatif cukup erat.

Kelebihan sistem parlementer adalah: Pertama, ketidakstabilan direktur yang inheren menciptakan sistem ini sangat fleksibel dalam merespon perkembangan-perkembangan terbaru di tingkat warganegara. Partai-partai harus dimintai persetujuan terlebih dahulu guna membentuk suatu pemerintahan. Persetujuan ini pada sisi selanjutnya menciptakan perundingan politik antara perdana menteri dan dewan legislatif jauh lebih gampang ketimbang di sistem presidensil.

Kedua, kelebihan sistem parlementer yaitu kemampuannya menuntaskan kebuntuan kekerabatan eksekutif-legislatif. Administrasi Negara memerlukan kontribusi perangkat legislasi. Jika orang yang menjalankan kebijakan berbeda dengan yang membuatnya, maka akan muncul kontroversi dalam implementasi sebuah kebijakan. Sistem parlementer diyakini bisa membangun sinergis antara undang-undang yang dibuat dengan pelaksanaannya.

Ketiga, kelebihan dari sistem parlementer yaitu kemampuannya untuk terbuka ketimbang tertutup. Dalam sistem parlementer, direktur mau tidak mau harus melaksanakan power-sharing dengan dewan legislatif dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Dengan kata lain, direktur dan legislatif membangun suatu pemerintahan yang didasarkan pada kolegialitas. Sejumlah peneliti menemukan, pemerintahan kolegialitas ini banyak menemui kemajuan dalam peningkatan GNP, tingkat pengangguran yang rendah, tingkat protes atau kerusuhan yang juga rendah.2

Namun, di samping kelebihan, sistem pemerintahan parlementer juga menemui sejumlah kekurangan. Salah satunya yaitu kurangnya pemisahan kekuasaan di sistem ini kemungkinan menciptakan direktur mendominasi parlemen. Namun, kemampuan mendominasi ini sebetulnya hanya terdapat di hasil pemilu di mana satu partai memperoleh bunyi 50 persen plus satu. Di hasil pemilu dengan bunyi partai berkuasa kurang dari mayoritas, sulit bagi perdana menteri mendominasi parlemen, tentunya.

Kekurangan lain dari sistem parlementer yaitu ia menghendaki stabilitas eksekutif. Pada kenyataannya, jawaban kekuasaan parlemen, sanggup saja seorang perdana menteri diberhentikan di tengah jalan andaikan dominan anggota dewan legislatif berhasil menggalang koalisi untuk itu. Inilah yang terjadi di Indonesia tatkala berlaku demokrasi liberal pertama 1950 – 1959.

Sistem Pemerintahan Presidensil

Banyak diyakini, sistem presidensil membawa pada instabilitas dan konflik. Eksekutif berasal dari pemilu tersendiri yang beda dengan pemilu untuk legislatif. Ada kemungkinan partai pemenang pemilu dewan legislatif kalah dalam pemilu presiden. Sebab itu, direktur tidak punya kekerabatan akrab dengan dewan legislatif jawaban dua pemilu berbeda ini: Ia bertanggung jawab pribadi kepada pemilih (seluruh warganegara).

Beda dengan parlementer, dalam presidensil presiden pribadi menentukan menteri yang menjadi subordinasinya. Presiden merupakan satu-satunya direktur di dalam pemerintahan. Parlemen terpisah dengan presiden, yang fungsinya hanya mengawasi kinerja presiden.

Kelebihan dari sistem presidensil yaitu stabilitas posisi presiden dalam jangka tertentu, sesuai konstitusi, 4 atau 5 tahun. Presiden punya legitimasi yang lebih tinggi oleh lantaran ia dipilih pribadi oleh seluruh warganegara, bukan menyerupai perdana menteri yang disepakati hanya oleh anggota parlemen. Kelebihan lain dari presidensil adalah, terjadinya pemisahan kekuasaan dengan dewan legislatif bisa membatasi tirani pemerintaha oleh parlemen.

Sementara itu, kekurangan dari sistem presidensil yaitu kuatnya kemungkinan kebuntuan politik antara direktur dan legislatif. Ini terutama mengemuka di Negara-negara dengan sistem kepartaian yang terfragmentasi. Eksekutif kemungkinan tidak sanggup menjalankan kebijakan apapun jawaban selalu “ditakling” oleh dewan legislatif dalam hal klarifikasi maupun pengesahan undang-undang.

Selain itu, presidensil dianggap kaku. Sulit bagi presiden mengajukan undang-undang secara pribadi jawaban ia harus menghadapi dewan legislatif terlebih dahulu. Berbeda halnya dengan parlementer, di mana perdana menteri merupakan pecahan “tak terpisah” dari parlemen.

Posisi Birokrasi dalam Setiap Sistem Pemerintahan

Birokrasi pada pada dasarnya merupakan pecahan dari kerja eksekutif. Selaku implementasi undang-undang, direktur mempunyai “tangan” yaitu birokrasi. Birokrasi ini tersebar berdasarkan departemen-departemen ataupun kementerian-kementerian yang ada di suatu Negara. Dalam sistem presidensil, menteri diangkat secara prerogative oleh presiden, dan dengan demikian presiden mempunyai kendali atas staf dan kebijakan yang ada di suatu birokrasi. Dengan lain perkataan, terdapat suatu “hirarki” antara presiden dengan birokrasi Negara.

Di sisi lain, sistem parlementer menghendaki pembagian dingklik kementerian didasarkan pada komposisi bunyi parlemen. Menteri, yaitu anggota dewan legislatif yang tidak bertanggung jawab kepada presiden tetapi kepada parlemen. Sebab itu, garis kebijakan suatu kementerian ada kalanya punya perbedaan (dalam derajat tertentu) dengan kebijakan si perdana menteri. Persoalan yang kemudian muncul adalah, ketidaksinergisan kebijakan yang dikembangkan perdana menteri dengan kementerian.

Pada titik ini, kinerja suatu birokrasi berkait erat dengan polarisasi politik yang berkembang di sistem kepartaian. Dalam sistem politik dengan polarisasi hanya 2 partai menyerupai Amerika Serikat, polarisasi menjadi sederhana dan perundingan relative gampang dibuat jawaban kesederhanaan jumlah. Namun, ancaman muncul kalau satu partai menguasai dewan legislatif sementara partai lainnya menguasai eksekutif. Kebuntuan politik kemungkinan muncul dan menghambat kinerja birokrasi.

Namun, sistem presidensil ini menemui kesulitan tatkala polarisasi politik terjadi di lebih dari 2 partai politik menyerupai Indonesia. Partai pemenang pemilu dewan legislatif tidak beroleh bunyi mayoritas. Suara tersebar di aneka partai politik dengan ideology politik serta platform partai yang berlainan. Polarisasi ini kemudian berimbas pada eksekutif, di mana partai pemenang yang tidak dominan mengajukan calon yang terpaksa harus menggandeng partner koalisi. Partner koalisi ini ternyata mempunyai aktivitas politik tersendiri yang tidak sinergis dengan presiden.

Akibat ketidaksinergisan antara presiden dari partai pemenang pemilu dengan partner koalisi, menciptakan roda birokrasi menjadi tersendat. Di Indonesia, masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap) kemungkinan diakibatkan KPU yang “kebingungan” jawaban roda-roda birokrasi bawah yang kurang sinergis kerjanya. Misalnya, gubernur dari partai A, wakil gubernur dari partai B, bupati atau walikota dari partai B. Adalah sifat murni dari partai-partai politik punya kepentingan mandiri, yang terkadang lagi sekadar mementingkan kepentingan kelompok mereka bukan Negara secara keseluruhan.

Birokrasi yang efisien yaitu yang terdiri atas ukuran, struktur, dan skill yang bisa mendistribusikan kualitas layanan kepada public dan berkontribusi pada tujuan politik dan social ekonomi Negara.3 Dengan kata lain, dilema penting yaitu bagaimana melaksanakan pembatasan intervensi kompetisi politik dan imbas eksekutif-legislatif atas kerja-kerja birokrasi.

Para pejabat yang dipilih lewat pemilu mempunyai jangka waktu kekuasaan. Presiden Indonesia, sebagai missal, maksimal hanya sanggup memerintah 2 x 5 tahun. Demikian pula para menteri yang terlibat di dalam kabinetnya, termasuk para anggota parlemen. Ini berbeda dengan para staf birokrasi, yang pekerjaan mereka berlangsung hingga masa pensiun, atau dengan pernyataan yang lebih tegas: Lebih usang dari politisi.

Kerja birokrasi ditujukan kepada umum, tanpa diskriminasi afiliasi partai politik. Sebab itu, biasanya para pegawai negeri dan militer tidak diperkenankan menjadi penggagas partai politik, yang kalau berkehendak demikian, harus keluar terlebih dulu dari status pegawai negeri dan kemiliterannya.

Namun, kerja-kerja dari birokrasi ini “rentan” terhadap imbas politik dari para pejabat politik yang terpilih lewat pemilu. Presiden, anggota parlemen, gubernur, walikota, menteri-menteri, bahkan bupati kerap member imbas tersendiri terhadap kinerja birokrasi. Terkadang, mereka mempengaruhi birokrasi biar mengadopsi kebijakan yang popular hanya bagi konstituen partainya, bukan warganegara secara keseluruhan.

Problem “sterilitas” birokrasi dari imbas politik ini diantaranya dibahas oleh Matthew J. Stephenson.4 Artikelnya melaksanakan penentangan atas pendapat yang berkembang bahwa imbas politik dari para politisi yang terpilih merupakan keniscayaan. Pendapat ini berdasarkan asumsi, politisi yang dipilih merepresentasikan bunyi dominan pemilih. Sebab itu, imbas yang diberikan oleh politisi kepada birokrasi yaitu wajar. Pandangan politisi fleksibel terhadap perkembangan masyarakat, sementara birokrasi tidak.

Stephenson menolak argument ini dengan menyatakan posisi seorang pejabat yang terpilih lewat pemilu selalu mempunyai bias penyimpangan.5 Ia mengambil contoh, seorang presiden dari Partai Republik di Amerika Serikat selalu cenderung “menyimpang” dari kepentingan dominan warganegara oleh lantaran presiden tersebut bercorak konservatif. Sementara, presiden dari Partai Demokrat cenderung lebih liberal dari warganegara. Argumen ini diperkuat dengan kenyataan, bahwa pejabat politik yang dipilih lewat pemilu punya keterbatasan waktu kekuasaan.

Namun, pemisahan antara “birokrat” dan “politisi” menjadi sulit. Kerja-kerja birokrasi ditentukan oleh janji antara direktur dan legislatif.6 Jadi, kerja-kerja birokrasi sebetulnya pun merupakan produk politik. Para pengambil keputusan (politisi) lantaran itu mempunyai kepentingan tertentu dalam kinerja birokrasi. Birokrasi, lantaran itu, sulit memisahkan diri dari imbas politisi. Kebijakan-kebijakan pengaturan yang dilakukan birokrasi merupakan hasil, baik dari intervensi politik maupun birokrasi.

Jalinan rumit ini di antaranya sanggup diambil benang merahnya lewat identifikasi kepentingan antara politisi dan birokrat. Politisi termotivasi bertindak untuk memuaskan para pemilih, dan lantaran itu ia sanggup memenangkan pemilu. Birokrat, termotivasi oleh karir serta tercapainya tujuan-tujuan birokrasi yang ia pimpin. Birokrat biasanya kurang terpolarisasi secara politik ketimbang politisi, tetapi kurang fleksibel.

Motivasi dari birokrat dan politisi ini merupakan suatu “pendamai” dalam konteks intervensi birokrasi oleh kekuasaan politik. Politisi mempunyai nilai lebih dalam pandangan birokrat jawaban fleksibilitas dan kelonggaran waktunya. SEmentara, birokrat mempunyai nilai tersendiri bagi politisi jawaban kemampuan teknisnya dalam menuntaskan sejumlah dilema yang sedang menjadi informasi public. Cara pandang ini kemungkinan sanggup menjembatani polarisasi yang kemungkinan muncul dalam politik suatu Negara.

Serumit apapun polarisasi politik yang muncul, setiap politisi pasti punya kepentingan hendak terpilih kembali sebagai pejabat public. Sebab itu ia harus menandakan kepada pemilihnya bahwa ia bisa menuntaskan sejumlah persoalan. Sebab itu, ia kemudian bergantung kepada para birokrat, yang juga bergantung pada para politisi dalam pengembangan karir birokrasi dan promosi-promosi yang mungkin akan ia peroleh kalau berhasil menuntaskan suatu tugas.

Kesimpulan

  • Kesatu. Polarisasi politik muncul dalam Negara yang menerapkan demokrasi, dan ini muncul lewat fragmentasi bunyi hasil pemilihan umum.
  • Kedua. Polarisasi politik berbeda fokus masalahnya bergantung pada pemikiran sistem pemerintahan yang digariskan konstitusi, apakah presidensil, parlementer, ataukah hybrid.
  • Ketiga. Efek polarisasi politik terhadap kinerja birokrasi lebih kentara di sistem parlementer ketimbang presidensil, oleh lantaran kementerian dalam parlementer terdiri atas komposisi wakil partai yang berbeda baik platform maupun kepentingan.
  • Keempat. Efek polarisasi politik juga terjadi di sistem presidensil, di mana direktur sanggup mengalami kebuntuan politik dalam menggolkan suatu undang-undang selaku payung aturan kerja birokrasi di tingkat parlemen.
  • Kelima. Suatu bentuk yang ideal adalah, birokrasi melaksanakan pembatasan imbas politik pejabat yang dipilih lewat pemilu. Ini dengan dasar jangka waktu, skill, dan cakupan kerja birokrasi berbeda dengan para pejabat yang dipilih lewat pemilu.
  • Keenam. Intervensi kekuasaan politik atas birokrasi sanggup diselami lewat kepentingan inheren dari birokrat dan politisi.
-------------------------------------------
Referensi

  • Alberto Messina and Guido Tabellini, Bureaucrats of Politicians? Part I: A Single Policy Task, (Harvard University and Bocconi University, 2006)
  • H. Emre Bagce, The Role of Political Institutions in Tackling Political Fragmentation and Polarization: Presidentialism versus Parlementarism, (C.U. Iktisadi ve Idari Bilimler Dergisi, Cilt 3, Sayi I, 2002)
  • Jean Encrinas-Franco, Reengineering the Bureaucracy: Issues and Problems, (Senate of the Philippines: Policy Insight, April, 2005)
  • Matthew J. Stephenson, Optimal Political Control of the Bureaucracy, (Michigan: Michigan Law Review, Vol.107:53, October 2008)
 tags:
kiprah birokrasi negara birokrat berpolitik polarisasi politik sistem pemerintahan manajemen negara presidensil parlementer polarisasi politik

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengaruh Sistem Pemerintahan Terhadap Kinerja Birokrasi"

Posting Komentar