Kelemahan Dan Keterbatasan Demokrasi

Demokrasi mempunyai keterbatasan. Demokrasi mempunyai kelemahan. Demokrasi, sebagai tata cara “governance” tidaklah tepat kendati sekarang banyak dipraktekkan negara-negara di dunia. Kendati demikian, di antara ragam tata cara memerintah lainnya, demokrasi kiranya yang paling terbuka dan bersedia untuk dikritik. Publik mempunyai kesempatan yang cukup besar dalam mengkritisi kinerja pemerintah lewat mekanisme demokrasi ini.


Tulisan ini tidaklah dimaksudkan meneliti kelebihan-kelebihan demokrasi. Tulisan semacam itu telah banyak disampaikan kalangan akademisi dan politisi kepada public. Hal yang menarik yakni mengangkat beberapa sisi kelemahan suatu demokrasi. Harapannya, dengan mengetahui sisi lemah demokrasi kita sanggup mengajukan saran dan pemikiran konstruktif guna memperbaikinya. Potret Indonesia

Kajian kelemahan atau keterbatasan demokrasi ini akan didahului oleh kajian kontemporer akan demokrasi dari Charles Tilly. Tilly mengajukan adanya 4 pengertian demokrasi yang sekarang banyak beredar di wilayah public. Lewat identifikasi pengertian demokrasi yang beredar tersebut, dapatlah kita lebih terang mengarahkan kritisasi akan sisi lemah demokrasi.

Pengertian-pengertian Demokrasi

Charles Tilly dalam bukunya “Democracy” yang terbit tahun 2007 menyatakan, terdapat 4 pemahaman public akan demokrasi. Keempat pemahaman itu berdampak pada perbedaan penafsiran dan implementasi pemerintah suatu Negara dalam mengadopsi konsep demokrasi. Keempat definisi mengenai demokrasi itu terdiri atas:1 

  1. Demokrasi secara Konstitusional (constitutional)
  2. Demokrasi secara Substantif (substantive)
  3. Demokrasi secara Prosedural (procedural)
  4. Demokrasi secara Orientasi Proses (process-oriented)

Konstitusional. Demokrasi secara konstituonal maknanya, kajian demokrasi terkonsentrasi pada produk undang-undang yang dihasilkan suatu rezim (pemerintah berkuasa) yang berafiliasi dengan acara politik. MIsalnya kita mengenali perbedaan produk undang-undang yang dihasilkan oligarki, monarki, republic, dan jenis-jenis pemerintahan lainnya.

Di setiap Negara demokratis tersebut, kita bias bedakan apa yang namanya monarki konstitusional, system presidensil, dan parlementarian. Dalam term “konstitusional” tidak termasuk pembedaan antara apa yang namanya struktur pemerintahan federal atau kesatuan. Kajian ini mempunyai kegunaan tatkala kita membandingkan antara produk-produk undang-undang yang dihasilkan oleh Negara-negara yang “katanya” menerapkan demokrasi.

Substantif. Demokrasi secara substantif fokusnya pada kondisi kehidupan dan politik yang dikembangkan suatu rezim. Apakah rezim tersebut mempromosikan kesejahteraan warganegara, kebebasan individual, keamanan, kesetaraan, kesetaraan social, pilihan public, atau resolusi konflik secara damai? Itu merupakan pertanyaan yang diajukan kalangan yang mengartikan demokrasi secara substansial.

Dalam pengertian substansial ini, sanggup saja suatu Negara dinyatakan sebagai demokratis kendati undang-undang Negara tersebut tidak menggariskan sesuatu yang demokratis. Demokrasi dalam pengertian ini, yang mungkin menimbulkan Mohamad Hatta, founding father Indonesia, menulis artikelnya “Demokrasi Kita.” Di artikel tersebut, Hatta menyatakan bahwa demokrasi tidaklah asing bagi masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan di nagari-nagari Minangkabau, pengambilan keputusan dilakukan secara bersama berdasar musyawarah untuk mufakat. Meski tidak pernah menyebut “demokrasi”, nagari-nagari tersebut sebetulnya memberlakukan demokrasi secara substansial.

Prosedural. Demokrasi secara Prosedural yakni perhatian pada prosedur-prosedur pemerintahan yang dilakukan pemerintah. Kajian ini utamanya terfokus pada aspek Pemilihan Umum. Titik perhatiannya pada pemilihan kompetitif yang melibatkan sejumlah besar warganegara yang secara periodik ikut serta dalam pemilihan umum.

Titik perhatian pada pemilihan umum ini krusial, oleh alasannya lewat mekanisme tersebut perubahan kebijakan dan personil pemerintahan akan terjadi. Jika mekanisme pemilihan umum tidak mengandung nuansa kompetitif, penganut anutan procedural ini menganggap suatu Negara tidaklah demokratis. Ini contohnya terjadi di pemilu-pemilu Indonesia abad ORde Baru. Pemilu-pemilu yang terjadi tidaklah kompetitif oleh alasannya “Negara” ikut serta dalam pemilu lewat salah satu kontestannya. Suatu organisasi berjulukan Freedom House mengkategorikan, mekanisme dari suatu demokrasi adalah: 

  1. Sistem politik multipartai yang kompetitif,
  2. Hak pilih universal bagi orang-orang dewasa,
  3. Adanya pemilu periodic yang mengandung asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, dan
  4. Warganegara sanggup mengakses informasi seputar partai politik yang ikut bersaing secara terbuka.

Orientasi Proses. Demokrasi secara Orientasi Proses sangat berbeda dengan tiga pengertian demokrasi sebelumnya. Demokrasi dalam pengertian ini mengidentifikasi sejumlah persyaratan minimum biar suatu pemerintahan atau Negara dinyatakan sebagai demokrasi. Kajian klasik atas ini dilakukan teoritisi kampium demokrasi yaitu Robert A. Dahl. Bagi Dahl, proses-proses minimal suatu demokrasi adalah: 

  1. Partisipasi efektif. Artinya, sebelum suatu keputusan atau kebijakan diambil, masyarakat harus dilibatkan dalam hal pengutaraan pandangan-pandangan mereka.
  2. Hak bunyi yang sama. Tatkala pengambilan keputusan atas suatu kebijakan akan diambil, setiap yang terlibat harus sama hak suaranya untuk lakukan voting.
  3. Pemahaman. Menjelang pengambilan suatu keputusan, mereka yang terlibat harus berkesempatan mengkaji alternative keputusan lain berikut dampak-dampaknya.
  4. Kontrol Agenda. Semua pengambil keputusan harus berkesempatan mengendalikan cara bagaimana jalannya suatu keputusan atau kebijakan. Mereka sanggup merevisi atau memperbaikinya di suatu ketika nanti.
  5. Keterbukaan. Seluruh orang pandai balig cukup akal yang sudah datang hak pilihnya, harus berkesempatan melaksanakan voting.

Posisi Negara dan Pemerintah

Keempat pengertian demokrasi menyerupai telah disebut, lebih menitikberatkan pada dimensi-dimensi input suatu system politik. Bahkan, pengertian demokrasi konstitusional hanya menggariskan aspek “formalitas” biar suatu Negara sanggup dinyatakan sebagai demokratis.

Problem utama yang kerap muncul dalam suatu demokrasi yakni tugas Negara. Cukup banyak Negara yang termasuk demokratis, berdasarkan salah satu dari keempat pengertian tersebut, yang menemui kendala dalam “action” harian pemerintahan mereka. Jadi, bagaimana suatu pemerintahan yang menyatakan diri demokratis mengefektifkan undang-undang yang dihasilkan, merupakan pertanyaan yang perlu dijawab.

Tilly beranjak pada aspek state capacity. Tidak ada Negara demokrasi yang bisa bekerja kalau Negara kekurangan kapasitas dalam mengawasi pembuatan keputusan demokratis dan menerapkan hasil-hasilnya ke dalam praktek. Dari term kapasitas ini, muncul dua konsep lebih lanjut : Negara Kuat (Strong State) dan Negara Lemah (Weak State).

State Capacity yakni kemampuan Negara dalam mengubah distribusi sumber daya, kegiatan, dan kekerabatan antarorang. Misalnya, dalam menerapkan kebijakan anti penyelundupan narkoba di bea cukai, agen-agen pemerintah sanggup secara simultan melaksanakan perubahan yang perlu di seluruh bandara dan pelabuhan maritim yang ada di seluruh Indonesia. Jika Negara bisa mempengaruhi seluruh pejabat Negara dan pelabuhan guna mematuhi kebijakan tersebut, state capacity Indonesia dinyatakan cukup.

Sementara itu, state atau Negara, didefinisikan sebagai suatu organisasi yang memonopoli konsentrasi alat pemaksa di dalam wilayah tertentu, melebihi organisasi lain yang beroperasi di wilayah tertentu itu, dan mendapatkan legalisasi dari organisasi-organisasi lain (termasuk Negara lain), di luar teritorinya.

Sebab itu, suatu rezim dinyatakan punya “high-capacity” kalau pejabat-pejabat Negara tatkala melaksanakan tindakan, tindakan punya imbas atas sumber daya, kegiatan, dan kekerabatan interpersonal warganegara secara signifikan. Rezim yang “low-capacity” yakni sebaliknya. State Capacity inilah yang kerap memunculkan dilema instabilitas dan tidak sinkronnya kebijakan pemerintah. Ini terutama terjadi di rezim-rezim yang mengandalkan koalisi murni dalam menjalankan pemerintahannya. Eksekutif pemegang kendali implementasi kebijakan tidak padu, alasannya terdiri dari orang-orang “titipan” partai yang melaksanakan koalisi. Anggota cabinet partai tertentu yang ikut koalisi kadang punya acara sendiri dalam kebijakan departemennya. Bahkan, kadang berseberangan dengan “atasannya” yaitu presiden. Contoh untuk ini paling gampang ditemukan. Di Indonesia sebagai missal, ada menteri yang berseberangan dengan presidennya dalam hal kenaikan harga BBM. Menteri dari PKS (partai yang ikut koalisi) periode 2004-2009 pemerintahan SBY bahkan ikut serta mempromosikan hak angket menentang kebijakan penaikan BBM. Itu gres salah satu pola popular dari rapuhnya pemerintahan koalisi hasil pemilu demokratis.

Titik-titik Lemah Demokrasi: Demokrasi Anomik

Jauh sebelumnya, seorang pakar politik berjulukan Samuel P. Huntington menerbitkan sebuah buku di tahun 1970-an. Buku tersebut berjudul Political Order in Changing Societies. Buku tersebut mengkritisi dilema otoritas dan kapasitas pemerintah Negara-negara berkembang dalam mempenetrasikan kebijakan. Buku tersebut menyuratkan, partisipasi politik yang tinggi (sebagai “anak” demokrasi) tanpa diimbangi dengan pelembagaan politik dan pembangunan ekonomi yang cukup, akan berakibat pada instabilitas politik.

Suatu penelitian yang dilakukan tahun 1975 menemukan kondisi-kondisi “krisis” demokrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Michel J. Crozier (Perancis), Samuel P. Huntington (Amerika Serikat), dan Joji Watanuki (Jepang) tersebut diarahkan pada kondisi politik di Negara-negara yang mapan dalam menerapkan demorkrasi sebagai sokoguru bangunan pemerintahan.

Penelitian dilakukan di Amerika Serikat, Jepang, dan Negara-negara Eropa Barat. Hasil dari penelitian tersebut adalah, Negara-negara yang tergolong “kampiun” demokrasi tersebut menghadapi masalah. Masalah yang muncul tersebut “lahir” akhir aneka akhir yang sifatnya multidimensi : social, ekonomi, budaya, dan politik. Masalah-masalah tersebut lahir akhir “kesuksesan” atau keberhasilan dari demokrasi itu sendiri.2

Misal dari kesuksesan tersebut yakni perkembangan ekonomi yang spektakuler; meluasnya perbaikan social dan ekonomi, mencakup kurangnya konflik kelas dan semakin besarnya kelas menengah. Partai-partai politik dari aneka ragam ideology bersaing murni di setiap pemilu regular guna membentuk pemerintahan. Pihak yang kalah kemudian membangun oposisi di level parlemen.

Warganegara, baik secara individu maupun kelompok, berpartisipasi secara aktif dalam politik lebih dari masa-masa sebelumnya. Hak-hak warganegara tatkala berhadapan dengan pemerintah semakin terang jaminannya dan dilindungi. Selain itu, lembaga-lembaga kerjasama internasional bertumbuh di Eropa baik dengan tujuan ekonomi maupun politik. Ini contohnya antara Amerika Utara dengan Eropa dalam hal militer, dan di antara Eropa sendiri, Amerika Serikat, dan Jepang dengan tujuan-tujuan ekonomi.

Namun, kesuksesan demokrasi ini justru menjadikan tantangan tersendiri di Negara yang menerapkan demokrasi tersebut. Misalnya, bertumbuhnya kelas menengah telah meningkatkan impian dan aspirasi yang kerap memunculkan reaksi tatkala tidak menemui pencapaiannya. Meluaskan partisipasi politik meningkatkan tuntutan terhadap pemerintah. Juga, ekspansi penikmatan barang-jasa di kalangan anak muda dan kaum “intelektual” kelas professional telah meningkatkan porsi pembiasaan nilai-nilai social politik dan gaya hidup baru. Akibat munculnya efek-efek demokrasi ini, ketiga peneliti memperkenalkan konsep “anomic democracy.”

Meningginya derajat ketidakpuasan warganegara dan ketidakpercayaan diri pemerintah, yakni imbas dari kesuksesan demokrasi itu sendiri. Ini contohnya kentara tatkala banyak kebijakan pemerintah yang “dicemooh” kalangan warganegara (khususnya kelas menengah) dan problematikan implementasi kebijakan. Salah satu hal yang menjadikan ini yakni ketiadaan “common purpose” atau tujuan bersama. Partai, warganegara, dan kelompok-kelompok warganegara mempunyai visi dan tujuan sendiri dalam acara politik. Ini akhir meluas dan bervariasi kepentingan akhir hal-hal yang sudah disebut di cuilan atas. Ketiadaan tujuan bersama berakibat pada berkurangnya legitimasi dan support yang seharusnya diberikan kepada pemerintah.

Pemerintahan di Negara-negara demokrasi tidak lagi bermasalah dalam hal consensus (kesepakatan) dalam hukum main demokrasi. Masalah yang muncul kemudian adalah, apa yang seharusnya dicapai suatu kelompok di dalam permainan tersebut. Atau, apa yang seharusnya dicapai oleh suatu partai atau kelompok warganegara di dalam suatu periode pemerintahan.

Demokrasi, sebagai mesin pemerintahan, tetap berjalan. Namun, kemampuan orang-orang yang menjalankan mesin tersebut guna membuat keputusan cenderung menurun. Tanpa adanya tujuan bersama, tidak ada dasar bagi prioritas bersama. Tanpa prioritas, tidak ada dasar guna membedakan kepentingan dan klaim pribadi dengan Negara. Sebab itu, anomic democracy terjadi apabila terjadi konflik antara tujuan bersama (Negara) dengan kepentingan pribadi/kelompok, yang terjadi antara eksekutif, cabinet, parlemen, dan birokrat. Anomic democracy yakni politik demokrasi menjadi sekadar arena penegasan kepentingan yang saling berkonflik tersebut, bukan lagi sebagai arena di mana proses pembangunan tujuan bersama dilakukan. Anomic democracy ini muncul, sekali lagi, akhir kesuksesan demokrasi itu sendiri.

Guna meringkas proses alasannya akibat, antara keberhasilan demokrasi dan dilema yang dilahirkannya, sanggup diperhatikan beberapa point berikut: 

  1. Pengejaran keutamaan demokrasi atas persamaan hak dan individualism membawa pada delegitimasi otoritas secara umum, juga hilangnya kepercayaan pada suatu kepemimpinan;
  2. Perluasan partisipasi politik dan keterlibatan warganegara, telah membuat “overload” di sisi pemerintah serta ketidakseimbangan ekspansi di sisi acara pemerintahan, termasuk memperburuk kecenderungan inflasi di tingkat ekonomi; Overload ini akibat: (a) Perluasan partisipasi politik warganegara; (b) Terbentuknya kelompok dan kesadaran gres dari kelompok lama, termasuk pemuda, kelompok regional, dan minoritas etnik; (c) Diversivikasi alat dan strategi politik yang dipakai tiap kelompok dalam memenuhi kepentingannya; (d) Meningkatknya impian sebagian kelompok bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan mereka; dan (e) Peningkatan pada apa yang disebut sebagai “kebutuhan.”
  3. Persaingan politik, yang jadi esensi demokrasi, terus menjadi intensif, yang membawa pada polarisasi kepentingan dan fragmentasi partai-partai politik;
  4. Responsivitas pemerintah demokratis akan dilema pemilu dan tekanan masyarakat meningkatkan parokialisme-nasionalistik

Problem dari demokrasi, di antaranya lagi yakni akhir persaingan, dilema “menang-kalah” menjadi krusial. Setiap konstituen pemilu selalu ingin menang dan menguasai pemerintahan. Namun, sebetulnya terdapat sejumlah fenomena di mana yang justru menjadi pengendali kebijakan pemerintah yakni konstituen yang kalah dari suatu pemilu lewat koalisi. Kajian ini secara dirangkum di dalam sebuah buku bertajuk Loser’s Consent (terbit 2005) yang disusun oleh Christopher J. Anderson, Andre Blais, Shaun Bowler, Todd Donovan, dan Ola Listhaug.3 Namun, pada kesempatan ini saya tidak akan membahasnya terlebih dahulu.

Kesimpulan

  • Pertama. Perlu dibedakan pengertian tatkala pembicaraan mengenai demokrasi dilakukan.
  • Kedua. Pengertian demokrasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu : (1) Demokrasi secara Konstitusional, (2) Demokrasi secara Substantif, (3) Demokrasi secara Prosedur, dan (4) Demokrasi secara Orientasi-Proses. Perbedaan pengertian berefek pada perbedaan focus kajian dan kritisi.
  • Ketiga. Demokrasi juga berafiliasi dengan dilema State-Capacity, yaitu kemampuan Negara dan pejabatnya dalam mengubah distribusi sumber daya, kegiatan, dan kekerabatan antarorang. Sebab itu, ada yang dinamakan Strong State dan Weak State.
  • Keempat. Kelemahan atau keterbatasan demokrasi yang diperlihatkan di sini bercorak Demokrasi secara Substansial. Ternyata justru suksesnya demokrasi itu sendiri yang memunculkan keterbatasan dan kelemahan dirinya sendiri.
  • Kelima. Anomic Democrasi atau demokrasi anomik yakni kondisi disfungsi demokrasi anomic democracy. Anomic democracy terjadi apabila tercipta konflik antara tujuan bersama (Negara) dengan kepentingan pribadi/kelompok, yang terjadi antara eksekutif, cabinet, parlemen, dan birokrat. Anomic democracy yakni politik demokrasi menjadi sekadar arena penegasan kepentingan yang saling berkonflik tersebut, bukan lagi sebagai arena di mana proses pembangunan tujuan bersama dilakukan

-------------------------------------------

Referensi

  • Charles Tilly, Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007)
  • Christopher J. Anderson, et.al, Loser’s Consent: Elections and Democratic Legitimacy, (Oxford: Oxford University Press, 2005).
  • David Adesnik and Michael McFaul, Engaging Autocratic Allies to Promote Democracy, The Center for Strategic and International Studies and the Massachusetts Institute of Technology, The Washington Quartertly Spring 2006.
  • Michel Crozier, Samuel P. Huntington, and Joji Watanuki, The Crisis of Democracy: Report on the Governability of Democracies to the Trilateral Commision, (New York: New York University Press, 1975)
  • The Swedish Collegium fo Advanced Study, “The Democratic Boundary Problem”, Université Paris Descartes.

tags
pengertian demokrasi kelemahan demokrasi definisi demokrasi anomik jenis-jenis demokrasi prosedural proses konstitusional kapasitas negara

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kelemahan Dan Keterbatasan Demokrasi"

Posting Komentar