Biografi Gajah Mada

Dalam kuasa para patih, periode Gadjah Mada merupakan periode masyhur. Layaknya Napoleon Bonaparte, Gajah Mada terlahir sebagai orang biasa. Ia seorang military-politico yang meniti karir dari bawah sampai duduk di puncak pengambilan keputusan negara paling berpengaruh. Sulit disangkal, salah satu faktor kuat mengapa Majapahit muncul sebagai kerajaan besar tidak lain akhir dampak Gajah Mada ini.


Penulis menyerupai Leo Suryadinata mengakui, awal sejarah hidup Gajah Mada tidak jelas. Namun, Encarta Encylopedia memperkirakan Gajah Mada lahir 1290 M. Jadi, ia lahir – dan besar – dikala terjadi transisi politik dari Raden Wijaya (Raja Majapahit pertama) kepada Jayanagara. Ketidakjelasan ini pun dipicu pula oleh kecenderungan penulisan tokoh Gajah Mada yang kerap dihubungkan dengan dimensi supernatural.  Penghubungan ini sulit dihindari sebab masyarakat Indonesia menilai tinggi dimensi tersebut. Namun, upaya penyingkapan jatidiri Gajah Mada hendaklah menghindari pencampuadukan ini. Juga terdapat pendapat menyebut Gajah Mada turunan Mongol. Ia terlahir sebagai anak anggota pasukan Mongol yang menetap di Jawa dan kemudian menikahi wanita lokal. Argumentasi ini dibentuk sebab periode kelahiran Gajah Mada berlingkup penyerangan Majapahit oleh Dinasti Yuan, dinasti Cina keturunan Mongol.

Suryadinata lebih lanjut menulis, Gajah Mada mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam mobilitas vertikalnya. Karir lanjutannya kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan keluarga. Saat itu, raja patronnya Jayanagara, berkuasa di Majapahit 1309-1328 M. Dengan demikian, Gajah Mada tentu tengah meniti karir militer level bawah semenjak kala Raden Wijaya, raja pertama Majapahit.

Jayanagara putra Raden Wijaya dengan putri Sumatera (Jambi), Dara Petak. Sebab itu, darah di badan Jayanagara bukanlah pure Jawa. Anggapan primordial ini yaitu anggapan umum kancah politik multinasional dikala itu. Anggapan ini sulit dihindari sebab nusantara telah berupa lintasan dagang aneka bangsa. Resistensi kembangan dilema primordial ini ditandai pecahnya pemberontakan Nambi 1316 M. Menurut gimonca.com, Nambi memberontak salah satunya akhir sentimen darah Jayanagara ini. Meski berhasil dipadamkan, pemberontakan tersebut menandai latensi dilema primordial dalam politik Majapahit.

Saat Gajah Mada menjabat kepala pasukan Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, seorang pejabat Majapahit, 1319 M. Pemberontakannya menohok politik sentra sebab bisa menduduki ibukota. Jayanagara berikut para istri Raden Wijaya dan putrinya (Tribhuwanattungadewi, Dyah Gayatri, Dyah Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke Bedander. Sebagai kepala Bhayangkara, Gajah Mada memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah situasi dinyatakan save, ia berbalik ke ibukota menyusun serangan balasan. Dalam pemastian, Gajah Mada menyidik kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit pada Jayanagara. Ia memancing dengan gosip terbunuhnya Jayanegara. Ternyata rakyat dan sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan membenci Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan militer jawaban kemudian berhasil membalik keadaan. Pemberontakan Kuti pun padam. Raja dan keluarganya kembali ke ibukota. Saat kembali memerintah, Jayanagara ditopang kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih Majapahit. Fokus kebijakan raja dan mahapatih yaitu stabilitas politik dalam negeri. Jadi, Majapahit belum melaksanakan penaklukan ke pulau-pulau luar Jawa. Gajah Mada belum memegang tugas penting di dalam pembuatan keputusan politik level pusat.

Atas jasanya memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikan jabatan Gajah Mada dari komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah (patih) dua wilayah Majapahit: Daha, kemudian Jenggala. Posisi tersebut kuat mengingat keduanya diwenangi putri Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat (Jenggala), dua saudari tiri Jayanagara. Jayanagara belum mempunyai putra pria sebagai penerus tahta. Loyalitas Gajah Mada atas Jayanagara fluktuatif. Fluktuasi loyalitas ini berkisar pada tiga motif pribadi. Pertama, Charles Kimball menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara menurun akhir raja mengambil istri Gajah Mada selaku haremnya. Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan Empu Prapanca menulis, perubahan loyalitas Gajah Mada akhir Jayanagara mulai jatuh hati pada dua saudari tirinya: Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini erat dengan Gajah Mada. Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara berubah akhir Gajah Mada khawatir atas perubahan perilaku raja pada Tribhuwanattunggadewi.

Ketiga perkiraan tersebut membayangi proses meninggalnya Jayanagara 1328 M. Versi Kimball menyebut Gajah Mada menskenario pembunuhan atas Jayanagara lewat Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jayanagara dikala ia melaksanakan operasi pembedahan atas raja akibatpenyakit infeksi yang dideritanya. Setelah raja meninggal, Gajah Mada menuding Tanca telah membunuh raja kemudian mengeksekusi tabib tersebut. Kemelut ini terjadi 1328 M dan menggambarkan intrik politik istana: Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib sebuah kerajaan. Setelah Jayanegara meninggal, Gajah Mada berkeras Tribhuwanattunggadewi harus dijadikan pengganti. Gajah Mada khawatir singgasana akan jatuh ke tangan Arya Damar, sepupu Jayanegara dari garis ibu (putri Mauliwarmadewa raja Darmaçraya). Jika hal tersebut terjadi, Majapahit mungkin kembali dirundung pemberontakan menyerupai Nambi dahulu. Tribhuwanattunggadewi (aka Sri Gitarja) putri Raden Wijaya dari Gayatri (putri Kertanegara, raja terakhir Singasari). Mungkin saja, opini yang muncul dikala itu yaitu putra pribumi atau bukan. Juga mungkin pula peralihan kekuasaan pada ratu, menciptakan Gajah Mada lebih leluasa mengambil tindakan politik di kemudian hari. Mulai periode Ratu inilah perluasan Majapahit berawal.

Setelah Mahapatih Arya Tadah pensiun 1329 M, simpel posisinya jatuh ke tangan Gajah Mada. Tribhuwanattunggadewi mendukung rencana strategis Gajah Mada. Tahun 1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di timur Pulau Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana. Secara politik dan militer, Ra Kembar – aristokrat sekaligus pejabat Majapahit – berusaha menutup kanal pasukan Gajah Mada ke Sadeng. Dengan kekuatan militer, blokade berhasil ditembus dan upaya memasukkan kembali kedua wilayah terbuka lebar. Setelah memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta inilah, Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih. Bunyi sumpah Gajah Mada dikala dilantik jadi Mahapatih dikenal sebagai Sumpah Palapa, bunyinya terekam dalam Kitab Pararaton sebagai berikut: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa. Sumpah tersebut disambut olok-olok para menteri Majapahit semisal Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Terawas, dan Lembu Peteng. Peristiwa ini terjadi tahun 1331 M, di mana Ra Kembar dan Ra Banyak – dalam tempo tidak terlalu usang – dimutasi oleh ratu kemudian dieksekusi.

Hayam Wuruk hadir sebagai buah kesepakatan nikah Tribhuwanattunggadewi dengan Wikramawardhana, seorang aristokrat Majapahit. Suksesi lanjutan Majapahit predictable. Stabilitas politik memungkinkan adanya fokus atas politik ekspansi. Tahun 1343 M, Gajah Mada memasuki Bali. Ekspansi ke Bali bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, Raja Kertanegara (Singasari) melakukannya 1284 M. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dikenal sebagai Ekspedisi Bedahulu.

Di Bali dikala itu berkuasa raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, semenjak 1337 M. Raja Bali ini punya panglima perang berjulukan Amangkubumi Paranggrigis. Dalam aktivitasnya, Paranggrigis punya seorang pembantu berjulukan Kebo Iwa, asal desa Belahbatuh. Menurut taktik Gajah Mada, Kebo Iwa ini harus terlebih dulu diatasi untuk melemahkan Bali. Sebelum diekspansi secara militer, Gajah Mada melaksanakan diplomasi dengan Bali. Ratu menulis surat berisikan ajuan persahabatan dari Majapahit yang dibawa Gajah Mada. Amangkubumi Paranggrigis kemudian turun tangan secara eksklusif menggantikan Kebo Iwa dalam memimpin positioning Bali atas Majapahit. Untuk itu, ia mengumpulkan sejumlah tokoh Bali untuk memilih perilaku Bali atas agresi Majapahit. Suara bundar dicapai, Bali tidak akan tunduk. Tahun 1334 M, barulah Gajah Mada membawa ekspedisi militernya ke Bali. Dalam ekspedisi, ikut serta Arya Damar (atau Adityawarman) yang memangku jabatan panglima perang. Setelah serangan Majapahit, Bali mengalami vacuum of power.

Orang kuat di Bali yang masih Patih Ulung. Namun, patih ini tidak bisa menguasai keadaan. Sebab itu, ia bersama dua keluarganya, Arya Pemacekan dan Arya Pemasekan, tiba menghadap Ratu Tribhuwanattungadewi biar mengangkat otoritas Majapahit di Bali. Tribhuwanattungadewi (kemungkinan konsultasi dengan Gajah Mada) mengangkat Sri Kresna Kepakisan, turunan Bali Aga, selaku otoritas Majapahit. Bali Aga yaitu penduduk Bali pegunungan, yang kerap dipisahkan dengan Bali Mula (orang Bali asli). Strategi politik yang terbaca yaitu memecah dan menyeimbangkan kekuatan antarkelompok di dalam Bali. Di kala yang sama, Gajah Mada memimpin penaklukan Lombok.

Seperti telah disebut, dalam Ekspedisi Bedahulu 1333-1334 M, Gajah Mada disertai Adityawarman. Sejak kecil, Adityawarman dipelihara di lingkungan Majapahit. Adityawarman kemudian diangkat menjadi otoritas Majapahit di Sumatera (wilayah bekas Sriwijaya). Setelah penaklukan Gajah Mada usai, ia diangkat sebagai vassal Majapahit berkedudukan di Jambi. Adityawarman masih merupakan saudara Jayanagara, raja Majapahit sebelumnya.

Saat menjadi vassal, Adityawarman memperluas wilayah ke arah barat, Minangkabau. Di sana ia memerintah atas nama Majapahit. Penaklukan diteruskan sampai Samudera Pasai, termasuk ke dalamnya, Tumasik (Singapura), Bintan, Borneo (Kalimantan), termasuk Burni (Brunei). Penaklukan Gajah Mada lebih terarah ke timur. Perluasannya mencakup Logajah, Gurun, Seram, Hutankadali, Sasak, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, dan Dompo. Bahkan sejumlah wilayah Filipina selatan juga masuk ke dalam Majapahit. Sebagian besar perluasan mengandalkan kekuatan maritim, yang untuk itu, Gajah Mada punya andalannya sendiri, Panglima Angkatan Laut Nala.

Pada tahun 1350 M, Tribhuwanattunggadewi lengser keprabon mandeg pandito. Ratu digantikan putranya, Hayam Wuruk yang berkuasa 1350–1389 M. Kebijakan Majapahit di bawah Hayam Wuruk lebih berorientasi stabilitas internal, termasuk mencari permaisuri bagi kelangsungan suksesi politik. Politik ekspansionis Gajah Mada berakhir di masa Hayam Wuruk. Raja gres ini menempatkan pembangunan candi, pengelolaan politik dalam negeri, dan pemadaman pemberontakan yang terjadi wilayah-wilayah perluasan sebagai prioritas kebijakan.

Tahun 1351 M, Hayam Wuruk menghasrati Dyah Pitaloka dari Sunda Galuh sebagai permaisuri. Kerajaan tersebut ada di barat Majapahit yang belum sepenuhnya tunduk pada Majapahit sebab faktor tertentu. Di sisi lain, Raja Sunda Galuh melihat, kalau putrinya diambil selaku permaisuri, maka aliansi politik setara (mungkin akhir kekerabatan keluarga) antara Sunda Galuh dan Majapahit tercipta. Datanglah rombongan besan dari Sunda Galuh, terdiri atas raja, kaum bangsawan, dan sejumlah kecil pengawal. Mereka berkemah di lapangan Bubat, pedataran luas di lingkungan ibukota Majapahit. Terjadi perundingan antara Gajah Mada dengan Raja Sunda Galuh seputar status Sunda Galuh pasca kesepakatan nikah tersebut, di mana muncul perbedaan perkiraan antara keduanya: Taklukan atau Aliansi. Gajah Mada melihat potensi pembangkangan sebuah wilayah yang seharusnya tunduk pada Majapahit. Raja Sunda Galuh mendebat harapan Gajah Mada dan tetapkan angkat senjata kalau penaklukanlah yang Majapahit harapkan. Gajah Mada mengerahkan pasukan menyerang tamu tersebut. Terjadilah bencana Bubat yang populer itu. Pertempuran tidak berimbang. Seluruh rombongan Sunda Galuh, termasuk raja dan putri Dyah Pitaloka, menemui ajal.

Hayam Wuruk kecewa dengan kejadian Bubat. Ada beberapa goresan pena yang memuat kekecewaan Hayam Wuruk yang muncul akhir lewat sejumlah asumsi. Hayam Wuruk yang masih muda, tentu berdarah panas dan tatkala itu sedang kasmaran dengan putri Sunda. Atau, nilai sportivitas ksatria mudanya terpancing, mengingat pertarungan dua anasir tidaklah sepadan. Juga, Hayam Wuruk menganggap bahwa pertikaian yang disulut Gajah Mada yaitu pertikaian antarkeluarga. Pararaton menyebut, pasca kejadian Bubat Gajah Mada tetap menjalankan fungsi sebagai Patih Majapahit sampai meninggalnya tahun 1364 M. Namun, ada pula yang menyebut Gajah Mada segera dimutasi ke Madakaripura. Di sana Gajah Mada hidup asketis sampai meninggal 1364 M, tanpa diketahui prosesnya. Satu hal yang pasti: Politik ekspansionis Majapahit usai. Setelah bencana Bubat, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya pada stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau luar menyerupai dari Palembang, yang minta pertolongan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina tiba ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina dipukul mundur.

Apapun alasannya, Gajah Mada sosok politisi militer yang kuat. Sejumlah goresan pena menyebut Hayam Wuruk kerepotan dikala mencari pengganti Gajah Mada yang serba bisa itu. Rajasanagara harus mengangkat sekurangnya empat menteri gres guna mengisi posisi Gajah Mada, yang sebelum itu terjadi, terpaksa memerintah sendiri Majapahit kurang lebih tiga tahun. Akhirnya, Hayam Wuruk mengangkat Gadjah Enggon selaku patih tahun 1367. Tiada pula, untuk sementara ini, ditemukan kabar apakah Gajah Mada punya keturunan. Butuh sebuah riset yang ditopang dana besar pemerintah Indonesia untuk mengangkat cerita Gajah Mada secara utuh. Pasca meninggalnya Gadjah Mada vassal Majapahit – kerajaan Sriwijaya (aka San fo-ts’i) – pecah menjadi tiga yaitu Palembang, Dharmaçraya dan Pagarruyung (aka Minangkabau) tahun 1371. Kerajaan Tanjung Pura di Borneo mengadakan kekerabatan luar negeri secara bebas dengan Tiongkok, tanpa melalui Majapahit lagi.

----------------

Referensi:

  1. Namun, pencampuran dengan dimensi religius tersebut paling tidak tetap dihargai sebagai upaya sebagian bangsa Indonesia kalangan untuk membanggakan tokohnya, terlebih Indonesia yang terus mencari figur untuk diteladani di masa bellum omnium contra omnes Indonesia dikala ini.
  2. Namun, pendapat ini tidak mempunyai bukti-bukti konkrit berupa inskripsi, prasasti, epik dan sejenisnya. Kitab Pararaton dan Negara Kertagama, pola utama tarikh Gadjah Mada, bahkan tidak pernah menyebut soal ini.
  3. Leo Suryadinata, Gajah Mada dalam www.britannica.com/EBchecked/topic/223605/Gajah-Mada
  4. www.gimonca.com/sejarah/sejarah01.shtml
  5. Charles Kimball, Pre-Moslem Indonesia dalam www.guidetothailand.com/thailand-history/indonesia.php
  6. Pada masa terbunuh dan digantinya Jayanagara ini, Odoric dari Pordonone, pendeta ordo Fransiskan dari Italia mengunjungi Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
  7. Ayah Arya Damar yaitu Adwaya Brahman, kerabat raja Kertanegara (Singasari), ibunya Dara Jingga, saudari Dara Petak, ibu Jayanegara.
  8. Berbeda dengan Muljana atau Ricklefs, Kimball menulis Ratu ini gres dilantik tahun 1329 M. Periode 1328 – 1329 dengan demikian merupakan vacuum of power. Lihat Charles Kimball, op.cit.
  9. Leo Suryadinata, Gajah ..., op.cit.
  10. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan 3 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2007) h. 423.
  11. Sunda Galuh kerabat sangat dekat Majapahit. Ayah Raden Wijaya Rakryan Jayadarma, raja ke-26 Sunda Galuh. Ibunya, Dyah Lembu Tal, putri Raja Singasari. Dyah Lembu Tal yaitu turunan eksklusif Ken Arok dan Ken Dedes. Dari Arok dan Dedes lahir Mahisa Wong Ateleng. Dari Mahisa Wong Ateleng lahir Mahisa Cempaka. Dari Mahisa Cempaka inilah lahir Dyah Lembu Tal, ibu Raden Wijaya. Lihat silsilah para raja Wangsa Isana dalam Pramudya Ananta Toer, Arok Dedes, Cetakan 5 (Jakarta: Lentera Dipantara, 2002) h. 556.
  12. Lihat Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Negarakretagama, Cetakan 4 (Yogyakarta: LKiS, 2009) h. 147. Menurut perhitungan Muljana menurut Kitab Pararaton, Perang Bubat terjadi tahun 1357 Masehi.
  13. Slamet Muljana menulis bahwa sehabis dikepung, Raja Sunda bersedia perundingan ulang, tetapi para menak yang mengiringinya tidak terima dan sedia berkalang tanah ketimbang tunduk pada Gajah Mada. Melihat semangat para menak Raja terharu dan mendukung perilaku mereka. Lihat Slamet Muljana, Tafsiran ..., op.cit. h. 148.
  14. Ibid., h.152.
tags:
biografi gajah mada sejarah gajah mada riwayat hidup gajah mada tugas gajah mada dalam majapahit

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Biografi Gajah Mada"

Posting Komentar