Pengaruh Budaya Barat Belanda Portugis Serta Jepang Atas Kebudayaan Indonesia

Pengaruh budaya barat Belanda Portugis serta Jepang atas kebudayaan Indonesia tidak sanggup dihindari. Pengaruh barat terutama dari Portugis dan Belanda sudah bahkan sudah berlangsung semenjak kala ke-16. Saat itu Indonesia, sebagai sebuah negara 'resmi' belumlah lagi berdiri. Indonesia dikala itu masih dalam bentuk 'proto' yaitu kerajaan-kerajaan di zaman perdagangan nusantara. Tulisan ini akan mengetengahkan sejumlah 'kecil' efek kebudayaan barat yang diwakili Portugis dan Belanda atas kebudayaan Indonesia. Selain itu, sebagai pembanding juga akan diketengahkan sejumlah efek kebudayaan Jepang.

Pengaruh Belanda di Indonesia

Saat ini seringkali muncul stereotype bernada negatif atas budaya Barat. Di Indonesia, budaya Barat disebar seiring kekuasaan kolonial. Barat yang dimaksud di dalam goresan pena ini ialah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang melaksanakan kolonisasi atas kepulauan nusantara. Kendati demikian, terdapat efek Barat tertentu yang terus membekas di dalam struktur kebudayaan Indonesia hingga kini. Misalnya sistem pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu komponen nonmaterial kebudayaan yang punya kiprah signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan, prosedur administratif pemerintahan Belanda juga punya efek tersendiri atas pembentukan sistem sosial (politik) Indonesia.

Bangsa Barat utama yang pengaruhnya cukup membekas ialah Portugis dan Belanda. Terutama Belanda, budaya kedua bangsa ini sebagian terserap ke dalam struktur budaya Indonesia. Namun, sisa-sisa efek ini kurang begitu besar lengan berkuasa menghipnotis benak kesadaran orang Indonesia, mungkin jawaban perbedaan blue print manusianya (barat versus timur). Budaya Barat, sesuai namanya, merupakan produk perkembangan di bilangan barat dunia yang menekankan individualitas dan kebebasan. Sementara Indonesia merupakan kepingan bangsa timur yang menghendaki harmoni, komando, dan kolektivitas.

Koentjaraningrat mencatat, efek budaya barat atas Indonesia diawali acara perdagangan Portugis paruh pertama kala ke-16.[1] Tahun 1511 Portugis menaklukan Malaka, pelabuhan dagang di barat kepulauan Indonesia. Penaklukan menciptakan Portugis bisa mengendalikan aspek-aspek penting kehidupan masyarakat di sana. Tatkala penaklukan terjadi, Islam tengah tumbuh sebagai agama dan budaya gres nusantara. Tidak perlu waktu lama, Islam berangsur jadi agama lebih banyak didominasi di kepulauan Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap digeneralisasi menjadi konflik Barat versus Islam. Konflik bahkan masih terus berlangsung hingga goresan pena ini dibuat.

Tahun 1641 orang Belanda merebut Malaka dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619 mereka sudah membangun benteng besar lengan berkuasa di Batavia dikala menguasai Banten, pelabuhan dagang nusantara lain yang penting. Tahun 1755, VOC mengadakan perjanjian Gianti dengan Mataram Islam, kerajaan yang merupakan salah satu rival mereka dalam menguasai jalur dagang. Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegara. Tahun 1799, VOC (perusahaan swasta Belanda) bangkrut. Mulai tahun tersebut orang-orang Belanda mengatasnamakan Kerajaan Belanda dalam mengelola Indonesia.

Tahun 1824 Belanda menukar Singapura dengan Bengkulu. Singapura awalnya dikuasai Belanda dan Bengkulu oleh Inggris. Lokasi Bengkulu terisolasi di kepingan selatan-barat pulau Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat usai Perang Paderi. Tahun 1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan Belanda, hanya sehabis berpayah-payah menaklukan orang Batak Toba. Tahun 1894, Lombok masuk ke kekuasaan Belanda disusul Bali tahun 1906, lewat Perang Badung (Puputan Badung). Aceh terakhir masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada 1903 (atau 1905), sehabis perang kurang lebih 30 tahun semenjak 1873. Dari paparan ini tampak kekuasaan Belanda atas Indonesia berlangsung gradual. Wilayah yang satu dikuasai terlebih dulu ketimbang lainnya. Kendati demikian, tetap ada wilayah yang tidak terjamah kekuasaan kolonial Belanda.

Bernard H.M. Vlekke membagi efek Belanda di nusantara ke dalam tiga bagian.[2] Pertama, di Sumatera dan Kalimantan efek orang Eropa hampir tidak punya dampak pada kehidupan pribumi. Kedua, efek di kepingan timur besar lengan berkuasa tetapi opresif. Ketiga, di Jawa di mana Belanda bisa mencengkeram hingga pedalaman dan mengakibatkan perubahan struktur sosial serta ekonomi orang Indonesia.

Di Jawa, Maluku dan Sulawesi Utara berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama kaum buruh yang meninggalkan budaya tani untuk menjadi pelayan rumah tangga Eropa, tukang, atau buruh industri. Lapisan kedua kaum pegawai (priyayi) yang bekerja di belakang meja tulis dan harus menempuh pendidikan Belanda terlebih dahulu.[3] Lapisan ketiga, kelas menengah gres pribumi yang melaksanakan kegiatan dagang di bidang-bidang yang belum digarap pengusaha Cina (dan Asia lain) menyerupai rokok kretek, batik, tenun, ataupun kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial menyerupai ini belum ada di Indonesia sebelum efek Belanda.

Pendidikan. Salah satu efek peradaban Belanda atas struktur budaya Indonesia ialah pendidikan. Sistem pendidikan Belanda bersaing dengan sistem pendidikan lokal Indonesia yang umumnya berupa pecantrikan dan mandala. Juga, sekolah-sekolah Belanda mulai menyaingi pesantren, forum pendidikan yang banyak dipengaruhi Islam.

Sekolah, sebagai basis proses pendidikan formal Indonesia dikala ini, merupakan wujud positif membekasnya efek Belanda. Peserta didik dibagi ke dalam lokal-lokal berdasarkan rombongan belajar, di setiap kelas penerima didik duduk dalam beberapa banjar menghadap ke depan, dan guru berdiri di muka kelas selaku narasumber utama belajar. Ini serupa dengan struktur kelas di dalam gereja semenjak masa skolastik Eropa. Namun, sistem persekolahan Belanda awalnya bersifat segregatif. Ada sekolah khusus Belanda dan Eropa menyerupai Europesche Lagere School (ELS), untuk Tionghoa semisal Hollands Chinese School, ataupun Indlansche School untuk pribumi.

Ciri umum sistem pendidikan Belanda ialah pembagian jenjang pendidikan berdasarkan tahun. Misalnya suatu jenjang pendidikan dasar ditempuh selama lima atau enam tahun dan lanjutannya selama tiga tahun. Selain itu, terdapat prasyarat usia sebelum seorang penerima didik dimasukkan ke jenjang pendidikan tertentu. Sistem pendidikan barat di Indonesia lebih serius digarap Belanda semenjak kala ke-18 dan semakin tegas tatkala Politik Etis diberlakukan tahun 1911 lewat tokoh liberalnya, Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sekadar untuk menyediakan tenaga jago yang murah untuk mengerjakan manajemen kolonial. Ini guna mengantisipasi meluasnya wilayah kekuasaan Belanda. Luasnya wilayah kelola tentu diiringi kerumitan serupa dalam tata administrasinya.[4]

Rumah Tinggal. Peninggalan budaya Belanda lain ialah rumah tinggal. Seperti diketahui, orang-orang Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di mana tanah dan material bangunannya cukup mahal. Selain orang biasa, konstruksi bangunan Belanda juga banyak digunakan oleh keluarga-keluarga priyayi Indonesia. Misalnya raja-raja Indonesia menyerupai di Banten dan Yogyakarta membangun rumah kediaman mereka serupa dengan konstruksi rumah-rumah Belanda. Bangunan Belanda kerap disebut puri Belanda, yang juga berfungsi sebagai basis pertahahan terakhir tatkala terjadi perang. Umumnya, gedung perkantoran Belanda di Indonesia dibangun bergaya Yunani-Romawi Kuno. Cirinya ialah bangunannya besar-besar, pilar besar dan tinggi di kepingan depan, hiasan doria dan ionia dari Yunani.

Budaya Indis. Seputar efek budaya Belanda, Djoko Sukiman menjelaskan terbitnya kebudayaan Indis. Indis ialah kebudayaan gabungan antara budaya Belanda dengan Pribumi. Indis terutama berkembang di pulau Jawa antara kala ke-18 hingga 19. Kebudayaan Indis sanggup diidentifikasi pada pelacakan efek budaya Belanda atas tujuh unsur budaya universal (yang awalnya dimiliki kalangan pribumi) yaitu bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, matapencarian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi.[5] Namun, praktek budaya Indis lebih dialami masyarakat pribumi di Jawa, khususnya kalangan menengah ke atas.

Agama. Belanda merupakan rival Portugis dalam dominasi jalur-jalur dagang nusantara. Dominasi Portugis berhasil dipatahkan Belanda dengan merebut Malaka dari tangan mereka tahun 1611. Dominasi Portugis di Maluku juga beralih ke tangan Belanda tahun 1621, ketika Jan Pieterszoon Coen mendirikan pos perdagangan kumpeni (VOC) di Kepulauan Banda.

Naiknya dominasi Belanda menciptakan pergerakan misionaris Nasrani Portugis tersendat untuk kemudian digantikan zending Protestan Belanda. Kekuatan efek Nasrani Portugis hanya tersisa di Flores dan Timor. Pengaruh Belanda di bidang agama terutama di Sumatera Utara (terutama di Tanah Batak), Sulawesi Utara (terutama di Manado dan Minahasa), Kepulauan Maluku (terutama di Ambon), Papua (termasuk Papua Barat), serta Sulawesi Tengah-Selatan (terutama Tana Toraja).

Pengaruh Portugis di Indonesia

Pengaruh Portugis di Indonesia berkisar antara efek agama, kesenian (utamanya musik), ataupun bahasa. Selain bangunan, orang Portugis yang pernah tiba membangun koloni ataupun sekadar transit dagang di Indonesia, juga mendirikan pemukiman. Ini contohnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang Portugis dan turunannya membentuk koloni. Kendati kini menipis jumlahnya, dari wilayah tersebut dikenal beberapa budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni musik Portugis.

Kampung Tugu. Masyarakat kampung Tugu lokasinya di tempat Semper, Koja, Jakarta Utara dan masih sanggup ditemui hingga kini.[6] Penduduk awalnya berasal dari banyak sekali koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan Srilanka. Pada kala ke-17 mereka diboyong kolonial Belanda ke Batavia sebagai tawanan perang. Di Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis (sekarang Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta). Kemudian sebagian besar mereka pindah ke Kampung Tugu.

Kesenian. Victor Ganap menyatakan musik keroncong berasal dari musik Portugis kala ke-16 yang disebut fado, berasal dari istilah Latin yang berarti nasib.[7] Musik ini tadinya terkenal di lingkungan perkotaan Portugis (sekarang Portugal). Fado sendiri awalnya ialah nyanyian (mornas) yang dibawa para budak negro dari Cape Verde, Afrika Barat ke Portugis semenjak kala ke-15.

Lambat-laun, fado menjelma lagu perkotaan dan pengiring tari-tarian. Tarian yang diiringi fado dipengaruhi budaya Islam yang dibawa bangsa Moor asal Afrika Utara dikala menaklukan Selat Gibraltar di bawah pimpinan panglima Tariq ibn Ziyad pada kala ke-7 Masehi. Setelah dipengaruhi Islam, tarian tersebut dinamakan moresco. Moresco ialah tarian hiburan para elit Portugis yang biasanya dibawakan penari bangsa Moor.

Moresco di Portugis masa itu ialah kata yang digunakan untuk melukiskan seni yang dianggap bernafaskan keislaman. Lawannya ialah cafrinho, asal katanya kafr (kafir) yang digunakan untuk melukiskan seni yang dibawakan kaum creolis Portugis di Goa, India. Alat musik pengiring moresco ialah gitar kecil berjulukan cavaquinho yang dibawa para pelaut Portugis dalam penjelajahan dunia mereka. Ketika masuk Indonesia, alat musik tersebut digunakan untuk menyanyikan lagu pengiring tarian moresco. Karena bunyi yang dikeluarkan berbunyi crong-crong sehingga oleh orang Indonesia musik pengiring tarian tersebut kemudian dinamakan Keroncong. Musik Keroncong tetap hidup, dimainkan, dan mempunyai penggemarnya di Indonesia hingga masa kini. Bahkan televisi nasional Indonesia (TVRI) menyiarkan program khusus musik keroncong ini minimal satu kali dalam seminggunya. Ini belum termasuk radio-radio siaran swasta nasional yang membawakannya.

Paramita Rahayu Abdurachman – lewat salah satu penelitiannya – mencatat sekurang-kurangnya jejak peninggalan budaya Portugis yang masih membekas di bumi nusantara sanggup ditelusuri di Jakarta, Maluku Utara, Maluku Tengah, Ambon, Solor dan Flores.[8] Di Jakarta, peninggalan budaya Portugis selain Keroncong ialah Tanjidor dan Ondel-ondel.

Dalam bahasa Portugis dikenal kata tanger yang artinya memainkan alat musik dan tangedor (lafalnya: tanjedor) yang artinya seorang yang memainkan alat musik snaar (tali) di luar ruangan.[9] Di Portugal, tangedores hingga dikala ini ditampilkan untuk mengiringi pawai keagamaan setiap tanggal 24 Juni. Alat yang digunakan ialah tanbur Turki, tanbur sedang, seruling, dan banyak sekali terompet. Uniknya, pawai diikuti boneka-boneka besar yang selalu berpasangan (laki-laki dan perempuan), dibawakan dua orang di mana satu duduk di bahu dan satunya di bawah serupa dengan ondel-ondel Betawi masa lalu. Ondel-ondel ini bergerak menandak-nandak diiringi musik tanjidor. Abdurachman mencatat baik tanjidor maupun ondel-ondel kini sudah diIndonesiakan, sebab pengiringannya sudah ditambah gamelan, gong, dan kécrék.

Bahasa. Beberapa kosa kata Indonesia diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini contohnya biola (viola), meja (mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura), pita (fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol (tolo), jendela (janela), algojo (algoz), kursi (banco), bantal (avental), bendera (bandeira), bolu (balo), boneka (boneca), armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, tinta, dan masih banyak lagi.

Agama. Denys Lombard menulis, umat Kristen tertua Indonesia ialah Katolik. Komunitas awal mereka terbangun di lokasi mana orang Portugis mendirikan gereja pertama mereka.[10] Tidak menyerupai Filipina atau Vietnam, jumlah orang Kristen Indonesia secara proporsional selalu minoritas. Tahun 1510, Portugis menguasai Goa (India). Di sana mereka dirikan pangkalan dagang, instalasi militer, dan pusat misi. Tahun 1511, mereka berhasil mencapai Malaka dan Nopember 1511, Portugis berangkat dari Malaka ke Maluku, tepatnya Kepulauan Banda. Mereka tiba tahun 1512. Saat Portugis datang, penduduk Banda telah menganut agama Islam.

Dari Banda, Portugis menuju Ternate. Di perjalanan, mereka singgah di Ambon, yang sebagian besar penduduknya juga sudah beragama Islam. Bahkan, di Maluku utara telah berkuasa sultan-sultan Islam di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan Ternate dan Tidore tidak menyukai cokolan Portugis di Malaka sebab memutus jalur utama perdagangan saudagar Islam. Namun, tahun 1512 Portugis berhasil masuk lewat jalinan aliansi dagang dengan Abu Lais, sultan Ternate. Portugis memperlihatkan pembelian cengkeh dari Ternate dengan harga tinggi. Dari ajuan ini, Sultan berharap bisa menyaingi kemakmuran Tidore dan Jailolo, dua pesaingnya. Tidore dan Jailolo kemudian membalas dengan menyekutui Spanyol yang hadir di Tidore tahun 1521.

Tanggal 24 Juni 1522 di Ternate dilakukan peletakan kerikil pertama benteng Portugis (dinamakan Sao Paulo), lengkap dengan upacara keagamaan Katolik. Pada masa pemerintahan Sultan Tabarija (1523 – 1535) terjadi pembaptisan pertama atas sangaji (kepala suku) wilayah Moro, Halmahera tahun 1534.[11] Misi di luar Halmahera diteruskan tahun 1546 sehabis datangnya Fransiscus Xaverius. Komunitas Kristen yang dipengaruhi Portugis tersebar di Kepulauan Maluku dan tempat tertentu di Kepulauan Sunda Kecil (khususnya Nusa Tenggara Timur). Tidak usang sehabis agama Nasrani berkembang, Protestan masuk ke Indonesia lewat perantaraan Belanda.

Pengaruh Jepang di Indonesia

Penjajahan Jepang, menyerupai Inggris, masuk ke dalam kategori fase kolonial singkat. Kendati singkat, Jepang mempunyai bekas peninggalan budaya yang terus digunakan (atau bermanfaat) bagi bangsa Indonesia di masa kemudian.

Struktur Masyarakat. Awalnya Indonesia hanya mengenal desa (atau dukuh) selaku susunan pemerintahan terkecil. Namun, seiring berkembangnya pemerintahan kolonial Jepang, struktur terkecil tersebut dibagi lebih lanjut ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil. Satuannya dinamakan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Sistem ini telah diaplikasikan di Jepang dengan nama Tonarigumi. Alasan pembentukan RT dan RW oleh Jepang demi kemudahan manajemen dan kontrol. Jadi, bukan menyerupai desa orisinil Indonesia yang tumbuh alami, tonarigumi digunakan sebagai upaya kendali dan mobilisasi Jepang atas penduduk Indonesia. Ironisnya, upaya ini justru dilestarikan pemerintah Indonesia. Hingga kini RT dan RW tetap dipertahankan selaku unit administratif terkecil sekaligus memperlihatkan faedahnya bagi kemaslahatan koordinasi manajemen negara Indonesia modern.

Bahasa. Pendudukan Jepang, di samping berefek negatif, juga mempunyai dampak positif dalam budaya bahasa. Segera sehabis Jepang mengusir Belanda, segala hal berbau Belanda dan Barat dihentikan di semua toko-toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan, dan papan-papan nama umum. Bahasa pengganti yang diperkenankan hanyalah Bahasa Indonesia dan Jepang. Kini mulailah bahasa Indonesia mengalami perkembangan pesat.[12] Terjadi revolusi sosial di mana budaya Belanda dijungkalkan oleh budaya Jepang dan Indonesia. Atas desakan tokoh-tokoh Indonesia, tahun 1943 Jepang mengizinkan berdirinya Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia yang pada jadinya berhasil mengkodifikasi 7.000 istilah bahasa Indonesia modern (saat itu).

Kesenian. Demi alasan politik anti Barat-nya, Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Fungsi forum ini mewadahi acara budayawan Indonesia biar tidak menyimpang dari tujuan Jepang. Tanggal 29 Agustus 1942, forum ini mengadakan festival karya pelukis lokal Indonesia menyerupai Basuki Abdoellah, Agus Djajasoeminta, Otto Djaja Soetara, Kartono Joedokoesoemo, dan Emiria Soenassa. Selain itu, ia juga memfasilitasi R. Koesbini dan Cornel Simanjuntak membentuk grup seni bunyi yang melahirkan lagu-lagu nasional Indonesia. Lahirlah lagu-lagu nasional Kalau Padi Menguning Lagi, Majulah Putra-Putri Indonesia, Tanah Tumpah Darahku. Keimin Bunka Shidosho juga memungkinkan Nur Sutan Iskandar melahirkan karyanya Tjinta Tanah Sutji, Karim Halim melahirkan Palawidja, atau Usmar Ismail dengan Angin Fudji. Seni drama karya budayawan Indonesia juga lahir menyerupai Api dan Tjitra (temanya dedikasi tanah air) karya Usmar Ismail, Taufan di atas Asia atau Intelek spesial karya Abu Hanifah.

Agustus 1943 Jepang membentuk Persatuan Aktris Film Indonesia (Persafi). Persafi mendorong artis-artis profesional dan amatir Indonesia bereksperimen dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan bahasa gila ke bahasa Indonesia. Sandiwara, sebagai salah satu bentuk seni peran, juga berkembang di bawah pendudukan Jepang sebab sebelum Perang Pasifik, pertunjukan sandiwara hampir tidak dikenal di Indonesia.

Militer. Langsung ataupun tidak langsung, Jepang membantu Indonesia (utamanya pemuda) membentuk semangat nasionalisme.[13] Jepang melaksanakan ini lewat tiga cara, yaitu: (1) Pengerahan pemuda; (2) Pembentukan organisasi semi-militer; dan (3) Pembentukan organisasi militer. Tentu saja, ketiga bentuk ini dimaksudkan demi kepentingan perang Jepang. Namun, imbas sampingnya justru menguntungkan (bless in disguise) bagi Indonesia.

Pertama, Jepang menyasar kalangan muda Indonesia dari kota dan desa tanpa diskriminasi pendidikan (berpendidikan ataupun tidak, semua direkrut). Pemuda disasar Jepang sebab usia produktifnya, giat, penuh semangat, dan idealis. Jepang mendidik para perjaka sebagai saudara muda. Mereka menanamkan nilai seishin (semangat) dan bushido (jiwa satria), dengan pengutamaan pada kesetiaan dan bakti kepada tuannya (Jepang). Para perjaka juga dididik kedisiplinan dan upaya psikologis memutus rasa rendah diri dan semangat budak. Organisasi bentukan Jepang untuk keperluan ini Barisan Pemuda Asia Raya di tingkat pusat (Jakarta) tanggal 11 Juni 1942 yang dipimpin dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Badan serupa juga dibuat di daerah-daerah dengan nama Komite Penginsyafan Pemuda. Selain itu, Jepang juga membentuk Perserikatan Olahraga Pulau Jawa (Tai Iku Kai) tahun 1942, aktivasi kegiatan senam pagi di sekolah-sekolah, pembinaan baris-berbaris atas pelajar, serta pembinaan beladiri (sumo, kendo). Organisasi olahraga juga dibuat dengan nama Gerakan Latihan Olahraga Organisasi Rakyat (Glora). Sudirman (pebulutangkis, namanya diabadikan jadi nama piala) ialah tokoh yang dihasilkan dari masa Jepang ini.

Kedua, Jepang membentuk organisasi semi militer menyerupai seinendan dan keibodan. Saat simpulan kekuasaan Jepang, anggota seinendan mencapai sekitar 500.000 pemuda. Anggota seinendan harus berusia 14–22 tahun, muatan pendidikannya ialah pertahanan diri dan penyerangan. Dalam perang Asia Timur Raya, Seinendan digunakan Jepang sebagai barisan cadangan dengan kiprah utama mengamankan garis belakang.

Keibodan ialah pembantu polisi. Tugas utamanya penjagaan lalu-lintas dan pengamanan desa. Anggota keibodan harus berusia 26–35 tahun. Jumlah perjaka Indonesia yang jadi anggota keibodan lebih dari 1.000.000 orang. Di Sumatera, keibodan disebut bogodan sementara di Kalimantan dinamakan borneo konan hokokudan. Baik seinendan maupun keibodan dibuat Jepang hingga ke pelosok wilayah Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada pengorganisasian massa menyerupai pernah Jepang lakukan, bahkan Belanda pun tidak pernah bisa menyainginya.

Kaum wanita tidak ketinggalan diorganisir Jepang lewat pembentukan fujinkai (himpunan perempuan). Perempuan keluar dari wilayah domestik menuju publik. Untuk gabung dengan fujinkai, wanita harus berusia minimal 15 tahun. Fujinkai diberi pembinaan dasar militer (dengan fungsi utama menyerupai seinendan). Fujinkai mengadakan kursus dan ceramah seputar pentingnya menabung, meningkatkan kesehatan pribadi dan makanan, serta kepalangmerahan.

Jepang membentuk suishintai (barisan pelopor) dikala mereka mulai banyak menderita kekalahan dalam front-front pertempuran. Suishintai dipimpin pergerakan nasionalis Indonesia menyerupai Sukarno, Oto Iskandar Dinata, dan Buntaran Martoatmojo. Tugas utama suishintai memperdalam kesadaran rakyat terhadap kewajibannya dan membangun persaudaraan seluruh rakyat. Jumlah anggota suishintai kira-kira 60.000 orang dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Suishintai juga bertugas melatih pemuda, mendengarkan pidato tokoh-tokoh nasionalis, dan mendiseminasi muatan pidato kepada orang lain. Ada juga kelompok suishintai istimewa yang jumlahnya 100 orang di antaranya Supeno, Dipa Nusantara Aidit, Djohar Nur, Asmara Hadi, Sidik Kertapati, dan Inu Kertapati.

Di masa Jepang juga dibuat Hizbullah, organisasi semi-militer perjaka di bawah Masyumi. Pimpinan Hizbullah Zainal Arifin ialah tokoh Nahdlatul Ulama. Usia perjaka yang diterima 17–25 tahun dan belum berkeluarga. Hizbullah dimaksudkan sebagai cadangan Peta. Selain yang telah disebut, organisasi semi-militer Jepang lainnya ialah jibakutai dan gakutotai.

Ketiga, Jepang membentuk organisasi militer. Organisasi ini contohnya heiho yang fungsinya membantu prajurit Jepang dan eksklusif ditempatkan dalam organisasi militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Hingga berakhirnya pendudukan Jepang, tercatat jumlah heiho sebesar 42.000 orang. Bagi Jepang, heiho lebih terlatih dalam perang ketimbang Peta sebab berada eksklusif di garis peperangan, baik memegang senjata anti pesawat terbang, tank, artileri medan, maupun mengemudi. Namun, tidak menyerupai Peta, tidak ada heiho yang menjadi perwira.

Peta awalnya diselenggarakan Seksi Khusus Bagian Intelijen Angkatan Darat ke-16 Jepang. Anggota Peta dilatih dalam seinen dojo (panti pembinaan pemuda). Perwira lulusan seinen dojo angkatan pertama di antaranya Umar Wirahadikusumah, Kemal Idris, R.A. Kosasih, dan Daan Mogot. Saat seinen dojo angkatan kedua berakhir, keluarlah perintah membentuk tentara Peta. Jenderal Besar Soeharto ialah perwira hasil didikan Peta, yang di masa hidupnya berhasil menjabat selaku presiden terlama Indonesia.

[1] Koentjaraningrat, Manusia ..., op.cit., h.26-29.
[2] Bernard Hubertus Maria Vlekke, Nusantara ..., op.cit, h.224.
[3] Koentjaraningrat, Manusia ..., op.cit., h.28.
[4] Supartono Widyosiswoyo, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta:Universitas Trisakti, Cet.2, 2006) h.160.
[5] Djoko Sukiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni hingga Revolusi (Jakarta : Komunitas Bambu, 2011) h. 2.
[6] Lilie Suratminto, Bahasa Kreol Portugis di Kampung Tugu: Warisan Budaya Kolonial di Jakarta di Ambang Kepunahan, dalam http://www.fib.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=58:bahasa-kreol-portugis-di-kampung-tugu-warisan-budaya-kolonial-di-jakarta-di-ambang-kepunahan&catid=39:artikel-ilmiah&Itemid=71&lang=download tanggal 5 Mei 2009.
[7] Victor Ganap, Portuguese Influence to Kroncong Music (Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VII No. 2 / Mei – Agustus 2006). Kisah masuknya musik keroncong mengikuti goresan pena Victor Ganap ini.
[8] Paramita Rahayu Abdurachman, Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2008).
[9] Ibid. h. 48. Juga dinyatakan “[...] isu Alkitab pertama-tama memasuki Indonesia melalui orang Portugis.” Lihat Gerrit Riemer, Gereja-gereja Reformasi di Indonesia: Asal, Sejarah, dan Identitasnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) h.10
[10] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Buku 1 Batas-batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia, 2010) h. 298.
[11] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) h.26.
[12] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008) h. 104-9. Paparan selanjutnya, kalau tidak diseling footnote, mengikuti sumber ini.
[13] Ibid., h. 40–60. Jika tidak diseling footnote lain, maka goresan pena mengikuti sumber ini.

tags:
pengaruh budaya barat atas kebudayaan indonesia, efek portugis, efek belanda, efek jepang di indonesia

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengaruh Budaya Barat Belanda Portugis Serta Jepang Atas Kebudayaan Indonesia"

Posting Komentar