Sistem Kepartaian Di Indonesia

Sistem kepartaian di Indonesia. Giovani Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi 4 macam, yaitu Sistem 2 Partai, Pluralisme Moderal, Pluralisme Terpolarisasi dan Sistem Partai Berkuasa. Sartori membagi keempat sistem kepartaian tersebut berdasarkan ideologi yang dianut masing-masing partai serta banyaknya partai yang diakui dan ikut dalam setiap pemilihan umum.

Sistem 2 partai ditandai oleh adanya 2 partai yang terus bersaing di dalam setiap pemilu serta paling mempunyai pendukung luas. Kedua partai tersebut sanggup saja mempunyai ideologi yang berbeda ataupun isu-isu politik yang kontras. Contohnya di Amerika Serikat di mana Partai Republik dan Partai Demokrat yang bersaing. Partai Republik membawakan kepentingan pengusaha, kalangan militer, dan golongan konservatif. Partai Demokrat, kerap dicitrakan sebagai lebih akrab ke kalangan pekerja, gerakan sosial bernuansa hak asasi manusia, dan kesejahteraan sosial. Potret Indonesia

  
Pluralisme Moderat yakni sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik yang ada di dalamnya mempunyai ideologi yang berbeda-beda. Namun, perbedaan ideologi tersebut tidak begitu tajam sehingga sanggup saja para pemilih suatu partai sanggup “berpindah” dari partai yang satu ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, partai-partai yang mempunyai perbedaan ideologi tetap sanggup menjalin koalisi jikalau memang diharapkan guna ”menggolkan” suatu kebijakan.

Pluralisme Terpolarisasi yakni sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik yang ada di dalamnya mempunyai ideologi yang berbeda-beda. Perbedaan ideologi tersebut terkadang cukup mendasar sehingga sulit bagi pemilih partai yang satu untuk berpindah ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, perbedaan ideologi tersebut menciptakan sulitnya tercipta koalisi akhir perbedaan ideologi yang cukup tajam tersebut.

Sistem Partai Berkuasa yakni sistem kepartaian di mana di suatu negara terdapat sejumlah partai, tetapi ada sebuah partai yang selalu memenangkan pemilihan umum dari satu periode ke periode lain. Partai yang selalu menang tersebut menjadi mayoritas di antara partai-partai lainnya, dilihat dari sisi basis massa, dukungan pemerintah, maupun kemenangkan dingklik mereka di setiap pemilihan umum. Contoh dari satu Sistem Partai Berkuasa ini yakni Malaysia, Indonesia di kurun Orde Baru, ataupun India. Di Malaysia, UMNO merupakan partai yang kerap memenangkan pemilu dari periode ke periode. Di Indonesia kurun Orde Baru, Golkar selalu memimpin bunyi di tiap pemilu 1971, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Di India, Partai Kongres yakni partai berkuasa yang di setiap pemilu mereka seringkali memenagkan dingklik terbanyak untuk parlemen.

Sistem Kepartaian di Indonesia

Di Indonesia, sistem kepartaian mengalami sejumlah perbedaan jikalau dilihat secara kesejarahan. Perbedaan ini di antaranya diakibatkan oleh perbedaan tipikal sistem politik yang berlaku. Di Indonesia, secara bergantian, sistem politik mengalami sejumlah perubahan dari Demokrasi Liberal tahun 1950 awal sampai 1955, Rezim Politik Otoritarian dari 1959 sampai 1965, Rezim Kediktatoran Militer dari 1966 sampai 1971, Rezim Otoritarian Kontempore dari 1971 sampai 1998 dan kembali menjadi Demokrasi Liberal dari 1998 sampai sekarang.

Sistem kepartaian di Indonesia mengalami perubahan sesuai dengan pergantian tipe sistem politik. Tipikal sistem kepartaian apa yang berlaku di suatu negara, secara sederhana sanggup diukur melalui fenomena pemilihan umum. Dari sisi jumlah misalnya, suatu negara sanggup disebut sebagai bersistem satu partai, dua partai, atau multipartai, dilihat saja dari berapa banyak partai yang ikut serta dalam pemilu berikut peroleh bunyi mereka.

Demokrasi Liberal Pertama

Demokrasi Liberal Pertama di Indonesia ditandai dengan keluarnya Maklumat No.X Oktober 1945. Maklumat yang ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta (wakil presiden RI dikala itu) mempersilakan publik Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik. Mulai dikala itu, berdirilah bermacam-macam partai politik yang sebagian besar berbasiskan ideologi dan massa pemilih di Indonesia. Oleh alasannya masih banyaknya peperangan (revolusi fisik berupa pemberontakan dan hendak kembalinya kekuasaan asing), pemilu belum kunjung dilaksanakan sampai tahun 1955.

Pemilu 1955 menandai “resminya” kurun sistem politik demokrasi liberal di Indonesia. Aneka partai politik diberi kebebasan untuk memperkuat organisasi, meluaskan basis massa, dan sejenisnya. Saat itu, sistem kepartaian yang berlaku di Indonesia yakni Pluralisme Terpolarisasi. Cukup banyak partai politik yang ikut serta di dalam pemilu pertama dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini. Namun, partai-partai yang memperoleh bunyi besar (4 partai) mempunyai garis ideologi yang cukup berseberangan antara satu sama lain.

Perbedaan garis ideologi ini juga ditandai basis-basis pemilih yang juga berbeda, mirip akan dipaparkan dalam goresan pena selanjutnya. Baiklah, sebagai deskripsi hasil pemilu 1955 sanggup kita saksikan bersama tabel di bawah ini:


Pemilu 1971 diikuti lebih dari 27 partai politik. Komposisi hasil peroleh bunyi partai-partai politik pada pemilu tahun 1955 menawarkan PNI (Partai Nasional Indonesia) meraih 22,32% bunyi dan mengantungi 57 dingklik di parlemen. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) meraih 20,92% bunyi dan mengantungi 57% bunyi di parlemen. NU (Nahdlatul Ulama) meraih 18,41% bunyi dan 45% bunyi di parlemen. PKI (Partai Komunis Indonesia) meraih 16,36% bunyi dan meraih 39 dingklik di parlemen. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) mengantungi 2,9% bunyi dan meraih 8 dingklik di parlemen. Parkindo (Partai Kristen Indonesia) mengantungi 2,6% bunyi dan meraih 8 dingklik di parlemen. Partai Kristen mengantungi 2,0% bunyi dan meraih 6 dingklik di parlemen. PSI (Partai Sosialis Indonesia) mengantungi 2,0% bunyi dan meraih 5 dingklik di parlemen. Sementara itu, total partai-partai lainnya yang masing-masing meraih bunyi <2,0%> 2,9% atau memperoleh >8 dingklik parlemen. Partai-partai tersebut yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Keempat partai ini mempunyai akar dalam ketiga pedoman mirip disebutkan Geertz.

PNI akrab dengan pedoman priyayi, suatu pedoman yang akrab dengan budaya Jawa aristokratik (kebangsawanan) dan rata-rata pengikutnya mencari nafkah selaku pegawai negeri ataupun pelayan publik. NU dan Masyumi akrab dengan pedoman Santri, suatu pedoman diidentikan dengan agama Islam yang tumbuh di pesisir Pulau Jawa dan menawarkan kepercayaan dan tata ibadah Islam yang nyata. Santri ini terbagi menjadi dua belahan besar yaitu tradisionalisme dan modernisme.

Bagian yang mewakili tradionalisme direpresentasikan Nahdlatul Ulama, yang secara kemasyarakatan didirikan tahun1926 guna merespon gelombang reformasi Islam dari Timur Tengah. NU banyak diikuti oleh penduduk Indonesia di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Sementara itu, Masyumi mewakili gerakan modernisme Islam, yang sebagian beranggotakan kaum cendekiawan, pedagang, dan basis dukungan utama dari luar pulau Jawa. NU dan Masyumi meskipun dikategorikan sebagai santri tetapi mempunyai implementasi basis sosial kemasyarakatan yang berbeda.

PKI kerap diidentikan oleh kalangan abangan, meskipun PNI juga mempunyai banyak pengikut dari kalangan ini. Basis pendukungnya ada di antara kaum pekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan (petani, nelayan). PKI menduduki posisi keempat peroleh bunyi di Pemilu tahun1955.

Telah disebutkan bahwa sistem kepartaian Indonesia di kurun ini bercorak Pluralisme Terpolarisasi. Masing-masing partai mempunyai ideoogi yang satu sama lain punya perbedaan tajam yang tercermin dalam perolehan bunyi 4 besar pemilu 1955. Kondisi ini mempunyai kelemahannya sendiri yaitu sulitnya mencapai konsensus antar partai dalam melaksanakan kesepakatan di tingkat parlemen. Bukti sulitnya konsensus ini yakni perdebatan yang berlarut-larut di Dewan Konstituante untuk merumuskan Undang-Undang Dasar gres bagi Indonesia. Selain itu, di tingkat massa kerap terjadi persinggungan antar simpatisan partai. Situasi ini berujung pada lahirnya Demokrasi Terpimpin, suatu kurun sistem politik Otoritarian Kontemporer yang diawali tahun1959.

Selain Geertz, analisis sistem kepartaian juga bisa dilakukan dengan memakai tipologi yang diberikan Herbert. Feith membagi kepartaian yang ada di Indonesia berdasarkan garis ideologi yang akibatnya yakni terdapat 5 pedoman ideologi yang besar lengan berkuasa di Indonesia pada kurun 1945 sampai 1965. Ideologi-ideologi tersebut yakni : Komunisme, Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, dan Sosialisme Demokrasi. Masalah kategorisasi ideologi berdasarkan pendapat Herbert Feith ini akan lebih dikembangkan dalam tema Budaya Politik Indonesia.

Rezim Otoritarian Kedua (1971-1998)

Analisis sistem kepartaian kemudian diadakan atas Rezim Otoritarian Kedua (1971-1998). Sistem kepartaian di masa Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno secara sengaja tidak dianalisis oleh alasannya masih mempunyai kesamaan dengan Demokrasi Liberal Pertama dilihat dari konfigurasi kepartaiannya. Hanya saja, pada masa ini Masyumi (dan PSI) dibubarkan oleh alasannya dituduh Sukarno terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi.

Di masa Demokrasi Terpimpin Sukarno, partai-partai besar yang masih legal yakni PNI, NU, dan PKI. Kendati demikian, di masa ini tidak ada Pemilihan Umum. Ketiga partai tersebut tetap bertahan oleh alasannya menjadi sokoguru dukungan politik Sukarno bagi kebijakan-kebijakannya. Sukarno, dikala itu, membangun sokoguru dukungan politik melalui 3 unsur mayoritas yang ada di Indonesia yaitu pedoman Marxisme (PKI), Islam (NU), dan Nasionalis (PNI). Sukarno melihat ketiga pedoman ini merupakan loyalis ditinjau dari sejarah usaha kemerdekaan Indonesia dan mempunyai basis massa yang besar.

Era sistem politik rezim Otoritarian Kontemporer Kedua bersama-sama diawali mulai 1971, ketika diadakan pemilu pertama sehabis kekuasaan Kediktatoran Militer 1966. Dalam masa ini, partai-partai politik yang dahulu tidak boleh Sukarno pun kembali ikut serta mengorganisasikan diri, dan salah satunya Masyumi. Agar lebih jelas, sanggup kita lihat persentase hasil Pemilu 1971 di bawah ini:


Sistem kepartaian yang berkembang di kurun ini seolah serupa dengan yang terjadi di kurun Demokrasi Liberal. Namun, di kurun ini pemerintah melibatkan diri dalam politik dengan terbentuknya Golkar. Beberapa partai mirip PSI dan PKI tidak tampak ikut serta, demikian pula Masyumi, yang gres diperkenankan ikut serta sehabis berganti nama menjadi Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Hasil perolehan bunyi pun menunjukkan Golkar menjadi pemenang (suara 34.348.673 atau 62,82%) sehingga memperoleh 236 dingklik parlemen. Saingan terdekatnya yakni NU (10.213.650 atau 18,68%) dan hanya mengantungi 58 dingklik di parlemen.

Hasil tersebut menawarkan mulai berlakunya sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa. Bagaimana tidak, dengan total 360 dingklik yang tersedia di dewan perwakilan rakyat, Golkar meraih 236 dingklik sehingga menguasai 62,82% bunyi di parlemen. Ini lebih dari cukup untuk meloloskan aneka rancangan undang-undang yang dikeluarkan oleh partai politik.

Undang-undang yang berhasil diloloskan, salah satunya yakni sehubungan dengan pemfusian (penggabungan) partai-partai politik ke dalam kedekatan garis ideologi tahun 1973. Ke-9 partai non Golkar dikelompokkan ke dalam 2 partai baru: Partai Persatuan Pembangunan (terdiri atas partai-partai berasaskan Islam mirip NU, Parmusi, PSII, dan Perti) serta Partai Demokrasi Indonesia (terdiri atas partai-partai berasaskan nasionalisme dan agama non Islam mirip PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba). Sehingga pemilu selanjutnya (1977) mudah hanya diikuti oleh 3 partai yaitu Golkar, PPP, dan PDI.

Pemilu 1977 meneruskan sistem kepartaian berklasifikasi Satu Partai Berkuasa. Ini bisa dilihat dari komposisi hasil peroleh pemilu 1977 berikut:


Pemfusian partai-partai politik tahun 1973 ternyata tidak secara otomatis menaikkan bunyi Golkar. Tahun 1977 menawarkan peroleh bunyi Golkar turun 0,69% ketimbang pemilu sebelumnya, termasuk penurunan jumlah dingklik dari 236 menjadi hanya 232. Meskipun demikian, Golkar tetap merupakan mayoritas dan mayoritas dalam pengambilan keputusan di tingkat parlemen.

Trend yang muncul adalah, terjadinya kenaikan bunyi partai-partai berasaskan Islam yang tergabung di dalam PPP. Partai ini (yang merupakan adonan NU, Parmusi, PSII, dan Perti) mengalami kenaikan 2,17% bunyi ketimbang pemilu 1971. Kursi yang diperoleh PPP yakni 99. Trend kebalikannya terjadi di PDI, di mana perolehan bunyi menurun 1,48% sehingga hanya menerima 29 dingklik parlemen. Jika pun PPP dan PDI berkoalisi, maka bunyi total keduanya hanya 128 kursi. Ini tidaklah cukup untuk menentang bunyi Golkar yang menguasai 62,11% di tingkat parlemen.

Pemilu 1977 seharusnya diadakan tahun 1976. Namun, dikala itu situasi politik di Indonesia, terutama Jakarta cukup “panas.” Ini mengawali diberlangsungkannya Sidang Umum MPR tahun 1978, sidang yang akan mendengarkan Pidato Pertanggungjawaban Presiden Suharto sekaligus menentukan Presiden dan Wapres baru. Situasi pun diwarnai aneka kritis atas kepemimpinan nasional yang dilakukan disiden elit politik dan elemen gerakan mahasiswa ITB, USU, ITS ataupun UGM yang mengembuskan gosip tidak mempercayai lagi Suharto untuk menjadi presiden RI pasca Sidang Umum MPR 1978.

Kecenderungan sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa pun tetap terjadi di Pemilu 1982 sebagai berikut:


Golkar memenangkan 64,34% bunyi pemilu 1982, meraih 242 dari 364 dingklik yang diperebutkan sehingga menguasai 66,48% bunyi di parlemen. Perolehan bunyi Golkar mengalami kenaikan 2,23% dari pemilu 1977. Sementara itu, PPP dan PDI mengalami penurunan jumlah bunyi ketimbang pemilu sebelumnya. PPP turun 1,51% dan memperoleh 94 dingklik parlemen (25,82% bunyi di parlemen) sementara PDI turun 0.72 sehingga hanya memperoleh 24 dingklik (6,60% bunyi di parlemen).

Kondisi yang sama, di mana sistem Satu Partai Berkuasa juga terjadi di pemilu 1987. Golkar kembali memenangkan pemilu dengan jumlah bunyi cukup signifikan mirip termuat dalam tabel di bawah ini:


Golkar mengalami kenaikan 8,82% bunyi ketimbang pemilu 1982. Partai ini mengantungi 73,16% bunyi pemilu sehingga memperoleh 299 dingklik di parlemen dari 400 dingklik yang diperebutkan. Golkar merupakan mayoritas, alasannya itu, dengan menguasai 74,75% bunyi di parlemen Indonesia. Keunggulan ini menjadikan Golkar merupakan partai yang “benar-benar” berkuasa di Indonesia dikala itu. PPP, di sisi lain, mengalami penurunan bunyi cukup besar yaitu 11,81%. Penurunan yang cukup tajam ini akhir keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid di mana NU kembali ke Khittah 1926, kembali menjadi organisasi kemasyarakatan dan tidak berpolitik secara kepartaian. PPP hanya memperoleh 15,25% (bandingkan dengan pemilu sebelumnya yang 25,82%). Kenaikan bunyi justru terjadi di PDI, yang mengalami kenaikan 2,99% dibanding pemilu sebelumnya. PDI memperoleh 40 dingklik parlemen dan persentase suaranya di parlemen meningkat dari 6,60% di pemilu 1982 menjadi 10% di pemilu 1987 ini.

Pemilu 1992 menandai kurun gres di tingkat politik nasional Indonesia. Pilar politik rezim Otoritarian Kontemporer Presiden Suharto mengalami perubahan. Sebagian kelompok militer mulai menjaga jarak dengan presiden, dan untuk “menambal” jarak ini, presiden Suharto mendekati salah satu kelompok Islam yang tergabung di dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Pemilu 1992 menunjukkan hasil sebagai berikut:


Hasil pemilu 1992 tetap memposisikan Golkar sebagai pemenang pemilu. Namun, suaranya menurun 5,06% ketimbang pemilu sebelumnya. Dari total 400 dingklik yang diperebutkan di parlemen, Golkar memperoleh 282 dingklik atau 70,50%. Sementara itu, dua partai lain mirip PPP dan PDI justru mengalami kenaikan jumlah suara. PPP mengalami kenaikan 1,04% bunyi sehingga memperoleh 62 dingklik di parlemen, sementara PDI memperoleh 56 kursi. PDI mulai mendekati PPP dalam rata-rata perolehan dingklik di parlemen (kurang 6 dingklik saja dari PPP).

Kenaikan bunyi PDI ini ditengarai bergabungnya Megawati Sukarnoputri, putri mantan presiden Sukarno, selaku pimpinan partai. Sejumlah emosi dan kekecewaan atas pemerintahan Orde Baru mulai diarahkan pada upaya pendukungan masyarakat atas partai ini. Kecenderungan ini semakin terlihat pada pemilu 1997 di bawah ini:


Meskipun Golkar masih memenangkan bunyi mayoritas, dengan menguasai 76,48% dingklik di parlemen. Mulai dekatnya jarak antara presiden Suharto dengan kelompok Islam menjadikan sejumlah kepercayaan publik pemilih PPP, sehingga peroleh bunyi partai ini meningkat 5,43%. PPP memperoleh 89 dingklik di parlemen atau 20,94% persentase bunyi di parlemen. Perolehan bunyi PDI menawarkan penurunan yang cukup tajam yaitu 11,84% ketimbang pemilu sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah, intimidasi yang dilakukan pemerintah atas kepemimpinan PDI Megawati Sukarnoputri berikut pendukungnya. Seperti diketahui, dikala itu PDI mengalami dualisme kepemimpinan, satu PDI versi Suryadi/Fatimah Ahmad, dan PDI versi Megawati Sukarnoputri.

Perseteruan internal di dalam PDI ini justru merugikan partai secara keseluruhan. Perseteruan pun tidak hanya melibatkan pihak internal melainkan juga pihak luar yang didukung oleh pemerintah dikala itu. Untuk selanjutnya, PDI versi Megawati Sukarnoputri ini mendeklarasikan berdirinya PDI Perjuangan.

Pemilu 1997 ini merupakan pemilu terakhir dalam rujukan sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa. Sistem yang berlaku di bawah sistem politik Rezim Otoritarian Kontemporer ini berakhir, dan berubah pada pemilu 1999. Pemilu 1999 merupakan kurun sistem politik gres di Indonesia : Demokrasi Liberal.

Demokrasi Liberal 2 (1998 - )

Era Demokrasi Liberal 2 diawali pengunduran diri Presiden Suharto pasca terpilihnya ia dalam Sidang Umum MPR 1998. Setelah pengunduran dirinya, jabatan presiden Republik Indonesia berada di tangan B.J. Habibie. Meskipun banyak dipandang sebagai “anak asuh” Suharto, dalam paradigma politik dan demokrasi, Habibie jauh berbeda dengan pendahulunya. Di mana Habibie, kurun demokrasi pun sungguh-sungguh dimulai.

Beberapa keputusan terkenal dilakukan, diantaranya pembebasan tahanan politik, perizinan pendirian partai-partai politik baru, dan referendum bagi rakyat Timor Timur (berujung pada pilihan merdeka Timor Timur atas Republik Indonesia). Habibie menyetujui pemilu yang dipercepat, yang dijadualkan berlangsung tahun 1999. Masa yang disebut sebagai “euphoria” demokrasi ini benar-benar mewujud di dalam kenyataan: 48 partai politik ikut serta di dalam pemilu dari total 148 yang terdaftar.

Hasil pemilu 1999 menawarkan rujukan sistem kepartaian yang berubah dari Satu Partai Berkuasa menjadi Pluralisme Moderat. Pluralisme Moderat ini akan dijelaskan sehabis dicantumkan tabel hasil peroleh bunyi pemilu 1999 berikut:


Konfigurasi peroleh bunyi partai-partai politik pemilu 1999 menawarkan suatu Pluralisme Moderat. Partai-partai 10 besar mirip PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKP, PNU, dan PDKB mempunyai jarak ideologi yang cukup berdekatan. Misalnya, antara Golkar, PDI Perjuangan, PKP, dan PDKB bersama-sama mempunyai kohesi yang saling berbekatan. Kemudian, antara PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PNU, yang bersama-sama partai-partai politik berbasiskan Islam, kurang lebih sanggup dikerucutkan menjadi 2 pedoman di dalam “santri” versi Geertz yaitu modernis dan tradisional. Koalisi di dalam parlemen antara ke-10 partai tersebut masih sanggup dilakukan dan tidak sesulit mirip yang ditampakkan oleh hasil Pemilu1955 di mana 4 partai besar mempunyai jarak ideologi yang cukup jauh sehingga menyulitkan konsensus di dalam parlemen.

Andreas Ufen dari German Institute of Global Area Studies menulis bahwa pemilu 1999 menawarkan ”kemenangan” kalangan Islam moderat dan kalangan nasionalis. Ufen juga mengindikasikan bahwa meskipun politik pedoman ala pemilu 1955 tetap pegang peranan, tetapi mulai terjadi ’dealiranisasi’. Artinya, format sistem kepartaian meskipun Plural tetapi menawarkan kecenderungan moderat. Perbedaan ideologi antar partai tidak setajam pemilu 1955.

Di tingkat parlemen pun, pembangunan konsensus antarpartai harus menjadi perhatian. Ini terlihat dari persentase bunyi masing-masing partai di parlemen hasil pemilu 1999. PDI Perjuangan, selaku pemenang pemilu 1999, Cuma menguasai 33,33% bunyi di tingkat parlemen. Golkar yang peringkat 2 hanya menguasai 25,97% suara. PPP, partai berbasis Islam hanya menguasai 12,77%. PKB, partai berbasis kelompok tradisional Islam menguasai 11,03%. PAN, partai yang berbasiskan modernis Islam menguasai 7,58% suara. PBB, partai yang berbasiskas Islam modernis dan formalisme menguasai 2,81% suara. Partai Keadilan, partai Islam modernis gres dan mempunyai tipikal kelompok Ikhwanul Muslimin memperoleh bunyi 1,30%. PKP, partai para fungsionaris militer nasionalis memperoleh 1,30%. PNU (partai ”pecahan” dari PKB) serta PDKB (partai berbasis agama Kristen Protestan) memperoleh bunyi 0,65%, suatu jumlah yang kurang signifikan.

Partai-partai ”besar” terhitung yakni PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Partai-partai ini mempunyai garis ideologi yang cukup ”lembam”. PPP, PKB, PAN dan PBB, jikalau bisa mencapai kesepakatan bersama-sama sanggup menjalin koalisi di parlemen. PDI Perjuangan dan Golkar, bersama-sama mempunyai platform ideologi yang tidak terlalu berbeda. Kendala koalisi keduanya hanyalah ”permusuhan” historis. PDI Perjuangan, selama kurun Orde Baru simpulan banyak menerima intimidasi pemerintah, dan mereka mungkin masih memandang Golkar sebagai cuilan masa kemudian Orde Baru yang terus hidup sampai pemilu 1999.

Perolehan bunyi pemilu 1999 tidak jauh berbeda dengan hasil pemilu 2004, pemilu lanjutan kurun Demokrasi Liberal kedua. Hasil pemilu 2004 sanggup dilihat pada tabel berikut ini:


Pemilu 2004 memperebutkan 550 dingklik di parlemen. Golkar keluar sebagai pemenang dengan mengantungi perolehan 24.461.104 bunyi atau 21,62% total bunyi pemilih. Hasil ini menciptakan Golkar menguasai 23,27% bunyi di parlemen. PDI Perjuangan menguasai 19,82% bunyi parlemen, PPP menguasai 10,55% bunyi parlemen, Partai Demokrat menguasai 10% dingklik parlemen, PAN menguasai 9,64% bunyi parlemen, PKB menguasai 52% bunyi parlemen, PKS (nama gres Partai Keadilan) menguasai 8,18% bunyi parlemen, PBR menguasai 2,55% bunyi parlemen. Mengenai kekerabatan dengan pemilu sebelumnya (1999) sanggup dilihat tabel berikut:

Golkar mengalami kenaikan dari pemilu 1999 ke pemilu 2004, PDI Perjuangan mengalami penurunan, PKB mengalami penurunan perolehan suara, tetapi mengalami kenaikan jumlah dingklik di parlemen. PPP mengalami penurunan perolehan suara, meskipun jumlah perolehan kursinya tetap sama. PD (Partai Demokrat), partai yang mengandalkan figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (presidency party) pribadi memperoleh 7,5% bunyi dengan total penguasaan dingklik parlemen 56. PKS (dulu PK) mengalami mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 1,4% di pemilu 1999 menjadi 7,3% di pemilu 2004. Kursi parlemen mereka peroleh 7 dingklik di pemilu 1999 menjadi 45% di pemilu 2004.

PAN mengalami penurunan jumlah suara, dari 7,1% di pemilu 1999 menjadi 6,4% di pemilu 2004 meskipun dingklik parlemen mereka bertambah dari 34 di pemilu sebelumnya menjadi 53 di pemilu terkemudian. PBB meski mengalami kenaikan jumlah bunyi dari 1,9% menjadi 2,6%, tetapi peroleh dingklik mereka turun dari 13 menjadi 11.

Pola sistem kepartaian yang berlaku masih ibarat Pluralisme Moderat layaknya mirip tampak di pemilu 1999. Partai-partai relatif besar mirip Golkar, PDI Perjuanan, PKB, PPP, dan PAN masih menguasai dingklik yang cukup besar di parlemen. Tidak ada partai yang bisa menjadi mayoritas secara mudah. Mereka harus saling berkoalisi. Partai yang menjadi partner pertama didasarkan kedekatan garis ideologis, gres kemudian faktor-faktor pragmatis mirip kemenangan bunyi untuk kebijakan tertentu dan lain sebagainya.

Partai-partai Politik di Indonesia

Richard S. Katz membagi tipikal partai politik menjadi 4, yaitu Partai Elit, Partai Massa, Partai Catch-All dan Partai Kartel. Fraz Neumann menambahkan terdapat 1 jenis partai yaitu Partai Integratif. Penjelasan dari masing-masing tipe partai politik tersebut yakni :

1. Partai Elit – Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada kekerabatan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai mempunyai status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.

2. Partai Massa – Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, mirip “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.

3. Partai Catch-All – Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti gosip di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.

4. Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akhir berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada bunyi mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, kesepakatan pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak mempunyai arti lagi.

5. Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melaksanakan mobilisasi politik dan aktivitas partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan menciptakan mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka yakni dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melaksanakan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.

Beberapa partai mirip PDI Perjuangan kini sanggup dikategorikan sebagai Partai Massa. Partai ini mempunyai massa cukup besar, yang kerap mengidentifikasi diri berbasis kelas sosial tertentu semisal ”kalangan rakyat biasa.” Namun, dalam hubungannya dengan kepemimpinan partai, PDI Perjuangan sanggup pula dikategorikan sebagai Partai Elit. Figur elit politik mirip Megawati Sukarnoputri cukup signifikan sebagai basis kohesi partai. Demikian pula pertalian keuangan partai dengan pengusaha Taufik Kiemas dan Tjahjo Kumolo.

Karakteristik partai massa juga terdapat dalam partai-partai lain semisal PKB dan PAN. PKB kemungkinan masih menjadi basis identifikasi politik kalangan Nahdlatul Ulama sementara PAN untuk kalangan Muhammadiyah. Meskipun kondisi identifikasi pemilih dengan partai berkecenderungan untuk tidak menguat, tetapi masih sanggup diterima perkiraan bahwa PKB dan PAN merupakan tipikal Partai Massa.

Partai Demokrat merupakan partai yang tidak punya basis pemilih yang jelas. Partai ini sanggup disebut sebagai ”partai presiden”, yaitu partai yang berdiri untuk mengangkat figur Susilo Bambang Yudhoyono (atau memanfaatkan?). Ketidakjelasan basis pemilih ini (layaknya partai massa) menciptakan Partai Demokrat harus peka terhadap isu-isu strategis di kalangan pemilih. Partai jenis ini sanggup diklasifikasi sebagai Partai Catch-All.

Partai-partai kecil banyak tersebar di parlemen. Misalnya, dalam pemilu 2004, partai-partai mirip Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, atau Partai Karya Peduli Bangsa, tidak akan ”hidup” jikalau tidak berkoalisi dengan partai-partai lain yang setara ataupun dengan partai besar yang punya basis ideologi setara dengan mereka. Anggota fraksi mereka sanggup disebut sebagai Partai Kartel, yang berorientasi pada koalisi. Dengan demikian, basis ideologi, kesepakatan pemilu dan sejenisnya bukan sesuatu yang urgent untuk dipenuhi oleh alasannya untuk bersuara saja, mereka tidak mempunyai kekuatan representasi. Teknik bertahan untuk tetap ada, merupakan prioritas utama yang harus segera dilakukan.

Fenomena Partai Keadilan Sejahtera, sanggup dikatakan sebagai fenomena Partai Integratif. Partai jenis ini membasiskan keorganisasian pada keanggotaan volunteer, sumbangan anggota, kerja-kerja sosial, sehingga menciptakan partai mereka bertahan hidup. Tipikal kerja partai mereka cukup massif. Karakter PKS juga sanggup disebut sebagai Partai Massa, di mana dimensi keislaman modernis merupakan basis identifikasi para pemilihnya.

Summary:
  • Sistem kepartaian di Indonesia bervariasi, bergantung jenis sistem politik yang tengah berlaku di kurun tertentu.
  • Pluralisme Moderan, Pluralisme Terpolarisasi, dan Sistem Satu Partai Berkuasa merupakan 3 sistem kepartaian yang mempunyai kegunaan guna menjelaskan sistem kepartaian di Indonesia.
  • Tipikal partai politik di Indonesia sanggup ditelaah dengan melaksanakan pembedaan atas Partai Elit, Partai Kartel, Partai Massa, Partai Catch-All, dan Partai Integratif mempunyai fungsi yang cukup bermanfaat untuk menganalisis partai-partai politik yang ada di Indonesia.
-------------------------------------------------------------------
Referensi

  1. Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik pedoman and ‘Philippinisation’, (Hamburg: GIGA Working Paper, 2006)
  2. Clifford Geertz, The Religion of Java, (New York: Free Press, 1960)
  3. Herbert Feith dan Lance Castles, ed., Pemikiran Politik Indonesia : 1945-1965, Alih Bahasa Min Yubhaar, (Jakarta: LP3ES, 1988)
  4. Janos Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millenium, (Barcelona : Institut de Ciències Polítiques i Socials, 2005)
  5. Peter Mair, “Party Systems and Structures of Competition”, dalam Lawrence LeDuc, et.al., Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, (California: Sage Publications, 1996) p.86.
  6. Richard S. Katz, “Party Organizations and Finance”, dalam Lawrence LeDuc, ed., et.al., op.cit.
  7. Suzaina Kadir, Mapping Muslim Politics in Southeast Asia after September 11, (European Institute for Asian Studies, 2002)
  8. www.kpu.go.id 
 tags:
sistem kepartaian indonesia berdasarkan giovani sartori jenis kepartaian indonesia tipe parpol  indonesia pemilu 1955 1971 jenis-jenis partai indonesia

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sistem Kepartaian Di Indonesia"

Posting Komentar