Konflik-Konflik Vertikal Di Indonesia Dengan Teladan Kasus Aceh Maluku Dan Papua

Konflik-konflik vertikal di Indonesia dengan teladan kasus Aceh, Maluku, dan Papua ini mengetengahkan konflik dalam konteks hirarki politik negara. Khususnya, konflik yang terjadi dalam konteks negara yang menganut bentuk negara kesatuan. Biasanya, konflik mengambil bentuk umum sengketa antara tempat (atau kelompok di suatu daerah) melawan pemerintah pusat. 


1. Konflik Aceh 


Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang.[1] Akar konflik berkait erat dengan korelasi kekuasaan antara pemerintah sentra dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Aceh yaitu wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah sentra untuk memakai tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari sumbangan dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia.[2] Bahkan, dua bulan sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno.[3] Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern semenjak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan sumbangan politik dan sosial bagi keberadaan negara Republik Indonesia.[4]

Masalah mulai muncul semenjak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka yaitu Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer spesial Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibuat pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi berdikari ibarat PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, cuilan dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan tempat Aceh sebagai cuilan dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh yaitu demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 dikala Aceh diberi status Daerah spesial dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.[5]

Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul tanggapan marjinalisasi identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya konsep khas perihal budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang semenjak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam mendorong perundingan politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh. 

Konflik kembali meruyak sesudah pada tahun 1974 pemerintah sentra menerbitkan UU No.5 tahun 1974 perihal Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 perihal Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur manajemen gres masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga susila yang telah ada semenjak lama.[6] Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah sentra membuat jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat. 

Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia bisa keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh bisa dipakai sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi kemudian mendatangkan duduk kasus dikala terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari sentra ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh mempunyai desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.[7]

Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak dibawa ke sentra ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh belum usai yaitu seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa.[8] Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik tempat versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap sentra ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi sentra terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka. 

Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer digelar semenjak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik, lantaran sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan saling pengertian saja yang bisa menuntaskan larutan konflik Aceh. Lambang Trijono menulis, sesudah mengambil momentum peristiwa Tsunami Aceh 2004, pemerintah Indonesia kembali membuka obrolan perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.[9] Puncaknya yaitu penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan administrator Crisis Management Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. 

Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali korelasi luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat.[10] Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku semenjak 1 Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna menghormati tradisi sejarah dan susila istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak memakai simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri. 

Di bidang ekonomi, Aceh – secara unilateral – berhak memperoleh dana lewat hutang luar negeri, bahkan memutuskan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah darat dan bahari Aceh, baik dikala penandatangangan MOU maupun di masa mendatang. 

Dalam duduk kasus keamanan, GAM setuju untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, dengan mana anggota GAM tidak lagi memakai seragam, emblem, atau simbol militer mereka sendiri sesudah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga setuju menyerahkan persenjataan semenjak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh sesudah relokasi yaitu 14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh sesudah relokasi yaitu 9.100 orang. 

Kini, merupakan kiprah seluruh pihak, baik pemerintah tempat Aceh, rakyat Aceh, pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus membangun, terlebih sesudah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang terjadi selama ini. 

2. Konflik Papua 

Akar konflik vertikal Papua relatif ibarat Aceh, terutama aksara diametralnya dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan akad yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak dikala itu Papua terus dilanda gejolak separatisme hingga kini. 

Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964.[11] Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM yaitu manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis ibarat Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua sanggup dirunut kepada faktor-faktor berikut :[12]

  1. Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda, 
  2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan aturan atas mereka, 
  3. Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat orisinil Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.[13]

Dalam perkembangan kemudian, masih berdasarkan Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang penyelesaian konflik. Jalan pertama yaitu Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang sekarang menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga yaitu Otonomi Khusus, yang didukung secara umum dikuasai elit Papua, secara umum dikuasai elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM. 

Jalan ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang Nonmor 21 tahun 2001 perihal Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya yaitu realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata.[14] Kendati punya sumber daya alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia: Alamnya kaya tetapi secara umum dikuasai penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.[15]

Ans Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua.[16] Tim peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah sentra di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang orisinil Papua semenjak tahun 1970, yang karenanya membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melaksanakan pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu. 

Pembangunan yang timpang yaitu salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi kiprah besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan.[17] Komisi yang khusus memeriksa proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat hingga pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di Papua yaitu penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.[18]

3. Konflik Maluku 

Hasbollah Toisuta menyatakan, dalam hal varian konfliknya, konflik Maluku berbeda dengan konflik Aceh. Pertama, di Maluku terdapat konflik vertikal bernuansa agama. Kedua, di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan konflik RMS versus pemerintah pusat.[19] Konflik yang disoroti dalam goresan pena ini yaitu jenis yang kedua, konflik vertikal vis a vis pemerintah pusat. 

Transisi politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan usang melainkan hanya beberapa ahad saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai seni manajemen Belanda untuk terus berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap mempunyai kecenderungan besar lengan berkuasa untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur. 

Di negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan manajemen kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang jikalau terjadi peralihan rezim, maka laba relatif tersebut diprediksi akan menghilang. Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan politik kiri.[20] Di Indonesia Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah kabinet gres Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya ke dalam Republik Indonesia. 

Sebelumnya, tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H. Manuhutu dan A. Wairisal.[21] Pemerintah segera melaksanakan serangan politik dan militer kepada negara sempalan ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya (Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak punya pilihan kecuali bergabung ke dalam Republik Indonesia.[22] Sayangnya, anasir RMS tidak begitu saja mendapatkan kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda dan Eropa Barat lain. 

Ruth Saiya mencatat, sumbangan atas RMS tahun 1950 silam tiba dari lintas komunitas agama. Namun, secara keseluruhan sumbangan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat Maluku saja.[23] Bagi pendukungnya, RMS yaitu bentuk nasionalisme Maluku dikala Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis alasannya yaitu di Maluku korelasi Nasrani dan Islam yaitu korelasi persaudaraan.[24] Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka bekerjsama kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS yaitu konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat. 

Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi dikala transisi politik 1998-1999 dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para provokator, RMS ditambahi komplemen agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan nasional gampang memanas. 

Deklarasi Malino II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik, kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Nasrani dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi, para penandatangan setuju untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis, termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 perihal Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Tim Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar aneka macam kejadian dan issue yang diduga menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue perihal Republik Maluku Selatan; issue Nasrani RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue perihal pelanggaran hak asasi manusia, dan; aneka macam kejadian pelanggaran aturan yang terkait erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa, menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku. 

Di awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan politik riilnya serta minim dukungan, tetapi lantaran di-blow-up oleh pemberitaan media massa jadi seakan-akan besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah. 

Contoh upaya RMS melaksanakan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka, Ambon.[27] Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele. Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan kemudian menghadirkan tari Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol usaha Republik Maluku Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak, segera sesudah kejadian tersebut, media massa mengkonsumsinya sebagai info laris-manis sehingga kembali RMS menerima perhatian nasional dan mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik. 

Lihat juga:

Pendekatan-pendekatan dalam Menganalisis Konflik di Indonesia

------------------------------------

[1] Syamsul Hadi, et.al., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007). 
[2] Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, Integrasi Nasional dalam Perspektif Sejarah Indonesia: Sebuah Proses yang Belum Selesai (Pidato Pengukuhan: Disajikan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro di Semarang, 9 Pebruari 2002) h. 21. 
[3] Ibid., h. 14 
[4] Ibid. 
[5] Syamsul Hadi, et.al, Disintegrasi ...., op.cit. 
[6] Lihat goresan pena sebelumnya mengenai struktur masyarakat suku bangsa Indonesia. 
[7] Syamsul Hadi, et.al., Disintegrasi ..., op.cit. 
[8] Ibid., h. 22. 
[9] Lambang Trijono, Pembangunan sebagai Perdamaian: Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) h. 165. 
[10] Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Senin 15 Agustus 2005 Helsinki, Finlandia. Download dari www. acstf.org. 
[11] Ikrar Nusa Bhakti, et.al, Military Politics, Ethnicity and Conflict in Indonesia (Crise Working Paper No.62, January 2009). 
[12] Esther Heidbuchel, The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches (Johannes Herrmann Verlag, 2007) pp. 54-5. 
[13] Ibid. 
[14] Ans Gregory da Iry, Dari Papua Meneropong Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2009) h.8. 
[15] Ibid. 
[16] Ibid., h. 9-10. 
[17] Lambang Trijono, Pembangunan ..., op.cit., h. 129. 
[18] Manuel Kaisiepo, Dinamika Konflik di Papua: Bias Kultural dan Interest Ekonomi Politik dalam Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa (Bandung: Mizan, 2008) h.472. 
[19] Hasbollah Toisuta, Belajar dari Kasus Aceh: Menggagas Dialog Kultural dalam Fahmi Salatalohy dan Rio Pelu, eds. Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku perihal Maluku untuk Indonesia (Yogyakarta: Kerjasama Satusa dan LKiS, 2004) h.6. 
[20] Ibid. 
[21] Saat ini, di situs mereka, www.republikmalukuselatan.nl. tercantum presiden RMS yaitu J.G. Wattilete yang merupakan presiden RMS ke-10. Presiden RMS April–Mei 1950 J.H. Manuhutu, 1950–1966 C.R.S. Soumokil, 1966 – 1993 J.A. Manusama, dan 1993 – 2010 F.L.J. Tutuhatunewa. 
[22] M.C. Ricklefs, Sejarah ..., op.cit., h. 467-8. 
[23] Ruth Saiya, Nasionalitas Pendamai Pejuang Tempur Maluku dalam Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial (Yogyakarta: Kanisius, 2008) h. 32. 
[24] Ibid. 
[25] Badrus Sholeh, Jihad in Maluku dalam Andrew Tian Huat Tan, A Handbook of Terrorism and Insurgency in Southeast Asia (Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2007) p.160. 
[26] Pasal 2 Keppres No. 38 tahun 2002 perihal Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku. 
[27] Ruth Saiya, Nasionalitas Pendamai Pejuang Tempur Maluku dalam Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial (Yogyakarta: Kanisius, 2008) h.25.

tags:
konflik-konflik vertikal di indonesia teladan kasus aceh maluku papua konflik tempat pemerintah pusat

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konflik-Konflik Vertikal Di Indonesia Dengan Teladan Kasus Aceh Maluku Dan Papua"

Posting Komentar