Pengaruh Struktur Sosial Terhadap Sistem Kepartaian Indonesia

Struktur kepartaian dan struktur sosial Indonesia. Umum diketahui, terdapat suatu kekerabatan antara struktur sosial yang berkembang di suatu Negara dengan struktur kepartaian di level politik. Dapat dikatakan, struktur kepartaian merupakan “puncak gunung es”, puncak yang dibuat dari struktur fundamen yang terdiri atas struktur sosial masyarakat. Di Eropa Barat, partai-partai komunis muncul akhir berkembangnya gerakan buruh yang dipengaruhi filsafat politik Karl Marx dan Friedrich Engels. Dalam Pemilu 2009, Partai Aceh yang notabene merupakan partai local ikut sebagai kontestan sebagai hasil janji Helsinki. Keikutsertaan partai tersebut sebagai kompensasi pergerakan GAM yang tidak lagi menuntut kemerdekaan politik dari NKRI.

Di Inggris, masyarakat terbelah menjadi 2 elemen besar : Pengusaha dan Pekerja. Para pengusaha dan kalangan konservatif bergabung ke dalam Partai Konservatif, sementara kalangan pekerja dan kalangan gerakan sosial masyarakat sipil bergabung ke dalam Partai Buruh. Sama halnya di Amerika Serikat, tatkala masyarakat mengalami bipolarisasi menjadi kalangan pro pengusaha dan pro pekerja, partai politik secara otomatis terkondisikan menjadi Partai Republik dan Partai Demokrat. Potret Indonesia

Partai politik merupakan supra struktur masyarakat, yang pertumbuhannya lebih merupakan akhir (ketimbang sebab) dari proses-proses yang bergerak di struktur basis (masyarakat). Ini pun tidak terhindarkan di Indonesia. Secara historis, Indonesia mempunyai lebih dari 100-an partai. Variasi ini menandai terpolarisasinya struktur sosial yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Kendati demikian, struktur-struktur tersebut kemudian terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok besar. Ini dibuktikan dengan pilihan politik yang tumpah ke partai-partai politik yang “itu-itu” saja.

Penggolongan Masyarakat Indonesia

Nasikun menulis sejumlah penggolongan atas masyarakat Indonesia. Misalnya penggolongan berdasarkan perbedaan suku bangsa (Jawa – NonJawa), agama (Islam Santri, Islam NonSantri, Kristen, dan NonIslam Lain), pelapisan sosial (priyayi dan wong cilik), urban-rural (desa dan kota).1 Jadi, berbeda halnya dengan pemusatan bifurkasi (pembelahan) sosial ala Eropa yang lebih menekankan dimensi ekonomi, bifurkasi sosial di Indonesia selain ekonomi juga akhir perbedaan region, keyakinan, dan pelapisan sosial.

Pada demokrasi liberal pertama (1950-1959) misalnya, sanggup ditelusuri kemunculan PNI selaku partai politik dari garis struktur sosial ini. PNI identik dengan kalangan priyayi Jawa, kaum borjuis local, birokrat pemerintah, dan kaum budaya Jawa. Pengaruh dari PNI merasuk melalui tokoh-tokoh masyarakat yang akrab dengan kalangan pemerintahan. Sementara itu sebaliknya, PKI muncul akhir terkonsentrasinya “apatisme” kalangan wong cilik, petani kecil, buruh, dan kalangan Islam NonSantri. Masyumi mempunyai basis politiknya dari kalangan Islam Modern, Muhammadiyah, kalangan pedangan kelas menengah perkotaan. NU, di sisi lain, tumbuh dari gerakan Islam Tradisional (pesantren), penduduk Jawa, dan menganut tradisi patron klien antara kyiai-santri.

Penghubungan antara struktur sosial dengan struktur politik di Indonesia contohnya dilakukan oleh beberapa peneliti. Leo Suryadinata et.al. contohnya mengkaji sikap pemilih dalam pemilu (selaku variable terikat) dengan variable-variabel bebas menyerupai agama, etnis, pendidikan, komposisi geografis, populasi migrant dan urban, pendapatan per kapita, dan kemiskinan.2 Selain Suryadinata, peneliti lain menyerupai R. William Liddle dan Saiful Mujani juga melaksanakan hal yang hampir mirip.3 Keduanya mengkaji variable-variabel menyerupai orientasi agama, ekonomi politik, kelas sosial, identitas etnis, rural-urban, usia dan gender.

Struktur Sosial : Agama

Lewat hasil penelitiannya, Leo Suryadinata, et.al. menggambarkan pembedaan struktur sosial masyarakat Indonesia berdasarkan agama. Sayangnya, penelitiannya hanya mengkategorikan penganutan agama Islam dan NonIslam yang tampak pada gambar di bawah ini4 :


Populasi penganut Islam di Indonesia secara keseluruhan >80%, sementara di pulau Jawa >95% dan di luar Pulau Jawa antara 70%-80%. Namun, jikalau diterapkan teori Clifford Geertz ihwal “aliran”, maka di Jawa, penganut Islam sanggup dibagi kembali berdasarkan anutan tradisional, modernis, dan abangan. Demikian pula halnya dengan penganut Islam di luar pulau Jawa. Penganut NonIslam sanggup dibedakan kembali berdasarkan Kristen (Protestan, Katolik), Hindu, Buddha, Konghucu, dan agama-agama local. Bifurkasi agama menyerupai ini diantara ditampakkan lewat anutan pilihan partai politik, antara partai agama dan partai-partai nasionalis.

Sementara sebaran anutan agama berdasarkan provinsi diperoleh hasil sebagai berikut ini1:


Islam menempati posisi mayoritas di hampir setiap provinsi, sementara NonIslam hanya mayoritas di provinsi-provinsi Maluku, Sulawesi Utara, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, populasi NonIslam ini pun masih terbagi ke dalam agama-agama yang cukup bervariasi.

Struktur Sosial : Etnis

Kajian struktur sosial Indonesia pun kerap mengacu pembagian Jawa – NonJawa. Jawa merupakan etnis terbanyak di Indonesia. Hal ini telah terjadi semenjak masa pra Indonesia, di mana berdasarkan sejarawan Belanda, Bernard H.M. Vlekke, merupakan dampak kemakmuran. Pulau Jawa telah menghasilkan surplus materi masakan pokok, sehingga melaksanakan “outward-looking” guna mencari wilayah-wilayah gres guna ditinggali. 

Selain itu, factor “cultuur-stelsel” Belanda, yang mengharuskan sistem tanam paksa produk-produk eksport ke Eropa (tebu/gula, kopi, teh) menciptakan lahan-lahan pertanian di Jawa menyusut, terjadi pengangguran petani, dan mendorong penduduk Jawa bermigrasi ke wilayah-wilayah lain, selain kebijakan Belanda sendiri mengangkut orang-orang Jawa guna mengerjakan tanah perkebunan di Sumatera dan Sulawesi.

Berikut yakni komposisi penduduk Jawa – NonJawa di tiga puluh provinsi Indonesia1:


Lampung merupakan provinsi non pulau Jawa di mana etnis Jawa hadir selaku mayoritas dengan 68.89%. Melihat komposisi etnis Indonesia yang bermacam-macam hampir di tiap provinsi, jumlah etnis Jawa cukup memadai untuk dinyatakan eksistensinya, yaitu di atas 20.000 jiwa.

Struktul Sosial : Rural – Urban

Rural – Urban atau desa – kota merupakan 2 kategorisasi struktur sosial yang dipakai demi menjelaskan tema fragmentasi suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, dikotomi rural (desa) dan urban (kota) tidak simplistik diwakili Jawa – NonJawa atau Islam – NonIslam. 

Terminologi urban biasanya merujuk pada wilayah dan sistem mata pencarian penduduk. Perdagangan, industrialisasi, kosmopolitanisme (etnis yang membaur unsure primordialismenya), kerja berdasar kontrak, merupakan beberapa cirri dari masyarakat urban. Sementara, masyarakat rural dicirikan dengan masih berlangsungnya sistem mata pencarian subsisten (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan), kekerabatan komunalistik, kepemilikan sendiri alat produksi, ataupun pembentukan institusi sosial berdasar kekerabatan. 

Lewat terminologi di atas, kategorisasi rural – urban tidak melulu diterapkan antara Jawa – NonJawa. Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, BanjarMasin, ataupun Surabaya sanggup dimasukkan ke dalam kategori wilayah urban (kota). Sementara wilayah Gunung Kidul, Blambangan, Brebes, kendati berada di pulau Jawa masih sanggup dikategorikan wilayah rural. Indonesia sendiri cukup bervariasi dalam hal wilayah rural dan urban ini. Perbedaan-perbedaan ini menciptakan partai-partai politik dengan banyak sekali gosip beda sanggup tumbuh di hampir aneka wilayah Indonesia.

Analisis Nasikun

Berdasarkan dikotomi struktur penduduk berdasar agama (Islam, NonIslam), etnis (Jawa, NonJawa), dan wilayah (rural-urban), Nasikun memetakan kemunculan partai-partai politik “aliran” di tahun 1955 sebagai berikut1:


Islam Santri terdiri atas beberapa kategori menyerupai Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, termasuk ke dalamnya Persatuan Islam (Persis), yang mempunyai grassroot di kalangan masyarakat Indonesia. Sementara Islam NonSantri yakni kalangan Islam yang tidak masuk ke dalam kategori Muhammadiyah, NU, ataupun Persis. Mereka relative akrab dengan kalangan partai-partai berasas nasionalis. Sesuai namanya, kalangan nonIslam lebih akrab kepada partai-partai berhaluan Kristen.

Islam Santri yang berada di kota erat kekerabatan dengan tradisi urban, dengan pekerjaan berdagang, pendidik, pegawai pemerintah. Sementara Islam Santri yang berada di desa erat hubungannya dengan pesantren, pertanian, perkebunan, nelayan, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang bercorak otonom alat produksinya. Kondisi ini pun hampir sama dengan kalangan Islam NonSantri, baik di Desa (Wong Cilik) dan Kota (Priyayi).

Kota merujuk pada wilayah urban, sementara desa merujuk pada wilayah rural. Wong Cilik yakni terminology yang dirujukkan pada elemen masyarakat yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, dengan status pekerjaan yang kurang tetap dan terus dirundung duduk masalah pemenuhan kebutuhan subsisten (pangan, sandang, papan). Sementara Priyayi merujuk pada kalangan bangsawan, berkemampuan ekonomi menengah ke atas, kalangan berpendidikan dan merupakan pejabat pemerintah.

Nasikun merupakan seorang penulis yang karya tulisnya Sistem Sosial Indonesia masih dirujuk sebagai text book biro diam-diam kuliah yang bekerjasama dengan sistem sosial Indonesia. Kuliah ini pun akan memakai analisis Nasikun sehubungan dengan kekerabatan struktur sosial masyarakat dengan kemunculan dan pilihan partai politik di Indonesia.

Basis masyarakat Islam Santri kemudian membentuk organisasi-organisasi sosial semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini mempunyai titik pertumbuhan berbeda. Muhammadiyah tumbuh di kalangan urban, sementara NU tumbuh di kalangan rural. Pada perkembangannya, wilayah urban dan rural ini tidak lagi menjadi cirri utama anggota kedua organisasi di atas.

Masyumi muncul, awalnya sebagai persatuan antara kalangan Muhammadiyah dan NU. Pada perkembangannya, Masyumi kemudian pecah dan NU keluar dari organisasi tersebut untuk kemudian membentuk Liga Muslimin Indonesia. Karakter Masyumi kemudian lebih diwarnai Muhammadiyah. Menurut Nasikun, Masyumi mempunyai basis di petak nomor 7 dan 8, yaitu kalangan Islam Santri luar Pulau Jawa, baik di wilayah kota (wong cilik) dan desa (priyayi). NU berbeda, alasannya yakni ia lebih punya basis di petak nomor 2, yaitu Islam Santri Pulau Jawa di kalangan Desa (priyayi).

PNI (Partai Nasional Indonesia) mempunyai basis di petak nomor 3 dan 4, yaitu di etnis Jawa, baik di wilayah desa (wong cilik) maupun kota (priyayi). PNI memperoleh competitor yaitu PKI, yang mempunyai basis terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau petak 3 dan 4. Terjadi tarik-menarik antara PKI dan PNI dalam memperebutkan massa yang punya grassroot sosial sama. “Musuh” PKI, yaitu PSI (Partai Sosialis Indonesia) besar di petak nomor 9, yaitu kalangan Islam NonSantri luar pulau Jawa, dan merupakan kalangan Desa (Wong Cilik).

Sementara itu, struktur sosial yang nonIslam lebih tertuju kepada partai-partai beraliran Kristen semacam Parkindo ataupun Partai Katolik. Partai-partai jenis ini mayoritas di petak nomor 11 dan 12.

Kritik atas Pendekatan Nasikun

Pendekatan Nasikun, terutama dipengaruhi oleh teori Clifford Geertz ihwal Religion of Java. Teori pembagian struktur masyarakat di Mojokuto ke dalam Santri, Abangan, dan Priyayi dipakai sebagai basis analisisnya atas akar kekerabatan struktur sosial dengan partai politik. Pendapat tersebut tidak terlampau salah oleh alasannya yakni Pemilu 1955 memang kental nuansa politik alirannya.

Analisis lebih lanjut tentu saja terus dilakukan seputar kekerabatan antara basis struktur sosial dengan partai politik. Pasca pemilu 1999, 2004, dan 2009, analisis menyerupai dicontohkan Nasikun terus dipakai meski dengan kadar validitas yang semakin berkurang. Analisis anutan sempurna tatkala pemilih relative emosional ketimbang rasional.

Partai-partai nasionalis, berdasarkan analisis Nasikun, tentunya hanya berkembang di wilayah Jawa, termasuk juga kalangan Islam Santri tradisional. Sementara, persebaran penduduk beretnis Jawa (seperti sudah tersedia dalam table-tabel sebelumnya) juga tersebar di provinsi-provinsi “outer” (luar Jawa).

Salah satu bentuk “dukungan” atas analisis Nasikun antaranya ditunjukkan Andreas Ufen.1 Ufen mengujar, pemilu 1955 memang didasarkan atas politik aliran. Politik anutan ini kemudian teredam selama Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru Suharto. Pemilu 1999 kemudian memunculkannya kembali lewat sejumlah kenyataan menyerupai : PKB yang mewarisi NU 1955 yang berbasis jaringan di kalangan rural, pesantren, pimpinan karismatik (kyai); PDIP yang meneruskan PNI yang secular, bertahan atas karisma Sukarno; Masyumi yang diteruskan tradisinya secara terpecah oleh PPP, PAN, dan sebagian oleh PKS).

Namun, Ufen juga berujar bahwa telah terjadi “dealiranisasi”. Artinya, terjadi perubahan komposisi partai. Muncul partai-partai dengan platform yang lemah, berisukan kepentingan jangka pendek, dominasi tokoh, tiada kegiatan antar pemilu, ataupun mengandalkan koalisi jangka pendek antar partai. Munculnya partai-partai ‘gurem’, partai-partai dengan tokoh (Hanura, Gerindra, Demokrat, PBR), merupakan tanda-tanda dari ‘dealiranisasi.'

Perubahan ini pun merupakan efek dari pola struktur masyarakat Indonesia yang tengah berubah. Perubahan cara pandang, migrasi penduduk, komposisi etnis di tiap provinsi, menaiknya tingkat pendidikan, merupakan beberapa penyebab lahirnya partai-partai gres maupun menurunnya bunyi partai-partai usang yang berdasarkan anutan politik.

-------------------------------------------
Referensi

  • Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik anutan and ‘Philippinisation’, (Hamburg: GIGA Working Paper, 2006) p.25-6.
  • Leo Suryadinata, et.al., Indonesian Electoral Behavior: A Statistical Perspective, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004).
  • Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) h. 63.
  • R. William Liddle and Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia, (Department of Political Science, Ohio State University, tt). 

tags:
pengertian struktur sosial indonesia efek struktur sosial atas politik indonesia kategori sosial indonesia

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengaruh Struktur Sosial Terhadap Sistem Kepartaian Indonesia"

Posting Komentar