Konsep-Konsep Birokrasi Berdasarkan Max Weber Dan Martin Albrow

Konsep-konsep birokrasi secara awam lekat dengan stempel “tak efektif”, “lambat”, “kaku”, bahkan “menyebalkan.” Stempel-stempel mirip ini pada satu sisi menemui sejumlah kebenarannya pada fakta lapangan. Namun, sebagian lain merupakan stereotipe yang gotong royong masih sanggup diperdebatkan keabsahannya.

Pada materi ini, kita akan kembali kepada tema awal maksud dari gagasan birokrasi. Konsep birokrasi yang dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup besar lengan berkuasa di bidang ini. Pertama ialah konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber. Kedua ialah konsep birokrasi yang disodorkan oleh Martin Albrow. Potret Indonesia

Max Weber on Bureaucracy

Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya ialah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi ialah hukum yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi ialah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka contohnya parlemen atau forum kepresidenan.

Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini kemudian menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya menempel pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber gotong royong birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian menyebarkan apa yang seharusnya (ideal typhus) menempel di sebuah birokrasi.

Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal sanggup diselenggarakan, yaitu:

  1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar hukum yang berkesinambungan; 
  2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi; 
  3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint); 
  4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua masalah tersebut, insan yang terlatih menjadi diperlukan; 
  5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi; 
  6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya; 
  7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai sentra organisasi modern; dan 
  8. sistem-sistem otoritas legal sanggup mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf manajemen birokratik. 

Bagi Weber, jikalau ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut sanggup dikatakan bercorak legal-rasional.

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional ialah sebagai berikut:

  1. para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka; 
  2. terdapat hirarki jabatan yang jelas; 
  3. fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; 
  4. para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak; 
  5. para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian; 
  6. para pejabat mempunyai honor dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang berdasarkan kedudukan dalam hirarki. Pejabat sanggup selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga sanggup diberhentikan; 
  7. pos jabatan ialah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; 
  8. suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta berdasarkan pertimbangan keunggulan (superior); 
  9. pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan; 
  10. pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam. 

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh alasannya tunduk pada aturan-aturan tertulis dan sanggup disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya sanggup dipahami, dipelajari, dan terperinci klarifikasi sebab-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jikalau tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan adikara di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai impian pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:

  1. Kolegialitas. Kolegialitas ialah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas sanggup saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. 
  2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua tubuh atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara tubuh dewan perwakilan rakyat dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, berdasarkan Weber, tidaklah stabil tetapi sanggup membatasi akumulasi kekuasaan. 
  3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak bisa membayar orang-orang untuk mengerjakan kiprah birokrasi, sanggup saja direkrut warganegara yang sanggup melaksanakan kiprah tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat bunyi bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan kiprah tersebut. 
  4. Demokrasi Langsung. Demokrasi eksklusif mempunyai kegunaan dalam menciptakan orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini mempunyai kegunaan biar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan. 
  5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik sanggup mendapatkan amanah dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akhir pengertian tak eksklusif bahwa anggota dewan perwakilan rakyat dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka. 

Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.

Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi 

Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan Weber akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para mahir akan pandangan Weber, yang seluruhnya diambil dari karya Martin Albrow (lihat referensi).

Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, pemfokusan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan mengakibatkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, sanggup menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laris mereka sanggup menimbulkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber sanggup dengan gampang mengakibatkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber perihal Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen gres untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi lantaran akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.

Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf manajemen yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang mempunyai keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut mirip itu, kilah Parsons, sanggup memunculkan konflik di dalam birokrasi, lantaran mustahil untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul masalah bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang mempunyai hak untuk memerintah atau orang yang mempunyai keahlian yang hebat?

Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya perihal dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang uta: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota birokrasi akal-akalan oke dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan berdasarkan pertimbangan teknis dan diharapkan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini mempunyai efek yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.

R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi perihal organisasi sanggup melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada mekanisme yang sudah ditentukan, tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi sanggup menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.

Rudolf Smend. Smend sama mirip Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman perihal manajemen sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat manajemen bukan merupakan etres inanimes. Mereka ialah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia mirip itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu memilih hakikat dari seseluruhan budaya tersebut. Dalam menunjukan hal ini, Smend menambahkan, masuk nalar jikalau orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”

Reinhard Bendix. Bendix beropini bahwa efisiensi organisasi tidak sanggup dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap insan terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam memilih apakah suatu masalah berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang sanggup dijadikan pertimbangan. Dalam menciptakan pertimbangannya, pejabat menemukan suatu dilema. Di satu sisi, jikalau terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara terkenal disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jikalau ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara terkenal disebut sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, lantaran mencampuri hak prerogatif tubuh legislatif.

Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai hukum yang tertulis. Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis, ataupun berdasarkan instruksi. Friedrich, alasannya itu, mengkritik Weber lantaran mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap pemfokusan Weber terhadap otoritas menciptakan organisasi sosial jadi mirip organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan contoh kooperatisme. 

Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak sanggup dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentangng keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu manajemen yang efisien.

R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan hemat dan material untuk melaksanakan perjuangan tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, manajemen bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.

Konsep Birokrasi Martin Albrow

Martin Albrow ialah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para mahir seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di kala modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow ialah :

1. Birokrasi sebagai organisasi rasional

Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara niscaya dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang niscaya berdasarkan hipotesis yang diangkat. Birokrasi sanggup dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan acara yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan dengan Weber adalah, jikalau Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya insan menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi

Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.

Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibentuk sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam aneka macam urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak sanggup memperbaiki perilakunya dengan cara mencar ilmu dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung digunakan para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.

3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para direktur yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan melaksanakan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi ialah kekuasaan para elit pejabat. 

4. Birokrasi sebagai manajemen negara (publik)

Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik manajemen pemerintahan sipil ataupun publik. Ia meliputi semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan. 

5. Birokrasi sebagai manajemen yang dijalankan pejabat.

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf manajemen yang menjalankan otoritas keseharian menjadi potongan penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

6. Birokrasi sebagai suatu organisasi

Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi sanggup disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.

7. Birokrasi sebagai masyarakat modern

Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.

Kesimpulan

  • Pertama. Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi. Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional. 
  • Kedua. Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari suatu organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang lega-rasional. 
  • Ketiga. Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi sebagai sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut sekarang menempel pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat. 
  • Keempat. Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan orang di dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-mudahan sanggup mencegah imbas negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam sebuah birokrasi. 
  • Kelima. Konsepsi Weber perihal birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah ahli. Para mahir tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi manajemen negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan hukum tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional. 
  • Keenam. Martin Albrow, sehabis mengkritisi pendapat Weber, membangun 7 konsepsinya mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut ialah : (1) Birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; (3) Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai manajemen negara (publik); (5) Birokrasi sebagai manajemen yang dijalankan pejabat; (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi; dan (7) Birokrasi sebagai masyrakat modern. 

-------------------------------------------
Referensi

Hafusi Jonathan Mavanyisi, The Nature of Political Control over the Bureaucracy with Reference to the Northern Province, Thesis Master Degree on Public Administration, University of South Africa, 2002. 
John Toye, Modern Bureaucracy, Research Paper No. 2006/52, Unived Nations University, May 2006. 
Martin Albrow, Birokrasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet.3, 2004) 

tags:
pengertian birokrasi weber definisi birokrasi martin albrow kelemahan birokrasi weber birokrasi manajemen negara inefesiensi pemerintahan birokrasi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konsep-Konsep Birokrasi Berdasarkan Max Weber Dan Martin Albrow"

Posting Komentar