Hubungan Birokrasi Dengan Demokrasi

Hubungan birokrasi dan demokrasi bergotong-royong rapat. Istilah birokrasi dan demokrasi kerap dipertentangkan satu sama lain. Pertentangan ini berlaku baik pada tataran akademis maupun awam. Di satu sisi, birokrasi publik menempati posisi penting dalam manajemen publik yang efektif. Namun, birokrasi dianggap bersifat legalistik dan mengabaikan tuntutan serta keinginan warga negara secara individual. Birokrasi cenderung diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat hirarkis bahkan bentuk pemerintahan yang otoritarian. Ini tetap terjadi meski birokrasi tercipta justru untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat, dan seringkali secara demokratis.

Di sisi lain, forum pemerintahan yang demokratis diasumsikan amat responsif pada keinginan publik. Pemerintahan demokratis berupaya memetakan pilihan publik ke dalam kebijakan positif bagi warga negaranya. Richard Rose dan lainnya telah mengkaji relasi antara voting dan pilihan kebijakan dalam negara demokrasi perwakilan yang ternyata tidak begitu terang menyerupai yang digembar-gemborkan. Bahkan, publik sanggup saja menentukan tujuan-tujuan yang inkonsisten. Atau, publik punya cita-cita yang kurang realistik yang memaksa pemimpin (baik di kalangan legislatif ataupun birokrasi) menciptakan keputusan hanya untuk diri mereka seorang. Potret Indonesia 

Hubungan antara birokrasi dan demokrasi sekaligus paradoksal juga saling melengkapi. Paradoksal tanggapan kenyataan bahwa negara demokrasi yang efektif justru memerlukan birokrasi yang berfungsi baik. Stereotip kaku yang ditempelkan secara negatif pada birokrasi justru dibutuhkan biar negara demokratis berfungsi baik.

Konsep birokrasi dan demokrasi mungkin terkesan bertentangan. Namun, sesunggunya keduanya dibutuhkan demi terciptanya pemerintahan yang efektif dan responsif. Keduanya menyediakan manfaat bagi masyarakat. Responsifnya pemerintahan demokratis harus diimbangi dengan dengan kepastian dan kenetralan yang ada di forum birokrasi. Begitu juga, proses-proses demokratis dibutuhkan demi mengabsahkan proses pemerintahan dan menghasilkan perundang-undangan yang benar-benar diinginkan warganegara. Sifat komplementer birokrasi dan demokrasi ini esensial bagi good governance.

Senja Demokrasi Perwakilan

Pengertian demokrasi yang umum adalah, pemilih akan mengendalikan kebijakan lewat pilihan mereka atas kandidat legislatif/eksekutif. Mereka yang terpilih akan menciptakan kebijakan sesuai cita-cita para pemilihnya. Birokrasi kemudian akan diarahkan oleh legislatif/eksekutif tersebut dalam pengimplementasian kebijakan yang sudah dibentuk tadi. Jadi, elemen penting dari model demokrasi konvensional adalah, politisi yang terpilih bertanggung jawab dalam menentukan suatu kebijakan dan eksekutif ( di birokrasi) bertanggung jawab dalam mengimplementasikannya.

Dalam pandangan di atas, pemeran sentral drama demokrasi ini ialah warganegara yang diasumsikan tertarik dalam duduk kasus politik. Atau paling tidak, rajin mengatakan bunyi dalam pemilu. “Pahlawan” dari drama ini ialah warganegara yang tidak saja mengatakan bunyi tetapi juga rajin mengikuti informasi dan informasi lain seputar politik guna menelusuri tindakan politisi yang mereka pilih itu.

Masalah yang sekarang muncul adalah, semakin sedikit warganegara yang secara aktif terlibat dalam kehidupan politik. Misalnya, tingkat parsipasi masyarakat dalam memberi bunyi di TPS-TPS cenderung mengalami penurunan. Ini sanggup terjadi tanggapan aneka alasannya ialah menyerupai : tidak percaya, bingung, bosan, atau memang disengaja (misalnya golput).

Penurunan partisipasi warganegara dalam kehidupan politik paling terang terlihat dalam partisipasi dukungan suara. Secara kasar, sanggup saja ditarik kesimpulan juga terjadi penurunan dalam bentuk-bentuk partisipasi lain semisal ikut partai, berdiskusi politik, demonstrasi, dan sejenisnya. Dalam banyak jajak pendapat, warganegara memperlihatkan ketidaktertarikan ikut partai politik. Juga, kerap ditunjukkan anggapan bahwa partai politik tidak lagi dianggap relevan bagi suatu pemerintahan yang efektif.

Lebih jauh lagi, banyak partai politik yang kehilangan massa solid mereka. Partai-partai tersebut menjelma partai “catch-all” atau berprogram sempit. Misalnya, di Belanda ada sebuah partai berjulukan Pym Fonteyn. Pym Fonteyn ialah nama seorang tokoh Belanda. Atau, di Denmark ada partai berjulukan Naser Khader of Ny Alliance yang sama bentuknya. Atau, di Indonesia mulai muncul Partai Pemuda Indonesia (khusus pemuda), Partai Gerindra (penokohan Prabowo), Partai Demokrat (penokohan SBY), ataupun Partai Hanura (penokohan Wiranto).

Partai politik mulai kehilangan daya tarik di mata warganegara. Selain “kehilangan ide” sehingga membangkitkan tokoh atau status sosial tertentu, sekarang banyak partai yang menjelma apa yang dinyatakan Peter Mair sebagai “partai kartel.” Partai-partai ini cenderung menyelamatkan diri mereka dengan lebih fokus pada struktur pemerintahan ketimbang mendekatkan diri dengan pemilih mereka. Tidak heran, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik merosot tajam.

Turunnya ekspresi dominan masyarakat untuk jadi anggota partai juga meningkatnya perilaku “mengambang” partai ialah penting guna memahami sisi input politik kontemporer. Penurunan ini berakibat pada kurangnya legitimasi dan akuntabilitas publik suatu negara demokratis. Partai dan para pimpinannya yang bertipikal “datang dan pergi” akan menghipnotis birokrasi secara negatif. Apa yang menarik bagi pimpinan partai politik ialah area pembuatan kebijakan, bukan pada aspek implementasi dari kebijakan tersebut.

Paradoks dari demokrasi sekarang adalah, tatkala partisipasi politik warganegara diharapkan tinggi demi mengabsahkan suatu pemerintahan, ternyata justru partisipasi tersebut menurun. Namun, kesuraman ini bukannya tanpa harapan. Bentuk-bentuk partisipasi (politik) lain sekarang tengah terbangun dan mengalami ekspansi sehingga kehidupan demokrasi sanggup menemui pemulihannya. Bentuk itu menekankan pada lewat cara apa warganegara sanggup berpartisipasi dalam suatu kegiatan pemerintah yang pribadi menghipnotis diri mereka.

Rumitnya Pelayanan Publik

Dalam model pemerintahan dan dukungan pelayanan tradisional, sangat kurang relasi antara organisasi publik dengan pelayanan. Walsh and Stewart memperlihatkan salah satu karakteristik manajemen publik tradisional ialah negara satu-satunya yang sanggup dan boleh mengatakan pelayanan publik. Kecuali di Swedia, tindak dukungan pelayanan hanya mengkaitkan departemen/kementrian dengan otoritas politik daerah.

Kendati model dukungan pelayanan tradisional terkesan bisa menuntaskan tugasnya, ia mengandung proses hirarkis dan tampak menjauhkan publik dari keterlibatan efektif mereka. Publik awalnya terlibat di tingkat pemilihan (meski tak langsung) pejabat lewat pemilu, ironisnya pemilih tersebut sekarang tidak dilibatkan dari mendesain kegiatan pelayanan publik. Model tradisional ini mengasumsikan publik tidak mempunyai kepentingan seputar kebijakan yang diarahkan pada mereka. Publik juga dipandang tak punya kualitas teknis dan legalitas atas layanan pemerintah.

Model pelayanan publik semacam itu sekarang telah berubah secara drastis. Bentuk gres kegiatan pelayanan publik dikenal sebagai New Public Management (NPM). Dalam NPM, organisasi pemerintah berperan selaku pengarah bukan pemain. Maknanya adalah, pemerintah dipandang lebih baik berperan sebagai pembuat kebijakan saja ketimbang juga menjalankan kebijakan tersebut. Ini merupakan tanggapan dari tidak efektifnya birokrasi yang diselenggarakan pemerintah. Kini telah mulai banyak negara yang mempraktekkan NPM, di mana kerja-kerja birokrasi pemerintah diserahkan kepada organisasi masyarakat sipil, baik yang bersifat otonom maupun semi-otonom.

Perpindahan dari pemerintah selaku satu-satunya penyelenggara pelayanan publik ke tangan organisasi di level warganegara, telah melemahkan prosedur akutabilitas tradisional. Ini memaksa diciptakannya format-format alternatif guna mempertahankan biar birokrasi-birokrasi pemerintah tersebut tetap akuntabel. Secara umum, terjadi peralihan dari bentuk-bentuk akuntabilitas hirarkis menjadi berpola kompetitif dan mutualistik. Bentuk akuntabilitas yang tidak lagi konvensional ini membutuhkan keterlibatan klien dari program. Warganegara alasannya ialah itu perlu terlibat dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi output dari suatu kegiatan publik, termasuk memobilisasi guna mengkomplain performa yang kurang beres.

Gerakan untuk membentuk format pelayanan publik gres dan kompleksitas dari pilihan itu cenderung berakibat kebingungan di antara masyarakat. Bagi banyak jenis layanan publik ialah sulit menentukan siapa yang sesunggugnya bertanggung jawab. Ujungnya, warganegara tidak lagi punya konsepsi jernih seputar apa yang dilakukan pemerintah sesungguhnya.

Penggunaan distributor atau organisasi dalam pelaksanaan pelayanan publik juga mengatakan jalan bagi terciptanya akuntabilitas. Contoh, meski suatu PT ditunjuk KPU untuk mengadakan surat suara, bukan berarti publik atau pemerintah tidak bisa mengontrol kegiatannya. Pemerintah sanggup memakai otoritas legal mereka untuk melaksanakan kendali mutu dan sejenisnya, terutama budget. Publik pun sanggup mengamati kegiatan PT tersebut, meneliti pembukuannya, dan kualitas surat bunyi yang dihasilkan. Ini lebih gampang memancing keterlibatan warganegara ketimbang surat bunyi dicetak oleh Peruri atau KPU sendiri.

Tentu saja, pelibatan masyarakat dalam model layanan gres pemerintahan tidak individual. Masyarakat terlibat melalui organisasi-organisasi yang mereka bentuk (misalnya LSM, kelompok mahasiswa atau perguruan tinggi).

Aspek penting lain dari model gres layanan publik ini ialah terbentuknya pola-pola kemitraan gres antara pementah dengan organisasi tingkat warganegara. Kemitraan tersebut sanggup dilembagakan sehingga menyerupai dengan “birokrasi pemerintah” itu sendiri.

Menciptakan Politik yang Demokratis

Kendati kiprah birokrasi publik penting dalam implementasi kebijakan, posisi mereka kerap sekadar “nomor dua” dalam pemerintahan yang demokratis. Birokrasi publik berfungsi selaku perantara antara pemerintah dengan warganegara. Sebab itu, masyarakat lebih sering melaksanakan kontak dengan birokrat ketimbang dengan pemerintah yang mereka pilih.

Kontak yang terjadi antara warganegara dengan birokrat penting guna menentukan sebaik apa pelayanan pemerintah telah dilakukan. Juga, kontak ini memainkan situasi penting dalam memperkirakan bagaimana publik memandang pemerintah dan legitimasi mereka di sektor publik.

Banyak orang jarang (atau bahkan tiada pernah) bertemu wakil yang mereka pilih di pemilu. Orang yang kerap mereka temui ialah birokrat, entah itu di kelurahan, kecamatan atau kepolisian. Sebab itu, bagaimana “wajah” layanan birokrasi sangat penting dalam menjaga kewibawaan pemerintah secara lebih jauh. Legitimasi “downward” atas pemerintah ditentukan oleh kegiatan layanan ini.

Di sisi lain, birokrasi yang pribadi bersentuhan dengan warganegara tersebut sanggup bertindak selaku pengumpul informasi. Birokrat tingkat bawah sering melaksanakan kontak dengan klien mereka (warganegara). Birokrat ini sanggup saja memberi masukan berharga tatkala pemerintah menciptakan suatu kebijakan. Secara lebih jauh, birokrat tersebut sanggup berlaku sebagai “wakil rakyat”.

Output Demokrasi

Kajian di atas bergotong-royong hendak mengalihkan perhatian pelaksana negara dari fungsi input (pembuatan kebijakan) kepada fungsi output (pelaksanaan kebijakan). Ini merupakan semangat dari New Public Management yang concern dengan manajemen output suatu kebijakan.

Secara khusus, NPM hendak mengukur apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah satunya dilakukan atas kepuasan warganegara atas layanan yang diberikan pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala pasif saja.

Asumsi format demokrasi konvensional ialah input diyakini bisa mengontrol output sektor publik. Juga, input diyakini bisa menghasilkan program-program yang memang dibutuhkan masyarakat. Cara pandang NPM tampak relatif baru, tetapi bergotong-royong telah berlaku sekurang-kurang selama beberapa dekade. Pola-pola korporatisme negara, khususnya pluralisme korporatis di negara-negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Norwegia) juga memberi kesempatan bagi partisipasi politik di sisi output kebijakan (sektor publik) dan bisa melengkapi jenis partisipasi politik konvensional semacam voting dan pelibatan diri dalam partai politik.

Hasil yang diharapkan dari denah gres relasi demokrasi dan birokrasi adalah, kontrol terhadap pejabat publik lebih terkonsentrasi di tingkat pelaksana. Bukan lagi di tingkat pemilihan calon pejabat tatkala pemilu. Namun, ini tentu tanpa mengabaikan penjagaan kualitas penyelenggaraan pemilu, termasuk caleg/capres.

Kesimpulan

  • Apa yang hendak disampaikan mengenai kajian birokrasi dan demokrasi di atas ialah :
  • Pertama. Birokrasi dan Demokrasi merupakan dua konsep yang tampak paradoks (saling bertentangan). Birokrasi menekankan efektivitas dan netralitas, sementara Demokrasi menekankan inklusivitas dan tawar-menawar kebijakan. Birokrasi menekankan pada fungsi output sistem politik, sementara Demokrasi menekankan pada fungsi input sistem politik.
  • Kedua. Menurunnya level partisipasi politik, jikalau dibiarkan, menciptakan pemerintah kehilangan legitimasinya di kalangan warganegara. Sebab itu perlu dicari bentuk gres partisipasi politik warganegara di dalam sebuah demokrasi.
  • Ketiga. Tatkala Pemilu selesai dan wakil rakyat atau eksekutif terpilih, maka menjadi kiprah dari kalangan Birokrasi untuk mengimplementasikan program-program yang dibentuk oleh para penyusun undang-undang. Performa implementasi kegiatan tersebut oleh abdnegara Birokrasi amat menentukan bagaimana nantinya warganegara memandang pemerintah yang orang-orangnya mereka pilih ketika Pemilu.
  • Keempat. Hingga ketika ini teladan pemerintahan demokrasi pemerintahan konvensional masih menggejala. Ini tampak tatkala mengimplementasikan suatu program/kebijakan, kementrian menyusun perangkat pelaksana berdasarkan undang-undang dan pribadi didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah.
  • Kelima. Pola pendelegasian dari kementerian kepada pemerintah tempat kurang membuka ruang bagi pelibatan warganegara akan program-program pemerintah. Sebab itu kemudian muncul perspektif gres relasi Birokrasi dan Demokrasi berjulukan New Public Management.
  • Keenam. New Publik Management ialah pendekatan gres yang bertujuan memangkas kekakuan birokrasi negara dengan memperbesar kesempatan terlibatnya warganegara dalam kegiatan pelayanan publik. 

-------------------------------------------
Referensi
  • B. Guy Peters, Bureaucracy and Democracy, SOG Conference November 2008, University of Pittsburgh.
  • Forrest Vern Morgenson III, Reconciling Democracy and Bureaucracy: Towards a Deliberative-Democratic Model of Bureaucratic Accountability, Doctor of Philosophy Dissertation, University of Pittsburgh, 2005.
tags
pengertian birokrasi demokrasi relasi birokrasi dan demokrasi kelemahan demokrasi kiprah birokrasi dalam demokrasi masyarakat jenuh bosan politik

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hubungan Birokrasi Dengan Demokrasi"

Posting Komentar