Budaya Politik Dalam Birokrasi

Budaya politik juga berkembang di dalam birokrasi. Birokrasi publik yaitu sebuah ‘mesin’ yang secara substansial baik fungsi maupun strukturnya yaitu menyerupai di setiap Negara. Unsur-unsur menyerupai hirarki jabatan, impersonalitas, model struktur jabatan relative sama baik di birokrasi Negara maju maupun berkembang. Namun apakah daya kerja masing-masing birokrasi yaitu sama jikalau diukur dari tingkat kepuasan para ‘konsumen’ yang dilayani (warganegara).

Perbedaan antar birokrasi setiap Negara, bahkan antar wilayah di satu Negara pun, paling mungkin ditelusuri melalui penyelidikan atas budaya politik yang berkembang. Budaya ini mensugesti ‘gaya’ dari para birokrat public dalam menjalankan fungsinya. Budaya menentukan definisi posisi seorang birokrat terhadap konsumen publiknya. Apakah posisi mereka sebagai ‘pelayan’ atau ‘yang dilayani’, di antaranya sanggup kita telusuri dalam konteks budaya politik ini. Potret Indonesia

Budaya politik yaitu cara lain dalam melaksanakan komparasi perbedaan efektivitas dan efisiensi kerja antar Negara. Budaya politik ini mensugesti para pejabat public dalam melaksanakan kegiatan birokrasi mereka. Selain itu, dari sisi warganegara, budaya politik pun turut memainkan tugas dalam menentukan posisi mereka tatkala berhadapan dengan lembaga-lembaga politik di Negara mereka.

Budaya Politik

Warganegara tidak ada di ruang vakum (hampa) tatkala menginterpretasikan sikap pemerintah dan pelayan publiknya. Mereka dilengkapi masyarakatnya oleh sebuah ‘image’ yang berisi apa yang dimaksud good government dan manajemen yang lebih baik itu. Gambaran mental ini terdiri atas seperangkat struktur kognitif (pengetahuan) dan evaluative rumit yang cenderung sama dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Tentu saja, wangsit pemerintah yang baik dan pelayanan public yang baik itu berbeda di setiap Negara-bangsa. Inilah apa yang dimaksud dengan budaya politik.

Almond dan Verba telah membagi jenis budaya politik ke dalam 3 tipe, yaitu : Parokial, Subyek, dan Partisipan. Pada budaya politik parochial, warganegara relative jauh dari pemerintah sentra dan hanya mengakui pemerintah yang bersahabat dengan mereka. Pada budaya politik subyek, warganegara becorak pasif dan memandang pemerintah mereka dengan curiga. Pada budaya politik partisipan, warganegara merasa punya tugas besar dan berhak menentukan jalannya pemerintahan.

Mungkin saja, dalam satu Negara ketiga tipe budaya politik tersebut ‘tumplek’ menjadi satu. Bahkan, perbedaan tersebut berada dalam tingkatan individu. Inilah yang menciptakan sulitnya penyelidikan duduk kasus budaya politik suatu Negara oleh lantaran terlalu jauhnya ia merasuk ke dalam struktur mental warganegara.

Budaya Politik dan Administrasi Negara

Peters membedakan 3 level kultur administrative, yaitu kultur sosial, kultur politik, dan kultur ekonomi.1 Untuk mempermudah akan dipampangkan gambar dari buku Peters tersebut :

Budaya politik juga berkembang di dalam birokrasi Budaya Politik dalam Birokrasi Setiap nilai yang berkembang di masyarakat akan besar lengan berkuasa atas sikap para birokrasi di level manajemen Negara, termasuk tata cara bagaimana organisasi tersebut dibangun dan distrukturasi. Budaya politik, mensugesti kekerabatan antara elit-elit politik dan birokrasi, juga antara populasi dengan birokrasi. Akhirnya, bagaimana masyarakat keseluruhan memandang manajemen dan otoritas impersonal di tiap birokrasi akan berdampat pada sikap para pejabat public. Birokrasi public terkadang dipandang professional dalam arti pekerjaan, tetapi sebenarnya punya ikatan kuat dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat tersebut.

Tatkala kita diskusikan budaya politik, kita bicara seputar orientasi spesifik para individu di sebuah masyarakat atas politik. Politik di sini dipandang sebagai tindakan sosial dan pembuatan keputusan secara kolektif. Administrasi public merupakan sebuah komponen pemerintahan dan, lantaran itu, sanggup dianalisis secara lebih efektif dari perspektif politik ketimbang melulu dari cara pandang manajemen ala NPM.


Kalangan akademisi dan praktisi birokrasi Negara berargumentasi bahwa manajemen public sama halnya dengan manajemen swasta, tetapi tetap punya sejumlah perbedaan. Administrasi public yaitu acara manajerial di dalam organisasi public, tetapi acara itu kerap dimengerti warganegara sebagai komponen lain dari pemerintahan. Bagi warganegara, manajemen public lebih dilihat pada sejauh mana layanan diberika ketimbang arena dimana skill-skill manajerinal dipraktekkan. Pandangan masyarakat atas birokrasi terutama dipengaruhi oleh aksi-aksi yang dilakukan birokrat public, utamanya yang ada di level lini.


Dimensi-dimensi Budaya Politik


Untuk memudahkan analisis imbas budaya politik terhadap manajemen public, khususnya birokrasi, maka sanggup kita gunakan 4 parameter dimensi berdasarkan Lucian W. Pye. Pye membagi dimensi tersebut menjadi hirarki dan equality, liberty and coercion, loyalty and commitment, dan trust and distrust.


Hirarki dan Equality. Hampir semua sturktur administrative punya stuktur hirarkis baik dalam hal personil maupun otoritas. Nilai-nilai budaya sehubungan dengan otoritas dan impersonalitas suatu aturan penting untuk menentukan akseptabilitas praktek-praktek manajemen hirarkis yang tersedia. Dalam kekerabatan dengan duduk kasus hirarki dan equality ini, penting diajukan pertanyaan bagaimana cara rekrutmen untuk posisi administrative?


Anda tentu masih ingat ‘achievement’ dan ‘ascription’ dalam konteks bagaimana masyrakat merekrut orang untuk sebuah posisi, bukan? Dalam masyarakat yang berorientasi ‘achievement’ posisi seorang individu ditentukan oleh ability-nya. Kemajuan di masyarakat ditentukan oleh apa yang orang sanggup lakukan, bukan oleh dari mana ia lahir. Di sisi lain, masyarakat askriptif merekrut individu ke dalam satu posisi (birokrasi) berdasarkan criteria askriptif menyerupai kelas, status, ras, bahasa, kasta, gender, singkatnya berdasarkan huruf personal yang eksklusif.


Kriteria ‘achievement’ banyak dihubungkan dengan masyarakat ‘modern’ sementara criteria ‘askriptif’ kepada masyarakat tradisional. Birokrasi sering dikatakan sebagai wujud masyarakat modern dan lantaran itu dalam pola rekrutment harus mengikut pada pola ‘achievement.’ Para pemilih boleh saja menentukan elit tradisional untuk mengatur Negara, tetapi birokrasi secara teori lebih menentukan orang terbaik dengan mengabaikan posisi sosial-ekonomi atau karakteristik askriptif lainnya. Secara teori ini mungkin benar, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.


Dalam terminology tradisional, birokrasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang secara sosiologis posisinya berada di atas pemerintah. Namun, lewat perkembangan evolutif, terjadi upaya-upaya penyamaan posisi antara warganegara dan pemerintah. Birokrasi tidak lagi bercorak ‘raja’ tetapi lebih bercorak ‘pelayan’ yang secara sosiologi posisinya yaitu sama, warganegara kebanyakan.


Liberty and Coercion. Dekat hubungannya dengan wangsit hirarki dan equality, yaitu liberty dan lawannya, coercion. Hampir semua masyarakat telah mengalami perubahan historis, perubahan yang mengubah sistem nilai mereka. Dari dahulu yang berada melulu di bawah kendali pemerintah sekarang hendak menentukan bagaimana pemerintahan itu di-exercise.


Setiap birokrasi sekarang harus menentukan batasan kebebasan dan koersi sehubungan dengan implementasi sebuah keputusan. Sanksi mungkin lebih sanggup diterapkan pada birokrasi-birokrasi Negara bercorak ekonomi menyerupai bank pemerintah, cukai, dan sejenisnya. Namun, bagaimana halnya dengan kepolisian? Pola punishment di Negara-negara modern dan demokratis yaitu lebih rumit ketimbang di Negara-negara otoritarian.


Stabilitas suatu masyarakat demokratis bergantung pada derajat consensus nilai yang diterapkan baik oleh penegak aturan dan penerimaan warganegara. Misalnya, bagaimana polisi (birokrasi Negara) menangani protes-protes yang berkembang di tengah masyarakat demokratis. Di satu sisi merupakan hak mereka mengekspresikan impian atas pemerintah, di sisi lain aparatur Negara harus tetap menjamin ketenteraman dan ketertiban sosial. Cina dan Korea Selatan merupakan dua pola bagaimana dimensi liberty dan coercion ini terus menjadi dilemma.


Loyalitas dan Komitmen. Dimensi ketiga yaitu loyalitas dan komitmen. Keduanya mengacu pada seberapa besar individu memperlihatkan loyalitas dan komitmennya kepada bangsa. Untuk banyak masalah Negara berkembang, juga beberapa Negara maju, orang masih mengidentifikasi dengan basis primordialnya. Masih banyak loyalitas diberikan kepada bahasa, keluarga, agama, kasta, atau suku bangsa, dan bukan kepada bangsa selaku keseluruhan. Di Eropa kini, loyalitas lebih banyak ditujukan kepada Uni Eropa bukan kepada Negara mereka masing-masing.


Dampak dari rendahnya komitmen terhadap Negara-bangsa telah menggejala. Ini utamanya terjadi tatkala komitmen lebih bersifat subnasional. Pertama, eksistensi perpecahan sosial cenderung mengarahkan kerja birokrasi. Contohnya, baik Belanda maupun Swiss telah mengatur kesepakatan aturan birokrasi seputar bahasa dan agama.


Kedua, kekerabatan antara direktur dan klien (warganegara). Sehubungan dengan kekerabatan kelas sosial dan rekrutmen pejabat, kita harus berikan perhatian pada komposisi etnik dalam birokrasi. Dominasi suatu etnik dalam birokrasi mengemuka utamanya di Negara-negara berkembang, khususnya di Negara-negara yang mewarisi birokrasi colonial. Sebagai pola konflik etnik di Rwanda, Burundi, Nigeria, merupakan dampak dari dominasi sector public (termasuh angkatan bersenjata) oleh satu kelompok etnik atas lainnya. Ini juga terjadi di Irlandia, sehubungan dengan dominasi Protestan di Irlandia Utara yang lebih banyak didominasi Katolik. Di Kanada ini terjadi antara wilayah-wilayah yang berbahasa Inggris dengan Perancis.


Trust and Distrust. Tingkat trust dan distrust di kalangan warganegara yaitu penting. Political trust jadi klarifikasi popular dalam menguraikan sukses-sukses relative di sistem-sistem politik yang berbeda. Perbedaan dalam level dan perkembangan kekuasaan pembuatan keputusan di Negara-negara sat ini merefleksikan pola-pola budaya politik di masyarakat tersebut. Pempolaan trust di budaya politik memainkan tugas penting dalam klarifikasi ini. Untuk itu perlu dibedakan dua komponen political trust ini.


Pertama yaitu komponen trust di tingkat individual, yang dilawankan dengan sinisme personal. Variabel ini yaitu derajat di mana individu dalam masyarakat mempercayai orang lain di luar keluarganya. Dalam surveynya, Almond dan Verba menemukan 55% orang Amerika, 49% orang Inggris, 7% orang Italia percaya bahwa orang lain itu “bisa dipercaya.”


Pentingnya trust and distrust dalam konteks budaya politik yaitu kurangnya social trust berakibat pada kemungkinan kondisi “mengatur/memerintah sendiri” di kalangan masyarakat. Di masyarakat yang derajat trust-nya tinggi, acara warganegara sanggup dimanfaatkan untuk mendukung antara pemerintah dan warganegara.


Budaya politik juga berkembang di dalam birokrasi Budaya Politik dalam Birokrasi
Tabel di atas memperlihatkan fenomena trust warganegara atas birokrasi public di Negara masing-masing. Dapat dilihat bahwa birokrasi yang bekerjasama dengan pendidikan (Educn. System), kepolisian (police), dan sistem aturan (legal system) beroleh nilai kepercayaan rata-rata di atas 50%. Ini memperlihatkan kualitas kerja dan profesionalitas kerja mereka.

Referensi

B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy, 5th Edition, (New York: Routledge, 2001)


tags
pengertian budaya politik birokrasi publik jenis budaya birokrasi definisi budaya birokrasi manajemen publik pengertian budaya birokrasi parokial 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Budaya Politik Dalam Birokrasi"

Posting Komentar