Pengaruh budaya India di Indonesia yang dimaksud oleh goresan pena ini sebenarnya hendak memberi citra sejumlah imbas kebudayaan India yang tiba dan melaksanakan kontak dengan penduduk kepulauan nusantara di masa lalu. Kebetulan, orang-orang India yang melaksanakan kontak tersebut beragama Hindu dan Buddha. Di masa awal ini, Islam belum terorganisasi secara formal sebagai agama di jazirah Arabia. Pengaruh India tidak hanya pada tataran agama. Pengaruh juga mencakup bahasa, bangunan, teknologi, aksara, politik, ataupun sistem sosial. Kendati secara tertulis imbas tersebut sekurangnya telah tercatat semenjak 400-an Masehi, tetapi masih sanggup diidentifikasi dalam budaya Indonesia ketika ini. Jill Forshee bahkan mencatat, semenjak kurun pertama Masehi kontak-kontak antara masyarakat orisinil Indonesia dengan India bersifat intensif. Kontak terutama melalui jalur kekerabatan laut.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa sebelum kontak dengan India, penduduk orisinil Indonesia telah mengembangkan pranata sosial Negara. Negara ini dibuktikan adanya prasasti Muara Kaman yang memperlihatkan eksistensi kerajaan Kutai dengan rajanya Kudungga. Orang-orang Indonesia kemudian melaksanakan kontak dengan para pedagang dan pemimpin agama (pendeta) dari India. Selain Kutai, juga berdiri kerajaan-kerajaan orisinil di Jawa Barat tepatnya di tepi sungai Cisadane, Bogor. [1]
Koentjaraningrat beranggapan kerajaan-kerajaan tersebut sudah hidup makmur lewat kontak dagangnya dengan India Selatan. Raja-rajanya kemudian mengadaptasi sejumlah konsep Hindu (komponen non material budaya) ke dalam struktur kerajaannya. Mereka mengundang para Brahmana beraliran Wisnu dan Brahma dari India Selatan. Mereka memberi konsultasi dan nasehat mengenai struktur dan upacara-upacara keagamaan, termasuk bentuk, organisasi, dan upacara-ucapara kenegaraan berdasarkan sistem India Selatan. Dari anggapan ini, maka sebenarnya imbas India tidak tiba lewat penaklukan melainkan ajakan (by request, by consent). Orang-orang Indonesia justru mengundang mereka lantaran ada kehendak untuk maju dan membuka diri. Lewat undangan inilah, kesusasteraan dan agama India masuk ke Indonesia. Namun, yang mendapatkan imbas yaitu lapisan atas kekuasaan dan masyarakat di sekitar istana. Masyarakat biasa hampir kurang tersentuh oleh imbas ini.
Akibat imbas India, struktur sosial Indonesia mirip desa yang awalnya egaliter perlahan berubah dengan masuknya konsep kenegaraan India Selatan yang hirarkis. Raja mulai dianggap turunan dewa. Namun, imbas hirarkis ini juga tidak sanggup dipukul rata. Ia terutama disesuaikan oleh kerajaan-kerajaan di pedalaman Indonesia yang mengandalkan pertanian dan irigasi sebagai basis ekonominya. Masyarakat atau kerajaan di pesisir pantai tidak terlampau terpengaruh oleh sistem India Selatan ini. Contoh negara pesisir yaitu Sriwijaya di mana perdagangan menjadi basis ekonomi andalan. Dalam Negara yang demikian, tidak dibutuhkan wilayah pertanian, petani yang banyak, serta wilayah pedalaman yang luas untuk menanam materi pangan oleh lantaran barang konsumsi sanggup diperoleh lewat interaksi pertukaran (perdagangan). Sriwijaya pun lebih terpengaruh oleh Buddha yang lebih menekankan self-conscience dan individualitas. Tidak terlalu banyak peninggalan berupa candi di Sriwijaya jikalau dibandingkan dengan wilayah Jawa.
Sebaliknya, di Jawa imbas Hindu yang menekankan pada kolektivitas dan hirarki berkembang pesat. Ini jawaban basis ekonomi Jawa di mana nuansa pertaniannya begitu kental. Contoh dari ini yaitu kerajaan Mataram Hindu, Kediri, Singasari, ataupun Majapahit. Mereka yaitu Negara-negara agraris. Letaknya di daerah-daerah subur lembah sungai, sekitargunung berapi, dan rakyatnya hidup dari bercocok tanam. Akibat surplus beras, mulailah kerajaan-kerajaan Jawa ini, contohnya Singasari, berekspansi keluar wilayah dengan mencari Negara-negara bawahan di kepulauan Nusantara. Politik tersusun secara hirarkis, di mana pendeta yaitu pemimpin spiritual dan raja bertindak selaku pemimpin dunia. Pemberkatan seorang raja harus dilakukan pendeta. Namun, susunan ini hanya berlangsung di level atas (palace circle) sementara masyarakat biasa (terutama kawasan pesisir pantai) hampir tidak tersentuh oleh kebiasaan ini. Barangkali ini pula yang menjadikan pengaruh-pengaruh lain (semisal Islam dan individualitas Barat) masuk dengan mudahnya ke kalangan masyarakat Indonesia.
1. Pengaruh di Bidang Bahasa
Kini masih sering ditemukan nama atau kata mirip pustaka, karya, guru, sastra, indra, wijaya, ataupun semboyan-semboyan mirip Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva Jayamahe. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta. Penggunaan kata dari bahasa tersebut merupakan bukti sampai kini pun imbas India masih terasa di bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya aneh pertama yang oleh moyang Indonesia dinilai progresif. Proses asimilasi dan akulturasi budaya India durasinya paling usang di Indonesia. Hasil asimilasi dan akulturasi tersebut kemudian diakui sebagai serpihan dari budaya Indonesia.
Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam duduk perkara bahasa, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 kilometer ke arah hulu Sungai Mahakam, sanggup diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti menyuratkan hadirnya dua budaya berbeda: Asli Indonesia dan imbas India. Indikatornya yaitu nama-nama raja yang terpahat. Prasasti Muara Kaman menceritakan Raja Kudungga punya putra berjulukan Açwawarman. Açwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya yaitu Mulawarman. Nama Açwawarman dan Mulamarman berasal dari bahasa Sanskerta, sementara Kudungga bukan. Kudungga kemungkinan besar yaitu nama yang berkembang di Kutai sebelum datangnya imbas India dan agama Hindu.
Sanskerta yaitu bahasa yang dibawa oleh orang-orang India, sementara Pallawa yaitu huruf untuk menuliskannya. Secara genealogis, Sanskerta termasuk rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun ini bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo Iranian yaitu yang terbesar, termasuk ke dalamnya bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.[2]
Mengenai fungsinya, Sanskerta merupakan bahasa utama disiplin agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara, sebelum digantikan Melayu. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, bauran antara bahasa sanskerta dengan melayu (sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah berlangsung ratusan tahun. Ini terbukti semenjak kurun ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).[3]
Menurut Collins, kunjungan ini jawaban masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok, bahkan menulis dua buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya untuk terlebih dahulu singgah di Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum mereka melanjutkan ziarah ke kota-kota suci Buddha di India.[4] I-Ching juga mengutarakan bahwa di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.
Posisi Sriwijaya ketika itu sebagai transit perdagangan penting di Selat Malaka sekaligus basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat imbas bahasa ini jadi signifikan. Sanskerta terutama terdiseminasi lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya yaitu kerajaan yang basis ekonominya perdagangan. Dalam perdagangan interaksi antarorang aneh yang memakai bahasa berbeda sangat tinggi. Situasi ini membutuhkan sebuah bahasa perantara antarorang dan Sanskerta menjalankan perannya. Namun, lambat-laun bahasa Sanskerta menjadi pribadi lantaran berkelindan pula dengan gagasan kasta yang berkembang dalam agama Hindu. Penggunaan Sanskerta kemudian terbatasi hanya pada dua kasta pengguna, Brahmana dan Ksatria.
Setelah masuk Indonesia, bahasa Sanskerta dari India, tidak murni lagi. Di Jawa misalnya, muncul bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal yang dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuna kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.
Pada kurun ini pula, di nusantara dikenal penggunaan tiga bahasa dengan fungsi spesifik. Pertama Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Kedua, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Ketiga, Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era kebudayaan India jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa elit yang hanya digunakan dalam urusan keagamaan maupun formal pemerintahan. Akibatnya, tidak banyak orang yang menguasai, terlebih kalangan wong alit.
Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu – pada perkembangan kemudian – merupakan lingua-franca kekerabatan dagang antarpulau nusantara menggantikan Sanskerta. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari kelahiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sebab itu, sanggup pula dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit atau banyaknya punya imbas pula terhadap bahasa Indonesia. Penelusuran imbas bahasa Sanskerta terhadap Melayu dicontohkan prasasti Kedukan Bukit, Palembang.[5] Prasasti tersebut ditemukan 29 Nopember 1920 dan diperkirakan dibentuk tahun 683 Masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, huruf Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, bersahabat Manila, Filipina.
Sebagian bahasa Sanskerta diserap ke dalam Melayu. Kemungkinan ada 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil absorpsi dari bahasa Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga Indonesia) antara lain :[6]
Pengaruh Sanskerta terhadap Bahasa Melayu
Sanskerta | Melayu | Sanskerta | Melayu | |
dūta | Duta, wakil | akṣara | Aksara (huruf) | |
rūpya | Rupiah | ākāśa | Angkasa (langit) | |
samudra | Samudra | smara | Asmara (cinta) | |
śāstri | Santri | bhāṣa | Bahasa | |
svayambara | Sayembara | vaṃśa | Bangsa (rakyat) | |
sajjita | Senjata | vāñcana | Bencana | |
chalaka | Celaka | bhaṭāra | Berhala | |
śuci | Cuci, membersihkan | chidra | Cedera | |
gaja | Gajah | carita | cerita | |
virama | Irama | yaśa | Yayasan | |
lalita | Jelita | utsaha | Usaha | |
kacchapī | Kecapi | udara | Udara | |
katha | Kata | suddha | Sudah | |
kuṭa | Kota | svara | Suara | |
kulavarga | Keluarga | siṣya | Siswa | |
laghu | Lagu | siṃha | Singa | |
nāma | Nama | saṃsāra | Sengsara | |
naraka | Neraka | sārdhāna | Sederhana | |
sabda | Sabda | sajjana | Sarjana | |
aggama | Agama | satrou | Seteru | |
soudara | Saudara | maharddhika | Merdeka, kuat | |
tsjinta | Cinta | drohaka | Durhaka | |
warna | Warna | velā | Bila |
Selain kata-kata yang sudah diserap di tabel atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta semenjak tahun 1303 M di wilayah Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah: derma, acara, bumi, keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri, ataupun seri paduka. Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan imbas para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia mirip huruf Bugis, Sunda, ataupun Jawi.
2. Pengaruh India di Bidang Arsitektur
Arsitektur atau seni bangunan ala masa India juga bertahan sampai kini. Meski tampilannya tidak lagi identik dengan bangunan Hindu-Buddha (candi) yang orisinil India, tetapi imbas Hindu-Buddha tersebut membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi khas. Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha yaitu berundak tiga. Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia. Undakan tersebut terlihat paling terperinci di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.
Ciri khas arsitektur candi yaitu adanya 3 serpihan utama yaitu kepala, tubuh dan kaki. Ketiga serpihan ini melambangkan triloka atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa).
Struktur Candi
Pengaruh sistem tiga tahap kehidupan spiritual insan bertahan cukup lama. Bahkan ia banyak disesuaikan oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa yang lebih baru. Bangunan-bangunan yang mempunyai ciri mirip ini beranjak dari bangunan sakral (spiritual) semisal masjid maupun bangunan profan (biasa) semisal Gedung Saté di Bandung.
Arsitektur candi kemudian mempengaruhi bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu. Masjid yang aslinya berjulukan Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Hal yang unik adalah, menara di sisi timur bangunan masjid memakai arsitektur candi Hindu. Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu terdapat pada gerbang masjid yang mirip gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornamen khas Hindu.
Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan mengapa Jafar Shodiq menyematkan arsitektur Hindu ke dalam masjidnya. Hipotesis pertama mengasumsikan proyek pembangunan masjid hasil akulturasi budaya Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya oleh Islam yang tengah berkembang. Ini dimaksudkan biar tidak terjadi cultural shock yang menjadikan alienasi para pemeluk Islam gres lantaran tiba-tiba tercerabut budaya asal mereka. Hipotesis kedua menyatakan penempatan arsitektur Hindu jawaban para arsitek dan tukang yang membangun masjid hanya menguasai gaya bangunan Hindu. Hasilnya, bangunan yang kemudian berdiri jadi bercorak Hindu.
Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal Gedung Saté yang terletak di Kota Bandung. Gedung Saté didirikan tahun 1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Jika diamati lebih dekat, maka serpihan bawah dinding Gedung Saté memuat ornamen-ornamen khas Hindu. Termasuk pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip menara masjid Kudus atau mirip tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di kawasan Bali. Tentu saja, arsitektur Gedung Saté tidak semata mendasarkan diri pada arsitektur Hindu. Ia merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dengan Lokal Indonesia.
Bangunan modern lain yang mempunyai nuansa arsitektur Hindu ditampakkan Masjid Demak. Arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M ini contohnya tampak pada atap limas bersusun tiga, mirip candi, yang bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna tersebut diakulturasi kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan ihsan. Ciri lainnya bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Atap tertinggi berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di setiap pura Hindu.[7]
3. Pengaruh India di Bidang Kesusasteraan
Salah satu peninggalan sastra India yang populer diantaranya Ramayana, Mahabarata, dan kisah perang Baratayudha. Sastra India cukup kuat atas budaya orisinil Indonesia yaitu wayang. Wayang tadinya digunakan sebagai media pemberi pesan tersirat tetua adat terhadap keluarga yang salah satu kerabatnya meninggal dunia. Pada perkembangannya, wayang digunakan sebagai basis pengajaran etika, agama, dan budaya.
Tokoh-tokoh India yang populer dalam wayang contohnya Pandawa Lima (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana (Hanoman, Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas Arjuna sebelum perang). Local genius Indonesia mengimbangi dominasi tokoh-tokoh wayang asal India dengan membuat punakawan. Selain Semar, tokoh-tokoh punakawan Indonesia pun memainkan tugas sentral dalam kesenian wayang. Tokoh-tokoh mirip Petruk, Gareng, atapun Bagong berperan selaku pengimbang dalam sejumlah lakon wayang Indonesia. Bahkan, para punakawan seringkali bertindak (secara satir) sebagai penakluk sekaligus pemberi wejangan atas para tokoh asal kesusasteraan India.
Dengan varian tokoh Indianya, kini wayang diakui sebagai budaya orisinil Indonesia. Local genius Indonesia memperkaya budaya aslinya (wayang) baik dengan tokoh kesusasteraan India maupun tokoh racikan mereka sendiri. Di masa perkembangan Islam, wayang juga digunakan Sunan Kalijaga untuk membuatkan pedoman gres ini. Lakon semisal Jamus Kalimasada, yang menceritakan kalimat syahadat dengan Semar selaku tokoh yang memperlihatkan pengajaran kepada Pandawa yang berasal dari India, diciptakan. Cerita-cerita yang terkandung dalam kesusasteraan India mempunyai nilai moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan, kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang bau tanah serta Negara. Tradisi sastra India justru memperkaya khasanah dongeng wayang lokal Indonesia. Berkas peninggalan India Hindu paling terperinci terlihat di Bali dan sebagian masyarakat Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam kawasan konservasi imbas India yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni bangunan, seni ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa imbas peradaban India, di samping tentunya budaya lokal Bali sendiri.
Lihat Juga:
Penyebaran Etnis India di Indonesia
Penyebaran Islam dan Pengaruh Islam atas Kebudayaan Indonesia
-----------------
[1] Koentjaraningrat, Masyarakat ..., op.cit., h. 21. Jika tidak ada catatan kaki, maka goresan pena ini masih didasarkan pada karya ini.
[2] Kayato Hardani, Peristiwa Diglosia dalam Masyarakat Jawa Kuna: Suatu Interpretasi Linguistis atas Kehadiran Unsur Serapan Bahasa Sanskerta di dalam Prasasti Bahasa Jawa Kuna Abad 9-10 Masehi (Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, tt) h.3.
[3]James T. Collins, Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu (Jakarta: KPG, 2009) h.23.
[4] Ibid., h.25.
[5] culture.melayuonline.com/?a=SlRSWi9xUksvQVRVY01rZQ%3D%3D%3D&l=(adaptation-the-influence-of-sanskrit-on-(ancient-malay&lang=Indonesia Download tanggal 2 Mei 2009.
[6] Purwadi, Eko Priyo Utomo, Kamus Sansekerta-Indonesia (Yogyakarta: BudayaJawa.com)
[7] www.gatra.com/2001-12-26/versi_cetak.php?id=13523 download tanggal 3 Mei 2009.
tags:
imbas budaya india di indonesia imbas hindu buddha di indonesia penyebaran imbas hindu buddha di indonesia
0 Response to "Penyebaran Budaya India Hindu Buddha Di Indonesia"
Posting Komentar