Proses integrasi nasional Indonesia sebenarnya masih terus berlangsung. Proses integrasi nasional ini masih dalam proses penyelesaian sehingga bentuk bakunya masihlah dicari. Dalam perkara Indonesia pula, terdapat sejumlah klarifikasi guna menggambarkan metode terjadinya integrasi nasional. Penjelasan-penjelasan ini mempunyai aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian sanggup dipertimbangkan signifikansinya sebagai metode integrasi nasional Indonesia.
Neopatrimonialisme
Pertama ialah klarifikasi David Brown wacana metode integrasi Indonesia yang ditentukan elit.[1] Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam perkara integrasi nasional Indonesia. Untuk memahami Neopatrimonialisme, paling terang dikontraskan dengan apa yang Max Weber maksud dengan Patrimonialisme, yang menurutnya:
[...] the object of obedience is the personal authority of the individual which he enjoys by virtue of his traditional status. The organized group exercising authority is, in the simplest case, primarily based on relations of personal loyalty, cultivated through a common process of education. The person exercising authority is no a ‘superior’, but a personal ‘chief’. His administrative staff does no consist primarily of officials, but of personal retainers [...] What determines the relations of the administrative staff to the chief is not the impersonal obligations of office, but personal loyalty to the chief.[2]
Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun lewat ikatan antara pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan) atau orang besar lengan berkuasa di mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di dalam kekuasaan pusat. Orang-orang ini punya pengikut yang mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan patron-klien ini kemudian membuatkan loyalitas masing-masing yang awalnya bersifat kedaerahan menjadi bersifat nasional kendati hanya elit (patron) yang memahami perubahan sifat tersebut.
Negara patrimonial alasannya ialah itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang dikarakteristikkan oleh kekerabatan patron-klien tradisional. Negara patrimonial bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan loyalitas para pemimpin lokal kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas sistem politik tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat Yogyakarta kepada Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan Hamengkubowono kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Ketaatan Sultan kepada pimpinan nasional agak sulit disebut ketaatan dalam bentuk patrimonial.
Patrimonialisme relatif gampang andaikata struktur orisinil masyarakat tiap-tiap suku bangsa masih beroperasi. Patrimonialisme mengandalkan kuatnya moral dan kebudayaan dalam menjamin integrasi sosial. Atau, ketika ketokohan personal berdasarkan wilayah geografis, suku, ataupun agama masih kuat.
Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme dengan neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada perubahan kekerabatan antara pengikut dan pemimpin. Dalam patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan dirinya sebagai kelas istimewa yang menempatkan dirinya sebagai monopol sumber daya sekaligus distributor mayoritas dalam hal kuasa dan kesejahteraan. Ini sanggup terjadi andaikan pemimpin patrimonial bisa menjamin keamanan dan proteksi yang ia berikan kepada para pengikut. Efektivitas elit patrimonial dalam konteks struktur masyarakat tradisional cukup tinggi dan akan merendah tatkala struktur-struktur tersebut mengalami perubahan.
Dalam neopatrimonialisme, kepadatan moral (moral density) perubahan ikatan tradisional, meningkatnya mobilisasi penduduk (vertikal, horisontal), dan tersebarnya impian akan demokrasi, membuat para elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap massanya. Loyalitas dari para pengikut sekarang berubah dari sekadar proteksi dan keamanan menjadi bersifat material (kuasa, uang, kemakmuran). Birokrasi yang legal-rasional mengentarai kekerabatan elit-massa pada masyarakat neopatrimonial. Neopatrimonial ditandai hadirnya lembaga-lembaga politik modern yang menghendaki impersonalitas. Namun, di Indonesia patrimonialisme sebenarnya masih berkembang di dalam organ-organ negara yang modern. Elit neopatrimonial kebingungan dalam bertindak: Di satu sisi mereka harus bergerak dalam lingkup organisasi yang legal-rasional, punya serangkaian hukum terang yang harus ditaati, serta harus bertanggung jawab secara profesional sesuai citra wewenang, tetapi di sisi lain mereka – secara subyektif – menganggap organisasi tempatnya bekerja sebagai milik pribadi dan bisa mereka perlakukan sesuai kepentingan pribadinya pula. Terjadi konflik kepentingan dalam diri elit-elit neopatrimonial Indonesia dan ini hampir merata terjadi dari pemerintah sentra sampai lokal.
Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang tadinya (secara tradisional) mempunyai pengikut loyal, sekarang mulai bergeser. Mereka tidak stabil dan konstan lagi dalam menggamit massa-nya sendiri dan kemudian, untuk menyelamatkan posisi, turun tahta menjadi broker politik dari para elit politik puncak (tingkat nasional). Pemimpin yang awalnya menguasai monopoli loyalitas massa suatu tempat sekarang terpecah. Dalam suatu tempat muncul communal leader yang berbeda dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin gres ini mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara material maupun politik: Reward yang diberikan oleh elit neopatrimonial bukan proteksi melainkan resouces material yang sumbernya – sayangnya – sekarang bukan dari pemilikan pribadi melainkan milik negara (publik). Akibatnya, muncul tanda-tanda l’etat c’est moi (negara ialah saya): Birokrasi-birokrasi negara yang dikelola elit politik dianggap milik pribadi dan menyerupai inilah tabiat umum dari elit neopatrimonial di Indonesia.
Ketaatan massa kepada elit neopatrimonial ada sejauh para elit bisa memberi kompensasi material yang mencukupi bagi mereka. Ketaatan massa kepada elit tidak lagi bersifat personal melainkan impersonal. Impersonalitas ini membuat massa mulai tidak peduli kepada personal mana mereka taat melainkan kepada efek-efek impersonal yang bisa mereka berikan menyerupai kesejahteraan, keamanan, atau keadilan. Integrasi nasional yang dilandaskan pada neo-patrimonialisme ini rentan terhadap konflik. Elit neo-patrimonial sanggup dengan gampang memanfaatkan massa-nya demi kepentingannya sendiri.
Integrasi nasional Indonesia dari masa kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan (bahkan sanggup disebut sampai masa kini) memperlihatkan model integrasi Patrimonial dan NeoPatrimonial ini. Dalam masyarakat kolektif Indonesia, sulit dipungkiri kiprah elit politik dalam mengintegrasikan massa mereka dan, buruknya, dalam memecah bangsa ini. Kekecewaan elit politik-lah yang banyak memunculkan peristiwa-peristiwa pemberontakan tatkala Indonesia gres berdiri. Ketika elit patrimonial mulai memudar, kembali elit neopatrimonial (biasanya pengusaha atau tokoh-tokoh masyarakat) mengambil peran. Integrasi Indonesia tidak lebih sebagai integrasi dari para elit neopatrimonial ini.
Pola integrasi nasional bercorak neopatrimonial tentu saja kurang sehat lantaran mendorong sentimen antarkelompok sesuai garis yang diperkenankan oleh tiap-tiap elit. Indonesia akan rentan perpecahan kalau tetap mengandalkan integrasinya pada ketokohan seorang elit neopatrimonial. Namun, terdapat suatu impian bahwa elit neopatrimonial cenderung berangsur kehilangan klien. Semakin banyak bermunculan elit-elit neopatrimonial gres mendorong mereka saling berkompetisi satu sama lain dan klien akan menilai bahwa kekuatan dan sumber daya seorang elit tidaklah tetap. Hal ini akan mendorong munculnya perilaku kritis dari para klien untuk tidak lagi fanatik dalam mendukung seorang elit. Klien sanggup secara gampang melaksanakan swing-support dan kemudian, hanya elit-elit yang bisa memuaskan kebutuhan klien sajalah yang akan beroleh pertolongan secara relatif tetap.
Teori Dimensi
Christine Drake mengutarakan tesis wacana empat faktor yang mendorong integrasi nasional Indonesia.[3]Pertama, dimensi historis-politis yang menekankan kepada persamaan nasib selaku rakyat yang terjajah Hindia-Belanda, yang membangun kesadaran bersama mencapai satu tujuan. Dimensi ini kentara tatkala para pendiri negara Indonesia melaksanakan acara kampanye dan propaganda kesatuan nasional. Secara garis besar teori ini sangat menyerupai dengan teori Ernst Renan wacana terciptanya sebuah bangsa.
Dimensi ini telah secara luas dijabarkan dalam bab-bab terdahulu. Dimensi historis-politis interaksi antar elemen komunitas politik nusantara kemudian mendorong sejumlah elit untuk membentuk nasion Indonesia. Perlu diakui bahwa terbentuknya Indonesia ialah konsensus elit, bukan sebuah referendum. Namun, elit-elit tersebut kemudian mendiseminasi komitmen mereka kepada masing-masing klien mereka (massa masing-masing). Hal ini lumrah saja lantaran kecenderungan integrasi elit ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di banyak negara lain semisal Malaysia ataupun Irak.
Sehubungan dengan dimensi historis-politik, integrasi yang muncul pra kemerdekaan 1945 ialah bukan subordinasi melainkan kesetaraan. Masing-masing komunitas politik (daerah-daerah) mempunyai derajat otonomi (khususnya dalam hal budaya dan ekonomi) yang tinggi. Ketika negara Indonesia coba melaksanakan subordinasi atas kedua unsur tersebut, informasi separatisme kemudian muncul. Kini, Indonesia mempunyai perangkat Undang-undang di bawah Konstitusi yang mengatur secara terang kewenangan pemerintah sentra dan pemerintah daerah. Jika dilihat secara mendasar, maka pembagian kewenangan tersebut menyerupai dengan situasi pra kolonial di mana otonomi komunitas-komunitas politik, khususnya di bidang ekonomi, sangatlah tinggi.
Kedua, dimensi sosiokultural yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang sama, dan kemudian membimbing pada ikatan bersama untuk bersatu di dalam Indonesia. Bahasa Indonesia yang sekarang menjadi bahasa resmi Indonesia tidak muncul sekonyong-konyong. Bahasa ini berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu ialah lingua franca yang menjadi bahasa pengantar kekerabatan penduduk antar pulau-pulau nusantara. Bahasa Melayu sendiri, menyerupai telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, menyerap sejumlah unsur budaya yang pernah berkembang di Indonesia yaitu kebudayaan India dan Islam. Dengan demikian, Bahasa Indonesia ialah sebuah bahasa yang penggunaannya bukan up to bottom melainkan bottom to up. Bahasa Indonesia disusun secara induktif, bukan deduktif. Sehingga sanggup dinyatakan Bahasa Indonesia ialah milik semua orang Indonesia, bukan hanya milik orang Sumatera, Papua, atau Jawa saja. Hal baiknya dalam konteks integrasi nasional, Indonesia belum pernah mengalami persengketaan soal bahasa nasional ini menyerupai yang menimpa Malaysia, Pakistan, ataupun Filipina.
Mengenai perkara agama, Islam ialah salah satu elemen kunci perekat. Islam ialah agama mayoritas penduduk Indonesia dan Islam sampai sekarang telah menjalankan kiprahnya sebagai basis kohesi bangsa. Hal ini harus disebutkan lantaran perkara agama kerap menjadi basis perpecahan sebuah bangsa menyerupai terjadi di India (sebelum pecah menjadi India, Pakistan, dan Bangladesh), Inggris dan Irlandia (protestan dan katolik), ataupun Libanon (perpecahan antarsekte dan antaragama). Islam di dalam ajarannya tidak lantas menegasikan begitu saja agama dan kepercayaan yang berkembang di luarnya lewat pernyataan untukmu agamamu dan untukku agamaku. Hal ini merupakan pernyataan tegas keyakinan toleransi antarumat beragama dan salah satu saham terbesar keutuhan Indonesia yang agama dan kepercayaan penduduknya sebenarnya selaras dengan pernyataan Islam ini.
Integrasi nasional tidak akan bertahan kalau suatu budaya, yang lantaran punya pendukung terbesar, lantas menegasikan yang kecil. Hal ini sangat krusial bagi Indonesia yang punya ratusan bentuk budaya lokal spesifik. Masing-masing budaya cenderung mempertahankan eksistensinya dan menyikapi upaya penyeragaman budaya sebagai bentuk agresi. Indonesia tidak akan bertahan usang kalau bentuk-bentuk aksi budaya dibiarkan terjadi. Dalam konteks ini pula, paradigma masyarakat beragam perlu diganti dengan paradigma multikultural. Paradigma masyarakat beragam mengandung bias kolonialisme Barat yang awalnya dimaksudkan demi memecah masyarakat jajahan berdasarkan garis budaya. Paradigma masyarakat beragam perlu diganti dengan paradigma multikultural yang di Indonesia sebenarnya telah diwakili semboyan bhinneka tunggal ika.
Ketiga, dimensi interaktif, yaitu tingkat kontak yang terbangun antara orang-orang yang membisu di wilayah yang sekarang menjadi Indonesia, di mana mereka satu sama lain saling berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, telepon, migrasi, dan televisi. Seperti juga telah dipaparkan dalam bab-bab terdahulu, contoh perpindahan penduduk di Indonesia sudah sedemikian canggih dalam arti hampir di setiap wilayah Indonesia tidak lagi terdapat monoetnis. Hal ini mendorong interaksi antaretnis yang lebih intens dan diperlukan akan mendorong terciptanya kondisi saling paham antaretnis. Tentu saja, masing-masing etnis akan tetap semaksimal mungkin memelihara moral dan kebiasaan masing-masing. Namun, kalau hal tersebut ditunjang oleh perkembangan serupa di sisi paradigma multikultural maka pemeliharan identitas etnis di wilayah domisili etnis lain tidak akan menjadi perkara sensitif. Justru, masing-masing etnis mempunyai kesempatan untuk mempelajari cara-cara hidup yang lebih baik dari etnis satu dan lainnya untuk perkembangan individualitas mereka masing-masing.
Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan ekonomi antar region-region yang ada di Indonesia. Dimensi keempat ini telah pula dilalui bangsa Indonesia ketika zaman perdagangan rempah-rempah di kepulauan nusantara.[4] Setelah Indonesia berdiri, kesalingtergantungan tersebut justru memperoleh kesempatan untuk diregulasi kembali secara lebih baik. Pemerintah sentra sanggup bertindak selaku regulator dan distributor sumber daya langka dan mengalihkannya dari satu wilayah yang berlebih kepada wilayah lain yang kekurangan. Derajat laba Indonesia sebagai sebuah wilayah kesatuan lebih tinggi ketimbang terpecah-pecah ke dalam negara-negara kecil yang berdiri sendiri. Biaya ekonomi perpindahan sumber daya dari wilayah satu ke wilayah lain akan selalu lebih rendah kalau wilayah-wilayah tersebut masih bergabung ke dalam satu negara ketimbang berdiri sendiri-sendiri.
Teori Proses Industri
Anthony Harold Birch coba mencari balasan bagaimana kelompok etnik dan budaya yang saling berbeda mengikat diri ke dalam sebuah masyarakat nasional dan mendirikan negara nasional.[5] Sebagai proses, integrasi nasional merupakan produk dari kebijakan pemerintah (atau elit) yang disengaja.
Teori proses industri memandang integrasi nasional awalnya tidak direncanakan lewat mobilisasi sosial. Integrasi tidak sengaja ini pada dasarnya merupakan hasil dari bagaimana industrialisasi mengundang pekerja meninggalkan desa asal untuk cari kerja di area industri baru. Perpindahan ini menggerogoti komunitas-komunitas sosial orisinil di area pedesaan dan memobilisasi pekerja untuk terserap di masyarakat nasional yang lebih besar. Hubungan kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek lokal makin samar, untuk kemudian digantikan bahasa nasional. Budaya lokal dan kebiasaan bebuyutan kehilangan pendukungnya.
Alat transportasi, juga menyumbang point dalam integrasi nasional. Pembukaan jalan membuat wilayah-wilayah dan penduduk terlebur, berinteraksi, saling pengaruh. Terlebih, media massa kemudian muncul memperlihatkan informasi-informasi gres harian kepada pemirsa yang bisa dicapainya. Anggota-anggota masyarakat yang tadinya berasal dari budaya atau kultur spesifik secara gradual masuk ke dalam terminologi masyarakat yang lebih luas.
Integrasi Nasional Indonesia
Berdasarkan ketiga teori mengenai integrasi nasional, maka empat argumentasi sanggup diajukan dalam menjelaskan proses integrasi nasional Indonesia. Pertama, dalam terminologi keniscayaan sejarah. Dalam pandangan Hegel, masa depan umat insan terletak dalam organisasi yang disebut negara. Negara merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Negara mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di level masyarakat ke dalam elemen bersama dan sifatnya lebih tinggi. Namun, terminologi Hegel mengenai negara sebagai bentuk tertinggi dalam proses sejarah rentan diselewengkan. Pemikiran Hegel kerap menjadi alasan pembenar bagi absolutisme negara.
Di dalam Indonesia, konsep Hegel sanggup dimanfaatkan dalam konteks negara sebagai regulator tertinggi. Negara Indonesia memainkan ritme kekerabatan antardaerah sehingga tercipta contoh kekerabatan antardaerah yang saling melengkapi. Jika Indonesia pecah maka bagaimana kondisi wilayah-wilayah yang miskin sumber daya alam? Berdasarkan sejarah pula, komunitas-komunitas politik telah terhubung lewat prosedur perdagangan nusantara. Komunitas-komunitas politik di Indonesia dahulu tidak bisa memenuhi sendiri kebutuhan riil masyarakatnya. Polanya menyerupai dengan kekerabatan antarnegara ketika ini. Kini, dengan bersatunya komunitas-komunitas politik ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia maka sumber daya ekonomi (seharusnya) sanggup diperdagangkan lebih murah. Paket-paket pembangkit listrik di setiap region sanggup dikembangkan dengan sumber-sumber energi yang diperoleh secara komplementatif antar region. Seluruhnya tidak mesti melalui tarif bea impor ataupun permainan harga lazimnya perdagangan antarnegara.
Region-region (daerah) dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya makmur secara ekonomi. Kemakmuran inilah sumber legitimasi sahih dan sulit ditentang. Papua seharusnya makmur, Nusa Tenggara Timur seharusnya makmur, menyerupai halnya Kepulauan Riau dan Bali yang makmur. Pemerintah ialah the solely distributor lantaran dengan otoritas yang dimilikinya bisa melalukan ekstraksi sumber daya ekonomi dari satu wilayah ke wilayah lain atau dari satu penduduk ke penduduk lain. Apakah ada legitimasi yang lebih tinggi dari suatu proses integrasi selain kemampuan negara memakmurkan seluruh wilayah dan penduduknya? Negara sebagai bentuk tertinggi proses sejarah Hegel hanya sanggup diterima kalau organisasi ini bisa menjamin kemakmuran bagi daerahnya secara adil dan berimbang. Tanpa catatan ekonomi ini, keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan selalu sanggup dipertanyakan.
Kedua, pandangan integrasi nasional sebagai bentuk asimilasi sosial. Integrasi nasional ialah terasimilasinya budaya-budaya yang lebih minor kepada budaya yang lebih mayor. Misalnya, etnis Cina di Indonesia mau tidak mau harus mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang berkembang di Indonesia kebanyakan semoga sanggup terintegrasi baik di tengah Negara Indonesia. Demikian pula etnis-etnis Arab, semoga sanggup diterima di Indonesia harus mengasimilasi budaya umum yang berkembang di masyarakat Indonesia. Disintegrasi nasional muncul akhir asimilasi gagal dilakukan. Namun, asimilasi bukanlah satu-satunya contoh kekerabatan mayoritas-minoritas budaya.
Seperti telah dikemukakan di bagian-bagian awal buku, konsep-konsep menyerupai ras dan etnis sebenarnya delutif. Konsep ini sebenarnya menyesatkan lantaran tidak memperlihatkan suatu hal yang definitif dan pasti. Ironisnya, konsep ras dan etnis kerap dipakai secara serampangan hanya demi membuat kambing-hitam terpuruknya sebuah negara. Dengan demikian, asimilasi sosial merupakan metode lain dari integrasi nasional yang cukup penting, demikian pula multikulturalisme. Hal yang penting dicatat ialah kalau memang asimilasi yang dikehendaki ia bukan dipaksakan semisal etnis Cina yang harus mengganti namanya menjadi Indonesia atau orang keturunan Arab yang harus menggunakan batik. Proses penggantian harus dilandasi kesadaran sosial mereka sendiri: Kehendak baik untuk bertahap menghapus sekat sosial yang tidak penting demi integrasi nasional yang lebih besar. Hubungan serasi bisa dibangun lewat multikulturalisme: Masing-masing penganut kebudayaan dipersilakan mempraktekkan budaya khas masing-masing dengan tetap bersetia dalam komunitas politik Indonesia.
Posisi etnis Cina dan India (berikut keturunannya) cukup signifikan dalam memicu perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini sulit dipungkiri berdasarkan fakta bahwa jajaran atas orang terkaya atau perusahaan terkaya Indonesia diantara berada di dalam genggaman mereka. Namun, hendaknya tidak pula dilupakan kehadiran perusahaan mereka telah bisa merekrut sekian banyak tenaga kerja usia produktif Indonesia. Ketika ekonomi Indonesia terpuruk atau kecemburuan sosial meninggi, ironisnya, mereka justru kambing hitam nomor satu. Proses integrasi sosial menghendaki hadirnya negara secara netral, profesional, dan jujur. Negara (khususnya pemerintah) harus mengakui bahwa penghasilan mereka dari pajak perusahaan sebagian diperoleh dari perusahaan-perusahaan warga negara keturunan Cina dan India ini. Pertanyaannya bukanlah apakah para pengusaha tersebut curang melainkan apakah pemerintah telah jujur memungut pajak dari mereka dan mengalokasikannya demi pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemerintah pun harus mengakui kiprah mereka, mengangkat harkat mereka sebagai warganegara yang setara tanpa pemanis etnis dan ras yang sebenarnya delutif sehingga mempersulit lagi integrasi mereka ke dalam persatuan nasional Indonesia.
Ketiga, integrasi nasional muncul akhir pemerintah dibuat berdasarkan atas perasaan kesatuan nasional. Integrasi nasional tidak akan tercipta kalau perasaan tersebut belumlah terbangun. Untuk itu, perkara bahasa persatuan, ideologi nasional, merupakan komponen penting di dalam integrasi nasional. Pemerintah mempunyai kiprah menjamin hal-hal tersebut telah tersosialisasi, baik secara teori maupun praktik.
Tidak boleh diabaikan begitu saja ialah perkara simbolik dalam terminologi kesatuan nasional. Namun tetap saja tanpa terciptanya (atau kesungguhan untuk menciptakan) kemakmuran dari pemerintah simbolisme kesatuan nasional, ideologi nasional hanya akan menjadi pepesan kosong Pancasila ialah suatu konsep yang manis dalam rangka membuat rasa persatuan dan kekerabatan antar elemen pembentuk bangsa yang berbeda. Namun, Pancasila hanyalah pepesan kosong tatkala pemerintah dan masyarakat sipil tidak bisa mewujudkannya sebagai praksis politik. Pembangunan ekonomi dan distribusi kesejahteraan ialah salah satu nilai Pancasila yang cukup krusial untuk digarap dan selama ini terbukti bukan menjadi fokus utama setiap pemerintahan Indonesia. Simbolisme jargon hanya bisa bertahan kalau kenyataan telah memperlihatkan hal yang serupa dengan jargon tersebut.
Keempat, integrasi nasional bekerjasama dengan perkara representasi politik. Negara yang terbangun di sekujur garis primordial berbeda memunculkan sensitivitas tinggi warganegara atas aspek ini. Agama, etnis, region, merupakan unsur primordial yang perlu diperhatikan representasi politiknya. Pimpinan puncak nasional memerlukan konsensus politik yang membuat representasi elemen primordial yang berlainan tersebut menggapai representasi. Partai-partai politik utamanya mengambil kiprah dalam integrasi nasional yang bekerjasama dengan perkara ini. Indonesia sekarang telah melangkah di jalur yang benar dengan memindahkan bobot otoritas politik ke tingkat daerah. Harapannya adalah, pemerintah-pemerintah tempat sanggup secara eksklusif meningkatkan kemakmuran di wilayahnya. Namun, sebagai regulator utama, pemerintah sentra harus bisa berposisi sebagai strong state bukan weak state. Dalam representasi politik, Indonesia sudah sangat liberal bahkan sekarang kesulitan dalam kekerabatan antara sentra dengan daerahnya. Pusat seolah mengalami kelumpuhan tatkala mempenetrasi regulasi kepada daerah. Konflik agama dan etnis justru meninggi sesudah demokrasi liberal berkembang kembali di Indonesia pasca 1998. Namun, kalau ditelusuri anatomi konflik etnis dan agama di Indonesia, maka balasan umum dari para peneliti ialah pada determinisme ekonomi yang tidak mengindahkan dinamika sosial, budaya, dan agama di tengah masyarakat.
---------------------
[1] David Brown, The State and Ethnic Politics in SouthEast Asia (CRC Press, 2004) p.78.
[2] Ibid., h.79.
[3] Christine Drake menyerupai termuat dalam Danilyn Rutherford, Raiding the Land of the Foreigners: The Limits of the Nation on An Indonesian Frontier (Princeton University Press, 2002) p.4-5.
[4] Telah diuraikan dalam penggalan genealogi masyarakat Indonesia.
[5] Anthony Harold Birch, Nationalism and National Integration (London: Routledge, 1989) p.36-42.
tags:
proses integrasi nasional indonesia metode integrasi nasional indonesia neopatrimonialisme teori proses industri
0 Response to "Proses Integrasi Nasional Indonesia"
Posting Komentar