Pengertian ilmu politik dan pendekatan-pendekatan dalam ilmu politik cukup bervariasi seiring beragamnya konsep dan definisi yang berkembang dalam ilmu sosial yang termasuk tertua ini. Bagi sebagian penggagasnya, ilmu politik lahir ketika nenek moyang insan sudah hidup berkelompok. Namun, sebelum dilakukan pembedahan atas aneka pengertian serta pendekatan di dalam ilmu inti, dapatlah terlebih dahulu dipertanyakan apa yang dimaksud dengan "politik."
Secara retorik, bahkan Iwan Fals pernah mempermasalahkanya: "Apakah selamanya politik itu kejam ...?" Memang pada masa pemerintahan Mao Tse-tung pernah diterapkan kebijakan Revolusi Kebudayaan. Dengan revolusi ini, setiap orang yang dicurigai berpikiran liberal (Amerika Serikat sentris) akan ditahan, diinterogasi, disiksa, bahkan dioper ke kamp-kamp kerja paksa untuk "membersihkan" otaknya. Hal ini menyerupai dengan di masa Orde Baru, di mana orang-orang yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia "dibuang" ke kamp-kamp "pembersihan otak" di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Kedua keputusan baik di Cina maupun Indonesia ialah bukti keputusan politik, dan itu terkesan kejam.
Definisi Politik
Namun, keputusan untuk menaikkan honor guru, menaikkan Upah Minimun Regional (UMR), atau kesempatan cuti haid bagi buruh perempuan dapatkah dikatakan kejam? Atau keputusan politik untuk menggratiskan biaya pendidikan di Brunei Darussalam atau Arab Saudi, masukkah ke dalam kategori yang sama ? Potret Indonesia
Berbicara mengenai politik, kita tidak berbicara mengenai kejam atau tidak. Berbicara mengenai politik berarti membicarakan sikap kita dalam hidup bermasyarakat. Khususnya, cara kita mengatasi sejumlah perbedaan yang ada di antara kita lewat pembuatan kebijakan (undang-undang) yang mengikat orang-orang sebagai suatu bangsa. "Cara" bergantung pada siapa yang menggunakan. Subyektivitas kita masing-masing-lah yang menyebut cara yang dilakukan si A atau si B, atau pemerintah A atau B tersebut sebagai "kejam" atau tidak "kejam", dan satu bidang tersendiri di ilmu politik membicarakan kasus itu: Etika Politik.
Dalam politik kita berbicara mengenai bagaimana masyarakat, di suatu wilayah, saling menegosiasikan kepentingan masing-masing, untuk kemudian melahirkan kesepakatan bagaimana kepentingan masing-masing tersebut sanggup terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Saat dimulainya, politik selalu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Tujuan awal politik tidaklah "kejam" menyerupai sering didengungkan orang.
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan hidupnya. Manakala insan mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain supaya mendapatkan pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK. Dengan demikian, kita sanggup dikatakan tengah berpolitik ketika mempengaruhi suami atau istri di rumah, bersaing dengan tetangga sebelah rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau berdebat dengan supir angkot bahwa ongkos yang ia terapkan terlampau mahal. Luas sekali pelajaran politik kalau demikian, bukan?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik ialah the constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan). Di sini disebutkan "kekuasaan" sosial bukan "kekuasaan pribadi." Dalam zaman kaisar-kaisar Romawi, raja-raja di pulau Jawa, seorang kaisar atau raja sanggup saja menimpakan suatu eksekusi mati pada seorang abdi atau rakyat lewat "kemauannya" sendiri. Rakyat luas tentu tidak sepakat dengan cara tersebut, tetapi tidak sanggup berbuat apa-apa. Mereka berdasarkan bukan lantaran setuju, tetapi lantaran takut.
Kekuasaan raja atau kaisar tersebut bukan kekuasaan sosial, tetapi kekuasaan pribadi. Hanya satu orang yang menyepakati cara penghukuman, bukan seluruh orang menyepakatinya. Sebaliknya, politik ialah kekuasaan sosial dan sebagai kekuasaan sosial ia harus disepakati banyak orang sebelum suatu cara diterapkan. Politik menghendaki negosiasi, dari perundingan gres dicapai kesepakatan. Dengan demikian, suatu kekuasaan politik ialah kekuasaan yang disepakati banyak orang, bukan hanya kemauan satu orang.
Ilmu Politik
Dengan luasnya cakupan, dapatkah politik dikatakan sebagai suatu ilmu layaknya ilmu Biologi, Fisika, atau Ekonomi ? Jawabannya ialah bisa. Namun, sebelumnya kita harus ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu.
Ilmu ialah "pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis, obyektif, dan umum." Metodis artinya memakai metode, cara, jalan yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu yang dibicarakan. Sistematis artinya masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga sanggup tersusun suatu pola pengetahuan yang rasional. Obyektif artinya kebenaran dari hasil pemikiran dari suatu bidang sanggup memperoleh bobot obyektif (sesuai kenyataan), tidak lagi bersifat subyektif (menurut pemikiran sendiri). Dan akhirnya, umum, artinya tingkat kebenaran yang mempunyai bobot obyektif tersebut sanggup berlaku umum, di mana saja dan kapan saja.
Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan ialah "apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui … tanpa memperhatikan obyek, cara, dan kegunaannya." Kita tahu bahwa sepeda beroda dua, insan hidup mengalir darah dalam tubuhnya, sinar matahari ialah panas, atau pemerintah menerapkan kebijakan wajib belajar. Namun, kita sekadar tahu tanpa mendalami apa itu, bagaimana darah mengalir, ke mana dan untuk apa ? Atau, bagaimana sepeda yang cuma beroda dua tersebut sanggup dikayuh seseorang dengan seimbang? Atau, bagaimana proses terjadinya keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar? Dengan kalimat lain, pengetahuan tidak berbicara mengenai aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu obyek. Pengetahuan relatif tercerai-berai sementara ilmu relatif tersusun secara teratur. Ilmu sanggup menambah pengetahuan, sementara pengetahuan disistematisasikan oleh ilmu.
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, berdasarkan Aristoteles) dalam hidupnya. Manakala insan mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain supaya mendapatkan pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK.[1]
Dengan demikian, kita sanggup dikatakan tengah berpolitik ketika bersaing dengan tetangga sebelah rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau supir angkot berdebat dengan oknum LLAJ bahwa pungli yang mereka lakukan sudah tidak bisa lagi ditoleransi. Luas sekali pelajaran politik kalau demikian, bukan ?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik ialah the constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan).[2] Kata “kekuasaan sosial” ditekankan untuk membedakannya dengan “kekuasaan individual.” Ini akhir politik berkenaan dengan pengaturan hidup suatu masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang mengesahkan sekelompok individu untuk mempunyai “kekuasaan sosial” yang aplikasinya “dapat dipaksakan” atas setiap individu untuk menjamin keteraturan di dalam masyarakat itu sendiri.
Agar lebih jelas, berikut kami sampaikan definisi politik dari Gabriel A. Almond, et.al., di mana mereka mendefinisikannya sebagai:
Definisi lain politik di masa modern juga dicatat oleh Hamid bahwa :
Kata otoritatif merupakan konsep yang ditekankan dalam kasus politik. Otoritatif ialah kewenangan yang absah, diakui oleh seluruh masyarakat yang ada di suatu wilayah untuk menyelenggarakan kekuasaan. Otoritas tersebut ada di suatu forum berjulukan “pemerintah”. Bukan suatu kekekuasaan politik kalau forum yang melaksanakannya tidak mempunyai otoritas. Pemerintah juga sanggup kehilangan otoritasnya tatkala mereka sudah tidak mempunyai kekuasaan atas masyarakatnya. Pemerintah-lah yang mengalokasikan nilai-nilai menyerupai kesejahteraan, keadilan, keamanan, kebudayaan, dan sejenisnya, ke tengah masyarakat. Dengan kekuasaan politik, pemerintah sanggup memaksakan tindakannya atas setiap individu.
Andrew Heywood sekurangnya mengajukan 4 perkiraan tatkala kata “politik” diucapkan. Keempat perkiraan ini sama-sama diyakini merupakan konteks situasi tatkala kata politik disebutkan kendati mempunyai obyek kajian yang berbeda. Keempat perkiraan tersebut ialah :[5]
1. Politik sebagai Seni Pemerintahan
Artinya, politik ialah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini ialah yang paling bau tanah dan telah berkembang semenjak masa Yunani Kuno.
2. Politik sebagai kekerabatan publik
Aristoteles dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa insan ialah hewan politik. Maknanya, secara kodrati insan hanya sanggup memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.” Kedua lingkup tersebut diperbesar menjadi State (kembangan publik) dan Civil Society (kembangan privat). Dalam “state” terletak institusi menyerupai pengadilan, abdnegara pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya, sementara dalam “civil society” terletak institusi menyerupai keluarga, kekerabatan, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub, komunitas, dan sejenisnya.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks kekerabatan “state-civil society” inilah perkiraan kedua politik diletakkan.
3. Politik sebagai kompromi dan konsensus
Sharing atau pembagian kekuasaan ialah perkiraan politik sebagai kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing memoderasi tuntutan supaya tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara bilamana kasus pergesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas “meja” bukan pertumpahan darah.
4. Politik sebagai kekuasaan
Kekuasaan ialah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti kehendaknya. Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk ialah kekuasaan sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu masyarakat. Dalam perkiraan ini, politik dilihat sebagai penggunaan “kapital” (yaitu kekuasaan) dalam konteks produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya tersebut.
Ontologi Ilmu Politik
Secara sederhana, ontologi ialah ilmu ihwal hakikat sesuatu atau benda/hal/aspek apa yang dikaji. Epistemologi ialah ilmu ihwal bagaimana "ontologi" itu dipelajari, dibangun. Aksiologi ialah untuk apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan aspek-aspek khas ilmu, apapun bentuknya.
Aspek ontologi ilmu ekonomi contohnya ialah barang dan jasa. Aspek ontologi ilmu sosial (sosiologi) ialah kekerabatan antarmanusia, dan aspek ontologi ilmu fisika ialah materi serta gas. Ontologi berarti obyek-obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu. Lalu, bagaimana dengan ilmu politik sendiri ?
Secara ontologis, politik juga mempunyai obyek-obyek kajian yang spesifik. Miriam Budiardjo menyebutkan sekurang-kurangnya ada 5 obyek ontologis ilmu politik, yaitu:
Negara ialah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan ialah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laris orang atau kelompok lain sesuai dengan harapan dari pelaku. Jika keputusan (decision) ialah membuat pilihan di antara beberapa alternatif, maka pengambilan keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi hingga keputusan itu dicapai. Kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam perjuangan menentukan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Sementara itu, nilai ialah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang berharga pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Pembagian ini sering tidak merata dan lantaran itu mengakibatkan konflik.
Epistemologi Ilmu Politik
Secara sederhana, Epistemologi berarti bagaimana suatu ilmu dibangun. Dalam membangun suatu ilmu, seseorang andal teori dibatasi oleh periode hidup serta hal-hal lain yang mempengaruhi pikirannya ketika membangun suatu ilmu. Sebagai contoh, pada era pertengahan, pelajaran mengenai tata surya dipengaruhi suatu kesimpulan umum bahwa matahari mengelilingi bumi. Artinya, pusat dari tata surya ialah bumi, bukan matahari. Namun, pendapat ini berubah tatkala Nicolaus Copernicus melontarkan pendapat bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya. Dengan demikian, pelajaran mengenai sistem tata surya pun berubah.
Dalam ilmu politik, epistemologi ilmu ini diterjemahkan ke dalam konsep PENDEKATAN. Arti dari pendekatan ialah dari sudut mana serta bagaimana seseorang melihat suatu permasalahan. Dalam mendidik anak, orang bau tanah biasanya mendekati lewat 3 pendekatan: Otoriter, Laissez Faire, dan Demokratis. Jika otoriter, orang bau tanah hanya mau dituruti pendapatnya oleh si anak, kalau Laissez Faire cenderung membebaskan/membiarkan, dan kalau demokratis akan menjak obrolan dua arah. Berdasarkan periode kelahirannya, maka ilmu politik sanggup dibagi ke dalam tiga pendekatan, yaitu:
Taksonomi dari perbedaan atas masing-masing pendekatan ialah sebagai berikut ini:

Ketiga pendekatan dalam ilmu politik memang dikategorisasi berdasarkan periode. Ketiga pendekatan tersebut bergotong-royong lebih tertuju kepada aspek historis perkembangan ilmu politik ketimbang memberi suatu klarifikasi yang lebih spesifik mengenai bagaimana kita menghampiri suatu fenomena politik.
Pendekatan tradisional muncul terlebih dahulu (sejak zaman Yunani Kuno) untuk kemudian secara berturut-turut, disusul dua pendekatan setelahnya. Para pemikir politik menyerupai Plato atau para andal politik menyerupai Montesquieu, Jean Jacques Rousseau atau John Stuart Mill mendekati permasalah politik dengan pendekatan tradisional. Pasca Perang Dunia Kedua, muncul pendekatan Behavioral yang coba memisahkan fakta dengan nilai dalam menganalisis permasalahan politik. Para teoretisi menyerupai David Easton, David E. Apter atau Gabriel A. Almond ialah contohnya. Saat pendekatan Behavioral dinilai tidak lagi "sensitif" di dalam menganalisa tanda-tanda politik, pada tahun 1960-an muncul pendekatan Postbehavioral. Teoretisi menyerupai Andre Gunder Frank, Cardoso, atau di Indonesia Arief Budiman (?) mencoba menganalisis tanda-tanda politik secara lebih komprehensif dengan memperhatikan karakteristik wilayah serta kepentingan apa yang bergotong-royong melandasi sebuah tindakan politik. Ketiga pendekatan ilmu politik ini tidak terpisah (terkotakkan) secara "zakelijk" (tepat/pasti) melainkan kadang tercampur satu sama lain.
Selain memakai pengkategorian atas tiga pendekatan di atas, pendekatan-pendekatan ilmu politik pun biasa dibagi ke dalam karakteristik atau ciri khas sudut pandang titik tolak pengamatan. masing-masing. Dengan demikian, pendekatan sanggup dianalogikan menyerupai 6 orang yang coba menganalisa suatu rumah. Rumah misalkan saja terdiri atas 6 buah aspek, yaitu : fundasi, dinding, atap, halaman, distribusi air, dan keindahan ruangan. Orang yang meneliti sebuah rumah dari sisi fundasi tentu berbeda cara dan kesimpulannya dari orang yang mengamati melalui perspektif atap. Demikian pula, orang yang andal sistem pengairan tidak sanggup menyimpulkan hasil penelitian melalui perspektif halaman. Demikian pula halnya dalam ilmu politik. Pendekatan satu dengan pendekatan lain berbeda baik dalam hal meneliti serta menyimpulkan sebuah tanda-tanda politik.
Di dalam ilmu politik ----sekurang-kurangnya berdasarkan David E. Apter---- terdapat 6 pendekatan dalam memahami fenomena politik. Keenam pendekatan tersebut mempunyai pendukung dan karakteristik khasnya masing-masing. Namun, sama menyerupai kasus rumah tadi, meskipun keenam perspektif tersebut berbeda, tetapi tetap menganalisa satu bidang yaitu rumah. Di dalam politik demikian pula halnya, keenam pendekatan ini sama-sama menganalisa satu bidang, yaitu fenomena politik. Pendekatan-pendekatan ini berdasarkan Apter terdiri atas Filsafat Politik, Institusionalisme, Behavioralisme, Pluralisme, Strukturalisme, dan Developmentalisme. Paparan berikutnya akan digunakan untuk merinci masing-masing pendekatan secara satu per satu.
Filsafat Politik
Filsafat politik ialah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif absurd lantaran berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung kasus moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
A. Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi instruksi yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang tepat akan tercapai kalau prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan ---menurut Plato--- ialah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil ialah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin masakan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja supaya barang-barang kebutuhan insan sanggup tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur supaya hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga dihentikan untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dihentikan berkeluarga, perempuan dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga 'disapih' semenjak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan kebijaksanaan menyerupai filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan bisa memahami melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh lantaran filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari pamrih. Sebab itu sanggup dikatakan ahwa sumber kekuasaan ialah PENGETAHUAN yang dicapai melalui pendidikan.
Pemikiran Plato mengenai politik sanggup dilihat pada skema berikut:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia ialah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (makhluk politik), lantaran insan tidak sanggup berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa pemberian orang lain. Sebab itu, insan harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan demikian, kiprah negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan pembetukan suatu negara berjulukan POLITEIA (negara yang berkonstitusi). Pemimpin negara ialah orang yang andal dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanay duduk di 'menara gading.' Sumber kekuasaan dalam Politeia ialah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang supaya suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah. Artinya, bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama menyerupai organisme: Ia bisa berkembang dan mati.
Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik sanggup dilihat pada skema berikut ini:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi adonan yang merupakan aturan dasar kehidupan bernegara. Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara mudah diturunkan ke dalam bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan pilihan-pilihan gres bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke dalam bentuk konstitusi campuran.
B. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)
Santo Agustinus (13 Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) ialah negara yang jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya. Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan. Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan diaboli dianalogikan Agustinus menyerupai kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara sikap Habel mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Magnum opus Aquinas ialah "Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa negara ialah sama sekali sekuler. Negara ialah alamiah lantaran tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan insan yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan aturan Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselanggaranya keptingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhat untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang bisa menjamin stabilitas sehabis si penguasa tiran tersebut digulingkan."
Martin Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya ialah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan tanda-tanda takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther ialah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, lantaran bergotong-royong mereka pun insan biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Nasrani pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus supaya mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan kemudian dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga menyerupai gereja Katolik.
Secara umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum teokrasi (pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara sederhana, sanggup dirangkum ke dalam denah berikut:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
C. Tradisi Pencerahan (kembali ke kasus duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M).
Dalam magnum opus-nya "Il Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara ialah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya meliputi semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa ialah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum supaya si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat supaya terus berkuasa.
Thomas Hobbes (1588-1679 M).
Magnum opus-nya Thomas Hobbes ialah "Leviathan." Bagi Hobbes, insan ialah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), lantaran insan secara fundamental mempunyai naluri-naluri 'buas' di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara ialah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibuat negara guna membuat stabilitas dan kedamaian.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles lantaran memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak mungkin lantaran raja dituntun oleh aturan moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M)
Magnum opusnya John Locke "Two Treatises of Government." Menurut Locke, insan intinya ialah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya lantaran menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi.
Namun, negara yang dibuat harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu:
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat yang membuat undang-udang. Namun, "rakyat" yag diwakili tersebut ialah laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis.
Montesquieu (1689-1755 M).
Magnum opus dari Montesquieu ialah "The Spirit of the Laws." Buku ini terdiri atas 31 buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut:
Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU).
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M).
Magnum opus Rousseau ialah "The Social Contract." Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada seseorang atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di kehidupan publik. Masing-masing rakyat tiba ke pertemuan umum dan menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain.
Secara umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan sanggup dilihat pada denah berikut:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
D. Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya "The Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan otoriter yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling tepat ialah negara. Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara ialah bentuk tertinggi pengorganisasian insan dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang yang terakhir.
Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' hemat untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya sanggup dihentikan kalau negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.
John Stuart Mill
Magnum opusnya "On Liberty." Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara ialah membuat Greatest Happines for Greates Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip lebih banyak didominasi harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan.
Secara sederhana, pendekatan institusional sanggup dilihat pada skema berikut :

[Skema dikutip dari David E. Apter, Pengantar Analisa Politik (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245. ]
Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi ialah menyediakan Undang-Undang Dasar bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi tetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum. Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil. Negara federal ialah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan ialah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota tubuh ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Badan direktur sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melaksanakan pengawasan atas kinerja seluruh forum negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melaksanakan penafsiran atas konstitusi kalau terjadi persengketaan antara legislatif versus eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan ialah partai politik. Partai politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang bisa mempengaruhi keputusan politik tanpa ikut ambil pecahan dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibuat untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam menjalankan fungsinya, direktur ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laris politik individu. Behavioralisme menganggap individu insan sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, menyerupai pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari behavioralisme.
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme ialah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik kekerabatan antar kelompok bercorak top-down (mirip menyerupai Mills).
Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini ialah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat ketika itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum absurd lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme ialah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang bergotong-royong di Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang 'mendadak' kaya akhir revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai terkenal ketika muncul negara-negara gres pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara gres tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear membuat demokrasi, tetapi sanggup mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington, kalau partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul situasi disorder. Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan negara gres merdeka ialah memperkuat otoritas forum politik menyerupai partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Secara retorik, bahkan Iwan Fals pernah mempermasalahkanya: "Apakah selamanya politik itu kejam ...?" Memang pada masa pemerintahan Mao Tse-tung pernah diterapkan kebijakan Revolusi Kebudayaan. Dengan revolusi ini, setiap orang yang dicurigai berpikiran liberal (Amerika Serikat sentris) akan ditahan, diinterogasi, disiksa, bahkan dioper ke kamp-kamp kerja paksa untuk "membersihkan" otaknya. Hal ini menyerupai dengan di masa Orde Baru, di mana orang-orang yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia "dibuang" ke kamp-kamp "pembersihan otak" di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Kedua keputusan baik di Cina maupun Indonesia ialah bukti keputusan politik, dan itu terkesan kejam.
Definisi Politik
Namun, keputusan untuk menaikkan honor guru, menaikkan Upah Minimun Regional (UMR), atau kesempatan cuti haid bagi buruh perempuan dapatkah dikatakan kejam? Atau keputusan politik untuk menggratiskan biaya pendidikan di Brunei Darussalam atau Arab Saudi, masukkah ke dalam kategori yang sama ? Potret Indonesia
Berbicara mengenai politik, kita tidak berbicara mengenai kejam atau tidak. Berbicara mengenai politik berarti membicarakan sikap kita dalam hidup bermasyarakat. Khususnya, cara kita mengatasi sejumlah perbedaan yang ada di antara kita lewat pembuatan kebijakan (undang-undang) yang mengikat orang-orang sebagai suatu bangsa. "Cara" bergantung pada siapa yang menggunakan. Subyektivitas kita masing-masing-lah yang menyebut cara yang dilakukan si A atau si B, atau pemerintah A atau B tersebut sebagai "kejam" atau tidak "kejam", dan satu bidang tersendiri di ilmu politik membicarakan kasus itu: Etika Politik.
Dalam politik kita berbicara mengenai bagaimana masyarakat, di suatu wilayah, saling menegosiasikan kepentingan masing-masing, untuk kemudian melahirkan kesepakatan bagaimana kepentingan masing-masing tersebut sanggup terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Saat dimulainya, politik selalu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Tujuan awal politik tidaklah "kejam" menyerupai sering didengungkan orang.
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan hidupnya. Manakala insan mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain supaya mendapatkan pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK. Dengan demikian, kita sanggup dikatakan tengah berpolitik ketika mempengaruhi suami atau istri di rumah, bersaing dengan tetangga sebelah rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau berdebat dengan supir angkot bahwa ongkos yang ia terapkan terlampau mahal. Luas sekali pelajaran politik kalau demikian, bukan?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik ialah the constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan). Di sini disebutkan "kekuasaan" sosial bukan "kekuasaan pribadi." Dalam zaman kaisar-kaisar Romawi, raja-raja di pulau Jawa, seorang kaisar atau raja sanggup saja menimpakan suatu eksekusi mati pada seorang abdi atau rakyat lewat "kemauannya" sendiri. Rakyat luas tentu tidak sepakat dengan cara tersebut, tetapi tidak sanggup berbuat apa-apa. Mereka berdasarkan bukan lantaran setuju, tetapi lantaran takut.
Kekuasaan raja atau kaisar tersebut bukan kekuasaan sosial, tetapi kekuasaan pribadi. Hanya satu orang yang menyepakati cara penghukuman, bukan seluruh orang menyepakatinya. Sebaliknya, politik ialah kekuasaan sosial dan sebagai kekuasaan sosial ia harus disepakati banyak orang sebelum suatu cara diterapkan. Politik menghendaki negosiasi, dari perundingan gres dicapai kesepakatan. Dengan demikian, suatu kekuasaan politik ialah kekuasaan yang disepakati banyak orang, bukan hanya kemauan satu orang.
Ilmu Politik
Dengan luasnya cakupan, dapatkah politik dikatakan sebagai suatu ilmu layaknya ilmu Biologi, Fisika, atau Ekonomi ? Jawabannya ialah bisa. Namun, sebelumnya kita harus ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu.
Ilmu ialah "pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis, obyektif, dan umum." Metodis artinya memakai metode, cara, jalan yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu yang dibicarakan. Sistematis artinya masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga sanggup tersusun suatu pola pengetahuan yang rasional. Obyektif artinya kebenaran dari hasil pemikiran dari suatu bidang sanggup memperoleh bobot obyektif (sesuai kenyataan), tidak lagi bersifat subyektif (menurut pemikiran sendiri). Dan akhirnya, umum, artinya tingkat kebenaran yang mempunyai bobot obyektif tersebut sanggup berlaku umum, di mana saja dan kapan saja.
Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan ialah "apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui … tanpa memperhatikan obyek, cara, dan kegunaannya." Kita tahu bahwa sepeda beroda dua, insan hidup mengalir darah dalam tubuhnya, sinar matahari ialah panas, atau pemerintah menerapkan kebijakan wajib belajar. Namun, kita sekadar tahu tanpa mendalami apa itu, bagaimana darah mengalir, ke mana dan untuk apa ? Atau, bagaimana sepeda yang cuma beroda dua tersebut sanggup dikayuh seseorang dengan seimbang? Atau, bagaimana proses terjadinya keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar? Dengan kalimat lain, pengetahuan tidak berbicara mengenai aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu obyek. Pengetahuan relatif tercerai-berai sementara ilmu relatif tersusun secara teratur. Ilmu sanggup menambah pengetahuan, sementara pengetahuan disistematisasikan oleh ilmu.
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, berdasarkan Aristoteles) dalam hidupnya. Manakala insan mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain supaya mendapatkan pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK.[1]
Dengan demikian, kita sanggup dikatakan tengah berpolitik ketika bersaing dengan tetangga sebelah rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau supir angkot berdebat dengan oknum LLAJ bahwa pungli yang mereka lakukan sudah tidak bisa lagi ditoleransi. Luas sekali pelajaran politik kalau demikian, bukan ?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik ialah the constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan).[2] Kata “kekuasaan sosial” ditekankan untuk membedakannya dengan “kekuasaan individual.” Ini akhir politik berkenaan dengan pengaturan hidup suatu masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang mengesahkan sekelompok individu untuk mempunyai “kekuasaan sosial” yang aplikasinya “dapat dipaksakan” atas setiap individu untuk menjamin keteraturan di dalam masyarakat itu sendiri.
Agar lebih jelas, berikut kami sampaikan definisi politik dari Gabriel A. Almond, et.al., di mana mereka mendefinisikannya sebagai:
“ … the activities associated with the control of public decisions among a given people and in a given territory, where this control may be backed up by authoritative and coercive means. Politics refers to the use of these authoritative and coercive means---who gets to employ them and for what purposes.”[3]
[“ … kegiatan yang bekerjasama dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Politik mengacu pada penggunaan instrumen otoritatif dan koersif ini---siapa yang berhak menggunakannya dan dengan tujuan apa.”]
Definisi lain politik di masa modern juga dicatat oleh Hamid bahwa :
“ ... modern definition of politics, however, covers the government of the state and that of other human organizations, where “government” means organized authority and implies the institutions of leadership and authoritative allocation of values.”[4]
[ ... definisi politik di masa modern meliputi pemerintah suatu negara dan pula organisasi yang didirikan insan lainnya, di mana “pemerintah” ialah otoritas yang terorganisir dan menekankan pelembagaan kepemimpinan serta pengalokasian nilai secara otoritatif.”]
Kata otoritatif merupakan konsep yang ditekankan dalam kasus politik. Otoritatif ialah kewenangan yang absah, diakui oleh seluruh masyarakat yang ada di suatu wilayah untuk menyelenggarakan kekuasaan. Otoritas tersebut ada di suatu forum berjulukan “pemerintah”. Bukan suatu kekekuasaan politik kalau forum yang melaksanakannya tidak mempunyai otoritas. Pemerintah juga sanggup kehilangan otoritasnya tatkala mereka sudah tidak mempunyai kekuasaan atas masyarakatnya. Pemerintah-lah yang mengalokasikan nilai-nilai menyerupai kesejahteraan, keadilan, keamanan, kebudayaan, dan sejenisnya, ke tengah masyarakat. Dengan kekuasaan politik, pemerintah sanggup memaksakan tindakannya atas setiap individu.
Andrew Heywood sekurangnya mengajukan 4 perkiraan tatkala kata “politik” diucapkan. Keempat perkiraan ini sama-sama diyakini merupakan konteks situasi tatkala kata politik disebutkan kendati mempunyai obyek kajian yang berbeda. Keempat perkiraan tersebut ialah :[5]
1. Politik sebagai Seni Pemerintahan
Artinya, politik ialah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini ialah yang paling bau tanah dan telah berkembang semenjak masa Yunani Kuno.
2. Politik sebagai kekerabatan publik
Aristoteles dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa insan ialah hewan politik. Maknanya, secara kodrati insan hanya sanggup memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.” Kedua lingkup tersebut diperbesar menjadi State (kembangan publik) dan Civil Society (kembangan privat). Dalam “state” terletak institusi menyerupai pengadilan, abdnegara pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya, sementara dalam “civil society” terletak institusi menyerupai keluarga, kekerabatan, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub, komunitas, dan sejenisnya.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks kekerabatan “state-civil society” inilah perkiraan kedua politik diletakkan.
3. Politik sebagai kompromi dan konsensus
Sharing atau pembagian kekuasaan ialah perkiraan politik sebagai kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing memoderasi tuntutan supaya tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara bilamana kasus pergesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas “meja” bukan pertumpahan darah.
4. Politik sebagai kekuasaan
Kekuasaan ialah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti kehendaknya. Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk ialah kekuasaan sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu masyarakat. Dalam perkiraan ini, politik dilihat sebagai penggunaan “kapital” (yaitu kekuasaan) dalam konteks produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya tersebut.
Ontologi Ilmu Politik
Secara sederhana, ontologi ialah ilmu ihwal hakikat sesuatu atau benda/hal/aspek apa yang dikaji. Epistemologi ialah ilmu ihwal bagaimana "ontologi" itu dipelajari, dibangun. Aksiologi ialah untuk apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan aspek-aspek khas ilmu, apapun bentuknya.
Aspek ontologi ilmu ekonomi contohnya ialah barang dan jasa. Aspek ontologi ilmu sosial (sosiologi) ialah kekerabatan antarmanusia, dan aspek ontologi ilmu fisika ialah materi serta gas. Ontologi berarti obyek-obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu. Lalu, bagaimana dengan ilmu politik sendiri ?
Secara ontologis, politik juga mempunyai obyek-obyek kajian yang spesifik. Miriam Budiardjo menyebutkan sekurang-kurangnya ada 5 obyek ontologis ilmu politik, yaitu:
- Negara (state)
- Kekuasaan (power)
- Pengambilan keputusan (decision-making)
- Kebijaksanaan umum (public policy)
- Pembagian (distribution)
Negara ialah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan ialah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laris orang atau kelompok lain sesuai dengan harapan dari pelaku. Jika keputusan (decision) ialah membuat pilihan di antara beberapa alternatif, maka pengambilan keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi hingga keputusan itu dicapai. Kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam perjuangan menentukan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Sementara itu, nilai ialah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang berharga pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Pembagian ini sering tidak merata dan lantaran itu mengakibatkan konflik.
Epistemologi Ilmu Politik
Secara sederhana, Epistemologi berarti bagaimana suatu ilmu dibangun. Dalam membangun suatu ilmu, seseorang andal teori dibatasi oleh periode hidup serta hal-hal lain yang mempengaruhi pikirannya ketika membangun suatu ilmu. Sebagai contoh, pada era pertengahan, pelajaran mengenai tata surya dipengaruhi suatu kesimpulan umum bahwa matahari mengelilingi bumi. Artinya, pusat dari tata surya ialah bumi, bukan matahari. Namun, pendapat ini berubah tatkala Nicolaus Copernicus melontarkan pendapat bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya. Dengan demikian, pelajaran mengenai sistem tata surya pun berubah.
Dalam ilmu politik, epistemologi ilmu ini diterjemahkan ke dalam konsep PENDEKATAN. Arti dari pendekatan ialah dari sudut mana serta bagaimana seseorang melihat suatu permasalahan. Dalam mendidik anak, orang bau tanah biasanya mendekati lewat 3 pendekatan: Otoriter, Laissez Faire, dan Demokratis. Jika otoriter, orang bau tanah hanya mau dituruti pendapatnya oleh si anak, kalau Laissez Faire cenderung membebaskan/membiarkan, dan kalau demokratis akan menjak obrolan dua arah. Berdasarkan periode kelahirannya, maka ilmu politik sanggup dibagi ke dalam tiga pendekatan, yaitu:
- Pendekatan tradisional
- Pendekatan behavioral
- Pendekatan post-behavioral
Taksonomi dari perbedaan atas masing-masing pendekatan ialah sebagai berikut ini:

Ketiga pendekatan dalam ilmu politik memang dikategorisasi berdasarkan periode. Ketiga pendekatan tersebut bergotong-royong lebih tertuju kepada aspek historis perkembangan ilmu politik ketimbang memberi suatu klarifikasi yang lebih spesifik mengenai bagaimana kita menghampiri suatu fenomena politik.
Pendekatan tradisional muncul terlebih dahulu (sejak zaman Yunani Kuno) untuk kemudian secara berturut-turut, disusul dua pendekatan setelahnya. Para pemikir politik menyerupai Plato atau para andal politik menyerupai Montesquieu, Jean Jacques Rousseau atau John Stuart Mill mendekati permasalah politik dengan pendekatan tradisional. Pasca Perang Dunia Kedua, muncul pendekatan Behavioral yang coba memisahkan fakta dengan nilai dalam menganalisis permasalahan politik. Para teoretisi menyerupai David Easton, David E. Apter atau Gabriel A. Almond ialah contohnya. Saat pendekatan Behavioral dinilai tidak lagi "sensitif" di dalam menganalisa tanda-tanda politik, pada tahun 1960-an muncul pendekatan Postbehavioral. Teoretisi menyerupai Andre Gunder Frank, Cardoso, atau di Indonesia Arief Budiman (?) mencoba menganalisis tanda-tanda politik secara lebih komprehensif dengan memperhatikan karakteristik wilayah serta kepentingan apa yang bergotong-royong melandasi sebuah tindakan politik. Ketiga pendekatan ilmu politik ini tidak terpisah (terkotakkan) secara "zakelijk" (tepat/pasti) melainkan kadang tercampur satu sama lain.
Selain memakai pengkategorian atas tiga pendekatan di atas, pendekatan-pendekatan ilmu politik pun biasa dibagi ke dalam karakteristik atau ciri khas sudut pandang titik tolak pengamatan. masing-masing. Dengan demikian, pendekatan sanggup dianalogikan menyerupai 6 orang yang coba menganalisa suatu rumah. Rumah misalkan saja terdiri atas 6 buah aspek, yaitu : fundasi, dinding, atap, halaman, distribusi air, dan keindahan ruangan. Orang yang meneliti sebuah rumah dari sisi fundasi tentu berbeda cara dan kesimpulannya dari orang yang mengamati melalui perspektif atap. Demikian pula, orang yang andal sistem pengairan tidak sanggup menyimpulkan hasil penelitian melalui perspektif halaman. Demikian pula halnya dalam ilmu politik. Pendekatan satu dengan pendekatan lain berbeda baik dalam hal meneliti serta menyimpulkan sebuah tanda-tanda politik.
Di dalam ilmu politik ----sekurang-kurangnya berdasarkan David E. Apter---- terdapat 6 pendekatan dalam memahami fenomena politik. Keenam pendekatan tersebut mempunyai pendukung dan karakteristik khasnya masing-masing. Namun, sama menyerupai kasus rumah tadi, meskipun keenam perspektif tersebut berbeda, tetapi tetap menganalisa satu bidang yaitu rumah. Di dalam politik demikian pula halnya, keenam pendekatan ini sama-sama menganalisa satu bidang, yaitu fenomena politik. Pendekatan-pendekatan ini berdasarkan Apter terdiri atas Filsafat Politik, Institusionalisme, Behavioralisme, Pluralisme, Strukturalisme, dan Developmentalisme. Paparan berikutnya akan digunakan untuk merinci masing-masing pendekatan secara satu per satu.
Filsafat Politik
Filsafat politik ialah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif absurd lantaran berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung kasus moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
A. Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi instruksi yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang tepat akan tercapai kalau prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan ---menurut Plato--- ialah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil ialah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin masakan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja supaya barang-barang kebutuhan insan sanggup tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur supaya hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga dihentikan untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dihentikan berkeluarga, perempuan dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga 'disapih' semenjak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan kebijaksanaan menyerupai filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan bisa memahami melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh lantaran filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari pamrih. Sebab itu sanggup dikatakan ahwa sumber kekuasaan ialah PENGETAHUAN yang dicapai melalui pendidikan.
Pemikiran Plato mengenai politik sanggup dilihat pada skema berikut:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia ialah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (makhluk politik), lantaran insan tidak sanggup berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa pemberian orang lain. Sebab itu, insan harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan demikian, kiprah negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan pembetukan suatu negara berjulukan POLITEIA (negara yang berkonstitusi). Pemimpin negara ialah orang yang andal dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanay duduk di 'menara gading.' Sumber kekuasaan dalam Politeia ialah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang supaya suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah. Artinya, bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama menyerupai organisme: Ia bisa berkembang dan mati.
Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik sanggup dilihat pada skema berikut ini:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi adonan yang merupakan aturan dasar kehidupan bernegara. Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara mudah diturunkan ke dalam bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan pilihan-pilihan gres bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke dalam bentuk konstitusi campuran.
B. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)
Santo Agustinus (13 Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) ialah negara yang jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya. Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan. Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan diaboli dianalogikan Agustinus menyerupai kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara sikap Habel mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Magnum opus Aquinas ialah "Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa negara ialah sama sekali sekuler. Negara ialah alamiah lantaran tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan insan yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan aturan Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselanggaranya keptingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhat untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang bisa menjamin stabilitas sehabis si penguasa tiran tersebut digulingkan."
Martin Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya ialah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan tanda-tanda takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther ialah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, lantaran bergotong-royong mereka pun insan biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Nasrani pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus supaya mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan kemudian dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga menyerupai gereja Katolik.
Secara umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum teokrasi (pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara sederhana, sanggup dirangkum ke dalam denah berikut:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
C. Tradisi Pencerahan (kembali ke kasus duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M).
Dalam magnum opus-nya "Il Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara ialah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya meliputi semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa ialah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum supaya si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat supaya terus berkuasa.
Thomas Hobbes (1588-1679 M).
Magnum opus-nya Thomas Hobbes ialah "Leviathan." Bagi Hobbes, insan ialah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), lantaran insan secara fundamental mempunyai naluri-naluri 'buas' di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara ialah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibuat negara guna membuat stabilitas dan kedamaian.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles lantaran memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak mungkin lantaran raja dituntun oleh aturan moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M)
Magnum opusnya John Locke "Two Treatises of Government." Menurut Locke, insan intinya ialah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya lantaran menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi.
Namun, negara yang dibuat harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu:
- Legislatif (pembuat UU)
- Eksekutif (pelaksana UU)
- Federatif (hubungan dengan luar negeri) ---- sementara dipegang eksekutif.
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat yang membuat undang-udang. Namun, "rakyat" yag diwakili tersebut ialah laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis.
Montesquieu (1689-1755 M).
Magnum opus dari Montesquieu ialah "The Spirit of the Laws." Buku ini terdiri atas 31 buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut:
- hukum secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
- pengaturan militer dan pajak
- ketergantugan etika kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
- perekonomian.
- agama
- uraian ihwal aturan Romawi, Perancis, dan Feodalisme.
Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU).
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M).
Magnum opus Rousseau ialah "The Social Contract." Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada seseorang atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di kehidupan publik. Masing-masing rakyat tiba ke pertemuan umum dan menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain.
Secara umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan sanggup dilihat pada denah berikut:

[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
D. Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya "The Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan otoriter yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling tepat ialah negara. Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara ialah bentuk tertinggi pengorganisasian insan dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang yang terakhir.
Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' hemat untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya sanggup dihentikan kalau negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.
John Stuart Mill
Magnum opusnya "On Liberty." Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara ialah membuat Greatest Happines for Greates Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip lebih banyak didominasi harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan.
Secara sederhana, pendekatan institusional sanggup dilihat pada skema berikut :

[Skema dikutip dari David E. Apter, Pengantar Analisa Politik (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245. ]
Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi ialah menyediakan Undang-Undang Dasar bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi tetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum. Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil. Negara federal ialah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan ialah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota tubuh ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Badan direktur sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melaksanakan pengawasan atas kinerja seluruh forum negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melaksanakan penafsiran atas konstitusi kalau terjadi persengketaan antara legislatif versus eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan ialah partai politik. Partai politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang bisa mempengaruhi keputusan politik tanpa ikut ambil pecahan dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibuat untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam menjalankan fungsinya, direktur ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laris politik individu. Behavioralisme menganggap individu insan sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, menyerupai pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari behavioralisme.
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme ialah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik kekerabatan antar kelompok bercorak top-down (mirip menyerupai Mills).
Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini ialah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat ketika itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum absurd lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme ialah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang bergotong-royong di Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang 'mendadak' kaya akhir revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai terkenal ketika muncul negara-negara gres pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara gres tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear membuat demokrasi, tetapi sanggup mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington, kalau partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul situasi disorder. Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan negara gres merdeka ialah memperkuat otoritas forum politik menyerupai partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara gres tidak mereka sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja miskin. Penelitian jenis gres ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya dalam buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Bagi Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara 'dunia ketiga' ialah akhir : modal asing, sikap pemerintah lokal yang korup, dan kaum borjuis negara satelit yang 'manja' pada pemerintahnya. Frank menyarankan supaya negara-negara 'dunia ketiga' tetapkan seluruh kekerabatan dengan negara maju (Barat).
Aksiologi Ilmu Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu ekonomi pada bagaimana seseorang sanggup makmur secara material atau ilmu militer pada penciptaan prajurit-prajurit yang sanggup menjamin keamanan negara. Ketiganya ialah aksiologi. Aksiologi ialah guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan nantinya.
Aksiologi ilmu politik ialah untuk memberi "jalan atau cara" yang lebih baik dalam hal perundingan kepentingan antar kelompok dalam masyarakat. Ilmu politik (menurut Aristoteles) bertujuan untuk "membahagiakan hidup manusia" yang tinggal dalam suatu wilayah yang sama. Secara khusus, bagi seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, ilmu politik dibutuhkan akan memberi wawasan gres bahwa dalam kerja keseharian, sebagai administratur negara ia berada dalam suatu daerah yang berjulukan negara. Ia terikat oleh aturan-aturan (legislasi) yang dibuat pemerintah (DPR dan Eksekutif). Bagi seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Niaga, berguru politik dibutuhkan akan memberi wawasan bahwa kelompok-kelompok ekonomi amat terpengaruh oleh sebuah keputusan politik, dan sebaliknya, suatu kondisi ekonomi akan memberi pengaruh-pengaruh tertentu atas kehidupan politik.
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
Ilmu politik tidak benar-benar bersifat independen (berdiri secara bebas). Ilmu politik juga dipengaruhi oleh ilmu lain. Pengaruh ini sanggup dilihat dari konsep-konsep (gagasan) dari ilmu-ilmu lain tersebut yang digunakan dalam studi politik. Di bawah ini hanya akan diajukan pola efek dari ilmu sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat, antropoloogi, teologi (ilmu ketuhanan) dan ilmu jurnalistik serta para praktisi politik:

Meskipun dipinjam, konsep-konsep tersebut di atas telah terinternalisasi dengan baik sehingga menjadi konsep-konsep mapan di dalam ilmu politik. Beberapa konsep dari yag disebut di atas akan kembali kita temui dalam materi-materi Pengantar Ilmu Politik selanjutnya.
Sub-sub Disiplin Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan ilmu politik, yaitu:
---------------------------------------
Referensi
tags:
pengertian ilmu politik dan pendekatan-pendekatan ilmu politik konsep dasar ilmu politik definisi politik ilmu politik pendekatan filsafat politik cabang politik karir politik machiavelli luther marx mill hegel pengertian politik, konsep ilmu politik, pengertian negara, pengertian kekuasaan, paradigma ilmu politik, pendekatan dalam ilmu politik, pendekatan filsafat politik, konsep politik aristoteles, konsep politik karl marx, konsep politik john locke, konsep dasar ilmu politik, pendekatan behavioral politik, kekuasaan berdasarkan aristoteles, seta basri, stia sandikta, mata kuliah pengantar ilmu politik konsep dasar ilmu politik definisi politik ilmu politik pendekatan filsafat politik cabang politik karir politik
Aksiologi Ilmu Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu ekonomi pada bagaimana seseorang sanggup makmur secara material atau ilmu militer pada penciptaan prajurit-prajurit yang sanggup menjamin keamanan negara. Ketiganya ialah aksiologi. Aksiologi ialah guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan nantinya.
Aksiologi ilmu politik ialah untuk memberi "jalan atau cara" yang lebih baik dalam hal perundingan kepentingan antar kelompok dalam masyarakat. Ilmu politik (menurut Aristoteles) bertujuan untuk "membahagiakan hidup manusia" yang tinggal dalam suatu wilayah yang sama. Secara khusus, bagi seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, ilmu politik dibutuhkan akan memberi wawasan gres bahwa dalam kerja keseharian, sebagai administratur negara ia berada dalam suatu daerah yang berjulukan negara. Ia terikat oleh aturan-aturan (legislasi) yang dibuat pemerintah (DPR dan Eksekutif). Bagi seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Niaga, berguru politik dibutuhkan akan memberi wawasan bahwa kelompok-kelompok ekonomi amat terpengaruh oleh sebuah keputusan politik, dan sebaliknya, suatu kondisi ekonomi akan memberi pengaruh-pengaruh tertentu atas kehidupan politik.
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
Ilmu politik tidak benar-benar bersifat independen (berdiri secara bebas). Ilmu politik juga dipengaruhi oleh ilmu lain. Pengaruh ini sanggup dilihat dari konsep-konsep (gagasan) dari ilmu-ilmu lain tersebut yang digunakan dalam studi politik. Di bawah ini hanya akan diajukan pola efek dari ilmu sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat, antropoloogi, teologi (ilmu ketuhanan) dan ilmu jurnalistik serta para praktisi politik:

Meskipun dipinjam, konsep-konsep tersebut di atas telah terinternalisasi dengan baik sehingga menjadi konsep-konsep mapan di dalam ilmu politik. Beberapa konsep dari yag disebut di atas akan kembali kita temui dalam materi-materi Pengantar Ilmu Politik selanjutnya.
Sub-sub Disiplin Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan ilmu politik, yaitu:
- Ilmu Politik (Political Science). Bidang ini membahas bagaimana politik sanggup dianggap sebagai bidang ilmu tersendiri, sejarah ilmu politik, dan kekerabatan ilmu politik dengan ilmu-ilmu sosial lain.
- Lembaga-lembaga Politik. Bidang ini mempelajari lembaga-lembaga politik formal yang mencakup: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dewan legislatif, struktur pemerintahan, otoritas sentral, sistem peradilan, pemerintahan lokal, pelayanan sipil, serta angkatan bersenjata.
- Tingkah Laku Politik. Bidang ini mempelajari tingkah laris politik bukan hanya bintang film dan forum politik formal, tetapi juga bintang film dan forum politik informal. Misalnya mempelajari sikap pemilih dalam 'mencoblos' suatu partai dalam Pemilu, bagaimana sosialisasi politik yang dilakukan dalam suatu sekolah, bagaimana seorang atau sekelompok kuli panggul memandang presiden di negara mereka.
- Politik Perbandingan. Politik perbandingan ialah suatu subdisiplin ilmu politik yang mempelajari: (a) Perbandingan sistematis antarnegara, dengan maksud untuk mengidentifikasi serta menjelaskan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan yang ada di antara negara yang diperbandingkan, dan (b) Suatu metode riset soal bagaimana membangun suatu standar, aturan, dan bagaiana melaksanakan analisis atas perbandingan yang dilakukan.
- Hubungan Internasional. Bidang ini mempelajari politik internasional, politik luar negeri, aturan internasional, konflik internasional, serta organisasi-organisasi internasional. Singkatnya, segala acara politik yang melampaui batas yuridiksi wilayah satu atau lebih negara.
- Teori Politik. Bidang ini secara khusus membahas pembangunan konsep-konsep gres dalam ilmu politik. Misalnya mengaplikasikan peminjaman konsep-konsep dari ilmu sosial lain guna diterapkan dalam ilmu politik. Konsep-konsep yang dibangun oleh subdisiplin Teori Politik nantinya digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena politik yang ada. Misalnya, ketika ini ilmu politik telah mengaplikasi suatu teori gres yaitu FEMINISM THEORY. Teori ini digunakan untuk menjelaskan fenomena maraknya gerakan-gerakan perempuan di hampir seluruh belahan dunia. Atau, untuk menjelaskan politik "menutup" diri Jepang dan Amerika Serikat (sebelum Perang Duia I), diterapkan teori ISOLASIONISME (pinjaman dari bahasa jurnalistik).
- Administrasi dan Kebijakan Publik. Subdisiplin ini mempelajari rangkuman acara pemerintah, baik secara pribadi atau tidak pribadi (melalui agen), di mana acara ini mempengaruhi kehidupan warganegara.
- Ekonomi Politik. Sub disiplin ini menekankan pada sikap ekonomi dalam proses politik serta sikap politik dalam pasar (marketplace).
- Metodologi Politik. Subdisiplin ini khusus mempelajari paradigma (metodologi) serta metode-metode penelitian yang diterapkan dalam ilmu politik. Apakah pendekatan kualitatif atau kuantitatif yang akan digunakan dalam suatu penelitian, masuk ke dalam subdisiplin ini. Demikian pula aneka ragam uji statistik (dalam tradisi behavioral analysis) yang digunakan untuk menganalisis data.
---------------------------------------
Referensi
- Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
- Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
- Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today: A World View, Eigth Edition, (Delhi: Dorling Kindersley Publishing, Inc., 2004) p. 2.
- Eltigani Abdelgadir Hamid, The Alquran and Politics : A Study of the Origins of Political Thought in the Makkan Verses (London: The International Institute of Islamic Thought, 2004) p. 2
- Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2002) p.7-12.
- Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
- Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
- Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today: A World View, Eigth Edition, (Delhi : Dorling Kindersley Publishing, Inc., 2004) p. 2.
- Eltigani Abdelgadir Hamid, The Alquran and Politics: A Study of the Origins of Political Thought in the Makkan Verses (London : The International Institute of Islamic Thought, 2004) p. 2
- Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2002) p.7-12.
- Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
- Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
- Richard Bellamy and Andrew Mason, eds., Political Concepts, (Manchester: Manchester University Press, 2003).
- Ibid., p.2.
- Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
- Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
- J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001). Skema pemikiran politik Plato, Aristoteles, Abad Pertengahan dan Abad Pencerahan mengacu pada sumber ini.
- Mogens Herman Hansen, POLIS: An Introduction to the Greek City-States (New York : Oxford University Press, 2006) p.110-1.
- Aristoteles ini juga merupakah guru filsafat, kebijakan, dan politik bagi Alexander the Great atau Iskandar Agung, penakluk dari Macedonia yang amat menghormati kebudayaan dan kebiasan yang berlaku di masyarakat wilayah taklukannya. Banyak penduduk wilayah taklukan Iskandar yang lebih menentukan untuk dipimpin olehnya tinimbang penguasa orisinil mereka.
- Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001).
- Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968), p.194-207. Bahasan yang cukup terkenal (berupa kisah gambar) sanggup dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan berdasarkan Niccolo Machiavelli : Il Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
- David Robertson, The Routledge Dictionary of Politics, Third Edition (New York: Routledge, 2002) p.292.
- David Robertson, The Routledge ..., op.cit. p. 225.
- Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
- David Robertson, The Routledge ..., op.cit., p. 313.
- David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
- Mark C. Miller, “NeoInstitutionalisme” dalam John T. Ishiyama and Marijke Breuning, eds., 21st Century Political Science : A Reference Handbook (California : Sage Publications, Inc., 2011) pp. 22-8.
- S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102.
- David E. Apter, Pengantar ..., op.cit., h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p.358.
- Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions., (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
- Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., , p.358.
- Ibid.
- Samuel P. Huntington. Political Order in Changing Societies. (New Haven: Yale University Press, 1968. ) p.5.
- Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p..290-1.
- Mark Rowth, Great Jobs for Political Science Majors, 2nd Edition (New York : McGraw-Hill, 2003).
- I.J.G. Fergusson, Fergusson’s Career in Focus: Politics (New York: Fact on File, 2005).
- Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, Handbook ..., op.cit. p.103.
- Bidang-bidang ini merujuk pada ibid., Seluruh bab.
tags:
pengertian ilmu politik dan pendekatan-pendekatan ilmu politik konsep dasar ilmu politik definisi politik ilmu politik pendekatan filsafat politik cabang politik karir politik machiavelli luther marx mill hegel pengertian politik, konsep ilmu politik, pengertian negara, pengertian kekuasaan, paradigma ilmu politik, pendekatan dalam ilmu politik, pendekatan filsafat politik, konsep politik aristoteles, konsep politik karl marx, konsep politik john locke, konsep dasar ilmu politik, pendekatan behavioral politik, kekuasaan berdasarkan aristoteles, seta basri, stia sandikta, mata kuliah pengantar ilmu politik konsep dasar ilmu politik definisi politik ilmu politik pendekatan filsafat politik cabang politik karir politik
0 Response to "Pengertian Ilmu Politik Dan Pendekatan-Pendekatan Dalam Ilmu Politik"
Posting Komentar