Pemilihan umum ialah proses substansial dalam penyegaran suatu pemerintahan. Andrew Reynolds menyatakan bahwa Pemilihan Umum ialah metode yang di dalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan negara.
Pemilihan umum diikuti oleh partai-partai politik. Partai-partai politik mewakili kepentingan spesifik warganegara. Kepentingan-kepentingan menyerupai nilai-nilai agama, keadilan, kesejahteraan, nasionalisme, antikorupsi, dan sejenisnya kerap dibawakan partai politik tatkala mereka berkampanye. Sebab itu, sistem pemilihan umum yang baik ialah sistem yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda di tingkat masyarakat, biar terwakili dalam proses pembuatan kebijakan negara di parlemen. Potret Indonesia
Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum ialah “…. segala proses yang bekerjasama dengan hak pilih, manajemen pemilihan dan sikap pemilih." Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum ialah “… cara dengan mana pemilih sanggup mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana bunyi tersebut ditransformasikan menjadi dingklik di parlemen atau pejabat publik."
Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of Technology. Menurut mereka, yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum ialah “… menerjemahkan bunyi yang diberikan dikala Pemilu menjadi sejumlah dingklik yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menimbulkan sistem pemilihan umum sebagai forum penting dalam demokrasi perwakilan."
Melalui dua definisi sistem pemilihan umum yang ada, sanggup ditarik konsep-konsep dasar sistem pemilihan umum seperti:
Pertimbangan Sistem Pemilihan Umum
Namun, apapun dasar pertimbangannya, sistem pemilihan umum yang ditetapkan harus memperhatikan serangkaian kondisi. Kondisi ini yang membimbing pemerintah dan partai politik guna memutuskan sistem pemilihan umum yang akan dipakai. Donald L. Horowitz menyatakan pemilihan sistem pemilihan umum harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
Pertimbangan yang diberikan Horowitz menekankan pada aspek hasil dari suatu pemilihan umum. Hal yang menarik adalah, sistem pemilu yang baik bisa membuat koalisi antaretnis dan antaragama serta minoritas sanggup duduk di jabatan publik. Ini sangat penting di negara-negara multi etnis dan multi agama. Terkadang, minoritas agak terabaikan dan konflik antaretnis/antaragama muncul. Dengan sistem pemilu yang baik, kondisi ini sanggup diredam menjadi kesepakatan antarpimpinan politik di tingkat parlemen. Konflik, alasannya ialah itu, dibatasi hanya di tingkat parlemen biar tidak menyebar di tingkat horizontal (masyarakat).
Pertimbangan lain dalam menentukan sistem pemilihan umum juga diajukan Andrew Reynold, et.al. Menurut mereka, hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam menentukan sistem pemilihan umum adalah:
Pertimbangan pemilihan jenis sistem pemilu, baik dari Donald L. Horowitz maupun Andrew Reynolds, et.al. hanya sanggup terjadi di suatu negara yang demokratis. Artinya, pertimbangan sistem pemilu didasarkan pada seberapa besar bunyi warganegara terwakili di parlemen, sehingga kebijakan negara yang dibentuk benar-benar ditujukan untuk itu. Di negara dengan sistem politik Otoritarian Kontemporer, Kediktatoran Militer, dan Komunis, pertimbangan-pertimbangan di atas bukanlah prioritas atau bahkan Pemilu itu sendiri tidak ada.
Jenis Sistem Pemilu
Mayoritas/Pluralitas berarti pementingan pada bunyi terbanyak (Mayoritas) dan mayoritas tersebut berasal dari aneka kekuatan (Pluralitas). Ragam dari Mayoritas/Pluralitas ialah First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote.
First Past The Post - Sistem ini ditujukan demi mendekatkan kekerabatan antara calon legislatif dengan pemilih. Kedekatan ini akhir kawasan pemilihan yang relatif kecil (distrik). Sebab itu, First Past The Post kerap disebut sistem pemilu distrik. Wilayah distrik kira-kira sama dengan satu kota (misalnya: Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, dan sejenisnya). Kecilnya wilayah yang diwakili, membuat warga kota mengenal siapa calon legislatifnya. Jika sang calon legislatif menang pemilu, maka warga kota gampang melihat kinerjanya.
Mayoritas/Pluralitas menghendaki sistem kepartaian yang relatif kecil, contohnya 2 partai. Dengan sistem 2 partai, masing-masing distrik diwakili oleh 2 calon yang berbeda partai di mana mereka berkompetisi. Distrik tersebut nantinya hanya diwakili oleh 1 wakil. Proses penghitungan bunyi pun mudah: Partai terbanyak otomatis memenangkan pemilu. Kekurangannya, bunyi pihak yang kalah terbuang begitu saja. Negara dengan sistem multipartai menolak pemberlakuan sistem ini oleh alasannya ialah bunyi yang kalah terbuang tersebut. Kelemahan lain sistem ini, membuat bunyi kelompok atau partai kecil menjadi tidak berarti.
Kelebihan First Past The Post ialah sanggup mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, cenderung menghasilkan pemerintahan besar lengan berkuasa dari satu partai, mendorong munculnya oposisi, memungkinkan hadirnya kandidat independen, dan sistem ini cukup sederhana serta gampang dimengeri pemilih. Kelemahan First Past The Post ialah banyak bunyi terbuang, menghalangi perkembangan multipartai yang plural, dan mendorong tumbuhnya partai etnis/kesukuan.
Block Vote – Sistem ini ialah penerapan pluralitas bunyi dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak bunyi sebanding dengan dingklik yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas menentukan calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri.
BV biasa digunakan di negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. Tahun 2004, Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland, Guernsey, Kuwait, Laos, Libanon, Maldives, Palestina, Suriah, Tonga, dan Tuvalu menggunakan sistem pemilu ini. Sistem ini juga pernah digunakan di Yordania (1989) Mongolia (1992), dan Filipina serta Thailand sampai tahun 1997.
Kelebihan sistem ini adalah, memperlihatkan keleluasaan bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Sistem ini juga menguntungkan partai-partai yang punya basis koherensi anggota dan organisasi yang kuat. Kekurangannya adalah, sistem ini bisa memperlihatkan hasil yang sulit diprediksi. Misalnya, dikala pemilih memperlihatkan semua bunyi kepada semua calon dari satu partai yang sama, maka ini membuat kelemahan FPTP tampak: Partai atau kepentingan selain partai tersebut menjadi terabaikan. Selain itu, oleh alasannya ialah setiap partai boleh mencalonkan lebih dari 1 calon, maka terdapat kompetisi internal partai dari masing-masing calon untuk memperoleh proteksi pemilih.
Party Block Vote. Esensi Party Block Vote sama dengan FPTP, bedanya setiap distrik partai punya lebih dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif dalam surat suara. Pemilih Cuma punya 1 suara. Partai yang punya bunyi terbanyak di distrik tersebut, memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di surat bunyi otomatis terpilih pula. Sistem ini digunakan di Kamerun, Chad, Jibouti, dan Singapura.
Kelebihan Party Block Vote ialah : Praktis digunakan, menghendaki partai yang kuat, dan memungkinkan partai-partai menentukan caleg yang merepresentasikan kalangan minoritas. Kelemahan dari Party Block Vote adalah: Banyak bunyi yang terbuang dan kemungkinan adanya sejumlah kelompok minoritas yang sama sekali tidak punyak wakil di parlemen.
Alternate Vote. Alternate Vote (AV) sama dengan First Past The Post (FPTP) alasannya ialah dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam AV pemilih melaksanakan ranking terhadap calon-calon yang ada di surat bunyi (ballot). Misalnya rangkin 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketida, dan seterusnya. AV alasannya ialah itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada, ketimbang Cuma menentukan 1 saja menyerupai di FPTP.
Kelebihan AV ialah memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi, sampai kepentingan yang berbeda tapi bekerjasama sanggup dikombinasi guna memperoleh perwakilan. AV juga memungkinkan pendukung tiap calon yang tipis impian menangnya untuk tetap punya imbas lewat rankin ke-2 dan seterusnya. Sebab itu, AV menghendaki tiap kandidat harus bisa menarik simpati pemilih dari luar partainya. Pemilih dari luar partainya ialah pemilih potensial, yang akan menaruh si calon di ranking ke-2 dan seterusnya. Kelemahan AV adalah, ia menghendaki tingkat baca-tulis aksara dan angka yang tinggi di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.
Two Round System – Two Round System (TRS) ialah sistem mayoritas/pluralitas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jikalau pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh bunyi mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama dengan FPTP (satu distrik satu wakil) atau menyerupai BV/PBV (satu distrik banyak wakil). Dalam TRS, calon atau partai yang mendapatkan proporsi bunyi tertentu memenangkan pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jikalau bunyi yang diperoleh pemenang tidak mayoritas.
Jika diadakan putaran kedua, maka sistem TRS ini bervariasi. Sistem yang umum adalah, mereka yang ikut serta ialah calon-calon dengan bunyi terbanyak pertama dan kedua putaran pertama. Ini disebut majority run-off, dan akan menghasilkan bunyi mayoritas bundar (50%+1). Sistem lainnya diterapkan di Perancis, di mana dalam putaran kedua, calon yang boleh ikut ialah yang memperoleh lebih dari 12,5% bunyi di putaran pertama. Siapapun yang memenangkan bunyi terbanyak di putaran kedua, ia menang, meskipun tidak 50% + 1 (mayoritas). Negara-negara yang menggunakan Two Round System ialah Perancis, Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti, Iran, Kiribati, Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Kelebihan Two Round System adalah: Memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi calon yang dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya; Memungkinkan kepentingan yang bermacam-macam berkumpul di kandidat yang masuk ke putaran kedua pemilu. Kekurangannya ialah : Membuat penyelenggara Pemilu (panitia) bekerja ekstra keras jikalau ada putaran kedua, membuat dana pemilu membengkak; TRS juga dicurigai membuat fragmentasi antar partai-partai politik.
Dasar anutan Proporsional ialah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran bunyi pemilih bagi setiap partai berdasarkan proporsi dingklik yang ada di legislatif. Sistem pemilu Proporsional terbagi 2, yaitu Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote (STV). Sistem Proporsional paling banyak digunakan, yaitu 72 negara (Proporsional Daftar) dan 4 negara (Single Transferred Vote). Proporsional membutuhkan satu distrik lebih dari satu member.
Proporsional dipilih oleh alasannya ialah punya kelebihan:
Ada kelebihan, tentu ada kekurangan. Kekurangan dari sistem Proporsional ialah sebagai berikut:
Beberapa sistem pemilu yang masuk kategori Proporsional adalah:
Setelah total bunyi yang memperoleh rangking pertama dihitung, perhitungan dilanjutkan dengan membuat kuota yang diharapkan bagi seorang calon. Kuota yang digunakan umumnya kuota Droop, dengan rumus :
Setelah perhitungan selesai, jikalau tidak ada calon yang punya kelebihan bunyi lebih dari kuota, calon dengan total bunyi terandah tersingkir. Suara mereka diredistribusika ke perhitungan selanjutnya dari para calon yang masih bersaing untuk rangking kedua dan seterusnya. Perhitungan diteruskan sampai seluruh dingklik di distrik ditempati pemenang yang mendapatkan kuota atau jumlah calon yang tersisa dalam proses perhitungan tinggal satu atau lebih dari jumlah dingklik yang nantinya diduduki.
Kelebihan Single Transferable Vote sama dengan Proporsional secara umum, alasannya ialah memungkinkan pilihan dibentuk baik antarpartai maupun antarcalon dalam satu partai. Kelemahan dari STV ialah rumitnya proses perhitungan serta membutuhkan tingkat kenal aksara dan angka yang tinggi dari para pemilih. Sistem ini juga memancing fragmentasi di dalam internal partai poitik oleh alasannya ialah calon-calon dari partai yang sama saling bersaing satu sama lain.
Sistem Campuran/Mixed System
Sistem Campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang berasal dari Mayoritas/Pluralitas ataupun Proporsional. Dalam sistem campuran, terdapat 2 sistem pemilu yang jalan beriringan, meski masing-masing menggunakan metodenya sendiri. Suara diberikan oleh pemilih yang sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah kedua sistem tersebut. Satu menggunakan sistem Mayoritas/Pluralitas (atau biasanya sistem Lainnya/Other), biasanya berupa satu distrik satu wakil, dan lainnya ialah Proporsional Daftar.
Terdapat 2 bentuk Sistem Campuran yaitu Mixed Member Proportional (MMP) dan Paralel. Jika hasil dari dua sistem pemilihan dihubungkan, dengan alokasi dingklik di sisi sistem Proporsional bergantung pada apa yang terjadi di sistem Mayoritas/Pluralitas, sistem tersebut dinamai Mixed Member Proportional (MMP). Jika 2 perangkat sistem pemilihan tiada bekerjasama dan dibedakan, dan satu sama lain tiada saling bergantung, maka sistem tersebut dinamai Paralel.
Mixed Member Proportional – Di bawah sistem MMP, dingklik sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. Contohnya, jikalau satu partai memenangkan 10% bunyi secara nasional, tetapi tidak memperoleh dingklik di distrik/daerah, kemudian partai itu akan dianugrahkan dingklik yang cukup dari daftar Proporsional guna membuat partai tersebut punya 10% dingklik di legislatif. Pemilih mungkin punya 2 pilihan terpisah, sebagaimana di Jerman dan Selandia Baru. Alternatifnya, pemilih mungkin membuat hanya 1 pilihan, dengan total partai diturunkan dari total calon tiap distrik.
MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela. Di negara-negara ini, dingklik distrik dipilih menggunakan FPTP. Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi: seperempat dingklik di majelis rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan bunyi terbuang di distrik-distrik dengan satu wakil.
Meskipun MMP didesain untuk hasil yang lebih proporsional, ialah mungkin terjadi ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga dingklik yang terdaftar tidak cukup untuk mengkompensasikannya.
Paralel – Sistem Paralel secara berbarengan menggunakan sistem Proporsional dan Mayoritas/Puluralitas, tetapi tidak menyerupai MMP, komponen Proporsional tidak mengkompensasikan sisa bunyi bagi distrik yang menggunakan Mayoritas/Pluralitas. Pada sistem Paralel, menyerupai juga pada MMP, setiap pemilih mungkin mendapatkan hanya satu surat bunyi yang digunakan untuk menentukan calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat bunyi terpisah, satu untuk dingklik Mayoritas/Pluralitas dan satunya untuk dingklik Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand).
Sistem paralel sekarang digunakan 21 negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Russia, Eychelles, Thailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan FPTP satu distrik satu wakil bersama dengan komponen Proporsional Daftar, sementara Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikista menggunakan Two Round System untuk distrik satu wakil untuk sistemnya.
Kelebihan Sistem Paralel adalah, dalam hal ketidakproporsionalan, sistem ini memperlihatkan hasil antara Mayoritas/Pluralitas murni dan Proporsional murni. Satu manfaatnya adalah, tatkala cukup dingklik Proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di pemilihan Mayoritas/Pluralitas tetap dianugerahi dingklik melalui sistem Proporsional atas setiap bunyi yang diperoleh. Sebagai tambahan, sistem Paralel secara teoretis, kurang membuat fragmentasi partai ketimbang sistem pemilihan murni Proporsional. Kelemahan sistem Paralel adalah, sebagaimana terjadi dengan MMP, akan membuat dua kategori wakil rakyat. Juga, sistem ini tidak menjamin keproporsionalan, dan sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun memenangkan jumlah bunyi secara substansial. Sistem Paralel juga relatif rumit dan membuat pemilih resah sebagaimanan ini juga menimpa para panitianya.
Sistem Lainnya/Other System
Sebagai komplemen bagi Mayoritas/Pluralitas, Proporsional, dan Sistem Campuran, ialah pula terdapat sejumlah sistem lain yang tidak termasuk ke dalam kategori ini. Diantaranya ialah Single Non Transferable Vote (SNTV), Limited Vote (LV) dan Borda Count (BC). Sistem-sistem ini masuk kategori Lainnya, dan cenderung menerjemahkan perhitungan bunyi menjadi dingklik dengan cara yang berkisar pada sistem Proporsional dan Mayoritas/Pluralitas.
Single Non Transferable Vote – Di dalam SNTV, setiap pemilih mempunyai satu bunyi bagi tiap calon, tetapi (tidak menyerupai FPTP) ialah lebih dari satu dingklik yang harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan total bunyi tertinggi mengisi posisi.
SNTV menantang partai politik. Contohnya, distrik dengan 4 wakil, kandidat dengan 20% bunyi dijamin memenangkan kursi. Sebuah partai dengan 50% bunyi sanggup berharap memenangkan 2 dingklik di distrik dengan 4 wakil. Jika tiap kandidat mengumpulkan 25% suara, mereka masuk sebagai wakil distrik. Jika, bagaimanapun, satu kandidat mengumpulkan 40% bunyi dan kandidat lain 10%, kandidat kedua tersebut kemungkinan tidak terpilih. Jika partai mencantumkan 3 kandidat, ancaman “vote-splitting” akan terjadi dan partai Cuma memperoleh 2 dingklik saja.
Kini, SNTV digunakan di untuk pemilihan parlemen di Afghanista, Yordania, Kepulauan Pitcairn dan Vanuatu, untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia dan Thailand, serta 176 dari 225 dingklik di Taiwan yang menggunakan sistem Paralel.
Kelebihan SNTV ialah kemampuannya memfasilitasi perwakilan partai minoritas dan calon independen. Semakin besar jumlah kursi, semakin sistem ini menjadi proporsional. Di Yordania, SNTV memungkinkan kandidat non partai yang terkenal untuk terpilih. Sistem ini menimbulkan partai terorganisir dan menyuruh pemilih memperlihatkan suaranya kepada partai lain yang lebih berpotensi memenangkan bunyi dan ujungnya, membuat satu partai dominan. Selain itu, SNTV dinyatakan sebagai gampang digunakan.
Kelemahan SNTV adalah, partai kecil yang suaranya tersebar mungkin saja tidak akan memenangkan kursi, dan partai besar mendapatkan sejumlah dingklik “bonus” yang membuat pluralitas pemberi bunyi secara nasional menjelma mayoritas di legislatif. Meskipun keproporsionalan sistem ini sanggup meningkat dengan cara menambah jumlah dingklik yang harus diisi di dalam distrik-distrik lebih dari 1 wakil, ini memperlemah pemilih. Kelemahan lain adalah, partai perlu mempertimbangkan taktik yang rumit seputar manajemen nominasi calon dan pemberian suara.
Limited Vote – Limited Vote (LV) menyerupai SNTV, ialah sistem Mayoritas/Pluralitas yang digunakan untuk distrik-distrik dengan lebih dari satu wakil. Tidak menyerupai SNTV, pemilih punya lebih dari satu suara. Perhitungan identik dengan SNTV, dimana kandidat dengan total bunyi tertinggi memenangkan kursi.
Sistem ini digunakan bagi pemilihan tingkat lokal yang beragam, tetapi aplikasinya di tingkat nasional terbatas menyerupai di Gibraltas dan Spanyol, di mana ia digunakan untuk menentukan Senat Spanyol semenjak 1977. Dalam perkara ini, sistem distrik dengan lebih dari satu wakil, setiap pemilih punya satu suara, kurang dari jumlah wakil rakyat yang nantinya dipilih.
Kelebihan sistem ini, menyerupai SNTV, LV ialah gampang bagi para pemilih dan relatif gampang dihitung. Kelemahannya, ia cenderung menghasilkan hasil yang kurang proporsional ketimbang SNTV. Selain itu, ia juga berakibat pada kompetisi internal partai, klientelisme dalam politik (sama dengan SNTV).
Borda Count - Borda Count ialah sistem yang digunakan di Nauru (sebuah negara di Pasifik). Sistem ini ialah sistem pemilihan preferensi dimana pemilih merangking kandidat menyerupai pada Altenative Vote. Ia sanggup digunakan pada distrik dengan satu atau lebih wakil. Hanya satu yang dipilih, tidak ada eliminasi. Rangking pertama diberi nilai 1, ranking kedua diberi nilai ½ , rangkin ketiga diberi nilai 1/3 dan seterusnya. Kandidat dengan total nilai tertinggi dideklarasikan sebagai pemenang.
-------------------------------------------------------------
tags:
pengertian pemilihan umum pemilu definisi pemilu sistem pemilu proporsional distrik mayoritas pengertian pemilu
Definisi Sistem Pemilihan Umum
Sebelum dilakukan kajian lebih jauh seputar sistem pemilihan umum, ada baiknya kita telusuri definisi dari sistem pemilihan umum dari sejumlah ahli. Definisi-definisi tersebut akan mengantar kita kepada definisi operasional sistem pemilihan umum yang digunakan dalam goresan pena ini.
Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum ialah “…. segala proses yang bekerjasama dengan hak pilih, manajemen pemilihan dan sikap pemilih." Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum ialah “… cara dengan mana pemilih sanggup mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana bunyi tersebut ditransformasikan menjadi dingklik di parlemen atau pejabat publik."
Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of Technology. Menurut mereka, yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum ialah “… menerjemahkan bunyi yang diberikan dikala Pemilu menjadi sejumlah dingklik yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menimbulkan sistem pemilihan umum sebagai forum penting dalam demokrasi perwakilan."
Melalui dua definisi sistem pemilihan umum yang ada, sanggup ditarik konsep-konsep dasar sistem pemilihan umum seperti:
Transformasi bunyi menjadi dingklik parlemen atau pejabat publik, memetakan kepentingan masyarakat, dan keberadaan partai politik. Sistem pemilihan umum yang baik harus mempertimbangkan konsep-konsep dasar tersebut.
Pertimbangan Sistem Pemilihan Umum
Setiap negara mempunyai sistem pemilihan umum yang berbeda. Perbedaan itu diakibatkan oleh berbedanya sistem kepartaian, kondisi sosial dan politik masyarakat, jumlah penduduk, jenis sistem politik, dan lain sebagainya. Sebab itu, pilihan atas sebuah sistem pemilihan umum menjadi perdebatan sengit di kalangan partai politik.
Namun, apapun dasar pertimbangannya, sistem pemilihan umum yang ditetapkan harus memperhatikan serangkaian kondisi. Kondisi ini yang membimbing pemerintah dan partai politik guna memutuskan sistem pemilihan umum yang akan dipakai. Donald L. Horowitz menyatakan pemilihan sistem pemilihan umum harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
- Perbandingan Kursi dengan Jumlah Suara
- Akuntabilitasnya bagi Konstituen (Pemilih)
- Memungkinkan pemerintah sanggup bertahan
- Menghasilkan pemenang mayoritas
- Membuat koalisi antaretnis dan antaragama
- Minoritas sanggup duduk di jabatan publik
Pertimbangan yang diberikan Horowitz menekankan pada aspek hasil dari suatu pemilihan umum. Hal yang menarik adalah, sistem pemilu yang baik bisa membuat koalisi antaretnis dan antaragama serta minoritas sanggup duduk di jabatan publik. Ini sangat penting di negara-negara multi etnis dan multi agama. Terkadang, minoritas agak terabaikan dan konflik antaretnis/antaragama muncul. Dengan sistem pemilu yang baik, kondisi ini sanggup diredam menjadi kesepakatan antarpimpinan politik di tingkat parlemen. Konflik, alasannya ialah itu, dibatasi hanya di tingkat parlemen biar tidak menyebar di tingkat horizontal (masyarakat).
Pertimbangan lain dalam menentukan sistem pemilihan umum juga diajukan Andrew Reynold, et.al. Menurut mereka, hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam menentukan sistem pemilihan umum adalah:
- Perhatian pada Representasi. Representasi (keterwakilan) yang harus diperhatikan ialah kondisi geografis, faktor ideologis, situasi partai politik (sistem kepartaian), dan wakil rakyat terpilih benar-benar mewakili pemilih mereka.
- Membuat Pemilu Praktis Digunakan dan Bermakna. Pemilu ialah proses yang “mahal” baik secara ekonomi (biaya cetak surat suara, anggaran untuk parpol yang diberikan pemerintay) maupun politik (konflik antar pendukung), dan bisa dimengerti oleh masyarakat awam serta disabel (buta warna, tunanetra, tunadaksa).
- Memungkinkan Perdamaian. Masyarakat pemilih punya latar belakang yang berbeda, dan perbedaan ini bisa diperdamaikan melalui hasil pemilihan umum yang memungkinkan untuk itu.
- Memfasilitasi Pemerintahan yang Efektif dan Stabil. Sistem pemilu bisa membuat pemerintahan yang diterima semua pihak, efektif dalam membuat kebijakan.
- Pemerintah yang Terpilih Akuntabel. Sistem pemilu yang baik bisa membuat pemerintah yang akuntabel.
- Pemilih Mampu Mengawasi Wakil Terpilih. Sistem pemilu yang baik memungkinkan pemilih mengetahui siapa wakil yang ia pilih dalam pemilu, dan si pemilih sanggup mengawasi kinerjanya.
- Mendorong Partai Politik Bekerja Lebih Baik. Sistem pemilu yang baik mendorong partai politik untuk memperbaiki organisasi internalnya, lebih memperhatikan isu-isu masyarakat, dan bekerja untuk para pemilihnya.
- Mempromosikan Oposisi Legislatif. Sistem pemilu yang baik mendorong terjadinya oposisi di tingkat legislatif, sebagai bentuk pengawasan dewan perwakilan rakyat atas pemerintah.
- Mampu Membuat Proses Pemilu Berkesinambungan. Sistem pemilu harus bisa digunakan secara berkelanjutan dan memungkinkan pemilu sebagai proses demokratis yang terus digunakan untuk menentukan para pemimpin.
- Memperhatikan Standar Internasional. Standar internasional ini contohnya informasi HAM, lingkungan, demokratisasi, dan globalisasi ekonomi.
Pertimbangan pemilihan jenis sistem pemilu, baik dari Donald L. Horowitz maupun Andrew Reynolds, et.al. hanya sanggup terjadi di suatu negara yang demokratis. Artinya, pertimbangan sistem pemilu didasarkan pada seberapa besar bunyi warganegara terwakili di parlemen, sehingga kebijakan negara yang dibentuk benar-benar ditujukan untuk itu. Di negara dengan sistem politik Otoritarian Kontemporer, Kediktatoran Militer, dan Komunis, pertimbangan-pertimbangan di atas bukanlah prioritas atau bahkan Pemilu itu sendiri tidak ada.
Jenis Sistem Pemilu
Jenis sistem pemilu cukup banyak, dan pilihan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang telah dipaparkan pada kepingan Pertimbangan Memilih Sistem Pemilu. Secara umum, Andrew Reynolds, et.al. mengklasifikasikan adanya 4 sistem pemilu yang umum digunakan oleh negara-negara di dunia, yaitu:
- Mayoritas/Pluralitas
- Proporsianal
- Mixed/Campuran
- Other/Lainnya
Mayoritas/Pluralitas
Mayoritas/Pluralitas berarti pementingan pada bunyi terbanyak (Mayoritas) dan mayoritas tersebut berasal dari aneka kekuatan (Pluralitas). Ragam dari Mayoritas/Pluralitas ialah First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote.
First Past The Post - Sistem ini ditujukan demi mendekatkan kekerabatan antara calon legislatif dengan pemilih. Kedekatan ini akhir kawasan pemilihan yang relatif kecil (distrik). Sebab itu, First Past The Post kerap disebut sistem pemilu distrik. Wilayah distrik kira-kira sama dengan satu kota (misalnya: Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, dan sejenisnya). Kecilnya wilayah yang diwakili, membuat warga kota mengenal siapa calon legislatifnya. Jika sang calon legislatif menang pemilu, maka warga kota gampang melihat kinerjanya.
Mayoritas/Pluralitas menghendaki sistem kepartaian yang relatif kecil, contohnya 2 partai. Dengan sistem 2 partai, masing-masing distrik diwakili oleh 2 calon yang berbeda partai di mana mereka berkompetisi. Distrik tersebut nantinya hanya diwakili oleh 1 wakil. Proses penghitungan bunyi pun mudah: Partai terbanyak otomatis memenangkan pemilu. Kekurangannya, bunyi pihak yang kalah terbuang begitu saja. Negara dengan sistem multipartai menolak pemberlakuan sistem ini oleh alasannya ialah bunyi yang kalah terbuang tersebut. Kelemahan lain sistem ini, membuat bunyi kelompok atau partai kecil menjadi tidak berarti.
Kelebihan First Past The Post ialah sanggup mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, cenderung menghasilkan pemerintahan besar lengan berkuasa dari satu partai, mendorong munculnya oposisi, memungkinkan hadirnya kandidat independen, dan sistem ini cukup sederhana serta gampang dimengeri pemilih. Kelemahan First Past The Post ialah banyak bunyi terbuang, menghalangi perkembangan multipartai yang plural, dan mendorong tumbuhnya partai etnis/kesukuan.
Block Vote – Sistem ini ialah penerapan pluralitas bunyi dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak bunyi sebanding dengan dingklik yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas menentukan calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri.
BV biasa digunakan di negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. Tahun 2004, Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland, Guernsey, Kuwait, Laos, Libanon, Maldives, Palestina, Suriah, Tonga, dan Tuvalu menggunakan sistem pemilu ini. Sistem ini juga pernah digunakan di Yordania (1989) Mongolia (1992), dan Filipina serta Thailand sampai tahun 1997.
Kelebihan sistem ini adalah, memperlihatkan keleluasaan bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Sistem ini juga menguntungkan partai-partai yang punya basis koherensi anggota dan organisasi yang kuat. Kekurangannya adalah, sistem ini bisa memperlihatkan hasil yang sulit diprediksi. Misalnya, dikala pemilih memperlihatkan semua bunyi kepada semua calon dari satu partai yang sama, maka ini membuat kelemahan FPTP tampak: Partai atau kepentingan selain partai tersebut menjadi terabaikan. Selain itu, oleh alasannya ialah setiap partai boleh mencalonkan lebih dari 1 calon, maka terdapat kompetisi internal partai dari masing-masing calon untuk memperoleh proteksi pemilih.
Party Block Vote. Esensi Party Block Vote sama dengan FPTP, bedanya setiap distrik partai punya lebih dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif dalam surat suara. Pemilih Cuma punya 1 suara. Partai yang punya bunyi terbanyak di distrik tersebut, memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di surat bunyi otomatis terpilih pula. Sistem ini digunakan di Kamerun, Chad, Jibouti, dan Singapura.
Kelebihan Party Block Vote ialah : Praktis digunakan, menghendaki partai yang kuat, dan memungkinkan partai-partai menentukan caleg yang merepresentasikan kalangan minoritas. Kelemahan dari Party Block Vote adalah: Banyak bunyi yang terbuang dan kemungkinan adanya sejumlah kelompok minoritas yang sama sekali tidak punyak wakil di parlemen.
Alternate Vote. Alternate Vote (AV) sama dengan First Past The Post (FPTP) alasannya ialah dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam AV pemilih melaksanakan ranking terhadap calon-calon yang ada di surat bunyi (ballot). Misalnya rangkin 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketida, dan seterusnya. AV alasannya ialah itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada, ketimbang Cuma menentukan 1 saja menyerupai di FPTP.
AV juga berbeda dengan FPTP dalam hal perhitungan suara. Jika FPTP ada 1 calon yang memperoleh 50% bunyi plus 1, maka otomatis ia memenangkan pemilu distrik. Dalam AV, calon dengan jumlah pilihan rangking 1 yang terendah, tersingkir dari perhitungan suara. Lalu, ia kembali diuji untuk pilihan rangking 2-nya, yang jikalau kemudian terendah menjadi tersingkir. Setiap surat bunyi kemudian diperiksa sampai tinggal calon tersisa yang punya rankin tinggi dalam surat (ballot) suara. Proses ini terus diulangi sampai tinggal 1 calon yang punya bunyi mayoritas absolut, dan ia pun menjadi wakil distrik. AV, alasannya ialah itu, merupakan sistem pemilu mayoritas. Sistem pemilu AV digunakan di Fiji dan Papua Nugini.
Kelebihan AV ialah memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi, sampai kepentingan yang berbeda tapi bekerjasama sanggup dikombinasi guna memperoleh perwakilan. AV juga memungkinkan pendukung tiap calon yang tipis impian menangnya untuk tetap punya imbas lewat rankin ke-2 dan seterusnya. Sebab itu, AV menghendaki tiap kandidat harus bisa menarik simpati pemilih dari luar partainya. Pemilih dari luar partainya ialah pemilih potensial, yang akan menaruh si calon di ranking ke-2 dan seterusnya. Kelemahan AV adalah, ia menghendaki tingkat baca-tulis aksara dan angka yang tinggi di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.
Two Round System – Two Round System (TRS) ialah sistem mayoritas/pluralitas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jikalau pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh bunyi mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama dengan FPTP (satu distrik satu wakil) atau menyerupai BV/PBV (satu distrik banyak wakil). Dalam TRS, calon atau partai yang mendapatkan proporsi bunyi tertentu memenangkan pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jikalau bunyi yang diperoleh pemenang tidak mayoritas.
Jika diadakan putaran kedua, maka sistem TRS ini bervariasi. Sistem yang umum adalah, mereka yang ikut serta ialah calon-calon dengan bunyi terbanyak pertama dan kedua putaran pertama. Ini disebut majority run-off, dan akan menghasilkan bunyi mayoritas bundar (50%+1). Sistem lainnya diterapkan di Perancis, di mana dalam putaran kedua, calon yang boleh ikut ialah yang memperoleh lebih dari 12,5% bunyi di putaran pertama. Siapapun yang memenangkan bunyi terbanyak di putaran kedua, ia menang, meskipun tidak 50% + 1 (mayoritas). Negara-negara yang menggunakan Two Round System ialah Perancis, Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti, Iran, Kiribati, Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Kelebihan Two Round System adalah: Memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi calon yang dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya; Memungkinkan kepentingan yang bermacam-macam berkumpul di kandidat yang masuk ke putaran kedua pemilu. Kekurangannya ialah : Membuat penyelenggara Pemilu (panitia) bekerja ekstra keras jikalau ada putaran kedua, membuat dana pemilu membengkak; TRS juga dicurigai membuat fragmentasi antar partai-partai politik.
Proporsional
Dasar anutan Proporsional ialah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran bunyi pemilih bagi setiap partai berdasarkan proporsi dingklik yang ada di legislatif. Sistem pemilu Proporsional terbagi 2, yaitu Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote (STV). Sistem Proporsional paling banyak digunakan, yaitu 72 negara (Proporsional Daftar) dan 4 negara (Single Transferred Vote). Proporsional membutuhkan satu distrik lebih dari satu member.
Proporsional dipilih oleh alasannya ialah punya kelebihan:
- Secara konsisten mengubah setiap bunyi menjadi dingklik yang dimenangkan, dan alasannya ialah itu menghilangkan “ketidakadilan” menyerupai sistem Mayoritas/Pluralitas yang “membuang” bunyi kalah.
- Mewujudkan gugusan calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang “satu ide” untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan, ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.
- Mampu mengangkat bunyi yang kalah (bergantung Threshold).
- Memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen.
- Membuat partai-partai politik berkampanye di luar “basis wilayahnya.”
- Memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh alasannya ialah Proporsional menuntun pada kesinambungan pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonomi.
- Memungkinkan partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling mengembangkan kekuasaan.
Ada kelebihan, tentu ada kekurangan. Kekurangan dari sistem Proporsional ialah sebagai berikut:
- Menyebabkan munculnya pemerintahan berdasarkan koalisi, sehingga kadang kebijakan-kebijakan menjadi tidak koheren.
- Mampu mengakibatkan fragmentasi partai-partai politik, di mana partai minoritas bisa memainkan tugas besar dalam tiap koalisi yang dibuat.
- Mampu memunculkan partai-partai ekstrim (kiri maupun kanan)
- Sistem ini cukup rumit (terutama dalam penanggulangan “suara sisa”)
Beberapa sistem pemilu yang masuk kategori Proporsional adalah:
Proporsional Daftar. Setiap partai memuat daftar calon-calon bagi setiap daerah/distrik pemilihan. Calon diurut berdasarkan nomor (1, 2, 3, dan seterusnya). Pemilih menentukan partai, dan partai mendapatkan dingklik secara proporsional dari total bunyi yang dihasilkan. Calon yang nantinya duduk diambil dari yang ada di daftar tersebut. Jika dingklik hanya mencukupi untuk 1 calon, maka calon nomor urut 1 saja yang masuk ke parlemen.
Kelebihan dari Proporsional Daftar ialah memungkinkan kelompok/budaya minoritas untuk terwakili di parlemen. Proporsional Daftar juga memungkinkan calon wanita untuk terpililh. Kelemahan Proporsional Daftar ialah lemahnya kekerabatan antara legislatif terpilih dengan pemilihnya oleh alasannya ialah partai yang memilihkan mereka di dalam daftarnya. Proporsional Daftar juga membuat kantor sentra partai (DPP) mempunyai kekuasaan besar untuk menentuk siapa anggota partai yang masuk ke dalam daftar. Akhirnya, Proporsional Daftar sukar dilaksanakan di negara yang tradisi partainya kurang kuat.
Single Transferable Vote. Single Transferable Vote (STV) banyak dinyatakan sebagai sistem pemilu yang menarik. STV menggunakan satu distrik lebih dari satu wakil, dan pemilih merangking calon berdasarkan pilihannya di kertas bunyi menyerupai pada Alternate Vote. Dalam memilih, pemilih dibebaskan untuk merangking ataupun cukup menentukan satu saja. Sistem ini digunakan di Malta dan Republik Irlandia.
![]() |
[Diambil dari: Andrew Reynolds, et.al., Electoral System .....] |
Setelah total bunyi yang memperoleh rangking pertama dihitung, perhitungan dilanjutkan dengan membuat kuota yang diharapkan bagi seorang calon. Kuota yang digunakan umumnya kuota Droop, dengan rumus :
Hasil ditentukan melalui serangkaian perhitungan. Pada perhitungan pertama, total jumlah bunyi rangking pertama tiap kandidat didahulukan. Setiap calon yang punya bunyi rangking pertama lebih besar atau sama dengan kuota otomatis terpilih. Setelah itu perhitungan dilanjutkan dengan, bunyi lebih kandidat terpilih (yang suaranya di atas kuota) didistribusikan kepada pilihan rangking kedua di surat suara. Demi keadilan, seluruh surat bunyi masing-masing calon didistribusikan. Contohya, jikalau seorang calon punya 100 suara, dan kelebihannya 5 suara, kemudian setiap kertas bunyi diredistribusikan senilai 1/20 kali dari 1 suara.
Setelah perhitungan selesai, jikalau tidak ada calon yang punya kelebihan bunyi lebih dari kuota, calon dengan total bunyi terandah tersingkir. Suara mereka diredistribusika ke perhitungan selanjutnya dari para calon yang masih bersaing untuk rangking kedua dan seterusnya. Perhitungan diteruskan sampai seluruh dingklik di distrik ditempati pemenang yang mendapatkan kuota atau jumlah calon yang tersisa dalam proses perhitungan tinggal satu atau lebih dari jumlah dingklik yang nantinya diduduki.
Kelebihan Single Transferable Vote sama dengan Proporsional secara umum, alasannya ialah memungkinkan pilihan dibentuk baik antarpartai maupun antarcalon dalam satu partai. Kelemahan dari STV ialah rumitnya proses perhitungan serta membutuhkan tingkat kenal aksara dan angka yang tinggi dari para pemilih. Sistem ini juga memancing fragmentasi di dalam internal partai poitik oleh alasannya ialah calon-calon dari partai yang sama saling bersaing satu sama lain.
Sistem Campuran/Mixed System
Sistem Campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang berasal dari Mayoritas/Pluralitas ataupun Proporsional. Dalam sistem campuran, terdapat 2 sistem pemilu yang jalan beriringan, meski masing-masing menggunakan metodenya sendiri. Suara diberikan oleh pemilih yang sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah kedua sistem tersebut. Satu menggunakan sistem Mayoritas/Pluralitas (atau biasanya sistem Lainnya/Other), biasanya berupa satu distrik satu wakil, dan lainnya ialah Proporsional Daftar.
Terdapat 2 bentuk Sistem Campuran yaitu Mixed Member Proportional (MMP) dan Paralel. Jika hasil dari dua sistem pemilihan dihubungkan, dengan alokasi dingklik di sisi sistem Proporsional bergantung pada apa yang terjadi di sistem Mayoritas/Pluralitas, sistem tersebut dinamai Mixed Member Proportional (MMP). Jika 2 perangkat sistem pemilihan tiada bekerjasama dan dibedakan, dan satu sama lain tiada saling bergantung, maka sistem tersebut dinamai Paralel.
Mixed Member Proportional – Di bawah sistem MMP, dingklik sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. Contohnya, jikalau satu partai memenangkan 10% bunyi secara nasional, tetapi tidak memperoleh dingklik di distrik/daerah, kemudian partai itu akan dianugrahkan dingklik yang cukup dari daftar Proporsional guna membuat partai tersebut punya 10% dingklik di legislatif. Pemilih mungkin punya 2 pilihan terpisah, sebagaimana di Jerman dan Selandia Baru. Alternatifnya, pemilih mungkin membuat hanya 1 pilihan, dengan total partai diturunkan dari total calon tiap distrik.
MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela. Di negara-negara ini, dingklik distrik dipilih menggunakan FPTP. Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi: seperempat dingklik di majelis rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan bunyi terbuang di distrik-distrik dengan satu wakil.
Meskipun MMP didesain untuk hasil yang lebih proporsional, ialah mungkin terjadi ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga dingklik yang terdaftar tidak cukup untuk mengkompensasikannya.
Paralel – Sistem Paralel secara berbarengan menggunakan sistem Proporsional dan Mayoritas/Puluralitas, tetapi tidak menyerupai MMP, komponen Proporsional tidak mengkompensasikan sisa bunyi bagi distrik yang menggunakan Mayoritas/Pluralitas. Pada sistem Paralel, menyerupai juga pada MMP, setiap pemilih mungkin mendapatkan hanya satu surat bunyi yang digunakan untuk menentukan calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat bunyi terpisah, satu untuk dingklik Mayoritas/Pluralitas dan satunya untuk dingklik Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand).
Sistem paralel sekarang digunakan 21 negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Russia, Eychelles, Thailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan FPTP satu distrik satu wakil bersama dengan komponen Proporsional Daftar, sementara Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikista menggunakan Two Round System untuk distrik satu wakil untuk sistemnya.
Kelebihan Sistem Paralel adalah, dalam hal ketidakproporsionalan, sistem ini memperlihatkan hasil antara Mayoritas/Pluralitas murni dan Proporsional murni. Satu manfaatnya adalah, tatkala cukup dingklik Proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di pemilihan Mayoritas/Pluralitas tetap dianugerahi dingklik melalui sistem Proporsional atas setiap bunyi yang diperoleh. Sebagai tambahan, sistem Paralel secara teoretis, kurang membuat fragmentasi partai ketimbang sistem pemilihan murni Proporsional. Kelemahan sistem Paralel adalah, sebagaimana terjadi dengan MMP, akan membuat dua kategori wakil rakyat. Juga, sistem ini tidak menjamin keproporsionalan, dan sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun memenangkan jumlah bunyi secara substansial. Sistem Paralel juga relatif rumit dan membuat pemilih resah sebagaimanan ini juga menimpa para panitianya.
Sistem Lainnya/Other System
Sebagai komplemen bagi Mayoritas/Pluralitas, Proporsional, dan Sistem Campuran, ialah pula terdapat sejumlah sistem lain yang tidak termasuk ke dalam kategori ini. Diantaranya ialah Single Non Transferable Vote (SNTV), Limited Vote (LV) dan Borda Count (BC). Sistem-sistem ini masuk kategori Lainnya, dan cenderung menerjemahkan perhitungan bunyi menjadi dingklik dengan cara yang berkisar pada sistem Proporsional dan Mayoritas/Pluralitas.
Single Non Transferable Vote – Di dalam SNTV, setiap pemilih mempunyai satu bunyi bagi tiap calon, tetapi (tidak menyerupai FPTP) ialah lebih dari satu dingklik yang harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan total bunyi tertinggi mengisi posisi.
SNTV menantang partai politik. Contohnya, distrik dengan 4 wakil, kandidat dengan 20% bunyi dijamin memenangkan kursi. Sebuah partai dengan 50% bunyi sanggup berharap memenangkan 2 dingklik di distrik dengan 4 wakil. Jika tiap kandidat mengumpulkan 25% suara, mereka masuk sebagai wakil distrik. Jika, bagaimanapun, satu kandidat mengumpulkan 40% bunyi dan kandidat lain 10%, kandidat kedua tersebut kemungkinan tidak terpilih. Jika partai mencantumkan 3 kandidat, ancaman “vote-splitting” akan terjadi dan partai Cuma memperoleh 2 dingklik saja.
Kini, SNTV digunakan di untuk pemilihan parlemen di Afghanista, Yordania, Kepulauan Pitcairn dan Vanuatu, untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia dan Thailand, serta 176 dari 225 dingklik di Taiwan yang menggunakan sistem Paralel.
Kelebihan SNTV ialah kemampuannya memfasilitasi perwakilan partai minoritas dan calon independen. Semakin besar jumlah kursi, semakin sistem ini menjadi proporsional. Di Yordania, SNTV memungkinkan kandidat non partai yang terkenal untuk terpilih. Sistem ini menimbulkan partai terorganisir dan menyuruh pemilih memperlihatkan suaranya kepada partai lain yang lebih berpotensi memenangkan bunyi dan ujungnya, membuat satu partai dominan. Selain itu, SNTV dinyatakan sebagai gampang digunakan.
Kelemahan SNTV adalah, partai kecil yang suaranya tersebar mungkin saja tidak akan memenangkan kursi, dan partai besar mendapatkan sejumlah dingklik “bonus” yang membuat pluralitas pemberi bunyi secara nasional menjelma mayoritas di legislatif. Meskipun keproporsionalan sistem ini sanggup meningkat dengan cara menambah jumlah dingklik yang harus diisi di dalam distrik-distrik lebih dari 1 wakil, ini memperlemah pemilih. Kelemahan lain adalah, partai perlu mempertimbangkan taktik yang rumit seputar manajemen nominasi calon dan pemberian suara.
Limited Vote – Limited Vote (LV) menyerupai SNTV, ialah sistem Mayoritas/Pluralitas yang digunakan untuk distrik-distrik dengan lebih dari satu wakil. Tidak menyerupai SNTV, pemilih punya lebih dari satu suara. Perhitungan identik dengan SNTV, dimana kandidat dengan total bunyi tertinggi memenangkan kursi.
Sistem ini digunakan bagi pemilihan tingkat lokal yang beragam, tetapi aplikasinya di tingkat nasional terbatas menyerupai di Gibraltas dan Spanyol, di mana ia digunakan untuk menentukan Senat Spanyol semenjak 1977. Dalam perkara ini, sistem distrik dengan lebih dari satu wakil, setiap pemilih punya satu suara, kurang dari jumlah wakil rakyat yang nantinya dipilih.
Kelebihan sistem ini, menyerupai SNTV, LV ialah gampang bagi para pemilih dan relatif gampang dihitung. Kelemahannya, ia cenderung menghasilkan hasil yang kurang proporsional ketimbang SNTV. Selain itu, ia juga berakibat pada kompetisi internal partai, klientelisme dalam politik (sama dengan SNTV).
Borda Count - Borda Count ialah sistem yang digunakan di Nauru (sebuah negara di Pasifik). Sistem ini ialah sistem pemilihan preferensi dimana pemilih merangking kandidat menyerupai pada Altenative Vote. Ia sanggup digunakan pada distrik dengan satu atau lebih wakil. Hanya satu yang dipilih, tidak ada eliminasi. Rangking pertama diberi nilai 1, ranking kedua diberi nilai ½ , rangkin ketiga diberi nilai 1/3 dan seterusnya. Kandidat dengan total nilai tertinggi dideklarasikan sebagai pemenang.
-------------------------------------------------------------
Referensi
- Andrew Reynolds, “Merancang Sistem Pemilihan Umum” dalam Juan J. Linz, et.al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, (Bandung: Mizan, 2001) p.102.
- Dieter Nohlen, "Electoral Systems" dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of political communication, (California: Sage Publications, 2008)
- Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi, “Ideology and Competence in Alternative Electoral Systems”, Paper, Division of Humanities and Social Sciences, California Institute of Technology, Pasadena, California, July 9, 2008.
- Donald L. Horowitz, Electoral Systems and Their Goals: A Primer for Decision-Makers, Paper on James B. Duke Professor of Law and Political Science, Duke University, Durham, North California, January 2003.
- Andrew Reynolds, et.al., Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2005) p.9-14.
tags:
pengertian pemilihan umum pemilu definisi pemilu sistem pemilu proporsional distrik mayoritas pengertian pemilu
0 Response to "Pemilihan Umum Dan Sistem-Sistem Pemilu"
Posting Komentar