Pengaruh Lingkungan Internasional Terhadap Sistem Politik Indonesia

Pengaruh lingkungan internasional atau secara teori disebut extrasocietal diyakini mempunyai dampak yang juga signifikan bagi keberlangsungan suatu sistem politik. Dampak ini jadi semakin mengemuka di suatu kurun yang umum disebut globalisasi. Dalam globalisasi, suatu bencana di level internasional secara gampang pribadi memberi dampak di tingkat sistem politik suatu negara.

Lingkungan extrasocietal terdiri atas sistem politik internasional, sistem ekologi internasional, dan sistem sosial internasional. Sistem politik internasional yakni kondisi terbaginya pusat-pusat kekuasaan politik dunia. Sistem ekologi internasional yakni kondisi geografis persebaran negara yang membuat suatu isu. Sistem sosial international yakni kondisi struktur sosial di tingkat internasional yang berakibat pada terpengaruhnya kinerja sistem politik suatu negara.

Sistem Politik Internasional

Sejarah politik internasional diwarnai aneka sistem politik yang hubungannya diwarnai saling dominasi dan mencari submisi. Demikian cara pandang realisme dalam politik internasional. Cara pandang ini menyerupai dengan apa yang diutarakan kalangan pendukung biopolitik dalam memandang sikap politik individu dalam kelompok. Penulis menyerupai Charles W. Kegley bahkan menyusun daftar pencarian dominasi oleh komunitas-komunitas politik (atau negara-negara) di dunia 1495 sampai 2025? (tahun 2025 yakni prediksi) yang disebutnya sebagai pencarian hegemoni dalam sistem politik internasional, dan ia rangkum ke dalam tabel berikut ini:


-----> pict.

Sistem politik internasional menyerupai pembentukan Uni Eropa, neoliberalisme Amerika Serikat, multipolaritas kekuasaan politik dunia, turut mensugesti kinerja sistem politik suatu negara. Pergerakan pada level sistemik (di tingkat internasional) mempunyai imbas tertentuk di tingkat nasional suatu negara. Kegley menyebut bahwa pada rentang 1495–1540 terjadi hegemoni kekuasaan Portugis. Pola ini bahkan terasa sampai wilayah Indonesia (saat itu masih berupa kerajaan-kerajaan nusantara).

Portugis bahkan bisa menguasai Malaka pada tahun 1511, kemudian mendirikan benteng-benteng dagang di Pasai, Banten sampai Ternate. Portugis pun merupakan bangsa yang pertama kali berbagi agama Kristen (Katolik) di kepulauan Indonesia. Rivalitas Portugis dikala itu hanya bisa didekati oleh Spanyol, yang lebih berkonsentrasi di kepulauan utara nusantara (kepulauan Filipina).

Tahun 1560–1609 ditandai memudarkan hegemoni Portugis untuk kemudian diganti rivalnya terdahulu, Spanyol. Salah satu penantang Spanyol yaitu Belanda mulai menantang dominasinya yaitu dengan melaksanakan pendaratan di Indonesia tahun 1596. Pendaratan Belanda dikala itu bukan atas nama Kerajaan Belanda melainkan multinational corporation-nya yaitu VOC. VOC ini lambat maritim menguat di kepulauan nusantara sehingga bisa menggantikan dominasi Portugis. Tahun 1610–1648 Eropa dilanda kontradiksi antara otoritas agama dengan otoritas politik (surgawi versus diaboli). Di masa ini VOC semakin menguat di nusantara serta mulai terlibat dalam politik pada komunitas-komunitas lokal di Indonesia contohnya di Gowa-Tallo, Mataram, dan mulai menghabisi sisa-sisa armada Portugis di Kepulauan Maluku.

Tahun 1650–1715 kekuasaan VOC relatif mulai menyebar di nusantara. Eropa dikala itu tengah mengalami hegemoni Raja Louis XIV dari Perancis. Raja ini merupakan otokrat dan mempunyai musuh hampir seluruh kerajaan yang ada di Eropa. Sejak 1688 sampai 1713 Eropa dilanda peperangan Aliansi Besar. VOC di Indonesia semakin besar lengan berkuasa cengkeramannya, terutama di wilayah Jawa. Tahun 1792–1815 merupakan masa senja VOC di Indonesia. Perusahaan ini gulung tikar tahun 1799 terutama lantaran korupsi di tubuh manajemen internalnya. Di masa ini pula sempat berkuasa gubernur jenderal yang pro Napoleon. Jawa ditandari pembangunan jalur penghubung (poros) Anyer–Panarukan.

Setelah Napoleon kalah dalam Perang Waterloo 1815 oleh pasukan Admiral Wellington dari Inggris, kerajaan eropa lautan ini sempat berkuasa 1811 dengan Raffles sebagai gubernur jenderalnya. Masa singkat ini dipakai Inggris untuk memperbaiki manajemen pemerintahan kolonial yang semrawut di periode final kekuasaan VOC. Setelah itu, Inggris melepaskan nusantara ke tangan Belanda sebagai penguasa status quo pasca penaklukan Napoleon. Orang-orang Anglo-Saxon ini lebih berkonsentrasi di pulau pusat perdagangan: Temasek (Singapura) yang dipertukarkan Belanda dengan Bengkulu (Bengkulen).

Tahun 1871–1914 ditandai proses industrialisasi, agribisnis, dan transmigrasi besar-besaran di sekujur kepulauan nusantara dengan Belanda sebagai regulatornya. Aceh, komunitas politik yang belum tunduk pada Belanda, takluk pada 1905. Di sisi lain, benih-benih nasionalitas komunitas politik nusantara semakin terbentuk. Mereka dipersatukan oleh Belanda, sebagai berkah tersamar (bless in disguise). Kalangan liberal di Belanda mulai mengupayakan perbaikan nasib penduduk koloni, politik etis mulai diberlakukan. Tercipta intelektual-intelektual dan elit-elit politik gres yang didasarkan pada achievement bukan lagi ascribe status. Di level internasional, hegemoni terbagi atas tiga kekuatan militer strategis yaitu Jerman, Turki, dan federasi Austria-Hongaria. Dunia ditandai oleh Perang Dunia I. Liga bangsa-bangsa didirikan untuk mengendalikan biopolitik negara-negara di Eropa dan Asia. Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis mulai memperlihatkan kecederung blok kapitalisnya.

Tahun 1945–1991 dunia ditandai dengan bipolaritas politik internasional dan perang cuek antara dua kekuatan utama dunia: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia merdeka tahun 1945 dan dihadapkan pada realitas dunia yang terbelah ke dalam dua kutub. Pilihan politik luar negeri Indonesia diucapkan Moh. Hatta tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta bertajuk Mendayung diantara Dua Karang. Politik luar negeri Indonesia tidak berat ke Amerika Serikat ataupun Uni Soviet melainkan bekerjasama dengan keduanya selama menerima manfaat bagi pemenuhan kepentingan nasional Indonesia. Sistem politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh perang cuek antar dua kekuatan ini. Di masa Sukarno, Indonesia berupaya membangun blok alternatif yang terdiri atas negara-negara Asia dan Afrika. Uni Soviet mendukung sementara Amerika Serikat tidak terlampau menyukai.

Amerika Serikat semakin melihat – lewat aktivitasnya di Konferensi Asia Afrika dan politik luar negeri bergairah Sukarno – cenderung berayun ke kiri. Tahun 1958 tentara Indonesia berhasil menangkap seorang pilot berkebangsaan Amerika Serikat yang memasok pemberian senjata untuk pemberontak PRRI atau Permesta. Ketimbang menghukum berat, Soekarno malah mengembalikan pilot tersebut ke negara induknya Amerika Serikat dan kembali ke pangkuan keluarganya. Amerika Serikat juga berkepentingan atas potensi tambang emas di pulau kepala burung dan awalnya mendukung Belanda untuk mengakuisisi wilayah tersebut. Sukarno melaksanakan psywar dengan memperlengkapi alutsista Indonesia dengan produk-produk mutakhir buatan Uni Sovyet yang bisa menandingi persenjataan Barat. Akhirnya, Soekarno pun berhasil dalam usaha diplomasi dan senjata melalui operasi Mandala sehingga tahun 1963 Irian Jaya masuk ke dalam wilayah Indonesia. Amerika Serikat mengubah sikap dengan mendukung integrasi Irian Jaya ke pangkuan ibu pertiwi.

Amerika Serikat tentu saja lega ketika jadinya Soekarno terjungkal tahun 1965–1966. Amerika Serikat melihat adanya wilayah bersahabat sekutu mereka (Australia) yang diterlantarkan satu negara Eropa yaitu Portugal: Timor Timur. Wilayah ini dicurigai menjadi basis training gerilyawan komunis. Amerika Serikat mustahil pribadi menginvasi Timor Timur lantaran akan mencederai reputasinya di mata Portugal. Amerika Serikat memakai Soeharto untuk menginvasi Timor Timur tahun 1975 dan tahun 1976 Timor Timur masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia memperoleh laba komplemen dengan adanya potensi minyak di Celah Timor.

Indonesia pun dipakai Amerika Serikat sebagai potongan dari containment policy untuk membendung perluasan kekuatan komunis dari utara, lantaran Amerika Serikat kalah perang dengan Vietcong tahun 1976. Vietnam menjadi komunis dan ancaman perluasan komunis ke Australia akan terbuka kalau Indonesia menjadi merah oleh Partai Komunis Indonesia. Sekurangnya selama rentang 1980–1990 Indonesia merupakan sekutu Amerika Serikat yang tidak bermasalah. Indonesia mulai menerapkan deregulasi dan debirokratisasi dan ini seiring dengan ideologi neokonservatif dan neoliberal yang mulai mencengkeram politik luar negeri Amerika Serikat semenjak tahun 1980-an. Pengaruh Amerika Serikat kepada Indonesia salah satunya melalui pintu International Monetary Fund di mana Amerika Serikat yakni pemegang saham terbesar.

Indonesia mulai membandel tatkala mulai tercipta monopoli-monopoli oleh keluarga dan pebisnis lingkar istana. Selain itu, peralihan kuda-kuda politik Soeharto ke arah Islam modernis-moderat mulai dilihat secara curiga. Amerika Serikat sekarang telah memenangkan perang cuek dengan runtuhnya tembok Berlin pada 1989 dan diakhiri bangkrutnya Uni Soviet pada 1991. Periode bangkrutnya Uni Soviet menandai hegemoni tunggal Amerika Serikat atas dunia internasional.

Tahun 1991–2025? merupakan periode Unipolar dalam sistem politik internasional. Amerika Serikat secara bergairah melaksanakan pembukaan pasar bebas di hampir seluruh belahan dunia. Neoliberalisme yang diusung Amerika Serikat menempatkan pemerintah Amerika Serikat bertugas membuka pasar-pasar ekonomi gres bagi kalangan pengusaha mereka. Kecenderungan monopoli keluarga Soeharto atas sejumlah bisnis strategis menyerupai cengkih, pembangunan jalan tol, dan produksi kendaraan beroda empat tentu menggelisahkan penganut free-fight capitalism. Ketiga terjadi krisis global Asia tahun 1997, Amerika Serikat (melalui IMF) memanfaatkan situasi untuk melaksanakan perubahan-perubahan struktural Indonesia yang aman bagi pasar bebas sehingga tidak abnormal kalau pemberian IMF terkesan blunder dalam mengatasi devaluasi nilai tukar rupiah. Sebagai sebuah kekuatan Unipolar yang mempunyai kekuatan ekonomi, politik, militer, serta teknologi paling tinggi di dunia (mengalahkan pesaing-pesaing terdekatnya yaitu Cina, Rusia, Jepang, dan Jerman) membuat Indonesia harus akomodatif atas politik luar negeri Amerika Serikat. Berkonfrontasi dengan Amerika Serikat lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya.

Indonesia pun tidak luput dari kecenderungan neoliberalisme yang aktivitasnya diwakili MNC-MNC besar yang bekerjasama bersahabat dengan Amerika Serikat. Dapat kita saksikan berapa banyak privatisasi perusahaan BUMN ke tangan swasta, semisal saham PT. Telkom kepada Temasek (perusahaan Singapura), diteruskannya eksploitasi emas Papua oleh Freeport, eksploitasi emas Buyat di Minahasa oleh Newmont, ataupun pengelolaan tambang emas di Malifut oleh New Crest Mining perusahaan asal Australia, sekutu Amerika Serikat.

Dalam masalah sistem politik internasional juga terdapat competing ideologi. Revivalisme Islam yang berkelindan dengan imbas merusak kolonialisme Barat mendorong kehadiran Islam sebagai pesaing berat bagi hegemoni Barat yang sekular dan materialistik. Munculah fundamentalisme dalam politik Internasional.

Fundamentalisme ini menjelaskan bagaimana struktur agama mensugesti kondisi perpolitikan di suatu negara, contohnya perkembangan aliran-aliran Islam gres semenjak 1800-an. Wahhabi di Arab Saudi menjadi ideologi dan agama resmi Arab Saudi. Ikhwanul Muslimin di Mesir menginsipirasikan gerakan-gerakan politik intelektual Islam di negara-negara Timur Tengah bahkan Indonesia. Jama’ah Islamiyah di Pakistan menginspirasikan perubahan sistem politik demokrasi sekuler menjadi kekhalifahan Islam. Taliban di Afghanistan memenangkan perang melawan kelompok moderat yang cocok bagi Barat. Jama’ah al-Jihad di Mesir mengibarkan bendera fundamentalisme. Syi’ah Itsna Asy’ariyah di Iran berhasil menggulingkan rezim politik Pahlevi dukungan Amerika Serikat dan bergegas mengekspor Revolusi Islam Iran ke seluruh dunia, sampai Indonesia. Wilayah-wilayah yang awalnya bercorak otoritarian sekuler maupun demokrasi liberal satu demi satu berjatuhan untuk kemudian jatuh ke tangan pemerintahan-pemerintahan yang memakai Islam sebagai metode kepolitikannya.

Selain agama, masalah ekonomi juga mempunyai dampak besar lengan berkuasa bagi perubahan sistem politik suatu negara. Dalam studinya mengenai alasan Amerika Serikat melaksanakan Perang Melawan Teroris, Michel Chossudovsky menulis:

America’s New War consists in extending the global market system while opening up new economic frontiers for US corporate capital.More specifically, the US-led military invasion—in close liaison with Britain—responds to the interests of the Anglo-American oil giants, in alliance with America’s Big Five weapons producers: Lockheed Martin, Raytheon, Northrop Grumman, Boeing and General Dynamics.

Menurut Chossudovsky, alasan Amerika Serikat menyerang Iraq, Afghanistan, dan perang global melawan teroris tidak lain akhir motif ekonomi kapitalis mereka. Mereka berupaya membuka pasar dan meluaskan produksi minyak dan penjualan senjata.

Indonesia tidak luput dari imbas sistem sosial internasional ini. Contohnya adalah, tuntutan pembentukan sistem pemerintahan Islam ditandai oleh acara beberapa organisasi Islam transnasional semisal Hizbut Tahrir, Jama’ah Islamiyah, Ikhwanul Muslimin, kelompok-kelompok berpaham Wahhabi, bahkan pelaku teror menyerupai Al Qaedah. Hizbut Tahrir sebagai misal, organisasi yang punya pimpinan pusatnya berkedudukan di Yordania dan operasional politik di London ini mengupayakan perubahan sistem politik dari demokrasi menuju kekhalifahan secara global. Tuntutan pembentukan pemerintahan Islam, penerapan syariat Islam, serta perda-perda syariat Islam di sejumlah tempat Indonesia salah satunya yakni akhir acara organisasi-organisasi transnasional ini.

Selain itu, perang global melawan terorisme pun mengakibatkan Indonesia perlu membuat Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam proses pembuatannya, undang-undang ini diyakini merupakan tekanan dari Amerika Serikat dan ditentang baik oleh kalangan Islam maupun penggerak hak asasi insan di Indonesia.

Sistem Sosial Internasional

Sistem sosial internasional lebih gampang didekati lewat konsep international regime (rezim internasional). Stephen D. Krassner mendefinisikan international regime sebagai:

... as sets of implicit of explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for actions. Decision-making procedures are prevailing practices for making and implementing collective choice.

Berdasarkan definisi Krasner, rezim internasional menyerupai dengan konsep masyarakat dalam ilmu-ilmu sosial di mana masyarakat ini berupaya mengatur sikap individu. Rezim internasional yakni seperangkat prinsip, norma, aturan, dan prosedur-prosedur pembuatan keputusan dengan mana cita-cita (juga kepentingan) para pemeran internasional saling berkonvergensi di salah satu area dalam korelasi internasional. Sebab itu rezim internasional tentu saja tidak hanya satu melainkan banyak. Mirip di dalam masyarakat, di mana ia terdiri atas aneka struktur dengan fungsi masing-masing (sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem agama, sistem perdagangan) maka rezim internasional pun terdiri atas aneka struktur yang masing-masing mempunyai fungsi mengatur yang spesifik atau berlingkup pada satu bidang.

Studi mengenai rezim internasional sekurangnya diwakili oleh tiga paradigma yaitu realis, neoliberal, dan kognitivis. Paradigma realis fokus pada aspek korelasi kekuatan atau kekuasaan, paradigma neoliberal fokus pada aspek kepentingan, sementara paradigma kognitivis fokus pada aspek dinamika pengetahuan, komunikasi, dan identitas.


-----> pict.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, fokus paradigma realis yakni pada korelasi antarkekuatan di antara aktor-aktor politik internasional, kepentingan yakni fokus utama paradigma neoliberal, dan dimensi pengetahuan yakni fokus paradigma kognitivis. Rezim internasional, sama menyerupai struktur-struktur sosial di dalam masyarakat umumnya diterjemahkan ke dalam lembaga-lembaga.

Dalam memandang lembaga-lembaga internasional (rezim internasional) tersebut, paradigma realis menganggapnya lemah, paradigma neoliberal menganggapnya cukup besar lengan berkuasa (medium), sementara paradigma kognitivis memandangnya sebagai kuat. Paradigma realis dan neoliberalis mengembangkan teori-teori rasionalistik dalam mengkaji korelasi antaraktor dalam rezim internasional contohnya prisoner dilema, rational-choice, maupun game-theory. Sementara itu, paradigma kognitivis lebih memakai teori-teori bercorak sosiologis dalam melaksanakan pengkajian rezim internasional. Akhirnya, model sikap yang ditunjukkan oleh paradigma realis bagaimana para pemeran dalam rezim internasional cenderung pada pencapaian relatif atas tujuan keterlibatan mereka. Paradigma neoliberalis, lebih bercorak ekonomis, yaitu setiap pemeran cenderung memaksimasi pencapaian tujuan mereka sementara paradigma kognitivis cenderung memandang para pemeran dalam rezim internasional sebagai tengah memainkan peran-peran tertentu.

Salah satu rezim internasional yang terkenal dikala ini yakni International Atomic Energy Agency (IAEA) di mana Indonesia telah menjadi anggota semenjak tahun 1957. Organisasi ini sekarang beranggotakan 152 negara. Sesuai namanya, fungsi utama IAEA yakni memastikan bahwa penggunaan teknologi serta ilmu pengetahuan mengenai nuklir dilakukan secara aman serta bertujuan damai. Pengaturan nuklir ini yakni penting lantaran dahsyatnya imbas merusak nuklir kalau dipakai sebagai senjata perang.

Indonesia mempunyai satu tubuh yang mengelola ketenaganukliran yaitu Batan dan Batan ini tidak terlepas dari pengawasan IAEA. Rencana-rencana Batan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia tentu harus melalui perizinan IAEA ini. Sebagai sebuah rezim internasional yang punya legitimasi tinggi (jumlah anggotanya cukup besar) IAEA berhak untuk menyidik kondisi ketenaganukliran di setiap negara anggota rezimnya.

Rezim internasional lain di mana Indonesia juga menjadi anggotanya yakni International Monetary Fund (IMF). Rezim yang berdiri semenjak 1945 ini mempunyai 187 anggota masyarakat. Awalnya Indonesia gabung tanggal 15 April 1954, keluar tanggal 17 Agustus 1965, kemudian kembali gabung tanggal 21 Pebruari 1967. Sebagai anggota IMF, Indonesia berhak memperoleh pinjaman dikala menghadapi kesulitan neraca pembayaran, memperoleh pemberian teknis baik anjuran ataupun training terkait valuta asing maupun moneter (terutama bagi pejabat bank pemerintah dan bank sentralnya), hak memberikan pendapat dalam bentuk voting power, dan konsultasi secara periodik. Selain hak, Indonesia pun punya kewajiban pada IMF menyerupai membayar bantuan dan kenaikan kuota (25% berbentuk reserve assets sesuai ketentuan IMF, yaitu dalam mata uang SDR atau USD, Yen, Poundsterling, dan 75% dalam mata uang domestik) dan memperlihatkan data serta informasi kepada tim IMF yang melaksanakan kunjungan ke negara anggota dikala konsultasi baik terkait nilai tukar (ekspor-impor, gaji, harga, tenaga kerja, suku bungan, sirkulasi uang, investasi, pendapatan pajak, pengeluaran pemerintah) serta aspek-aspek ekonomi lainnya.

Pengaruh IMF atas sistem politik Indonesia tampak pada letter of intent tanggal 15 Januari 1998 dimana pokok-pokok agenda IMF mencakup kebijakan makro ekonomi (fiskal, moneter dan nilai tukar), restrukturisasi sektor keuangan (restrukturisasi bank serta memperkuat aspek aturan dan pengawasan untuk perbankan) dan reformasi struktural (perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net, dan lingkungan hidup). Reformasi struktural merupakan potongan dari persyaratan pemberian IMF pada Indonesia dan tidak hanya mencakup aspek ekonomi saja melainkan meluas ke bidang-bidang lain. Swastanisasi salah satunya dilakukan atas BUMN, perusahaan milik negara dan alasannya itu bersinggungan dengan kedaulatan pemerintahan Soeharto. Selain itu sistem politik Indonesia harus membuka peluang lebih besar bagi investasi, salah satu ciri neoliberalisme dalam ekonomi internasional. Amerika Serikat, selaku pemegang saham terbesar IMF, tentu berkepentingan di dalam program-program ini.

Inter Parliementary Union (IPU) yakni rezim internasional yang mewadahi parlemen-parlemen sedunia. Salah satu rekomendasi IPU yakni keterwakilan politik wanita di dalam parlemen. Sejak tahun 1994 rezim ini merekomendasikan biar 1 dari 3 calon anggota legislatif yakni perempuan. Rekomendasi IPU ini mensugesti proses pembuatan legislasi yang mengatur soal pemilihan umum di Indonesia kendati bertahap. Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 hanya satu pasal yang menyebut mengenai masalah keterwakilan politik wanita yaitu Pasal 65 ayat (1) yang bunyinya Setiap Partai Politik Peserta Pemilu sanggup mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30%.

Rekomendasi IPU kemudian terwujud ke dalam affirmative action dari gerakan wanita Indonesia biar pemerintah lebih tegas lagi memasukkan aturan keterwakilan politik wanita ke dalam legislasi negara. Hasilnya, ketentuan kuota 30% wanita semakin tegas pada Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 di mana masalah kuota ini terdapat dalam Pasal 8 (1d), Pasal 15 (d), Pasal 53, Pasal 55 (2), Pasal 57 (1, 2, 3), Pasal 58 (2), Pasal 61 (6), dan Pasal 66 (2). Bandingkan dengan undang-undang sebelumnya yang hanya disebut oleh satu pasal saja. Rincian legislasi yang mempermasalahkan keterwakilan politik wanita ternyata naik secara signifikan antara produk undang-undang pemilu yang dibentuk tahun 2003 dengan tahun 2008.

Sistem Ekologi Internasional

Bumi cuma satu, tetapi ia semakin rusak. Kerusakan bumi akhir faktor antroposentris dalam melaksanakan eksploitasi kegiatan ekonomi membuat bumi mengalami perubahan perilaku. Jika bumi rusak, maka seluruh penduduk dunia - tanpa memandang pandang negara asal mereka – akan musnah. Inilah alasan utama yang mendasari pentingnya perhatian atas imbas sistem ekologi internasional atas sistem politik suatu negara. Sistem ekologi internasional yakni lingkungan fisik serta non insan yang mempunyai dampak atas kinerja sistem politik.

Secara khusus, sistem ekologi internasional fokus pada teori-teori yang berupaya memberi klarifikasi wacana sifat politik dari kondisi ekologi internasional. Hal utama yang dibicarakan dalam sistem ekologi internasional adalah: (1) kelangkaan sumber daya; (2) polusi lintas yuridiksi sistem politik; dan (3) masalah-masalah sehubungan dengan kualitas lingkungan secara umum. Masalah ekologi internasional memaksa setiap sistem politik untuk melaksanakan pembiasaan sesuai apa yang disepakati oleh rezim lingkungan internasional. Tidak terkecuali Indonesia.

Masalah kelangkaan sumber daya merupakan masalah internasional. Tidak setiap negara mempunyai cadangan sumber daya, terutama yang berasal dari fosil, secara mencukupi. Untuk masalah ini sanggup diambil referensi Amerika Serikat. Amerika Serikat yakni negara industri yang paling besar sehingga masuk akal ia merupakan konsumen nomor satu akan minyak mentah. Kebutuhan minyak mentah Amerika Serikat yakni 18.700.000 barrel per hari. Dari kebutuhan harian tersebut, 9.000.000 sampai 12.000.000 harus diimpor setiap harinya. Selama ini, impor dilakukan dari negara-negara – secara berturut-turut - Kanada 1.938.000 barrel per hari, Meksiko 1.096.000 barrel per hari, Arab Saudi 989.000 barrel per hari, Venezuela 965.000 barrel per hari, Nigeria 771.000 barrel per hari, Angola 449.000 barrel per hari, dan Iraq 448.000 barrel per hari. Kualitas minyak mentah di Iraq yakni yang terbaik dan alasannya itu masuk akal kalau rezim tertutup Sadam Hussein harus digulingkan sehingga kebutuhan minyak mentah untuk industri-industri di Amerika Serikat tidak mengalami hambatan. Alasan serupa juga dipakai ketika Amerika Serikat melibatkan diri dalam konflik politik di Libya: Libya yakni salah satu negara produsen minyak sekaligus anggota OPEC. Ini merupakan ilustrasi imbas sistem ekologi terhadap perubahan sistem politik suatu negara.

Arah imbas sistem ekologi lainnya diperlihatkan oleh penggunaan materi bakar alternatif. Mahalnya harga minyak membuat sejumlah negara industri – atau tengah menjadi negara industri – beralih ke sumber daya fosil lainnya: Batubara. Konsumsi batubara Cina baik untuk industri maupun pembangkit listrik yakni 1.310.000.000 ton per tahunnya dan merupakan peringkat pertama dunia. Amerika Serikat berada di posisi kedua dengan konsumsi 1.060.000.000 per tahunnya. Tahun 2005, Cina merupakan produsen batubara pertama dunia yaitu 2.204.729.000 ton per tahun, sementara Amerika Serikat di posisi kedua dengan 531.822.000 ton per tahun. Selain Cina, India dan Indonesia pun merupakan negara industri gres yang mengalihkan pembakaran minyak menjadi pembakaran watu bara demi kelangsungan industri dan pembangkit listriknya.

Apa yang terjadi kalau pemakaian materi bakar fosil terjadi secara massal di hampir seluruh belahan dunia? Hasil pembakarannya menjadi polutan yang menginap ratusan tahun di atmosfer bumi. Panas matahari yang memasuki atmosfer tidak bisa dipantulkan ke luar angkasa, lantaran tersekat oleh kumpulan aneka gas polutan (GHG) yang mengendap di atmosfer. Pemanasan global yakni hasil imbas Green House Effect (GHG). Efek ini berdasarkan Protokol Kyoto akhir pengendapan lima jenis gas yang mencegah keluarnya panas dari atmosfer bumi yaitu: karbondioksida (CO2), methana (CH4), nitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan welirang heksafluorida (SF6).

HFC, PFC, dan SF6 yakni tiga jenis gas hasil kegiatan industri yang termasuk kategori High Global Warming Potential (HGWP). Data per tahun 2004 memperlihatkan komposisi tersusunnya GHG di atmosfer bumi yaitu: 57% disumbangkan karbondioksida hasil pembakaran materi bakar fosil (minyak dan batubara), 17% disumbangkan karbondioksida hasil penebangan hutan dan peluruhan biomassa (sampah), 14% disumbangkan gas Methana, 8% disumbangkan Nitro Oksida, 3% disumbangkan karbondioksida dari sumber lain, dan 1% disumbangkan gas-gas tipe F (gas-gas yang termasuk HGWP). Tumpukan karbondioksida di atmosfer paling banyak disumbangkan pembakaran batubara, yang paling berbahaya yakni batubara coklat ketimbang hitam. Data per tahun 2006 menyebutkan 82,3% produksi Karbondioksida di atmosfer disumbangkan kegiatan industri dan transportasi di Amerika Serikat.

Didukung dua sumber panas berlebih ini (polutan yang terus menerus diproduksi dan sinar matahari yang masuk atmosfer kemudian tidak bisa dipantulkan ke ruang angkasa) suhu bumi – lambat tetapi niscaya – meningkat. Terjadilah apa yang terkenal disebut pemanasan global (global warming) yang membuat es-es di kutub utara dan selatan meleleh dan menaikkan permukaan laut, membuat perubahan iklim (pola angin, curah hujan), fenomena hujan asam (acid rain) lantaran awan mengandung nitro oksida dan sulfurheksafluorida.

Perserikatan Bangsa-bangsa telah membentuk World Commission on Environment and Development tahun 1983 dengan tujuan utama memecahkan masalah bagaimana komunitas internasional seharusnya menyikapi degradasi lingkungan dan mempertahankan kelangsungan ekologi internasional. Beberapa negara menyerupai Tuvalu, Kiribati, dan Nauru yakni yang paling cepat menghilang ke bawah permukaan maritim akhir pemanasan global. Komunitas lain yang paling terpukul oleh pemanasan global ini yakni komunitas Eskimo, yang hidup di atas permukaan es dengan memburu anjing maritim dan beruang kutub.

Tahun 1997 dibicarakan pemangkasan emisi gas buang 35 negara industri, yang pada tahun 2012 tingkatnya harus sudah 5,2% di bawah emisi yang pernah mereka buang tahun 1990. Kisaran di bawah 5,2% yakni minimal, di mana negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menargetkan pengurangan sampai 8%, Amerika Serikat 7%, Jepang 6%. Russia menerima pengecualian yaitu 0%, Australia diizinkan menaikkan emisinya sampai 8% dan Islandia 10%.

Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi Protokol Kyoto, sehingga berdasarkan pasal 10 butir (d) Undang-undang No. 24 tahun 2000 pemerintah Indonesia harus melaksanakan legalisasi suatu perjanjian internasional dengan menerbitkan undang-undang lantaran berkaitan dengan hak asasi insan dan lingkungan hidup. Undang-undang yang paling final meratifikasi Protokol Kyoto yakni UU No. 32 tahun 2009. Misalnya pasal 7 ayat (4) undang-undang ini menyebutkan wacana pelestarian fungsi atmosfer yang mencakup upaya mitigasi dan pembiasaan perubahan iklim, upaya proteksi lapisan ozon, dan upaya proteksi terhadap hujan asam. Selain itu, yakni kiprah dan kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota untuk melaksanakan inventarisasi emisi gas rumah kaca.

----------------------------------------------
Referensi

  1. Charles W. Kegley, World Politics: Trend and Transformation (Belmont: Wadsworth, 2009) p.88-9.
  2. Peter M. Demant, Islam vs. Islamism: The Dilemma of the Muslim World, (Connecticut : Praeger Publishers, 2006), p.90-176.
  3. Michel Chossudovsky, ‘America’s War on Terrorism,’ (Quebec: Global Research, 2005) p.65
  4. Zeyno Baran, Hizb ut-Tahrir: Islam’s Political Insurgency, (Washington: The Nixon Center, 2004). Organisasi ini berdiri di Tepi Barat, Palestina dan paling bebas beroperasi di London. Beberapa negara menyerupai Russia dan Pakistan melarang acara organisasi ini di wilayahnya.
  5. Stephen D. Krasner, eds., International Regimes (Cornell: Cornell University Press, 1983) p. 2
  6. Andreas Hasenclever, Peter Mayer and Volker Rittberger, Theories of International Regimes (New York: Cambridge University Press, 1997) p.1-2.
  7. Ibid., p. 6. Tabel ini mengacu pada sumber ini.
  8. www.iaea.org
  9. www.imf.org
  10. Sjamsul Arifin, eds., et.al, IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007) h. 87-88.
  11. Lepi M. Tarmidi, Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran (Bank Indonesia: Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999) h.10.
  12. Undang-undang No. 12 tahun 2003 wacana Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  13. Undang-undang No. 10 tahun 2008 wacana Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  14. Jerald Mast, International Environmental Politics dalam John T. Ishiyama and Marijke Breuning, eds., 21st Century Political Science: A Reference Handbook, (California: Sage Publications, Inc., 2011) p.441.
  15. www.globalpost.com. Patut diketahui, Iraq yakni salah satu negara anggota OPEC, organisasi negara pengekspor minyak mentah.
  16. www.nationmaster.com
  17. John M. Theilmann, Carbon Dioxide dalam Steven I. Dutch, Encyclopedia ..., op.cit., p. 169. Tahun 2006 yang sama, Amerika Serikat menyumbang 1,5% Karbondioksida hasil kegiatan lain, 8,6% gas Methana, 54% Nitro Oksida, dan 2,2% gas-gas Protokol Kyoto (yaitu Hidrofluorokarbon, Perfluorokarbon, dan Sulfur Heksafluorida).
  18. Steven I. Dutch, Anthropogenic Climate Change dalam Steven I. Dutch, Encyclopedia of Global Warming, Volume 1 (Pasadena: Salem Press, 2010) p. 68. Gas tipe F yakni HFC, PFC, dan SF6.
  19. Ibid.
  20. Jerald Mast, International Environmental ..., op.cit., p. 443.
  21. www.kyotoprotocol.com
  22. ibid.
  23. Undang-undang No. 32 tahun 2009 wacana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  24. Daniel Murdiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003) h. 128-9. Lihat juga Undang-undang No. 24 tahun 2000 wacana Perjanjian Internasional
tags:
pengertian sistem politik indonesia lingkungan luar politik indonesia sistem internasional rezim internasional imbas lingkungan luar politik imbas lingkungan internasional atas sistem politik indonesia

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengaruh Lingkungan Internasional Terhadap Sistem Politik Indonesia"

Posting Komentar