Konflik Vertikal Dan Horizontal Di Indonesia

Konflik vertikal dan horizontal di Indonesia, sebelum dibedah, alangkah baiknya kalau ditentukan terlebih dahulu alat analisisnya yang berupan pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu sosiologis, sosiologi-politik, ekonomi-politik dan antropologis menjadi inti goresan pena ini. Dalam hidup berbangsa, pembangunan konsensus seringkali tidak gampang dicapai. Konflik yaitu produk dinamika kekerabatan antarkelompok, sama halnya dengan konsensus. Konflik dan konsensus muncul bergantian dan sekaligus menandai dinamika kekerabatan antarkelompok di dalam masyarakat.

Umumnya, konflik termanifestasi ke dalam dua bentuk. Pertama, konflik yang berlangsung tenang tanpa menyita cost material dan spiritual ibarat kerusuhan, kehilangan jiwa, cedera fisik, terputusnya kekerabatan antarkeluarga, dan sejenisnya. Konflik semacam ini sifatnya negosiatif dan justru inheren bahkan dianjurkan dalam kehidupan bernegara, terutama dalam praktek-praktek demokrasi liberal. Kedua, konflik yang berwujud vandalistik dan violence. Konflik-konflik ibarat ini yang kerap menggelisahkan mayoritas masyarakat dan para pemimpin Indonesia. 

Konflik dalam bentuk yang pertama (damai) utamanya berlangsung di level elit, ketika perundingan politik berlangsung. Parlemen dan lembaga-lembaga politik formal yaitu struktur penyalur konflik. Konflik dilokalisasi hanya di dalam gedung tubuh legislatif ataupun saluran-saluran demokrasi yang ada ibarat pers, partai politik, LSM, organisasi kemasyarakatan, dan obrolan antartokoh sosial. Konflik yang muncul yaitu produk dinamika hubungan, dan konflik menyatakan fakta-fakta yang harus diolah untuk dicarikan resolusinya. 

Sebaliknya, konflik dalam pengertian kedua umum terjadi di dataran horisontal, biasanya berupa benturan antara rakyat versus rakyat, di mana yang menjadi korban yaitu rakyat pula. Bahkan tidak jarang konflik di dataran horisontal sekadar kembangan sistematis dari konflik level elit. Masih teringat bencana 1965-1966 di mana massa rakyat di pulau Jawa (juga Bali) melaksanakan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia. Konflik tersebut merupakan kembangan dari konflik politik di tingkat elit antara elit pro dan anti status quo.

Dampak konflik paling hebat yaitu yang terjadi seiring transisi politik Indonesia di penghujung selesai tahun 1990-an. Ketika rezim otoritarian kontemporer Jenderal Soeharto mulai lemah dalam mengikat konsensus, kemudian memainkan sentimen agama sebagai pijakan gres politiknya di satu sisi, sementara di sisi lain pola perpindahan penduduk (lewat transmigrasi dan urbanisasi) membentuk kemajemukan yang kompleks di sejumlah daerah, meletuslah bermacam-macam konflik komunal di Indonesia. Dampak konflik bahkan sanggup dilihat dalam statistik pertambahan penduduk versi Badan Pusat Statistik edisi September 2011 berikut:[1]


Sejak tahun 1983, peningkatan penduduk antartahun naik secara konstan. Namun, musim mengalami gerak balik negatif antara 1999–2000. Jumlah penduduk Indonesia 1999 yaitu 207.437.000 sementara 2000 yaitu 205.132.000: Penduduk Indonesia tidak menaik! Dapat diingat, hari-hari Indonesia di sekitar 1999 dan 2000 yaitu kelam. Pada masa tersebut, marak konflik-konflik horisontal di Indonesia yang seolah menjadi musim jauh dari simpatik bahkan biadab. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 1999 gres relatif disamai pada periode 2001 ketika konsensus-konsensus antarkelompok yang bertikai lewat fasilitasi pemerintah dan tokoh masyarakat berhasil mengekang hawa nafsu. 

Konflik yang hendak dibicarakan kemudian terletak di bentuk yang kedua, konflik yang disertai vandalism dan violence. Konflik-konflik ibarat ini banyak menggejala di masyarakat Indonesia yang katanya ramah itu. Saling bunuh dan saling rusak antarsaudara sesama bangsa terjadi hampir di sekujur pulau-pulau nusantara: Dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, Jakarta, sampai Papua. Upaya pemotretan atas dinamika sosial dan budaya Indonesia akan kurang lengkap tanpa kajian serius atas akar kemunculan konflik dalam bentuk kedua ini. 

Teori-teori yang Menjelaskan Roots of Conflict 

Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya berkembang di sekeliling garis multikulturalitas masyarakat. Nuansa suku bangsa, etnis, agama, dan pelapisan sosial mewarnai konflik-konflik violence sekaligus vandal. Konflik yang menyeret wacana primordial umum terjadi dalam konflik di Kalimantan (antara etnis Madura, Melayu, dan Dayak), di Ambon, Poso, dan Halmahera (kaum migran, pribumi, Muslim, Nasrani, klien-klien elit politik), kerusuhan sosial dan etnis Mei 1998 di Jakarta, konflik Aceh, serta pembantaian 1966 di Jawa dan Bali, yaitu sebagian konflik dalam aras ini. 

Sebelum dilakukan pembahasan masing-masing konflik, terlebih dahulu dipaparkan sejumlah teori yang berupaya menjelaskan aneka alur konflik. Dari teori, lantaran musabab konflik di Indonesia akan lebih gampang dipetakan. Pemahaman atas alur-alur konflik sekaligus dibutuhkan bisa memberi dukungan bahwa kendati integrasi nasional Indonesia telah dibakukan, di arus bawah (juga level elit) konsensus nasional bergotong-royong masih terus berproses menjadi: Belum ada fase selesai. Untuk keperluan teori ini, akan diikuti alur pikir dari Patrick Baron, Claire Q. Smith, and Michael Woolcock, yang membagi empat cara pandang dalam melihat fenomena konflik violence. Keempat cara pandang tersebut yaitu sosiologis, politik, politik-ekonomi, dan antropologi.[2]
 
Pendekatan Sosiologis 

Dalam cara pandang sosiologis, konflik dikaitkan dengan dilema primordial. Ia menyatakan bahwa keunikan dan keberadaan budaya membatasi interaksi antarkelompok. Penjelasan konflik dari pendekatan ini berkisar pada unsur psikologi dan budaya, dengan mana individu masing-masing kelompok memahami diri dan pihak lain. 

Dalam konteks primordial, pendekatan sosiologis mengungkap dilema prejudis (prasangka) dan stereotip. Prejudis mengacu pada perilaku bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok tanggapan adanya dugaan kelompok tersebut mempunyai ciri yang tidak menyenangkan.[3] Ia disebut prejudis tanggapan dugaan yang diajukan tidak didasarkan pada pengetahuan, pengalaman ataupun bukti sahih. Prejudis juga berarti kesimpulan kaku dan tidak adil atas suatu kategori insan yang dianggap keseluruhan.[4] Prejudis tidak adil lantaran tanggapan kategori tertentu atas satu atau beberapa individu, semua anggota kelompoknya secara kaku digeneralisasi sebagai identik. Generalisasi pun hanya didasarkan sedikit bukti ataupun bukti yang sifatnya tidak langsung. Prejudis sanggup ditujukan pada orang dengan orientasi seksual, usia, afiliasi politik, ketidaklengkapan fisik, ras, ataupun etnis spesifik. 

Prejudis sanggup bersifat positif ataupun negatif. Prejudis positif cenderung menambahi kelebihan pada orang-orang yang serupa dengan dirinya sendiri. Prejudis yang negatif cenderung mengutuki orang-orang selain dirinya sendiri. Prejudis negatif berkisar dari sekadar memperlihatkan perilaku tidak suka yang samar sampai permusuhan konfrontatif. Sulitnya, prejudis seringkali berakar di dalam budaya suatu kelompok sehingga setiap anggotanya – sekurangnya – niscaya mempunyai prejudis. Dalam dilema prejudis terdapat sejumlah teori turunannya, yaitu: (1) Scapegoat Theory, (2) Authoritarian Personality Theory, (3) Culture Theory, dan (4) Conflict Theory.[5]
 
Teori Kambing Hitam (Scapegoat Theory) menjelaskan munculnya prejudis tidak lain tanggapan rasa frustrasi orang atau kelompok yang mengalami ketidakberuntungan. Kambing hitam yaitu orang atau kategori orang, yang umumnya punya kekuasaan kecil, yang secara tidak adil dipersalahkan tanggapan ketidakberuntungan yang menimpa kelompok lain. Karena hanya punya kekuasaan kecil, suatu kelompok menjadi kambing hitam yang aman. Tidak absurd kalau kelompok minoritas kerap dijadikan kambing hitam. Demikian pula dalam konteks ras ataupun etnis, etnis mayoritas yang mengalami ketidakberuntungan ekonomi atau politik kerap secara picik menyalahkan etnis-etnis lain yang lebih kecil atau tidak berdaya sebagai penyebabnya. 

Teori personalitas otoritarian diungkap Theodor Adorno tahun 1950. Teori ini juga disebut prejudis ekstrem, sebagai sifat pribadi individu-individu tertentu. Menurut Adorno, orang yang mengekspresikan prejudis ekstrem atas satu minoritas cenderung melakukannya atas minoritas-minoritas lain. Individu atau kelompok yang mengidap personalitas otoritarian menganut nilai-nilai budaya konvensional secara kaku. Mereka melihat dilema moral secara sederhana sebagai benar dan salah atau hitam-putih. Individu pengidap personalitas otoritarian memandang masyarakat sebagai kompetitif dan hirarkis, dengan orang-orang yang lebih baik (seperti diri dan kelompoknya) di peringkat atas dan (harus) mendominasi orang atau kelompok lain yang tidak serupa atau sepaham dengan mereka. Sebaliknya, berdasarkan Adorno, orang yang mengekspresikan toleransi atas satu minoritas cenderung sanggup mendapatkan keberadaan minoritas-minoritas lain. Mereka cenderung fleksibel dalam melaksanakan evaluasi moral sekaligus menyikapi orang lain secara setara. Individu yang kurang terdidik ataupun dididik oleh orang bau tanah yang sikapnya cuek serta penuntut, cenderung mengembangkan personalitas otoritarian. Situasi psikologis mereka penuh kemarahan dan kegelisahan masa kecil, yang sesudah sampaumur bermetamorfosis pribadi yang penuh permusuhan, agresif, dan selalu mencari kambing hitam. 

Teori budaya menganggap bahwa kendati prejudis ekstrim ditemui pada diri individu, prejudis serupa juga ditemui pada orang-orang yang mereka timpakan prejudis tersebut. Persamaan ini muncul tanggapan prejudis bergotong-royong belahan tak terpisahkan dari budaya dari mana mereka berasal. Bukti bahwa prejudis bersarang dalam budaya yaitu fakta bahwa minoritas pun mempunyai prejudis atas mayoritas atau minoritas lain. Individu mempunyai prejudis lantaran mereka hidup dalam suatu budaya prejudis, budaya yang diajarkan oleh masyarakat kepada mereka seputar apa yang lebih baik atau lebih jelek dari orang atau kelompok lain. 

Teori konflik melihat prejudis seringkali dipakai sebagai alat kelompok yang berkuasa untuk menindas subordinatnya. Sebaliknya, kalangan minoritas memberdayakan kesadaran ras atau etnis mereka untuk merebut privilese dan kekuasaan yang lebih besar. Gerakan Zionis merupakan referensi mekanisme ini. Mereka yaitu etnis minoritas tetapi memegang kekuasaan ekonomi baik di Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara Barat lain. Sebagai minoritas mereka mengexercise prejudis secara negatif, dengan klaim mereka yaitu korban prejudis pihak lain (biasanya mayoritas) lantaran dilema ras atau etnisnya. Holocaust seringkali dipakai Zionis untuk justifikasi tindak kolonial mereka atas Palestina. 

Dalam pembicaraan prejudis, terkembang pula konsep stereotip. Prejudis juga kerap mengambil bentuk stereotip. Stereotip (stereotype) berasal dari kata Yunani yang berarti solid. Stereotip yaitu gambaran kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran gambaran tersebut. Stereotip biasanya diaplikasikan atas suatu ras atau etnis, sementara prejudis lebih kepada individu dan kelompok sosial yang lebih kecil. Stereotip ada dua jenis yaitu positif dan negatif. Tipe positif contohnya pandangan bahwa orang Cina dan Padang pandai berdagang, orang Batak yaitu pengacara handal, orang Bugis dan Makassar pelaut dan perantau pemberani, orang Jawa giat dan tinggi kemampuan adaptasinya, dan sejenisnya. Sementara tipe negatif contohnya pandangan bahwa orang Polandia itu kotor, bodoh, atau kasar, orang Inggris dan Perancis sombong, atau orang Jepang otoriter. 

Pendekatan Sosiologi-Politik 

Pendekatan ini menyatakan bahwa sifat etnis yang sudah terbangun secara sosial dan intensitas konflik yang muncul kemudian, punya basis instrumental (diaplikasikan untuk tujuan tertentu). Basis instrumental ini menjadi mekanisme individu atau kelompok guna memenuhi kepentingan mereka. 

Suku bangsa (etnis) dianggap sebuah bentuk jadi, produk hasil riwayat pembentukan panjang. Proses menjadi yang membuat sebuah suku bangsa tanggapan adanya gerakan di dalam masyarakat. Misalnya, Jong Sumatranen Bond 1920-an di Indonesia, terbentuk tanggapan impian peleburan etnis Sumatera yang berbeda-beda (Batak, Padang, Palembang, Aceh) ke dalam satu suku bangsa saja: Sumatera. Pada perkembangannya, kelompok sosial yang terbentuk bukan lagi pada sesuatu yang given semisal etnis Batak, Minangkabau, atau Betawi, tetapi dialiri oleh faktor politik, baik yang bercorak positif maupun negatif. Dalam konteks yang serupa pun sanggup dicontohkan mekanisme terbangunnya bangsa Indonesia. 

Sebab itu, dalam pendekatan sosiologi-politik dikenal dua arus pergerakan. Pertama, pergerakan tugas elit intelektual dan politik dalam membentuk dan memelihara konsepsi diri dan kelompok. Kedua, pergerakan budaya, yang merupakan derivasi (turunan) dari power relation (hubungan kekuasaan) lebih banyak didominasi di dalam suatu komunitas. Sebab itu, gugusan budaya dan dinamika yang kemudian berkembang merupakan wujud struktur kekuasaan dan power relations yang ada. Termasuk ke dalam pendekatan ini teorisasi Indonesia sebagai masyarakat beragam dan multikultural. Dalam masyarakat beragam dikenal pula pola kekerabatan mayoritas-minoritas yang dominatif dan eksklusif. Dalam masyarakat multikultural, kekerabatan mayoritas-minoritas dianggap setara dan toleran. 

James M. Henslin memetakan pola umum kekerabatan mayoritas-minoritas.[6] Pola Henslin diletakkan ke dalam sebuah kontinum. Kontinum di sebelah kiri merepresentasikan kekerabatan ekstrim yang melaksanakan penolakan dan tidak manusiawi, sementara yang kanan merepresentasikan posisi mendapatkan dan manusiawi, ibarat tampak pada gambar:[7] 


Dalam menyikapi konflik yang muncul, segmen-segmen dalam masyarakat mempunyai metode sendiri-sendiri dalam menyikapi kekerabatan mayoritas-minoritas. Klasifikasi kekerabatan yang terbentuk dipengaruhi oleh kekerabatan antaragama, etnis ataupun ras positif di dalam masyarakat yang berbeda. Hal yang perlu diingat, kekerabatan mayoritas-minoritas sekadar pucuk dari pusaran dilema kekerabatan agama, etnis, atau ras di masing-masing masyarakat. Masyarakat satu bisa berbeda dengan masyarakat lain dalam kekerabatan mayoritas-minoritas ini. Pembahasan dilakukan dari kontinum di ekstrim kanan ke kiri. [8] 

Multikultural yaitu kondisi kekerabatan mayoritas-minoritas dalam mana individu aneka ras dan etnis yang ada di suatu wilayah diakui berbeda tetapi saling menyebarkan pijakan sosial yang sama.[9] Individu yang ras dan etnisnya berbeda ini, saling menyebarkan sumber daya secara setara. Di Indonesia kondisi ini merupakan das zein dan disimbolkan dalam slogan: Bhinneka Tunggal Ika. Dengan lain perkataan, dalam masala keragaman ras dan etnis Indonesia (secara ideologis) mengambil pijakan multikultural. Multikulturalitas Indonesia yaitu sebuah fakta, das zein. Perilaku kekerabatan mayoritas-minoritas aktualnya mengikuti slogan ini. Persoalannya, apakah das zein tersebut juga telah terintrojeksi ke dalam kesadaran masyarakat Indonesia sebagai sebuah konsensus ataukah konflik, koeksistensi ataukah kompetisi? Apakah di setiap propinsi, kabupaten atau kota, kekerabatan mayoritas-minoritas ditandai saling menyebarkan sumber daya secara setara ataukah dominasi? 

Menurut Henslin, hambatan suatu bangsa yang mengambil pijakan multikultural diurai menjadi tiga.[10] Pertama, kendati umumnya etnis dan ras diberi kesempatan yang sama dalam mengembangkan tradisi dan kebiasaan bebuyutan mereka, beberapa di antaranya (individu atau kelompok di dalam setiap etnis dan ras) tetap menginginkan ras atau etnis lain-lah yang harus mengikuti tradisi dan kebiasaan mereka. Kedua, membesarnya kuantitas ras atau etnis minoritas di suatu daerah, membuat ras atau etnis status quo lebih banyak didominasi mempertanyakan keberadaan mereka sehingga mendorong perilaku reaktif. Ketiga, adanya fakta ras atau etnis yang berlainan punya pijakan sosial yang sungguh tidak serupa. Ketiga hambatan inilah yang seringkali membuat kekerabatan mayoritas-minoritas tidak serasi secara alamiah. 

Asimilasi yaitu proses dengan mana minoritas secara sedikit demi sedikit mengadopsi budaya kelompok dominan. Atau, kelompok lebih banyak didominasi menyerap kelompok minoritas ke dalam tubuhnya. Corak asimilasi bisa berupa konversi agama, cara berpakaian, penganutan nilai, perubahan bahasa, ataupun pergaulan. Asimilasi ditentang pendukung multikulturalisme lantaran seringkali menganggap minoritas-lah sumber masalah, bukan mayoritas. Multikulturalis juga memandang ada ketidakadilan di dalam proses asimilasi, dalam mana minoritas-lah yang wajib melaksanakan perubahan sesuai kebiasaan mayoritas, tidak pernah sebaliknya. Di dalam kenyataan, memang minoritas-lah yang kerap mengasimilasi budaya mayoritas. Bagi Macionis, asimilasi hanya mungkin dalam konteks etnis tetapi tidak dalam ras.[11] Contohnya, seorang Skandinavia yang mengubah namanya menjadi nama Jawa, mempraktekkan kebudayaan Jawa, pandai berbahasa Jawa, dan beragama layaknya orang Jawa umumnya sanggup saja terasimilasi menjadi etnis Jawa dan diakui oleh etnis Jawa lainnya. Aspek sosialnya mungkin berubah tetapi tidak ciri-ciri fisiknya (ras): Ia tetap Skandinavia. Namun, kendati lambat, lewat proses alamiah ibarat perkawinan antar ras hambatan fisik ini bergotong-royong sanggup teratasi. 

Segregasi yaitu pemisahan fisik berdasarkan kategori biologis atau sosial tertentu. Mekanisme ini sanggup dilakukan baik oleh mayoritas maupun minoritas. Jika multikulturalisme mengupayakan tetapnya keunikan tanpa merugikan minoritas, segregasi melaksanakan pemisahan resmi berdasarkan keunikan tersebut. Contoh segregasi yaitu masyarakat Amerika Serikat pra 1964 di mana kekerabatan sosial dipisahkan berdasarkan ras (kulit berwarna dan putih). Jika segregasi yang dipilih sebagai metode kekerabatan mayoritas-minoritas, ketegangan-ketegangan sosial akan laten, iklim curiga berkembang, dan balasannya meletupkan konflik yang besar cost sosial dan ekonominya. Indonesia di masa kolonial juga terkena segregasi, dalam mana kekerabatan sosial ditentukan oleh ras: Eropa, Cina, Arab, dan Pribumi. Ras ini memilih bagaimana posisi individu di mata hukum, politik, dan pendidikan.[12] 

Kolonialisme Internal. Kategori ini banyak dianut sosiolog ajaran konflik, yang menganggap bangsa Industri maju mengeksploitasi yang kurang terindustrialisasi.[13] Kolonialisme internal yaitu konsep yang menggambarkan kelompok lebih banyak didominasi suatu masyarakat melaksanakan tindak eksploitasi atas minoritas demi laba ekonomi. Kelompok lebih banyak didominasi ini (tidak melulu harus berjumlah mayoritas) memanipulasi lembaga-lembaga sosial demi menindas minoritas (non dominan) lewat penghambatan kanal menuju posisi yang lebih menguntungkan minoritas ini. Sistem apartheid Afrika Selatan, cultuur-stelsel di periode kolonial Belanda, penjajahan Palestina oleh Zionis, kerja rodi dan romusha Indonesia di periode kolonial, atau perbudakan, yaitu referensi kekerabatan ini. Konsepsi masyarakat beragam kiranya hadir dari pola konolialisme internal ini. 

Transfer Populasi terdiri atas dua jenis yaitu langsung dan tidak langsung.[14] Transfer populasi tidak langsung terjadi ketika minoritas terpaksa memindahkan diri dari lokasi usang ke lokasi gres tanggapan perlakuan mayoritas. Transfer populasi langsung terjadi ketika minoritas dipindahkan secara terang-terangan oleh mayoritas dari lokasi usang ke lokasi baru. Kasus pengungsia tanggapan konflik yaitu referensi transfer populasi berpola tidak langsung. Kasus Palestina yaitu referensi transfer populasi berpola langsung. Berdirinya Pakistan yaitu referensi transfer populasi berpola langsung dan tidak langsung. 

Genosid yaitu pembunuhan (penghilangan nyawa) sistematis atas suatu kelompok masyarakat oleh kelompok masyarakat lain. Genosid yaitu bentuk terburuk kekerabatan mayoritas-minoritas. Kendati tidak bisa dibenarkan, bahkan secara universal dikutuk, genosid seringkali terjadi dari dulu sampai kini. Dalam sejarah, genosid berkali-kali terjadi, contohnya atas ras Yahudi Jerman di masa Hitler (1935–1945), pembunuhan sistematik atas tiga puluh juta musuh nyata dan tidak nyata Stalin di Uni Sovyet, pembunuhan dua juta kaum yang oleh dicurigai borjuis oleh Pol Pot (1975–1980), pembantaian rakyat Polandia oleh Rusia di Katyn, termasuk perkembangan terkini dimana suku Hutu membersihkan Tutsi di Rwanda, Serbia membersihkan Bosnia di Balkan, serta pencucian etnis non Arab oleh etnis Arab di Darfur, Sudan. 

Dari keempat bentuk kekerabatan mayoritas-minoritas, multikultural dan asimilasi yaitu metode yang lebih manusiawi ketimbang dalam kontinum segregasi sampai genosid. Namun, kedua kekerabatan yang lebih positif tersebut membutuhkan kesalingpengertian dan kerjasama yang saling memahami antara mayoritas etnis atau ras dengan saudaranya yang minoritas. Selain itu, kedua kekerabatan tersebut mempunyai sejumlah kelebihan dan kekurangannya sendiri. 

Pendekatan Ekonomi Politik 

Pendekatan ekonomi-politik menggeser fokus perhatian dari pemeran individual kepada struktur masyarakat yang dianggap memperlihatkan insentif material sebagai penyebab konflik. Kelangkaan sumber daya serta sulitnya distribusi kemakmuran jadi perhatian utama pendekatan ini. Bagi ekonomi politik, selama masih ada situasi dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat, konsensus akan terus instabil dan konflik inheren. Ketimpangan distribusi pendapatan serta tersendatnya kanal sejumlah kelompok atas sumber daya langka, yaitu rangkaian variabel penyebab konflik yang dilansir pendekatan ini. 

Analisis akar konflik – baik vertikal maupun horisontal – di Indonesia juga umumnya memakai pendekatan ini. Dalam menjelaskan konflik Poso misalnya, Thamrin Amal Tomagola maupun George Junus Aditjondro, menempatkan analisis ketimpangan distribusi pendapatan antara masyarakat Poso pendatang – yang lebih menguasai sektor perdagangan dan ekonomi umum – dengan masyarakat orisinil Poso yang kurang beruntung dalam kuasa material ekonomi sebagai variabel utama penyebab konflik. Selain itu, prejudis yang saling menegasikan muncul serta membesar dalam bayang ketimpangan ini. Penduduk orisinil Poso menganggap pendatang bertindak eksploitatif atas wilayah mereka. Pendatang, di lain pihak, menganggap penduduk orisinil tidak mau mengubah nasibnya sendiri. Selubung agama yang mengitari konflik Poso, yaitu sekadar kabut – bukan raison d’etre konflik. Dalam konflik lain di Indonesia, baik vertikal maupun horisontal, analisis atas pola perebutan sumberdaya material ekonomi langka serta ketimpangan distribusinya juga umum digunakan. 

Pendekatan Antropologis 

Sesuai namanya, pendekatan antropologis fokus pada aspek insan selaku sumber konflik. Perhatian diberikan pada ada tidaknya mekanisme resolusi konflik dalam masyarakat. Akar-akar konflik yang diidentifikasi pendekatan ini umumnya yaitu terdiri atas sengketa batas wilayah antarkelompok, kepemilikan sumberdaya, pola pengairan tanah, kepemimpinan, atau dinamika keluarga (prosedur warisan, pertikaian rumah tangga, dan kekerabatan antara pria dan perempuan).

Keuntungan dari pementingan atas aspek insan dalam terdiri atas dua. Pertama, fokus pada how to solve conflict dengan mengajukan pertanyaan langsung ibarat apakah faktor penyebab konflik keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau dilema yang berkaitan dengan faktor geografis? Kedua, menolak klarifikasi konflik yang state-centric. Untuk ini, negara diposisikan hanya sebagai fasilitator, sementara tokoh-tokoh masyarakat dari pihak yang berkonflik diperlakukan sebagai subyek: Mereka duduk satu meja untuk mencari akar dilema dan resolusinya. Hal ini contohnya tampak terang ketika proses penyelesaian konflik Poso dan Maluku lewat Deklarasi Malino I dan II. Yusuf Kalla (wapres ketika itu, mewakili negara) bertindak sebagai fasilitator sementara pihak-pihak yang dipertemukan yaitu wakil-wakil masyarakat yang benar-benar terlibat dan memahami konflik. 

Keempat pendekatan konflik yang telah terpapar, dibutuhkan bermanfaat dalam menilik aneka konflik yang berkembang di Indonesia. Terkadang, beberapa pendekatan saling tumpang-tindih ketika menjelaskan satu fenomena konflik. Tumpah-tindih sulit dihindari tanggapan konflik antara insan bukanlah hal sederhana atau melulu monofaktor. 

-----------------------------------------------
[1] Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Agustus 2011 (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2011) h. 12.
[2] Patrick Baron, et.al, Understanding Local Level Conflict in Developing Countries: Theory, Evidence and Implication from Indonesia, (Washington DC: Social Development Papers, Paper No.19/December 2004). Penjelasan atas keempat pendekatan ini di tulisan-tulisan selanjutnya mendasarkan pada sumber ini.
[3] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: LPFE Universitas Indonesia, 2004) h.151.
[4] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.362.
[5] Ibid., p. 366-8. Pemahaman teoritis kemudian atas empat turunan prejudis memakai sumber ini.
[6] James M. Henslin, Sociology: A Down to Earth Approach (Boston: Allyn & Bacon, 2010) p. 342-5.
[7] Ibid.
[8] Penjelasan teoritik atas keenam konsep dalam kontinum, kalau tidak diseling footnote lain, mengacu pada Henslin ini.
[9] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. pp. 369-70.
[10] James M. Henslin, Sociology: A Down ..., op.cit.
[11] Ibid.
[12] Suasanya segregasi Indonesia di masa kolonial sanggup dirasakan dalam tetralogi Pulau Buru Pramudya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
[13] James M. Henslin, Sociology: A Down ..., op.cit. p. 345.
[14] Ibid., p. 345. 

tags:
penyebab konflik vertikal konflik horizontal indonesia pendekata sosiologis pendekatan antropologis pendekatan ekonomi-politik pendekatan sosiologi politik

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konflik Vertikal Dan Horizontal Di Indonesia"

Posting Komentar