Proses pembentukan masyarakat dan perubahan masyarakat berdasarkan Gerhard Lenski, Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim mewakili empat sudut pandang. Gerhard Lenski menjelaskan bagaimana teknologi mengubah masyarakat semenjak 10 ribu tahun yang kemudian dan terus berlangsung hingga kini. Karl Marx menjelaskan bagaimana masyarakat mengalami perubahan akhir konflik cara produksi ekonomi. Max Weber menjelaskan bagaimana masyarakat terbentuk dan berubah akhir munculnya gagasan antara masyarakat tradisional (yang dicirikan kuatnya unsur kekeluargaan) dikontraskan dengan gagasan masyarakat kompleks (yang dicirikan unsur fatwa rasional). Emile Durkheim menjelaskan bagaimana solidaritas sosial yang terbangun baik dalam masyarakat tradisional maupun modern supaya bisa membuat kekerabatan antarstruktur yang harmonis. [1]
Gerhard Lenski dan Peran Teknologi dalam Perubahan Masyarakat
Gerhard Lenski memakai terawangan evolusi sosial budaya guna melihat perkembangan masyarakat.[2] Lenski menjelaskan bagaimana perubahan dalam masyarakat terjadi segere sesudah mereka memproduksi (atau mengadaptasi) teknologi baru. Bagi Lenski, masyarakat wilayah pedalaman tidak selalu berarti lebih bodoh ketimbang urban. Masyarakat pedalaman memakai teknologi yang sekadar menjangkau jumlah anggota mereka yang memang kecil, sementara teknologi masyarakat urban (misalnya alat transportasi) bisa menjangkau jumlah yang lebih besar. Jangkauan ini besar lengan berkuasa terhadap pola perubahan masyarakat sehubungan intensitas interaksi sosial yang dihasilkannya.
Lewat teknologi, interaksi sosial meningkat kepadatan moralnya (moral density) dan membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar gagasan. Pertukaran kemudian mendorong perubahan sosial (social change). Teknologi pesawat terbang misalnya, memungkinkan insan mengatasi sulitnya medan darat, sehingga mereka sanggup melaksanakan penerbangan perintis untuk membuka wilayah yang sebelumnya terisolasi, baik oleh pegunungan maupun lautan. Datangnya insan gres dari luar – baik untuk menetap atau sekadar singgah –menciptakan interaksi sosial jenis baru. Interaksi tersebut mendorong masyarakat yang awalnya terisolasi tadi menemukan sejumlah gagasan gres untuk mereka terapkan dalam kekerabatan sosial. Bagi Lenski, faktor material yaitu teknologi (pesawat terbang) meningkatkan interaksi, interaksi memunculkan gagasan, gagasan mendorong perubahan sosial.
Lewat kajiannya atas efek teknologi atas evolusi sosial budaya, Lenski membagi masyarakat ke dalam lima kategori, yang terdiri atas: masyarakat pemburu dan peramu, masyarakat hortikultural dan pastoral, masyarakat agraris, masyarakat industri, dan masyarakat pos-industri. Klasifikasi kelima jenis masyarakat tersebut tampak pada tabel.[3]
Pemburu dan Peramu. Masyarakat pemburu dan peramu ialah bentuk masyarakat paling sederhana.[4] Kegiatan mereka umumnya sekadar berburu binatang (memburu) serta mengumpulkan hasil tumbuhan nonbudidaya dengan teknologi berupa peralatan sederhana (meramu). Kendati sekarang perkembangan teknologi sudah membuat masyarakat posindustri, masyarakat pemburu dan peramu masih ada di sejumlah wilayah Indonesia. Akibat teknologi diterapkan hanya bisa mengelola alam secara pasif, sebagian besar kegiatan sosial mereka habiskan untuk mencari kuliner berupa binatang buruan ataupun tanam-tanaman demi pemenuhan kebutuhan subsisten.
Dalam aktivitasnya, masyarakat pemburu dan peramu bergantung pada keluarga. Ketergantungan berkisar pada distribusi makanan, proteksi anggota, dan sosialisasi budaya. Perempuan biasanya berkegiatan meramu, sementara pria memburu hewan. Umumnya, di masyarakat pemburu dan peramu terdapat seorang shaman (pemimpin spiritual, dukun) yang istimewa posisinya. Namun, bahkan shaman pun tetap harus mencari makan untuk keluarganya, sama mirip anggota masyarakat lain.
Sercombe and Sellato menyebut masih terdapat suku yang masuk kategori masyarakat pemburu-peramu di Kalimantan, yaitu: Punan Tubu dan Punan Malinau (sebelah utara Kalimantan Timur); Kayan-Tabang-Segah-Kelai (sebelah tengah-selatan Kalimantan Timur); Hovongan dan Kereho (perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur); Buket (ujung barat Kalimantan Timur bersahabat perbatasan dengan Kalimantan Barat); Buket (ujung timur Kalimantan Barat, bersahabat perbatasan Kalimantan Timur dan Serawak).[5] Masyarakat pemburu dan peramu lainnya ialah Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.[6]
Hortikultural dan Pastoral. Masyarakat hortikultural menerapkan teknologi peralatan tangan untuk mengkoleksi hasil pertanian.[7] Masyarakat pastoral menerapkan teknologi domestikasi hewan. Masyarakat hortikultural dan pastoral masih sanggup ditemukan di wilayah Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Material surplus – jumlah kebutuhan subsisten lebih besar dari persyaratan hidup – masyarakat hortikultural dan pastoral berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Tingkat produksi kuliner mereka lebih besar sebab teknologi yang mereka terapkan memungkinkan campur tangan insan atas produksi tumbuhan dan hewan. Akibatnya, populasi masyarakat hortikultural dan pastoral mengalami peningkatan. Masyarakat pastoral hidup nomadik dengan menggembala ternak, sementara masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman permanen. Mereka gres pindah tatkala tanah tempat tumbuhnya tumbuhan tidak lagi subur atau ditemukan tanah garapan gres yang lebih subur dan bisa menampung jumlah populasi mereka.
Saat masyarakat mengalami material surplus memungkinkan adanya waktu luang (leissure time) bagi sebagian anggotanya. Waktu luang mendorong munculnya kreativitas teknologi dan mewujud dalam spesialisasi pekerjaan gres mirip membuat peralatan rumah tangga, berdagang binatang dan tanaman, membuat rumah, membuat jalan, dan sebagainya. Teknologi gres bisa ditemukan sebab banyak individu yang tidak perlu lagi terlibat eksklusif dalam kegiatan ekonomi subsisten (menyediakan pangan) sebab teknologi sudah sanggup membantu penyelesaian pekerjaan. Secara akumulatif, kemunculan sebuah teknologi gres disusul teknologi lain yang sifatnya lebih rumit sebab sumber daya yang memungkinkan untuk itu tersedia lebih banyak.
Akibat pokok perkembangan teknologi di dalam masyarakat hortikultural dan pastoral ialah munculnya kelompok yang lebih kaya dan lebih berkuasa. Ketimpangan sosial mulai muncul. Satu keluarga lebih besar lengan berkuasa ketimbang keluarga lainnya. Satu kelompok lebih mendominasi kelompok lain. Keluarga atau kelompok tersebut memanfaatkan sumber daya politik dan keamanan untuk menjamin posisinya. Perbedaannya dengan masyarakat yang lebih kemudian (masyarakat agraris, nanti dibahas) ialah jangkauan wilayah kekuasaannya yang relatif kecil sebab pertumbuhan populasi masyarakat fase ini yang belum terlalu signifikan. Pertumbuhan agama juga berbeda di masyarakat hortikultural dan pastoral. Di masyarakat hortikultural, muncul gagasan satu yang kuasa tetapi intervensinya terhadap kehidupan tidak sebesar dalam masyarakat pastoral.[8]
Agraris. Masyarakat agraris dicirikan kegiatan cocok tanam berskala besar.[9] Cocok tanam skala besar dimungkinkan akhir ditemukannya teknologi pembantu produksi manusia, semisal tenaga binatang (sapi untuk menarik bajak, kuda untuk menarik pedati). Masyarakat ini juga ditengarai telah menemukan teknologi irigasi, teknik baca tulis, dan penggunaan peralatan yang terbuat dari logam. Lewat derma bajak, teknik irigasi, dan peralatan logam, masyarakat agraris sanggup menetap di suatu wilayah, tidak perlu lagi berpindah layaknya masyarakat hortikultural. Mereka bisa melaksanakan refertilization tanah garapan. Populasi masyarakat agraris semakin menumpuk di suatu wilayah sebab lahan tumbuhan sanggup dipakai oleh beberapa generasi dengan tingkat kesuburan yang berkurang lambat. Produksi cocok-tanam masyarakat agraris berlipat ganda dibandingkan hortikultural. Peningkatan material-surplus membuat peningkatan serupa pada jumlah insan yang tidak perlu terlibat eksklusif dalam kegiatan produksi subsisten. Waktu luang mereka manfaatkan untuk menemukan teknologi baru. Diferensiasi dan spesialisasi kerja yang lebih rumit ketimbang masyarakat sebelumnya (hortikultural dan pastoral) jadi tidak terelakkan. Diferensiasi dan spesialisasi kerja muncul akhir semakin banyak waktu luang yang dimanfaatkan dalam dalam masyarakat ini. Di dalam masyarakat agraris, jaringan perdagangan tumbuh lebih pesat, dan uang mulai dipakai sebagai alat tukar.
Penemuan uang mendorong pada meningkatnya ketimpangan sosial. Kelompok kategori ekonomi bisa memanfaatkan sumber daya ekonomi secara lebih efektif. Mereka muncul sebagai kelas ekonomi mapan kemudian mendominasi kelas lain. Mereka juga punya waktu luang lebih banyak sebab pekerjaan subsisten sudah dilakukan para subordinatnya: Petani penggarap dan budak. Mereka memperalat uang dan pranata aturan demi mengamankan laba ekonomi komparatifnya. Ketimpangan sosial berangsur permanen. Dalam masyarakat agraris, segregasi kiprah wanita dan pria mulai terjadi. Laki-laki menjalankan peran-peran publik pengaturan masyarakat, sementara wanita didorong lebih berkonsentrasi pada duduk kasus domestik (rumah tangga).
Indonesia merupakan masyarakat agraris. Luas wilayah masyarakat ini – daratan dan lautan – mencapai 1.904.569 km2. Dari luas total tersebut, 24% merupakan daratan. Dari total daratan ini, 67 juta hektar (35%) dipakai sebagai tempat lindung dan sisanya seluas 123 juta hektar (65%) dipakai untuk areal budidaya, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Sebanyak 53,71 juta hektar lahan dari 123 juta hektar area budidaya dipakai sebagai lahan pertanian.[10] Dalam konteks ini, Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris ketika 43,33% (hampir setengah) luas lahan daratan yang sanggup dibudidaya dipakai untuk pertanian. Namun, masyarakat agraris ini lambat laun mulai tergusur oleh terbentuknya jenis masyarakat gres yang sudah mulai menggejala: Masyarakat industrial.
Industrial. Masyarakat industrial ialah masyarakat dengan ciri utama produksi barang – makanan, pakaian, materi bangunan – dengan derma teknologi mesin yang digerakkan sumberdaya energi non hewani (sumber daya baru).[11] Penggunaan energi binatang yang marak di tahap masyarakat agraris berkurang penggunaannya. Teknologi mesin yang operasinya didukung sumber daya energi gres (bahan bakar fosil), membuat proses produksi jauh lebih cepat dengan hasil jauh lebih banyak ketimbang yang bisa dilakukan masyarakat sebelumnya. Material-surplus dalam masyarakat ini terjadi berkali-kali lipat. Apalagi dengan turut ditemukannya teknologi kereta uap, kapal uap, listrik, rel-rel besi, juga komunikasi kawat, yang kesemuanya memungkinkan proses distribusi hasil produksi semakin cepat dan ekstensif. Perluasan pasar dan pencarian sumber daya mendorong munculnya imperialisme. Imperialisme memungkinkan pemilik alat produksi dari bangsa imperial mencapai laba yang semakin besar. Akibatnya, ketimpangan sosial di dalam masyarakat industri jauh lebih besar dan rumit lagi.
Teknologi kendaraan beroda empat ditemukan tahun 1900. Mobil ialah teknologi transportasi dan diproduksi secara massa. Kemampuan jelajah kendaraan beroda empat jauh lebih tinggi ketimbang binatang (unta, kuda, keledai, sapi). Daya jelajah insan meningkat dan mendorong banyak daerah gres dibuka, sumberdaya alam gres dieksploitasi, dan insan gres ditemukan. Secara global, kolonialisme dan imperialisme membiak, proses produksi semakin murah dan kompleksitas sosial dari sentra-sentra produksi merambat ke wilayah non perkotaan. Percepatan produksi dan interaksi sosial baru, membuat kekerabatan antar insan mulai anonim. Anonimitas kerap membuat orang yang tinggal bersebelahan tidak mengenal satu sama lain. Kepadatan primordial meningkat dalam tingkat yang tidak pernah ditemukan dalam masyarakat agraris sebelumnya. Kepadatan primordial membuat ketegangan antar kelompok – berdasarkan garis budaya, agama, sosial, kelas – meningkat. Subkultur dan counterculture bermunculan menantang budaya mainstream. Lembaga-lembaga sosial nonkeluarga mulai mengambil kiprah lebih besar dalam sosialisasi budaya, pendidikan, dan pekerjaan individu. Struktur keluarga berubah, dengan indikasi maraknya perceraian, single-parents, atau keluarga-keluarga adopsi.
Untuk sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masyarakat industrial sudah atau paling tidak mulai terbentuk. Kendati masih terlokalisir di wilayah pusat pabrik dan kegiatan perdagangan, masyarakat industrial Indonesia nyata menampakkan wujudnya. Hingga sekarang pun telah dilihat, bahwa dalam alur pikir Lenski ternyata masyarakat Indonesia ditengarai bermacam-macam jenis masyarakat, tidak mono jenis.
Posindustrial. Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan produksi untuk menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya teknologi komputer.[12] Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada pabrik dan mesin penghasil barang material, maka masyarakat posindustri fokus pada pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya bergantung pada komputer dan peralatan elektronik lain. Teknologi utamanya dipakai untuk memproduksi, memproses, menyimpan, dan menerapkan informasi. Jika individu masyarakat industri berguru keahlian teknis, maka individu masyarakat posindustri berbagi kemampuan teknologi informasi memakai komputer dan perangkat teknologi informasi lain sebagai alat bantu kerja. Masyarakat posindustri cenderung berbagi softskill ketimbang hardskill. Percepatan pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat masyarakat industri.
Produksi barang lewat tenaga insan dalam masyarakat posindustri lebih sedikit. Akibatnya, terjadi peralihan besar-besaran tenaga kerja untuk menjalani profesi guru, penulis, sales, penjual pulsa, operator telepon, operator foreign-exchange, pialang saham, termasuk bisnis on-line (e-business dan e-commerce). Industri yang berkembang mengarah pada produksi soft-skill ketimbang hard-skill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian merenggangnya kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan akhir acara masyarakat sebelumnya (industrial).
Kelima masyarakat evolutif Lenski ada di Indonesia, berkelindan satu sama lain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain. Masyarakat pemburu dan peramu hingga sekarang masih sanggup ditemui di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kendati jumlahnya kian sedikit, terhimpit proses pembukaan wilayah oleh masyarakat pendatang, mereka tetap masyarakat Indonesia yang punya hak hidup, bermata pencaharian, serta berbagi kebudayaannya. Masyarakat hortikultural Indonesia ditandai konsep umum perladangan berpindah. Masyarakat mirip ini terutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat pastoral terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah Indonesia yang punya padang rumput yang luas guna mempraktekkan kehidupan menggembala. Masyarakat agraris (termasuk nelayan) masih merupakan elemen terbesar masyarakat Indonesia dan ini ditandai masih adanya Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, kendati ditandai perhatian mereka yang setengah hati. Masyarakat industrial menempati ruang hidup di kota-kota besar. Masyarakat Posindustrial menggejala di kota-kota industri Indonesia, yang kendati kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat seiring mewabahnya penggunaan teknologi virtual communication, data digital, telepon seluler, dan didukung pengembangan backbone-backbone kabel internet yang massif.
Dalam konteks Indonesia aneka masyarakat ala Lenski, tidak terang garis yuridiksinya. Masyarakat tersebut saling berkelindan, jenis yang satu ada bercampur di sisi jenis lainnya. Namun, karakteristik mereka yang cukup berlainan menghendaki penyikapan yang berbeda. Dalam konteks perbedaan ini negara hadir sebagai regulator dan antisipator masalah.
Karl Marx dan Peran Konflik dalam Perubahan Masyarakat
Menurut perspektif ini, sejarah masyarakat ditandai kontradiksi kelas. Klasifikasi Lenski atas keenam jenis masyarakat yang didasarkan efek teknologi (material) atas cara produksi, membuat analisis masyarakat lewat perspektif konflik lebih gampang dipahami. Marx ialah teoretisi konflik paling terkemuka, dan bahkan semenjak awal telah meringkas perubahan masyarakat versi Lenski ke dalam konsepnya: Materialisme historis. Konsep ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak lain tersusun berdasarkan cara-cara produksi material. Materialisme historis beroperasi dalam kaidah materialisme dialektis. Materialisme dialektis menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiap tahapan perkembangan masyarakat menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling bertentangan. Masyarakat gres kemudian muncul sebagai buah kontradiksi antar struktur masyarakat lama.
Cara produksi memburu binatang dan mengumpulkan tumbuhan membuat masyarakat pemburu dan peramu, yang membuat kelas tetua suku dan anggota suku. Cara produksi cocok tanam dan domestikasi binatang membuat masyarakat hortikultural dan pastoral, yang membuat kelas tuan dan budak. Cara produksi pertanian menetap memunculkan masyarakat agraris, yang membuat kelas tuan feodal dan penggarap. Cara produksi memakai mesin dan buruh yang mengoperasikannya memunculkan masyarakat industrial, yang membuat kelas borjuis (juga kapitalis) dan proletar. Cara produksi memakai komputer dalam mengolah informasi membuat masyarakat posindustrial, yang membuat kelas produsen dan konsumen informasi.[13] Menurut Marx, periode masyarakat yang berbeda tersebut ditandai satu kesamaan: Struktur kelas yang terbentuk ialah cermin cara produksi yang berlaku, dalam mana masing-masingnya bertentangan satu sama lain secara diametral dalam konflik abadi. Bagi Marx, kelestarian konflik hanya akan ada selama masyarakat komunis yang egaliter belum tercipta.
Akibat perbedaan penikmatan laba hasil produksi dan waktu luang yang dimiliki, satu kelas selalu lebih beruntung ketimbang kelas lain. Hal ini membuat struktur sosial senantiasa timpang. Ketimpangan sosial ini bersifat permanen di setiap masyarakat sekaligus merupakan inti pendekatan konflik yang digagas oleh Marx. Ketimpangan sosial senantiasa membuat kekerabatan antar kelas ekonomi berada dalam ketegangan. Dua kelas selalu berhadapan secara diametral.
Bagi Marx, bukan gagasan yang membuat masyarakat melainkan cara-cara produksi material-lah yang membuat gagasan. Justru cara-cara produksi-lah yang membuat aneka gagasan insan seputar masyarakat. Inilah klarifikasi singkat mengenai materialisme historis. Karena Marx memakai cara produksi ekonomi sebagai monofaktor kekuatan aktivis perubahan masyarakat maka ia dikenal menganut determinisme ekonomi.
Marx kemudian membelah struktur masyarakat menjadi dua: Infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur merupakan basis (dasar) suatu masyarakat yaitu cara produksi di bidang ekonomi. Suprastruktur terdiri atas: (1) Lembaga sosial dan (2) Gagasan dan nilai. Infrastruktur ialah fundamen yang membentuk suprastruktur.
Cara produksi ekonomi memunculkan aneka institusi sosial mirip politik, agama, pendidikan, atau keluarga. Institusi-institusi tersebut kemudian berbagi gagasan dan nilai-nilai nyata yang berlaku di tengah masyarakat. Menurut Marx, gagasan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat hanya dibuat oleh kelas lebih banyak didominasi dalam cara produksi. Hanya mereka yang sempat merancang aturan dan aneka peraturan sebab waktu luang yang mereka miliki lebih banyak. Akibatnya, gagasan serta nilai apapun yang muncul melulu merupakan instrumen guna memelihara status quo. Di dalam masyarakat industrial, kelas tersebut ialah kapitalis. Kelas ini sengaja membuat aneka institusi sosial, gagasan, agama, dan nilai-nilai masyarakat guna mempertahankan ketimpangan struktur sosial yang ada supaya dominasi kelas tetap terpelihara. Bahkan, berdasarkan Marx, negara pun tidak lain merupakan instrumen kelas borjuis dan kapitalis untuk memastikan kepatuhan kelas proletar supaya terus bekerja sesuai kepentingan mereka.
Telah dipaparkan bahwa suprastruktur yang terdiri atas intitusi sosial, gagasan, serta nilai hanya beroperasi (atau tercipta) guna mendukung cara produksi ekonomi yang ada. Dengan demikian, suprastruktur tidak lain merupakan cerminan dari infrastruktur. Jika infrastruktur mengandung kekerabatan sosial antarkelas yang konfliktual, maka suprastruktur sekadar merupakan instrumen demi melestarikan posisi keberuntungan kelas lebih banyak didominasi dan mempertahankan kekerabatan konfliktual tersebut. Perubahan masyarakat atau perombakan suprastruktur hanya mungkin jikalau infrastruktur direvolusi.
Marx hidup di dalam masyarakat industrial yang tengah berkembang. Dalam masyarakat ini, berdasarkan Marx, terdapat dua kelas utama yaitu kelas yang berkuasa (kapitalis, pemilik alat produksi) dan kelas yang teropresi (proletar, tidak punya alat produksi, pekerja/buruh). Kelas terakhir sekadar menjual tenaga kepada kelas pertama. Marx mempersamakan kekerabatan kapitalis-protelar era industrial serupa dengan tuan-budak di zaman kuno ataupun tuan tanah feodal-penggarap di era agraris. Kapitalis memperlakukan proletar tidak lebih sebagai alat produksi. Hubungan konfliktual antara kapitalis-proletar bersumber pada penguasaan alokasi kekuasaan dan kesejahteraan hanya di satu kelas. Hubungan yang mungkin hanyalah satu kelas mempertahankan, kelas lain berupaya merebutnya.
Situasi konfliktual ditandai pula kiprah uang yang telah muncul sebelumnya. Secara pesimis, Marx melihat uang sebagai tanda keterasingan insan dari lingkungannya. Saat uang belum ditemukan, kepemilikan ditandai benda-benda riil contohnya ternak, gandum, gerobak, yang memperlihatkan kekerabatan eksklusif insan dengan alam. Saat uang ditemukan, ternak dikonversi menjadi uang, gandum dikonversi menjadi uang, dan gerobak dikonversi menjadi uang. Manusia tidak lagi bekerjasama dengan benda-benda riil (alamiah) melainkan lewat simbol-nya: Uang. Manusia dijauhkan dan menjadi terasing dari alam. Konversi benda riil menjadi uang menambah peluang akumulasi kekayaan secara lebih timpang. Apa yang diwakili uang tidak lagi sempurna melukiskan kondisi riil benda alamiah. Dalam masalah upah pekerja misalnya, kapitalis memberikannya dalam nilai uang yang ketika dikonversi pekerja menjadi benda alamiah (sembako misalnya) ternyata tidak cukup guna menghidupi diri dan keluarganya. Selain uang, sebagai penyebab keterasingan manusia, Marx juga merinci keterasingan (alienasi) lain dalam masyarakat industrial, yaitu:[14]
- Alienasi dari tindakan bekerja. Ideal Marx adalah, dalam bekerja orang bisa memenuhi kebutuhan sekaligus berbagi potensi individualitas. Namun, dalam pola kerja pabrik pekerja tidak menghasilkan barang dan skill yang diperlukan untuk bekerja sehingga menyebabkan kemampuan kreatifnya stagnan.
- Alienasi dari hasil pekerjaan. Produk yang dihasilkan pekerja bukan milik si pekerja melainkan milik si kapitalis. Produk tersebut dijual oleh kapitalis demi profit. Bagi Marx, semakin banyak si pekerja menginvestasikan tenaganya dalam proses produksi, bekerjsama ia semakin banyak kehilangan hasilnya. Marx merinci kondisi ini dengan teorinya perihal nilai lebih (surplus value).
- Alienasi dari pekerja lain. Lewat tindakan bekerja, bagi Marx, orang seharusnya bisa membangun ikatan sosial dalam komunitas. Dalam masyarakat industrial, pekerja satu dengan pekerja lain justru malah terpisah dan diperparah oleh pola kekerabatan sosial yang kompetitif sehingga kesempatan membangun ikatan komunitas menjadi kecil atau cenderung tidak ada.
- Alienasi dari potensi kemanusiaan. Masyarakat industrial menyerupai mesin. Pekerja gres mencicipi kedirian manusianya kala jam istirahat saja.
Max Weber dan Peran Gagasan dalam Perubahan Masyarakat
Max Weber mengakui kiprah teknologi bagi perkembangan masyarakat.[15] Weber juga mengakui konflik bersifat inheren di tiap masyarakat. Namun, Weber tidak setuju dengan determinisme ekonomi Marx. Jika Marx menganut materialisme historis, maka Weber sanggup dikatakan menganut idealisme historis. Bagi Weber, masyarakat terbentuk lewat gagasan atau cara berpikir manusia. Dalam hal ini, Weber bertolak belakang dengan Marx yang justru mengasumsikan gagasan tidak lebih proyeksi cara-cara produksi ekonomi.
Konsep yang diperkenalkan Weber ialah tipe ideal (ideal typhus). Makna ideal typhus ialah pernyataan absurd mengenai ciri-ciri esensial tiap fenomena sosial. Masyarakat pemburu dan peramu, hortikultural dan pastoral, agraris, industrial, dan posindustrial ialah referensi dari tipe ideal. Ideal, dalam maksud Weber, bukan berarti baik atau buruk. Tipe ideal lebih merupakan cara mendefinisikan sesuatu. Dengan mengajukan tipe ideal atas setiap fenomena sosial, seseorang sanggup melaksanakan perbandingan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, atau bahkan mendorong perubahan suatu masyarakat kepada tipe ideal yang dikehendaki. Tipe ideal atas suatu fenomena sosial mendorong terciptanya gagasan baru: Tipe ideal ialah gagasan.
Organisasi rasional Weber merupakan referensi dari gagasan. Saat menggagasnya, organisasi ini belum muncul di kenyataan tatkala Weber mengamati pola kerja pegawai publik dalam Dinasti Hohenzollern yang dikala itu menjalankan pemerintahan Prussia.[16] Sistem kerja dinasti tersebut bercorak patrimonial di mana ketaatan seorang pejabat publik bukan pada pekerjaan melainkan pada personalitas tokoh-tokoh politik (patron). Gagasan Weber ialah cara kerja ini harus digantikan dengan yang lebih rasional, di mana ketaatan kepada personal harus digantikan dengan ketaatan atas peraturan impersonal. Organisasi yang diajukan Weber ialah organisasi legal-rasional. Kata birokrasi bukan berasal dari Weber sebab ia tidak pernah menyebut kata birokrasi dalam karyanya. Namun, kata birokrasi sekarang kerap dihubung-hubungkan dengan gagasan Weber.
Dalam menganalisis masyarakat, Weber menekankan bagaimana orang berpikir perihal dunia kontekstualnya. Individu dalam masyarakat pra industri terikat oleh tradisi, sementara pada masyarakat industrial diikat rasionalitas. Tipe ideal Weber mengenai tradisi ialah nilai serta kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Masyarakat tradisional terbentuk tatkala para anggotanya diarahkan oleh masa kemudian atau mencicipi ikatan kuat pada cara hidup yang sudah bertahan usang (tradisi). Gagasan mirip tindakan baik atau jelek ditentukan apa yang telah diterima dari masa sebelumnya. Sebaliknya, orang-orang yang hidup di masa lebih kemudian (modern), lebih mengedepankan rasionalitas, yang maknanya ialah – berdasarkan Weber – cara berpikir yang menekankan kesengajaan, berupa perhitungan niscaya seputar cara-cara yang lebih efektif dalam menyelesaikan pekerjaan.
Ketergantungan pada hal-hal sentimentil pada masyarakat tradisional tidak beroleh tempat di masyarakat modern. Orang modern berpikir dan bertindak berdasarkan efeknya bagi masa sekarang dan masa mendatang, bukan masa lalu. Dengan demikian, Weber mengajukan pendapatnya mengenai rasionalisasi masyarakat yang didefinisikannya sebagai perubahan historis gagasan insan (idealisme historis) dari tradisi menuju rasionalitas. Weber menggambarkan masyarakat modern sebagai sama sekali gres sebab berbagi cara pikir ilmiah yang menyapu jauh-jauh segala ikatan sentimental atas masa lalu.
Apakah digunakannya suatu teknologi mengindikasikan modern-nya suatu masyarakat? Bagi Weber jawabannya belum tentu sebab teknologi hanya maksimal dimanfaatkan jikalau masyarakat penggunanya paham akan kiprah teknologi tersebut bagi dunianya. Apa gunanya komputer bagi masyarakat yang masih menggantungkan dirinya pada kekerabatan eksklusif dengan alam mirip masyarakat pemburu-peramu?
Dalam menyikapi masyarakat industrial Weber berbeda pendapat dengan Marx. Weber memandang masyarakat industrial sepenuhnya rasional sebab kapitalis punya kemampuan mengkalkulasi aspek untung-rugi suatu kegiatan produksi. Kalkulasi mereka lakukan sebelum uang diinvestasikan ke dalam kegiatan produksi. Sebaliknya, Marx justru menganggap masyarakat industrial sebagai irasional sebab masyarakat ini gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mayoritas anggotanya.
Konsep Weber selanjutnya ialah organisasi sosial rasional. Tekanannya atas rasionalitas sebagai ciri masyarakat modern, mendorong Weber mengidentifikasi tujuh ciri organisasi sosial yang dibuat masyarakat modern, yaitu:[17]
- Munculnya forum sosial spesifik. Dalam masyarakat tradisional, keluarga ialah satu-satunya pusat kegiatan dalam masyarakat. Secara berangsur, sistem agama, politik, dan ekonomi mulai memisahkan diri dari sistem keluarga. Aneka sistem yang memisahkan diri ini kemudian menjadi otonom bahkan membuat regulasi otentiknya masing-masing. Sistem-sistem gres menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota masyarakat secara lebih efektif dan efisien.
- Organisasi skala besar. Masyarakat modern ditandai menyebarnya aneka organisasi sosial berskala besar. Contohnya birokrasi negara yang bisa menjangkau wilayah luas dan berpopulasi (anggota organisasi) besar, organisasi industri yang mempekerjakan ribuan orang, ataupun forum pendidikan yang mendidik anggota masyarakat lintas keturunan keluarga.
- Spesialisasi pekerjaan. Masyarakat modern dicirikan diferensiasi dan speasialisasi kiprah yang semakin rumit. Dalam masyarakat modern tidak aneh ada profesi penyapu jalan, penjaga WC umum, tukang sampah hingga presiden.
- Disiplin pribadi. Disiplin pribadi merupakan hal yang dihargai dalam masyarakat modern. Namun, kedisiplinan juga ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang dianut, semisal prestasi atau kesuksesan yang dipandang tinggi suatu masyarakat.
- Penghargaan atas waktu. Masyarakat tradisional dicirikan ketundukan pada peredaran matahari atau musim. Masyarakat modern melangkah lebih jauh dengan membagi waktu berdasarkan jam bahkan menit (kadang detik, dalam dunia teknologi informasi). Siklus kerja masyarakat modern tidak lagi ditentukan peredaran matahari dan musim. Dalam pabrik misalnya, dikenal tiga shift: Pagi, siang, dan malam.
- Kompetensi teknis. Masyarakat tradisional ditengarai oleh latar belakang keluarga (keturunan siapa). Masyarakat modern ditengarai oleh latar belakang kompetensi teknis, kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan. Profesionalitas menjadi alat ukur utama dalam memandang seseorang, bukan asal-usul keturunannya (bibit).
- Impersonalitas. Masyarakat modern memilih pola kekerabatan berdasarkan profesionalitas (kemampuan teknis) dalam pasar kerja. Dengan demikian, insan menjadi impersonal akhir hanya dikenali berdasarkan kemampuan teknis bukan kediriannya yang utuh. Perasaan semakin dijauhkan dalam kekerabatan masyarakat rasional.
Bagi Weber, kapitalisme, birokrasi, dan ilmu pengetahuan ialah mulut (perwujudan) dari gagasan utama masyarakat modern: Rasionalitas. Namun, layaknya Marx, Weber juga menemukan potensi alienasi (keterasingan) individu di dalam masyarakat yang rasional ini. Jika Marx menjelaskan alienasi tercipta akhir ketimpangan ekonomi, maka bagi Weber alienasi tercipta sebagai hasil operasi organisasi rasional. Organisasi rasional memperlakukan insan melulu sebagai angka, tugas, jabatan, atau kompetensi ketimbang keunikan individualitas manusiawi mereka. Kepastian, impersonalitas, keterukuran, dan predictability masyarakat modern yang rasional membuat Weber khawatir insan kehilangan aspek kemanusiaannya.
Emile Durkheim dan Peran Peralihan Solidaritas Sosial dalam Perubahan Masyarakat
Bagi Emile Durkheim, masyarakat berbeda dengan individu.[18] Masyarakat berada di luar (beyond) individu. Masyarakat ada sebelum, di tengah, dan sesudah kehadiran individu di dunia. Masyarakat akan tetap ada kendati individu-individu sudah tidak lagi menjadi anggotanya. Masyarakatlah yang punya kekuasaan mengarahkan fatwa dan tindakan manusia. Sebab itu, kajian psikologi atau biologi dianggap tidak pernah bisa menangkap inti pengalaman sosial seseorang. Segera sesudah dibuat oleh sekumpulan orang, masyarakat seterusnya bergerak secara mandiri. Bahkan, masyarakat menuntut kepatuhan dari orang-orang yang telah membentuknya.
Bagi Durkheim, struktur sosial ialah pola sikap insan yang mencakup norma, nilai, dan kepercayaan. Pola sikap tersebut dikodifikasi di dalam budaya. Struktur sosial juga disebut Durkheim sebagai fakta sosial. Fakta sosial ialah struktur sosial yang benar-benar ada di luar individu, sifatnya permanen, bukan trend. Selain struktur, masyarakat juga punya fungsi. Fungsi ini memastikan masyarakat bisa beroperasi. Salah satu fakta sosial ialah kriminalitas. Bagi Durkheim, secara sosial fungsi kriminalitas tidaklah abnormal. Eksisnya kriminalitas memperlihatkan kemampuan masyarakat dalam mendefinisikan moralitas. Sanksi yang diberikan hukuman masyarakat atas para pelaku kriminal memperlihatkan eksistensi norma sosial yang harus dipatuhi setiap anggotanya.
Durkheim juga menyatakan, masyarakat tidak hanya berada di luar individu melainkan juga di dalam-nya. Personalitas pribadi merupakan representasi masyarakat di dalam diri individu. Konsekuensi logisnya, apapun yang individu lakukan, bayangkan, pikirkan, putuskan, bekerjsama dipengaruhi apa yang masyarakat introjeksikan kepadanya. Masyarakat-lah yang mengatur apa yang boleh diinginkan individu, bagaimana cara mencapainya, serta apa saja batasannya.
Durkheim juga menyorot integrasi sosial. Pandangan menarik Durkheim mengenai ini ialah masalah bunuh diri. Menurut Durkheim, bunuh diri lebih banyak terjadi dalam masyarakat yang lemah integrasi sosialnya. Dalam sebuah penelitian – dimuat dalam karya tulisnya, Suicide – tingkat bunuh diri rendah di kalangan masyarakat Nasrani ketimbang Protestan. Bagi Durkheim penyebabnya adalah, pementingan kolektivitas pada masyarakat Nasrani lebih besar, sementara Protestan lebih kepada individualitas.
Durkheim berbeda dengan Weber dalam memandang konsep masyarakat tradisional dan modern. Bagi Durkheim, masyarakat modern punya pembatasan yang lebih sedikit atas individu ketimbang yang dilakukan masyarakat tradisional. Akibat sedikitnya keterlibatan masyarakat atas individu modern, masyarakat modern cenderung membuat anomie. Anomie ialah kondisi di mana individu hanya sedikit menerima bimbingan moral dari masyarakat. Akibat anomie, tingkat perceraian, kehamilan di luar nikah, bunuh diri, stress dan depresi individual lebih banyak terdapat di masyarakat modern ketimbang tradisional.
Durkheim juga mengkomparasikan kohesi sosial antara masyarakat tradisional dengan modern. Komparasi Durkheim lakukan atas aspek solidaritas sosial. Pada masyarakat pra-industrial, tradisi bertindak sebagai perekat sosial (kohesi) masyarakat. Masyarakatnya berbagi solidaritas-mekanik. Solidaritas-mekanik ialah ikatan sosial berdasarkan nilai-nilai moral dan sentimen bersama dan masih kuat dianut serta dipatuhi oleh para anggota masyarakat. Solidaritas-mekanik sekaligus merupakan produk kesamaan struktur, okupasi, dan proses sosial masyarakat.
Dalam masyarakat industri, kepadatan moral (moral density) meningkat. Peningkatan berakibat pada melemahnya solidaritas-mekanik yang membuat individu merasa tidak lagi terikat tradisi. Sebagai penggantinya – di masyarakat modern – muncul solidaritas-organik yaitu ikatan sosial berdasarkan spesialisasi dan kesalingtergantungan okupasi antaranggota masyarakat. Perbedaan spesialisasi kerja (okupasi) pada masyarakat modern membuat para anggotanya saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan bukan sebab punya nilai, norma, atau budaya serupa melainkan kepentingan okupasi. Transaksi antar kepentingan okupasi direkat oleh uang. Dalam membangun rumah misalnya, terdapat sejumlah profesi yang saling bergantung mirip arsitek, mandor, teknik sipil, tukang listrik, tukang pipa, buruh bangunan kasar, ataupun pejabat yang mengurus IMB. Mereka tidak bisa bekerja sendiri dalam mendirikan suatu bangunan, dan mereka hanya mau bekerja jikalau kompetensi masing-masing diimbali dengan uang.
----------------------
[1] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p. 80-94.
[2] Ibid.
[3] Ibid., p. 83.
[4] Ibid.
[5] Peter Sercombe and Bernard Sellato, eds., Beyond the Green Myth: Borneo’s Hunter-Gatherer in the Twenty-First Century (Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, 2007) p. 10
[6] Johan Weintré, Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia: Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden), Makalah Studi Lapangan, (Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM, 2003).
[7] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.82. Bahasan hortikultural dan pastoral didasarkan sumber ini.
[8] Agama Yahudi dan Nasrani tumbuh dari masyarakat pastoral Bani Israil.
[9] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.82-4. Bahasan agraris didasarkan sumber ini.
[10] Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi, ed., Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008) h. 65.
[11] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p..84. Bahasan industrial didasarkan sumber ini.
[12] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.84-5. Bahasan hortikultural dan pastoral didasarkan sumber ini.
[13] Kelas produsen dan konsumen ialah inisiatif penulis. Analisis Marx hanya hingga masyarakat industrial.
[14] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.87-8.
[15] Ibid. Pembahasan mengenai Weber memakai sumber ini, dengan eleborasi seperlunya.
[16] Dinasti ini berkuasa 1871–1918 di Prussia (Jerman), di masa Weber produktif menulis karya-karyanya.
[17] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p. 91.
[18] Ibid.p. 92-4.
tags:
proses pembentukan masyarakat proses perubahan masyarakat berdasarkan gerhard lenski karl marx max weber emile durkheim kiprah teknologi kiprah konflik kiprah gagasan kiprah solidaritas sosial
0 Response to "Proses Pembentukan Masyarakat Dan Perubahan Masyarakat Berdasarkan Lenski Marx Weber Dan Durkheim"
Posting Komentar