Sistem Kepartaian Dan Partai Politik

Sistem kepartaian dan partai politik merupakan 2 konsep berbeda. Sistem kepartaian memperlihatkan format eksistensi antar partai politik dalam sebuah sistem politik spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh lantaran sistem politik berbeda-beda di setiap negara atau di satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal sampai sekarang ialah Demokrasi Liberal, Kediktatoran Militer, Komunis, dan Otoritarian Kontemporer.

Demokrasi Liberal ialah sistem politik yang melaksanakan pembebasan warganegara untuk berorganisasi, mendirikan partai politik, mengemukakan pendapat dan sejenisnya. Dalam Demokrasi Liberal, partai politik sanggup berkembang secara alami, bergabung antara satu partai dengan partai lain secara sukarela, dan bebas melaksanakan oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi Liberal sekarang dianut di negara-negara mirip Indonesia, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina, dan lain-lain.

Komunis ialah sistem politik tertutup, di mana kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan partai politik tidak ada. Di dalam sistem politik komunis, biasanya hanya ada 1 partai yang legal berdiri dan memerintah, yaitu Partai Komunis. Partai identik dengan pemerintah. Partai-partai lain ditiadakan dan kalau pun terlanjur berdiri, akan dibubarkan. Negara-negara yang masih menganut sistem politik komunis ini ialah Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Cina. Di negara-negara tersebut, Partai Komunis ialah satu-satunya partai yang berkuasa dan boleh berdiri.

Otoritarian Kontemporer ialah sistem politik dalam mana personalitas pemerintah (presiden dan pendukungnya) sangat besar. Dalam Otoritarian Kontemporer, biasanya ada satu partai secara umum dikuasai dan beberapa partai “figuran.” Pemerintah mengontrol eksistensi partai-partai politik dan mengintervensi kalau terdapat duduk kasus dalam struktur internal partai. Indonesia di masa Orde Baru mencirikan hal ini, di mana Golkar menjadi partai dominan, sementara PPP dan PDI selaku partai “figurannya.” Negara lain yang memberlakukan sistem ini ialah Singapura dan Malaysia.

Kediktatoran Militer ialah pemerintahan yang dikuasai sebuah faksi militer. Kediktatoran Militer biasanya muncul ketika militer menilai politisi sipil tidak bisa menuntaskan duduk kasus yang telah berlarut-larut. Militer (salah satu faksinya) kemudian melaksanakan perebutan kekuasaan dan pribadi memerintah tanpa memperhatikan partai-partai politik yang ada. Pemerintahan yang muncul ini ibarat “darurat perang”, sehingga tidak mungkin partai politik sanggup beraktivitas secara leluasa. Myanmar dan Pakistan di bawah Jenderal Musharraf ialah teladan dari kediktatoran militer ini.

Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian ialah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan ajaran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut menghipnotis sistem kepartaian yang ada.

Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melaksanakan pembagian terstruktur mengenai sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling gampang dan paling banyak dilakukan peneliti ialah berdasarkan jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik. Peter Mair memuatnya dalam tabel berikut:


Dari tabel di atas, kelihatan beberapa cara melaksanakan pembagian terstruktur mengenai sistem kepartaian. Maurice Duverger melakukannya berdasarkan jumlah partai, Robert Dahl berdasarkan skala kompetisi yang opositif, Blondel melaksanakan berdasarkan ukuran jumlah dan besar partai secara relatif, Rokkan berdasarkan jumlah partai, kadang kala satu partai mayoritas, dan distribusi kekuatan partai-partai minoritas, dan Giovani Sartori berdasarkan jumlah partai dan jarak ideologi antar partai-partai tersebut.

Mair sendiri cenderung menyebut pembagian terstruktur mengenai Giovani Sartori sebagai yang paling bersahabat untuk digunakan. Alasannya, pertama, pembagian terstruktur mengenai Sartori bersifat paling komprehensif dan bisa diterapkan pada kasus-kasus empiris (nyata). Kedua, ia bisa diterapkan di negara-negara dengan jumlah dan sistem kepartaian berbeda. Misalnya Amerika Serikat yang sistem 2 partai, India yang satu partai berkuasa (Kongres), Malaysia yang satu partai berkuasa (UMNO), Jepang yang satu partai berkuasa (Liberal Demokrat). Ketiga, pembagian terstruktur mengenai tersebut tetap memperhatikan pola-pola kompetisi dan interaksi antar partai dan cocok dengan pengertian sistem kepartaian itu sendiri. Keempat, ia mengkaitkan antara sikap pemilih dengan hasil pemilihan.

Sistem 2 Partai berdasarkan Sartori ialah sistem kepartaian yang ditandai dengan format terbatas dan jarak ideologi yang tidak terlalu jauh. Misalnya terjadi di Inggris, di mana meskipun banyak partai berdiri, tetapi hanya 2 partai yang eksis di setiap Pemilu, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif. Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat, di mana Partai Republik dan Partai Demokrat yang hadir di setiap Pemilu, untuk kemudia memegang kendali pemerintahan.

Pluralisme Moderat ialah sistem kepartaian yang ditandai dengan pluralisme terbatas dan jaran ideologi antarpartai yang tidak terlampau jauh. Ini terjadi di Denmark.

Pluralisme Terpolarisasi ialah sistem kepartaian yang ditandai dengan pluralisme ekstrim dan besarnya jarak ideologi antar partai. Ini terjadi di Italia selama tahun 1970-an dan Chili sebelum perebutan kekuasaan tahun 1973).

Partai Berkuasa ialah sistem kepartaian yang ditandai dengan adanya 1 partai yang selalu memenangi dingklik di Parlemen. Seperti telah disebut, ini terjadi di Malaysia, India, dan Jepang. Partai yang ikut pemilu tetap banyak, akan tetapi yang menang ialah partai yang “itu-itu” saja.

Partai Politik

Partai politik ialah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik. Partai politik mempunyai sejarah panjang dalam hal promosi ide-ide politik dari level masyarakat ke level negara. Namun, sebelum dilakukan pembicaraan lebih lanjut, perlu kiranya diberikan definisi mengenai partai politik yang digunakan dalam goresan pena ini.

Sebuah definisi klasik mengenai partai politik diajukan oleh Edmund Burke tahun 1839 dalam tulisannya "Thoughts on the cause of the present discontents’. Burke menyatakan bahwa “party is a body of men united, for promoting by their joint endeavors the national interest, upon some particular principle upon which they are all agreed" [partai politik ialah forum yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional secara bersama-sama, berdasarkan pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui]. Definisi Burke ini tampak masih “abstrak” oleh lantaran tidak semua partai secara empiris memperjuangan kepentingan nasional. Ini tampak contohnya dalam goresan pena Robert Michels wacana The Iron Law of Oligarchy (Hukum Besi Oligarki).

Robert Michels menyatakan bahwa partai politik, sebagai sebuah entitas politik, sebagai sebuah mekanisme, tidak secara otomatis mengindetifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya juga kelas sosial yang mereka wakili. Partai sengaja dibuat sebagai alat untuk mengamankan tujuan. Juga menjadi potongan dari tujuan itu sendiri, mempunyai tujuan dan kepentingan di dalam dirinya sendiri. Dalam sebuah partai, kepentingan massa pemilih yang telah membentuk partai kerap kali terlupakan oleh lantaran terhalangi oleh kepentingan birokrasi yang dijalankan pemimpin-pemimpinnya.

Definisi lain mengenai partai politik diajukan oleh Joseph Schumpeter tahun 1976 dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy. Menurutnya, partai politik ialah “… is a group whose members propose to act in concert in the competitive struggle for power…. Party and machine politicians are simply the response to the fact that the electoral mass is incapable of action other than in a stampede, and they constitute an attempt to regulate political competition exactly similar to the corresponding practice of a trade association. [… ialah kelompok yang anggotanya bertindak terutama dalam hal usaha mencapai kekuasaan … Partai dan para politisinya merupakan teladan sederhana bagi jawaban atas ketidakmampuan massa pemilih untuk bertindak selain dari ketidakrapian organisasinya, dan mereka secara konkret berusaha mengatur kompetisi politik layaknya praktek yang sama yang dilakukan oleh asosiasi perdagangan].

Definisi Schumpeter ini cukup sinis, dengan menyatakan bahwa partai politik bisa berperan oleh lantaran para pemilih (warganegara) sendiri tidak terorganisasi secara baik untuk memenuhi kepentingannya di dalam negara. Schumpeter juga menganggap partai politik ialah sama mirip pedagang, di mana komoditas yang diperjualbelikan ialah gosip politik yang dibayar dengan pemberian bunyi oleh para pemilih.

Joseph Lapalombara dan Jeffrey Anderson pun memperlihatkan definisi mereka wacana partai politik. Menurut Lapalombara dan Anderson, partai politik adalah:

 “… any political group, in possession of an official label and of a formal organization that links centre and locality, that presents at elections, and is capable of placing through elections (free or non-free), candidates for public office. [… setiap kelompok politik, yang mempunyai label dan organisasi resmi yang menghubungkan antara sentra kekuasaan dengan lokalitas, yang hadir ketika pemilihan umum, dan mempunyai kemampuan untuk menempatkan kandidat pejabat publik melalui kegiatan pemilihan umum (baik bebas maupun tidak bebas].

Definisi Lapalombara dan Anderson ini membatasi partai politik sebagai organisasi resmi, diakui pemerintah, dan ikut pemilihan umum. Partai politik ialah penghubung antara sentra kekuasaan dengan lokalitas (warganegara yang tersebar di aneka wilayah, agama, ideologi, dan sejenisnya). Partai politik berfungsi untuk menempatkan orang-orang (kandidat) bagi sebuah jabatan publik.

Dari definisi yang cukup bervariasi ini, sanggup ditarik suatu simpulan bahwa partai politik ialah organisasi politik yang bersifat resmi, yang bertujuan memenuhi kepentingan para pemilihnya dengan cara menguasasi pemerintahan dan menempatkan anggota-anggota mereka melalui prosedur Pemilihan Umum. Definisi ini tentu saja terlampau sederhana akan tetapi akan digunakan di dalam goresan pena ini.

Fungsi Partai Politik

Fungsi partai politik di setiap negara demokrasi cukup penting. Terutama, ini dikaitkan dengan fungsi perwakilan kepentingan elemen masyarakat yang mereka bawakan: Partai politik menerjemahkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam kebijakan pemerintah.

Aneka penulis telah mengkaji fungsi partai politik. Salah satunya ialah David McKay. Dalam kajiannya atas partai-partai politik di Amerika Serikat, ia pun berkesimpulan bahwa partai politik mempunyai fungsi:

  1. Agregasi kepentingan – fungsi ini ialah posisi partai sebagai alat untuk mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada.
  2. Memperdamaikan kelompok dalam masyarakat – fungsi ini ialah posisi partai politik untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama.
  3. Staffing government – fungsi ini ialah posisi partai politik untuk mengajukan orang-orang yang akan menjadi pejabat publik, baik gres maupun menggantikan yang lama.
  4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah – fungsi ini ialah posisi partai politik mengkoordinasi aneka forum pemerintah yang saling berbeda untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
  5. Mempromosikan stabilitas politik – fungsi ini ialah fungsi partai politik untuk mempromosikan stabilitas politik, contohnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim nonpartai ke dalam DPR untuk dicarikan titik temunya.

Penulis lain, contohnya Janos Simon membagi fungsi partai politik menjadi 6, yaitu : (1) Fungsi sosialisasi politik; (2) fungsi mobilisasi politik; (3) fungsi representasi politik; (4) fungsi partisipasi politik; (5) fungsi legitimasi sistem politik, dan (6) fungsi kegiatan dalam sistem politik.

Fungsi sosialisasi politik mulai signifikan ketika seseorang sudah bisa menilai keputusan dan tindakannya. Orang tersebut kemudia mencari “figur” yang dianggap mewakili norma-norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Salah satu forum yang menyediakan nilai tersebut ialah partai politik. Sebab itu, partai politik berfungsi sebagai biro guna mengisi norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada diri individu. Peran ini semakin besar di negara-negara dengan sistem kepartaian multipartai.

Fungsi mobilisasi ialah fungsi partai politik untuk membawa warganegara ke dalam kehidupan publik. Tujuan dari mobilisasi ini ialah : Mengurangi ketegangan sosial yang ditampakkan oleh kelompok-kelompok yang termobilisasi; Mengelaborasi program-program untuk menurunkan ketegangan tersebut, dan sebagai hasilnya kelompok-kelompok tersebut mengalihkan dukungannya kepada partai politik, dan; Membangun struktur kelompok yang akan menjadi basis pendukung partai yang bersangkutan.

Fungsi partisipasi ialah fungsi partai politik untuk membawa warganegara supaya aktif dalam kegiatan politik. Jenis partisipasi politik yang ditawarkan partai politik kepada warganegara ialah kegiatan kampanye, mencari dana bagi partai, menentukan pemimpin, demonstrasi, dan debat politik.

Fungsi legitimasi mengacu pada kebijakan partai politik mendukung dan mempercayai kebijakan pemerintah maupun eksistensi sistem politik. Seperti diketahui, partai politik mempunyai massa pemilih. Jika partai menentukan untuk mendukung sesuatu, maka kemungkinan besar pemilihnya akan melaksanakan hal yang sama.

Fungsi representasi ialah fungsi klasik partai politik. Partai politik yang ikut pemilihan umum dan memenangkan sejumlah suara, akan menempatkan wakilnya di dalam parlemen. Anggota partai yang masuk ke dalam DPR ini membawa fungsi representasi dari warganegara yang menentukan partai tersebut.

Fungsi kegiatan dalam sistem politik didasarkan pada premis, partai politik menjabarkan programnya dan menyiapkan anggota-anggotanya untuk menjalankan acara tersebut. Jika partai tersebut mengantungi bunyi dalam pemilu, maka anggota-anggotanya tersebut akan masuk ke dalam parlemen. Anggota partai yang bersangkutan tersebut kemudian beraktivitas (secara politik) untuk menjalankan program-program partai. Aktivitas pemerintahan (khususnya parlemen) menjadi berjalan akhir adanya partai politik tersebut.

Tipe Partai Politik

Tipe-tipe partai politik dari para mahir cukup banyak, dan ini cukup membingungkan. Namun, aneka pembagian terstruktur mengenai tipe partai politik tersebut diakibatkan sejumlah sudut pandang. Misalnya, ada yang mengkaitkan dengan kesejarahan, relasi sosial, berakhirnya perang ideologi, dan sebagainya.

Tulisan ini sengaja akan memuat sejumlah pandangan para mahir ilmu politik mengenai pembagian terstruktur mengenai partai politik. Salah satu yang melakukannya ialah Richard S. Katz. Katz membagi tipe partai politik menjadi 4 tipe, yaitu:

  1. Partai Elit – Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada relasi client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai mempunyai status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.
  2. Partai Massa – Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, mirip “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.
  3. Partai Catch-All – Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti gosip di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.
  4. Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akhir berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada bunyi mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, akad pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak mempunyai arti lagi.
  5. Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melaksanakan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan menciptakan mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka ialah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melaksanakan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.
------------------------
Referensi
  1. David McKay, American Politics and Society, 6th Edition, (Malden: Blackwell Publishing, 2005) p.80-4.
  2. Janos Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millenium, (Barcelona: Institut de Ciències Polítiques i Socials, 2005)
  3. Joseph Lapalombara and Jeffrey Anderson, Political Parties dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encyclopedia of Government and Politics, Volume 1, (New York: Routledge, 1992) p. 393-412.
  4. Peter Mair, Party Systems and Structures of Competition, dalam Lawrence LeDuc, ed., et.al., Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, (California: Sage Publications, 1996) p.93-106.
  5. Pippa Norris, Building Political Parties: Reforming legal regulations and internal rules, Report for International IDEA, Januari 5, 2005
    Richard S. Katz, “Party Organizations and Finance”, dalam Lawrence LeDuc, ed., et.al., op.cit., p.107-33.
  6. Robert Michels, “The Iron Law of Oligarchy”, dalam Bernard E. Brown and Roy C. Macridis, Comparative Politics: Notes and Readings, 8th Edition, (California: Wadsworth Publishing Company, 1996) p.244-9.
tags:
sistem kepartaian, teori partai politik, tipe sistem politik, pengertian demokrasi liberal, pengertian otoritarian kontemporer, sistem kepartaian giovani sartori, sistem pluralisme terpolarisasi, sistem pluralisme moderat, sistem satu partai berkuasa, sistem dua partai, teori teori partai politik, partai politik robert michels, partai politik berdasarkan joseph schumpeter, fungsi fungsi partai politik, partai catch all, partai kartel, partai massa, partai elit, partai integratif, partai elit, seta basri, stia sandikta, artikel pengantar ilmu politik pengertian sistem kepartaian jenis kepartaian jenis partai politik fungsi partai politik definisi partai politik partai kartel massa kader partai elit

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sistem Kepartaian Dan Partai Politik"

Posting Komentar