Pengertian kepemimpinan yaitu faktor kunci dalam suksesnya suatu organisasi serta manajemen. Kepemimpinan yaitu entitas yang mengarahkan kerja para anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang baik diyakini bisa mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya organisasi supaya sanggup bersaing secara baik.
Konsep kepemimpinan telah banyak ditawarkan para penulis di bidang organisasi dan manajemen. Kepemimpinan tentu saja mengkaitkan aspek individual seorang pemimpin dengan konteks situasi di mana pemimpin tersebut menerapkan kepemimpinan. Kepemimpinan juga mempunyai sifat kolektif dalam arti segala sikap yang diterapkan seorang pimpinan akan mempunyai dampak luas bukan bagi dirinya sendiri melainkan seluruh anggota organisasi.
Sebelum memasuki materi kepemimpinan, perlu terlebih dahulu dibedakan konsep pemimpin (leader) dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin yaitu individu yang bisa mensugesti anggota kelompok atau organisasi guna mendorong kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin menunjuk pada personal atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu, kepemimpinan yaitu sifat penerapan imbas oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap anggota lainnya guna mendorong kelompok atau organisasi mencapai tujuan-tujuannya.
Cukup banyak definisi kepemimpinan yang ditawarkan para andal di bidang organisasi dan manajemen. Masing-masing mempunyai perspektif dan metodelogi pembuatan definisi yang cukup berbeda, bergantung pada pendekatan (epistemologi) yang mereka bangkit guna menyidik fenomena kepemimpinan.
Stephen Robbins, contohnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai “ ... the ability to influence a group toward the achievement of goals.”[1] Kepemimpinan yaitu kemampuan untuk mensugesti suatu kelompok guna mencapai serangkaian tujuan. Kata “kemampuan”, “pengaruh” dan “kelompok” yaitu konsep kunci dari definisi Robbins.
Definsi lain, yang cukup sederhana, diajukan oleh Laurie J. Mullins.[2] Menurut Mullins, kepemimpinan yaitu “ ... a relationship through which one person influences the behaviour or actions of other people.” Definisi Mullins menekankan pada konsep “hubungan” yang melaluinya seseorang mensugesti sikap atau tindakan orang lain. Kepemimpinan dalam definisi yang demikian sanggup berlaku baik di organisasi formal, informal, ataupun nonformal. Asalkan terbentuk kelompok, maka kepemimpinan hadir guna mengarahkan kelompok tersebut.
Definisi kepemimpinan yang agak berbeda dikemukakan oleh Robert N. Lussier dan Christopher F. Achua.[3] Menurut mereka, kepemimpinan yaitu “... the influencing process of leaders and followers to achieve organizational objectives through change.” Bagi Lussier and Achua, proses mensugesti tidak hanya dari pemimpin kepada pengikut atau satu arah melainkan timbal balik atau dua arah. Pengikut yang baik juga sanggup saja memunculkan kepemimpinan dengan mengikuti kepemimpinan yang ada dan pada derajat tertentu mengatakan umpan balik kepada pemimpin. Pengaruh yaitu proses pemimpin mengkomunikasikan gagasan, memperoleh penerimaan atas gagasan, dan memotivasi pengikut untuk mendukung serta melaksanakan gagasan tersebut lewat “perubahan.”
Definisi kepemimpinan juga diajukan Yukl, yang menurutnya yaitu “ ... the process of influencing others to understand and agree about what needs to be done and how to do it, and the process of facilitating individual and collective efforts to accomplish shared objectives.”[4] [“... proses mensugesti orang lain supaya bisa memahami serta menyetujui apa yang harus dilakukan sekaligus bagaimana melakukannya, termasuk pula proses memfasilitasi upaya individu atau kelompok dalam memenuhi tujuan bersama.”]
Definisi kepemimpinan, cukup singkat, diajukan Peter G. Northouse yaitu “ ... is a process whereby an individual influences a group of individuals to achieve a common goal.”[5] [“ ... yaitu proses dalam mana seorang individu mensugesti sekelompok individu guna mencapai tujuan bersama.”] Lewat definisi singkat ini, Northouse menggarisbawahi sejumlah konsep penting dalam definisi kepemimpinan yaitu:
- kepemimpinan merupakan sebuah proses;
- kepemimpinan melibatkan pengaruh;
- kepemimpinan muncul di dalam kelompok;
- kepemimpinan melibatkan tujuan bersama.
Kepemimpinan yaitu suatu konsep yang kompleks sehingga para andal mengkaji perkara ini dari aneka sisi. Masing-masing sisi mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sebagai contoh, penulis ibarat Peter G. Northouse membagi pendekatan kepemimpinan menjadi:
- Pendekatan Sifat (Trait);
- Pendekatan Keahlian (Skill);
- Pendekatan Gaya (Style);
- Pendekatan Situasional;
- Pendekatan Kontijensi;
- Teori Path-Goal;
- Teori Pertukaran Leader-Member;
- Pendekatan Transformasional;
- Pendekatan Otentik;
- Pendekatan Tim;
- Pendekatan Psikodinamik.
Pendekatan sifat termasuk pendekatan kepemimpinan yang paling tua. Pendekatan sifat menganggap pemimpin itu dilahirkan (given) bukan dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri atas atribut tertentu yang menempel pada diri pemimpin, atau sifat personal, yang membedakan pemimpin dari pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga disebut teori kepemimpinan orang-orang besar. Lebih jauh, pendekatan ini juga membedakan antara pemimpin yang efektif dengan yang tidak efektif. Pendekatan ini dimulai tahun 1930-an dan hingga sekarang telah mencakup 300 riset.
Fokus pendekatan sifat semata-mata pada pemimpin per se. Pemimpin berbeda dengan pengikut tanggapan ia punya sejumlah sifat kualitatif yang tidak dimiliki pengikut pada umumnya. Setelah merangkum studi yang dilakukan oleh Ralph Melvin Stogdill (1948), Mann (1959), Stogdill (1974), Lord, DeVader, and Alliger (1986), Kirkpatrick and Locke (1991) dan Zaccaro, Kemp, and Bader (2004), Peter G. Northouse menyimpulkan sifat-sifat yang menempel pada diri seorang pemimpin yang melaksanakan kepemimpinan (menurut pendekatan sifat) yaitu sifat-sifat kualitatif berikut:
- Intelijensi – Pemimpin cenderung punya intelijensi dalam hal kemampuan bicara, menafsir, dan bernalar yang lebih berpengaruh ketimbang yang bukan pemimpin.
- Kepercayaan Diri – Kepercayaan diri yaitu keyakinan akan kompetensi dan keahlian yang dimiliki, dan juga mencakup harga diri serta keyakinan diri.
- Determinasi – Determinasi yaitu hasrat menuntaskan pekerjaan yang mencakup ciri ibarat berinisiatif, kegigihan, mempengaruhi, dan cenderung menyetir.
- Integritas – Integritas yaitu kualitas kujujuran dan sanggup dipercaya. Integritas membuat seorang pemimpin sanggup dipercaya dan layak untuk diberi kepercayaan oleh para pengikutnya.
- Sosiabilitas – Sosiabilitas yaitu kecenderungan pemimpin untuk menjalin hubungan yang menyenangkan. Pemimpin yang memperlihatkan sosiabilitas cenderung bersahabat, ramah, sopan, bijaksana, dan diplomatis. Mereka sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan memperlihatkan perhatian atas kehidupan mereka.
Sementara itu, secara kuantitatif, pendekatan sifat memilah indikator kepemimpinan yang juga dikenal sebagai The Big Five Personality Factors sebagai berikut:
- Neurotisisme– Kecenderungan menjadi depresi, gelisah, tidak aman, gampang diserang, dan bermusuhan;
- Ekstraversi– Kecenderungan menjadi sosiabel dan tegas serta punya semangat positif;
- Keterbukaan– Kecenderungan mendapatkan masukan, kreatif, berwawasan, dan punya rasa ingin tahu;
- Keramahan– Kecenderungan untuk menerima, menyesuaikan diri, bisa dipercaya, dan mengasuh; dan
- Kecermatan– Kecenderungan untuk teliti, terorganisir, terkendali, sanggup diandalkan, dan bersifat menentukan.
Kelima faktor yang sanggup dikuantifikasi di atas, lewat sejumlah riset, punya hubungan berpengaruh dengan kepemimpinan-kepemimpinan tertentu di dalam organisasi.
Pendekatan Keahlian punya fokus yang sama dengan pendekatan sifat yaitu individu pemimpin. Bedanya, bila pendekatan sifat menekankan pada aksara personal pemimpin yang bersifat given by God, maka pendekatan keahlian menekankan pada keahlian dan kemampuan yang sanggup dipelajari dan dikembangkan oleh siapapun yang ingin menjadi pemimpin organisasi.
Jika pendekatan sifat mempertanyakan siapa saja yang bisa untuk menjadi pemimpin, maka pendekatan keahlian mempertanyakan apa yang harus diketahui untuk menjadi seorang pemimpin. Definisi pendekatan keahlian yaitu kemampuan seseorang untuk memakai pengetahuan dan kompetensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai seperangkat tujuan. Keahlian, berdasarkan pendekatan keahlian sanggup dipelajari, dilatih, dan dikembangkan.
Pendekatan Keahlian terbagi dua : (1) Keahlian Administratif Dasar, dan (2) Model Keahlian Baru. Keahlian Administratif Dasar terdiri atas penguasaan dalam hal: Teknis, Manusia, dan Konseptual.
Keahlian Administratif Dasar. Kepemimpinan banyak didasari oleh tiga keahlian manajemen dasar yaitu: teknis, manusia, dan konseptual. Keahlian-keahlian ini berbeda sesuai sifat dan kualitas seorang pemimpin.
1. Keahlian Teknis. Keahlian ini merupakan pengetahuan mengenai dan kemahiran atas jenis pekerjaan tertentu. Keahlian ini mencakup kompetensi-kompetensi di area spesialisasi tertentu, kemampuan analitis, dan kemampuan memakai alat dan teknik yang tepat. Contoh, di perusahaan software komputer, keahlian teknis sanggup mencakup pengetahuan bahasa aktivitas dan bagaimana memprogramnya, serta memastikan risikonya sanggup dimanfaatkan oleh para klien.
2. Keahlian Manusia. Keahlian Manusia yaitu pengetahuan mengenai dan kemampuan bekerja dengan orang lain. Keahlian ini beda dengan keahlian teknis, di mana keahlian insan berorientasi manusia, sementara keahlian teknis berorientasi benda.
3. Keahlian Konseptual. Keahlian konseptual yaitu kemampuan untuk bekerja dengan gagasan-gagasan dan konsep-konsep. Jika keahlian teknis bicara ihwal kerja dengan benda, keahlian insan bicara ihwal kerja dengan manusia, maka keahlian konseptual bicara ihwal kerja dengan ide atau gagasan. Pemimpin yang punya keahlian konseptual merasa nyaman tatkala bicara ihwal ide yang membentuk suatu organisasi dan sanggup melibatkan diri ke dalamnya. Mereka mahir menempatkan tujuan organisasi ke dalam kata-kata yang bisa dipahami oleh para pengikutnya.
Model Keahlian Baru. Model Keahlian Baru dikenal juga dengan nama Model Kapabilitas. Model ini menguji hubungan antara pengetahuan dan keahlian seorang pemimpin dengan kinerja yang ditunjukkan oleh pemimpin tersebut dalam memimpin.
Pendekatan gaya kepemimpinan menekankan pada sikap seorang pemimpin. Ia berbeda dengan pendekatan sifat yang menekankan pada karakteristik pribadi pemimpin, juga berbeda dengan pendekatan keahlian yang menekankan pada kemampuan administratif pemimpin. Pendekatan gaya kepemimpinan fokus pada apa benar-benar dilakukan oleh pemimpin dan bagaimana cara mereka bertindak. Pendekatan ini juga memperluas kajian kepemimpinan dengan bergerak ke arah tindakan-tindakan pemimpin terhadap anak buah di dalam aneka situasi.
Pendekatan ini menganggap kepemimpinan apapun selalu memperlihatkan dua sikap umum : (1) Perilaku Kerja, dan (2) Perilaku Hubungan. Perilaku kerja memfasilitasi tercapainya tujuan: Mereka membantu anggota kelompok mencapai tujuannya. Perilaku hubungan membantu bawahan untuk merasa nyaman baik dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun dengan situasi dimana mereka berada. Tujuan utama pendekatan gaya kepemimpinan yaitu menjelaskan bagaimana pemimpin mengkombinasikan kedua jenis sikap (kerja dan hubungan) guna mensugesti bawahan dalam upayanya mencapai tujuan organisasi.
Pendekatan gaya kepemimpinan secara singkat direpresentasikan oleh tiga riset yang satu sama lain berbeda. Pertama, riset Ohio State University yang diadakan di simpulan 1940-an lewat karya Stogdill (1948), yang memberi perhatian yang lebih dari sekadar sifat dalam mengkaji kepemimpinan. Kedua, riset yang diadakan di University of Michigan yang mengeksplorasi bagaimana kepemimpinan menjalankan fungsinya di dalam kelompok kecil. Ketiga, riset yang diawali oleh Blake dan Mouton di awal 1960-an yang mengeksplorasi bagaimana manajer memakai sikap kerja dan hubungannya dalam konteks organisasi.
Kelompok riset di Ohio State University yakin bahwa dengan memposisikan kepimpinan sebagai sifat personal akan kurang berhasil dalam menganalisis fenomena kepemimpinan. Kelompok ini tetapkan untuk menganalisis bagaimana individu bertindak tatkala mereka tengah memimpin suatu kelompok atau organisasi. Analisis dilakukan dengan menyuruh para bawahan mengisi kuesioner yang berisi kesan-kesan mereka atas pimpinannya. Dalam kuesioner, bawahan harus mengidentifikasi berapa kali pimpinan mereka melaksanakan jenis sikap tertentu.
Kuesioner tersebut terdiri atas 1800 pertanyaan yang menggambarkan aneka aspek berbeda dari sikap seorang pemimpin. Dari daftar panjang tersebut, diformulasikanlah 150 pertanyaan yang kemudian dikenal sebagai Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ). LBDQ diberikan kepada pada ratusan orang di bidang pendidikan, militer, dan industri, dan risikonya memperlihatkan bahwa kelompok sikap tertentu yaitu khas seorang pemimpin. Enam tahun kemudian, R.M. Stogdill mempublikasikan versi ringkas LBDQ yang disebut LBDQ-XII, yang menjadi kuesioner yang paling banyak dipakai dalam riset kepemimpinan.
Para peneliti menemukan bahwa tanggapan bawahan atas pimpinan dalam kuesioner yang mereka isi mengelompok pada dua tipe umum sikap pimpinan. Pertama, struktur prakarsa yaitu sejauh mana seorang pemimpin mendefinisikan serta menentukan peran-peran para bawahan dalam rangka merancang dan memenuhi tujuan di area pertanggungjawabannya.[6] Gaya ini menekankan pengarahan kegiatan pekerja dalam tim ataupun individu lewat perencanaan, pengkomunikasian, penjadualan, penugasan pekerjaan, penekanan deadline, dan pemberian perintah. Pemimpin memelihara standard kinerja yang ketat dan berharap bawahan memenuhinya.
Dampak positif dari pemimpin yang mengaplikasikan Struktur Prakarsa atas produktivitas dan kepuasan kerja muncul tatkala : (1) penekanan yang tinggi atas hasil dilakukan oleh orang lain selain dari pemimpin; (2) pekerjaan memuaskan pekerja; (3) pekerja bergantung pada pemimpin atas informasi dan instruksi seputar bagaimana menuntaskan pekerjaan; (4) pekerja secara psikologis sanggup dipengaruhi lewat pemberian instruksi seputar dalam hal apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya; dan (5) lebih dari 12 pekerja melapor secara intens kepada pemimpin.
Kedua, sikap perhatian yang intinya sama dengan perilaku hubungan. Perilaku perhatian yaitu sejauh mana pemimpin punya hubungan dengan bawahan yang dicirikan oleh sikap saling percaya, jalinan komunikasi dua arah, respek pada gagasan pekerja, dan tenggang rasa atas perasaan mereka. Gaya ini menekankan pada pemuasan kebutuhan psikologis pekerja. Pemimpin umumnya menyediakan waktu untuk mendengar, berkeinginan melaksanakan perubahan nasib pekerja, mengupayakan kesejahteraan pribadi para pekerja, bersahabat, dan gampang didekati. Derajat perhatian yang tinggi ini mengindikasikan kedekatan psikologis antara pimpinan dan bawahan; derajat perhatian yang rendah memperlihatkan jarak psikologis yang lebar dan pimpinan lebih impersonal (kurang manusiawi).
Dampak manfaat dari pemimpin yang memperlihatkan perilaku perhatian atas produktivitas dan kepuasan kerja muncul tatkala (1) kiprah bersifat rutin dan sedikit mengabaikan pekerja; (2) bawahan terpengaruh oleh kepemimpinan yang partisipatif; (3) anggota tim harus berguru sesuatu yang baru; (4) pekerja merasa keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan memperoleh pertolongan dan berdampak atas hasil kinerja mereka; dan (5) pekerja merasa bahwa perbedaan status yang nyata antara mereka dengan pimpinan seharusnya tidak ada.
Titik tekan riset di University of Michigan yaitu eksplorasi sikap kepemimpinan, yang mengatakan perhatian khusus utamanya pada dampak sikap pemimpin atas kinerja suatu kelompok kecil.[7]
Riset di University of Michigan mengidentifikasi dua jenis sikap kepemimpinan. Pertama, orientasi pekerja yaitu sikap pemimpin yang mendekati bawahan dengan penekanan hubungan insan yang kuat. Mereka menaruh perhatian pada pekerja sebagai makhluk hidup, menghargai individualitas mereka, dan memberi perhatian khusus atas kebutuhan pribadi mereka. Kedua, orientasi produksi, terdiri atas sikap pemimpin yang menekankan pada aspek teknis dan produksi dari suatu pekerjaan. Dari orientasi ini, pekerja dilihat sebagai alat guna menuntaskan pekerjaan.
Robert R. Blake and Jane S. Mouton tahun 1991 mengembangkan suatu grid (kisi-kisi) kepemimpinan guna memperlihatkan bahwa pemimpin sanggup membantu organisasi mencapai tujuannya lewat dua orientasi, yaitu : (1) Perhatian atas Produksi dan (2) Perhatian atas orang.[8] Kedua orientasi ini mencerminkan kembali perilaku kerja dan perilaku hubungan ibarat terjadi di riset Ohio State University.
Dengan memakai grid (kisi-kisi), Blake dan Mouton membuat 5 gaya kepemimpinan. Gaya-gaya tersebut adalah:[9]
1) Gaya Taat Otoritas (Authority-Compliance)
Gaya ini menggambarkan pemimpin yang dikendalikan oleh pencapaian hasil atau target, dengan sedikit atau bahkan tidak ada perhatian pada insan kecuali dalam rangka keterlibatan mereka dalam menuntaskan pekerjaan. Komunikasi pemimpin dengan pengikutnya terbatas dan diadakan sekadar untuk memberi instruksi pekerjaan. Pemimpin-pemimpin ini bercorak pengendali, pengarah, terlalu kuat, dan penuntut. Mereka bukan kolega kerja yang menyenangkan. Sejumlah penelitian memperlihatkan tingkat keluar-masuk karyawan yang tinggi dengan gaya kepemimpinan semacam ini.
2) Gaya Country-Club
Gaya country-club menggambarkan pemimpin dengan perhatian tinggi pada orang tetapi rendah perhatiannya pada hasil atau produksi. Pemimpin ini fokus pada pemenuhan kebutuhan pekerja sebagai insan dan penciptaan lingkungan yang aman dalam pekerjaan. Keluar-masuk karyawan menurun di bawah pemimpin bergaya ini.
3) Gaya Lemah (Impoverished Management)
Gaya lemah menggambarkan pimpinan yang punya sedikit perhatian baik atas orang ataupun produksi. Pemimpin bergaya ini berlaku sebagai pemimpin tetapi tolong-menolong terasing dan tidak melibatkan diri dalam organisasi. Pemimpin ini kerap punya sedikit hubungan dengan pengikut dan sanggup saja dianggap tidak peduli, tidak tegas, pasrah, dan bersikap masa bodoh. Umumnya kita mengenalnya dengan laissez faire.
4) Gaya Middle-of-the-Road (Gaya Jalan Tengah)
Gaya jalan tengah menggambarkan pemimpin yang kompromistik, yang punya perhatian menengah atas pekerjaan dan perhatian tengah atas orang-orang yang melaksanakan pekerjaan. Pemimpin menghindari konflik dan menekankan pada tingkat produksi serta hubungan personal yang moderat. Gaya kepemimpinan ini kerap digambarkan sebagai orang yang bijaksana, lebih suka berada di tengah, samar pendirian dalam minat atas kemajuan organisasi, dan sulit menyatakan ketidaksetujuannya di hadapan pekerja.
5) Gaya Manajemen Tim
Gaya manajemen tim memberi tekanan seimbang, baik pada pekerjaan ataupun hubungan antarpersonal. Gaya ini mendorong derajat partisipasi dan kerja tim yang tinggi di dalam organisasi sehingga bisa memuaskan kebutuhan dasar pekerja supaya mereka tetap merasa terlibat dan punya komitmen berpengaruh dalam pekerjaannya. Kata yang sanggup menggambarkan pemimpin yang menerapkan gaya manajemen tim adalah : menstimulir, partisipatif, penentu tindakan, pembuka isu, penjelas prioritas, pembuat terobosan, bersikap terbuka, dan penikmat pekerjaan.
6) Paternalistik/Maternalistik
Gaya manajemen tim mengintegrasikan perhatian tinggi atas pekerja sekaligus dan pekerjaan. Namun, mungkin pula ada pemimpin yang menerapkan secara sekaligus, baik perhatian tinggi pada orang maupun perhatian tinggi pada produksi, tetapi tidak dengan cara yang integratif. Pemimpin ibarat ini berpindah dari gaya taat otoritas menjadi gaya country-club bergantung pada situasi. Mereka biasa disebut diktator yang murah hati, alasannya yaitu mereka bertindak ramah pada pekerja hanya supaya pekerjaan selesai, untuk kemudian berpindah kembali menjadi diktator yang sesungguhnya. Gaya ini disebut paternalistik/maternalistik, dan pemimpin bergaya ini melakukannya alasannya yaitu memandang pekerja tidak terkait dengan pencapaian tujuan organisasi. “Orang ya orang, kerjaan ya kerjaan. Beda.”
7) Oportunis
Gaya oportunis merujuk pada pemimpin yang secara oportunistik memakai aneka kombinasi dari 5 gaya “resmi” (nomor 1 s/d 5) guna meningkatkan karier mereka.
Black and Mouton menandaskan bahwa pemimpin biasanya punya satu gaya yang lebih banyak didominasi dan satu gaya cadangan. Pemimpin berpindah ke gaya cadangan tatkala gaya lebih banyak didominasi tidak efektif dan mereka tengah berada di bawah tekanan berat. Guna meringkas ketiga riset yang telah dipaparkan, maka ada baiknya dimuat ikhtisar berupa taksonomi yang disusun oleh Rowe and Guerrero sebagai berikut:[10]
Riset | Perilaku Kerja | Perilaku Hubungan |
Ohio State University | Struktur Penyusunan Pengorganisasian pekerjaan Penentuan struktur kerja Penentuan tanggung jawab Penjadualan kegiatan | Perhatian Pembangunan respek, kepercayaan, kesukaan, dan kesetiakawanan pemimpin dan pengikut |
University of Michigan | Orientasi Produksi Penekanan aspek teknis Penekanan aspek produksi Pekerja dilihat sebagai alat supaya pekerjaan selesai | Orientasi Pekerja Pekerja dilihat lewat aspek hubungan insan yang kuat Pemimpin memperlakukan pekerja selaku makhluk hidup, menghargai individualitas pekerja, memberi perhatian pada kebutuhan pekerja |
Blake dan Mouton | Perhatian atas Produksi Penyelesaian tugas; Pembuatan keputusan; Pengembangan produk baru; Optimalisai proses; Maksimalisasi beban kerja; Peningkatan volume penjualan | Perhatian atas Manusia Melayani orang; Membangun komitmen dan kepercayaan; Mempromosikan nilai pribadi pekerja; Menyediakan kondisi kerja yang baik; Memelihara upah/keuntungan yang adil; Mempromosikan hubungan sosial yang baik |
Pendekatan Kepemimpinan Situasional
Pendekatan Situasional yaitu pendekatan yang paling banyak dikenal. Pendekatan ini dikembangkan oleh Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard tahun 1969 berdasarkan Teori Gaya Manajemen Tiga Dimensi karya William J. Reddin tahun 1967. Pendekatan kepemimpinan Situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik. Premis dari pendekatan ini yaitu perbedaan situasi membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Dari cara pandang ini, seorang pemimpin supaya efektif harus bisa menyesuaikan gaya mereka terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah.
Pendekatan kepemimpinan situasional menekankan bahwa kepemimpinan terdiri atas dimensi arahan dan dimensi dukungan. Setiap dimensi harus diterapkan secara sempurna dengan memperhatikan situasi yang berkembang. Guna menentukan apa yang dibutuhkan oleh situasi khusus, pemimpin harus mengevaluasi pekerja mereka dan menilai seberapa kompeten dan besar komitmen pekerja atas pekerjaan yang diberikan.
Dengan perkiraan bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda di setiap waktu, kepemimpinan situasional menyarankan pemimpin untuk mengubah tinggi-rendahnya derajat tatkala mengarahkan atau mendukung para pekerja dalam memenuhi kebutuhan bawahan yang juga berubah. Dalam pandangan kepemimpinan situasional, pemimpin yang efektif yaitu mereka yang bisa mengenali apa yang dibutuhkan pekerja untuk kemudian (secara kreatif) menyesuaikan gaya mereka supaya memenuhi kebutuhan pekerja tersebut.
Kepemimpinan situasional menyediakan empat pilihan gaya kepemimpinan. Keempat gaya tersebut melibatkan aneka kombinasi dari Perilaku Kerja dengan Perilaku Hubungan. Perilaku Kerja mencakup penggunaan komunikasi satu-arah, pendiktean tugas, dan pemberitahuan pada pekerja seputar hal apa saja yang harus mereka lakukan, kapan, dan bagaimana melakukannya. Pemimpin yang efektif memakai tingkat perilaku kerja yang tinggi di sejumlah situasi dan hanya sekedarnya di situasi lain.
Perilaku hubungan mencakup penggunaan komunikasi dua-arah, mendengar, memotivasi, melibatkan pengikut dalam proses pengambilan keputusan, serta mengatakan pertolongan emosional pada mereka. Perilaku hubungan juga diberlakukan secara berbeda di aneka situasi.
Dengan mengkombinasikan derajat tertentu perilaku kerja dan derajat tertentu perilaku hubungan, pemimpin yang efektif sanggup menentukan empat gaya kepemimpinan yang tersedia, yaitu:
- Pemberitahu
- Partisipatif
- Penjual
- Pendelegasi
Bagan dari keempat jenis gaya kepemimpinan situasional kami sampaikan pula.[11]
Gambar 11 Kuadran Gaya Kepemimpinan versi Hellriegel and Slocum
Menurut model ini, pemimpin harus mempertimbangkan situasi sebelum tetapkan gaya kepemimpinan mana yang hendak digunakan. Kontijensi situasional pada model yaitu derajat Readiness (Kesiapan). Kesiapan yaitu kemampuan pengikut untuk memahami tujuan organisasi yang berafiliasi dengan pekerjaan secara maksimal tetapi bisa dicapai dan keinginan mereka untuk memikul tanggung jawab dalam pencapaian kiprah tersebut.
Kesiapan bukanlah ciri yang tetap pada pengikut, melainkan bergantung pada pekerjaan. Pengikut yang ada di sebuah kelompok mungkin punya kesiapan yang tinggi untuk suatu pekerjaan, tetapi tidak dipekerjaan lainnya. Kesiapan pengikut juga bergantung pada seberapa banyak pembinaan yang pernah diterima, seberapa besar komitmen mereka pada organisasi, seberapa besar kemampuan teknisnya, seberapa banyak pengalamannya, dan seterusnya.
Gaya Pemberitahu yaitu gaya pemimpin yang selalu mengatakan instruksi yang jelas, instruksi yang rinci, serta mengawasi pekerjaan dari jarak dekat. Gaya Pemberitahu membantu untuk memastikan pekerja yang gres untuk menghasilkan kinerja yang maksimal, dan akan menyediakan fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa datang.
Gaya Penjual yaitu gaya pemimpin yang menyediakan pengarahan, mengupayakan komunikasi dua-arah, dan membantu membangun motivasi dan rasa percaya diri pekerja. Gaya ini muncul tatkala kesiapan pengikut dalam melaksanakan pekerjaan meningkat, sehingga pemimpin perlu terus menyediakan sikap membimbing tanggapan pekerja belum siap mengambil tanggung jawab penuh atas pekerjaan. Sebab itu, pemimpin perlu mulai memperlihatkan sikap pertolongan guna memancing rasa percaya diri pekerja sambil terus memelihara antusiasme mereka.
Gaya Partisipatif yaitu gaya pemimpin yang mendorong pekerja untuk saling menyebarkan gagasan dan sekaligus memfasilitasi pekerjaan bawahan dengan semangat yang mereka tunjukkan. Mereka mau membantu pada bawahan. Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi sekarang melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta siap membantu pengikutnya.
Gaya Pendelegasi yaitu gaya pemimpin yang cenderung mengalihkan tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala pekerja ada pada tingkat kesiapan tertinggi sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif alasannya yaitu pengikut dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab atas pekerjaannya.
Teori Kontijensi dalam kajian kepemimpinan fokus pada interaksi antara variabel-variabel yang terlibat di dalam situasi serta pola-pola sikap kepemimpinan. Teori Kontijensi didasarkan atas keyakinan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok bagi aneka situasi. [12]
Teori Kontijensi punya beberapa model, yang berdasarkan Laurie J. Mullins terdiri atas:
- Model Kontijensi Fred Edward Fiedler yang menekankan pada Situasi Kepemimpinan yang Cocok;
- Model Kontijensi dari Victor Harold Vroom and Philip W. Yetton serta Victor Harold Vroom and Arthur G. Jago yang menekankan pada Kualitas dan Penerimaan atas Keputusan Pemimpin;
- Teori Path-Goal dari Robert J. House serta Robert J. House and Gary Dessler;
- Kedewasaan Pengikut dari Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard.
Untuk Teori Path-Goal akan dibahas dalam sub bahasan tersendiri.
Model Kontijensi Fiedler menekankan pada teori kontijensi ihwal efektivitas kepemimpinan. Model ini didasarkan atas studi-studi yang cukup luas seputar situasi-situasi yang dihadapi kelompok dalam organisasi. Konsentrasinya pada hubungan antara kepemimpinan dengan kinerja organisasi. Untuk mengukur sikap seorang pemimpin, Fiedler mengembangkan skala Least Preferred Co-worker (LPC). Skala ini mengukur rating yang diberikan atas para pemimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengannya. Khususnya, pertanyaan ini tertuju pada hal siapa di antara mereka paling bisa memimpin secara baik.
Kuesioner yang dikembangkan terdiri atas 20 item. Contoh dari item tersebut contohnya Menyenangkan/Tidak Menyenangkan, Bersahabat/Tidak Bersahabat, Mendukung/Membuat Frustrasi, Jauh/Dekat, Bekerja Sama/Tidak Bekerja Sama, Membosankan/Menarik, Terbuka/Tertutup, dan sejenisnya.
Setiap item kemudian diberi peringkat antara 1 hingga 8, dengan angka 8 mengindikasikan rating yang paling cocok. Contohnya skalanya sebagai berikut:
Skor LPC yaitu total rating angka total seluruh item Least Preffered Co-worker. Semakin kecil rating LPC dan semakin cocok kepemimpinan dengan responden, maka semakin tinggi LPC skor seorang pemimpin. Interpretasi dari LPC adalah, pemimpin dengan skor LPC yang tinggi merupakan hasil dari hubungan personal yang memuaskan, yaitu dikala hubungan dengan bawahan hendak ditingkatkan, pemimpin akan bertindak secara suportif (mendukung), dengan cara yang penuh pertimbangan.
Sebaliknya, pemimpin dengan skor LPC yang rendah mencirikan pemimpin yang lebih puas dengan kinerja bawahan dalam rangka mencapai tujuan dan melaksanakan tugas. Pemimpin jenis ini menempatkan pemberian motivasi sebagai prioritas kedua.
Bagi Fiedler, sikap kepemimpinan merupakan variabel dependen (bergantung) atas kecocokannya dengan situasi kepemimpinan tertentu (variabel bebas). Terdapat 3 variabel yang menentukan kecocokan atas situasi yang mensugesti kiprah dan imbas pemimpin, yaitu:
- Hubungan Pemimpin-Anggota – yaitu hingga derajat mana pemimpin dipercaya dan disukai oleh anggota kelompok, serta keingin mereka mengikuti instruksi pemimpin.
- Struktur Tugas – yaitu hingga derajat mana kiprah diberikan pemimpin kepada anggota kelompok secara jelas, serta sejauh mana kiprah tersebut disusun berdasarkan instruksi yang rinci dan adanya prosedur-prosedur standar.
- Kekuasaan Berdasar Posisi – kekuasaan pemimipin lewat posisinya dalam organisasi, serta hingga derajat mana pemimpin sanggup menerapkan otoritas dalam hal pemberian reward dan punisment atau promosi serta demosi.
Lewat 3 variabel di atas, Fiedler lantas mengembangkan 8 gaya kepemimpinan berdasarkan model kontijensinya. Bagan lengkap Korelasi antara Skor LPC Pemimpin dengan Efektivitas Organisasi sebagai berikut:[13]
Gambar 12 Korelasi Skor LPC dengan Efektivitas Organisasi versi Fiedler
Tatkala situasi diperhitungkan sebagai:
- Sangat Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota baik, kiprah terstruktur secara baik, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi kuat)
- Sangat Tidak Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota buruk, kiprah tidak terstruktur, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi lemah)
- Maka Pemimpin Berorientasi Pekerjaan (skor LPC rendah) disarankan mengambil gaya direktif (mengatur) dan mengendalikan akan ia lebih efektif dalam melaksanakan tindak kepemimpinan.
Saat situasi diperhitungkan sebagai:
- Diinginkan Secara Moderat dan variabel-variabel berbaur.
Pemimpin dengan orientasi hubungan interpersonal (skor LPC tinggi) maka pendekatan partisipatif akan lebih efektif.
Fiedler menyarankan, bahwa gaya kepemimpinan akan berbeda sepanjang situasi kepempimpinan yang dikehendaki yaitu berbeda. Fiedler berdalih, efektivitas kepemimpinan sanggup ditingkatkan dengan cara mengubah situasi kepemimpinan. Kekuasaan Berdasar Posisi, Struktur Pekerjaan, dan Hubungan Pemimpin-Anggota sanggup diubah guna membuat situasi lebih kompatibel (cocok) dengan karakteristik-karakteristik yang dimiliki pemimpin.
Pemimpin dengan skor LPC yang rendah sanggup ditempatkan pada situasi kepemimpinan yang paling diinginkan atau paling tidak diinginkan. Pemimpin dengan skor LPC yang tinggi sanggup ditempatkan dalam situasi kepemimpinan yang diinginkan secara moderat.
Model Kepemimpinan Kontijensi lainnya ditawarkan oleh Vroom dan Yetton. Mereka mendasarkan analisisnya pada 2 aspek keputusan pemimpin yaitu: (1) Kualitas, dan (2) Penerimaan, di mana kedua aspek tersebut didasarkan atas:
- Kualitas Keputusan atau rasionalitas yaitu keputusan yang berdampak pada kinerja kelompok.
- Penerimaan atas keputusan mengacu pada motivasi dan komitmen anggota kelompok dalam melaksanakan hasil keputusan.
- Waktu yang dibutuhkan untuk membuat keputusan.
Melalui Model Kontijensi-nya, Vroom dan Yetton kemudian memperlihatkan 5 gaya keputusan manajemen, yaitu:
1. Otokratik
- Otokratik I : Pemimpin bekerja seorang diri baik dalam menuntaskan perkara atau dalam membuat keputusan dengan mengandalkan informasi yang ada pada dikala itu.
- Otokratik II : Pemimpin mengumpulkan informasi dari para bawahan tetapi tetapkan penyelesaikan perkara seorang diri.
2. Konsultatif
- Konsultatif I : Masalah di-share secara individual dengan bawahan yang berkaitan dengan masalah. Pemimpin lantas membuat keputusan yang mencerminkan atau tidak mencerminkan imbas Bawahan.
- Konsultatif II : Masalah di-share dengan bawahan di secara berkelompok. Pemimpin lantas membuat keputusan yang mencerminkan atau tidak mencerminkan imbas kelompok bawahan yang diajak sharing.
3. Kelompok
- Kelompok II : Masalah dibagi dengan para bawahan dalam kelompok. Secara bersama, pemimpin dan bawahan menghasilkan dan mengevaluasi serangkaian alternatif dan mencapai konsensus perkara bersama kelompok-kelompok bawahan.
Model Vroom and Yetton kemudian direvisi lewat Model Vroom and Jago. Model Vroom and Jago tetap berlandaskan pada 5 gaya kepemimpinan versi Vroom and Yetton, tetapi menambahkan 12 variabel kontijensi. Variabel kontijensi tersebut adalah:
- Persyaratan Kualitas,
- Persyaratan Komitmen,
- Informasi Pemimpin,
- Struktur Masalah,
- Kemungkinan Komitmen,
- Kongruensi Tujuan,
- Konflik Bawahan,
- Informasi Bawahan,
- Batasan Waktu,
- Perbedaan Geografis,
- Waktu Motivasi, dan
- Pengembangan Motivasi.
Teori Path-Goal sebagai salah satu pendekatan dalam kepemimpinan masih termasuk ke dalam kategori Pendekatan Kontijensi. Teori ini dikembangkan oleh Robert J. House serta Robert J. House and Gary Dessler.
Teori ini mengajukan pendapat bahwa kinerja bawahan dipengaruhi oleh sejauh mana manajer bisa memuaskan harapan-harapan mereka. Teori Path-Goal menganggap bawahan memandang sikap pemimpin sebagai imbas yang bisa memotivasi diri mereka, yang berarti:
- Kepuasan atas kebutuhan mereka bergantung atas kinerja efektif, dan
- Arahan, bimbingan, pelatihan, dan pertolongan yang diperlukan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, House mengidentifikasi 4 tipe sikap kepemimpinan sebagai berikut:
- Kepempimpinan Direktif, melibatkan tindak pembiaran bawahan untuk tahu secara niscaya apa yang diharapkan dari seorang pemimpin melalui proses pemberian instruksi (direksi). Bawahan diharap mengikuti hukum dan kebijakan.
- Kepemimpinan Suportif, melibatkan cara yang dekat dan bersifat merangkul pemimpin atas bawahan dengan menampakkan perhatian atas kebutuhan dan kesejahteraan bawahan.
- Kepempimpinan Partisipatif, melibatkan diadakannya proses konsultatif dengan para bawahan serta kecenderungan memakai penilaian yang berasal dari opini dan saran bawahan sebelum manajer membuat keputusan.
- Kepemimpinan Berorientasi Pencapaian, melibatkan perancangan tujuan yang menantang bagi para bawahan, mencari perbaikan atas kinerja mereka, dan memperlihatkan keyakinan bahwa bawahan sanggup melaksanakan kinerja secara baik.
Teori Path-Goal menyatakan bahwa tipe sikap kepemimpinan yang berbeda sanggup dipraktekkan oleh orang yang sama di situasi yang berbeda. Perilaku Kepemimpinan dalam Teori Path-Goal ditentukan oleh dua faktor situasional yaitu: (1) Karakteristik Personal Bawahan dan (2) Sifat Pekerjaan.
Karakteristik Personal Bawahan sangat menentukan bagaimana bawahan bereaksi terhadap sikap pemimpin serta sejauh mana mereka melihat sikap pemimpin tersebut sebagai sumber pribadi dan potensial untuk memuaskan kebutuhan mereka. Sifat Pekerjaan berafiliasi dengan sejauh mana pekerjaan bersifat rutin dan terstruktur, atau bersifat non rutin dan tidak terstruktur.
Contoh, semakin terstruktur suatu pekerjaan, semakin tujuannya jelas, dan semakin terbangun rasa percaya diri bawahan, maka upaya untuk terus-menerus menjelaskan suatu pekerjaan atau pengarahan merupakan tindakan pemimpin yang tidak diharapkan oleh bawahan. Namun, tatkala pekerjaan tidak terstruktur secara baik, tujuan tidak jelas, dan bawahan kurang pengalaman, kemudian gaya kepemimpinan yang bersifat direktif (pengarah) akan lebih diterima oleh para bawahan.
Perilaku kepemimpinan yang efektif didasarkan atas kehendak pemimpin untuk membantu bawahan dan kebutuhan bawahan untuk dibantu pemimpin. Perilaku kepemimpinan akan bersifat motivasional sejauh sikap tersebut menyediakan arahan, bimbingan dan pertolongan yang diharapkan bawahan, mendorong hubungan path-goal secara lebih jelas, dan membuang tiap kendala yang merintangi pencapaian tujuan.
Hingga sejauh ini, pendekatan-pendekatan kepemimpinan lebih tertuju pada Pemimpin (Pendekatan Sifat, Pendekatan Keahlian, dan Pendekatan Gaya) atau pada Pengikut dan Konteks Situasi (Pendekatan Situasional, Teori Kontijensi, dan Teori Path-Goal). Teori Leader-Member Exchange (LMX Theory) berbeda.
Teori LMX fokus pada interaksi antara Pemimpin dengan Pengikut. Teori ini termanifestasi dalam pola hubungan dyadic (berdasar 2 pihak) antara pemimpin dan pengikut sebagai fokus proses kepempimpinan. Dalam interaksi pemimpin-pengikut, terdapat tiga fase interaksi, yang bagannya sebagai berikut:[14]
Fase | Tahap 1 Asing | Tahap 2 Perkenalan | Tahap 3 Persekutuan |
Peran | Tertulis | Pengujian | Negosiasi |
Pengaruh | Satu Arah | Campuran | Timbal Balik |
Pertukaran | Kualitas Rendah | Kualitas Moderat | Kualitas Tinggi |
Kepentingan | Diri Sendiri | Diri Sendiri dan Orang Lain | Kelompok |
Fase-fase tersebut yaitu Fase Asing, Fase Perkenalan, dan Fase Persekutuan.
Fase Asing. Pada fase ini interaksi dyad pemimpin-bawahan umumnya terbangun lewat hukum formal organisasi atau kontrak pekerjaan yang telah ditandatangani. Pemimpin dan bawahannya berafiliasi satu sama lain sesuai dengan peran-peran yang diharapkan oleh organisasi selaras dengan job description. Bawahan berhadapan dengan seorang pemimpin yang bersifat formal, yang secara hirarkis statusnya berada di atas posisi mereka, dan tujuan di dalam diri bawahan sekadar memperoleh reward hemat dari kendali yang diterapkan pemimpin. Motif-motif bawahan selama Fase Asing diarahkan terhadap kepentingan diri mereka sendiri ketimbang kebaikan kelompok.
Fase Perkenalan. Fase ini diawali adanya tawaran yang diajukan pemimpin atau bawahan untuk meningkatkan pertukaran sosial yang sifatnya career-oriented, yang bisa saja melibatkan saling menyebarkan sumber daya atau informasi. Fase ini merupakan fase pengujian, baik untuk pemimpin ataupun bawahan. Dari sisi bawahan, pengujian berkisar pada ketertarikan bawahan untuk mengambil kiprah dan tanggung jawab yang lebih. Dari sisi pemimpin, untuk menilai apakah ia mau menyediakan tantangan gres atas bawahan.
Selama fase ini, dyad beralih dari interaksi yang sekadar diatur lewat formalnya peraturan dan kiprah jabatan menuju cara berafiliasi yang baru. Dyad yang berhasil dalam Fase Perkenalan diawali dengan terbangunnya kepercayaan dan respek yang lebih besar atas satu sama lain. Mereka mengurangi fokus atas kepentingan diri mereka sendiri dan beralih pada pencapaian tujuan kelompok.
Fase Persekutuan. Fase ini ditandai dengan pertukaran Leader-Member yang berkualitas tinggi. Pihak-pihak yang masuk ke tahap ini memperlihatkan hubungan yang didasarkan pada kesalingpercayaan, respek, dan rasa kewajiban satu sama lain. Mereka telah menguji hubungan mereka bangkit dan menemukan situasi di mana mereka tolong-menolong sanggup bergantung satu sama lain.
Studi yang dilakukan Chester A. Schriesheim, Stephanie L. Castro, Xiaohua Zhou, dan Francis J. Yammarino tahun 2001 atas 75 manajer bank dan 58 insinyur mesin, memperlihatkan bahwa hubungan leader-member yang baik yaitu tatkala mereka mulai lebih bersifat egalitarian.
Salah satu intrumen yang berupaya mengukur pertukaran Hubungan Leader-Member (LMX) disajikan oleh Richard L. Daft.[15] Contohnya ibarat di sampaikan di bawah ini dengan modifikasi pada pemberian Skala Likert:
Sebagai sesama manusia, saya menyukai atasan saya. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Saat saya membuat kesalahan, atasan pribadi saya membela saya bahkan di depan atasannya sendiri. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Pekerjaan yang saya lakukan selalu melampaui apa yang tolong-menolong diinginkan atasan saya. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Saya mengagumi pengetahuan profesional dan kemampuan atasan saya. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Atasan saya yaitu orang menyenangkan untuk diajak bekerja sama. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Demi kepentingan kelompok saya bersedia bekerja secara maksimal. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Atasan saya memuji pekerjaan saya dihadapan orang lain. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Saya respek pada kemampuan manajemen atasan saya. | 1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS |
Pendekatan Kepemimpinan Transformasional
Pendekatan Kepemimpinan Transformasional awalnya digagas oleh James MacGregor Burns tahun 1978.[16] Ia membedakan 2 jenis kepemimpinan yaitu Kepemimpinan Transaksional dan lawannya, Kepemimpinan Transformasional.
Pemimpin bercorak transaksional yaitu mereka yang memimpin lewat pertukaran sosial. Misalnya, politisi memimpin dengan cara “menukar satu hal dengan hal lain: pekerjaan dengan suara, atau subsidi dengan donasi kampanye. Pemimpin bisnis bercorak transaksional memperlihatkan reward finansial bagi produktivitas atau tidak memberi reward atas kurangnya produktivitas.
Pemimpin bercorak transformasional yaitu mereka yang merangsang dan mengispirasikan pengikutnya, baik untuk mencapai sesuatu yang tidak biasa dan, dalam prosesnya, mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sendiri. Pemimpin transformasional membantu pengikutnya untuk berkembang dan membuat mereka jadi pemimpin gres dengan cara merespon kebutuhan-kebutuhan yang bersifat individual dari para pengikut. Mereka memberdayakan para pengikut dengan cara menselaraskan tujuan yang lebih besar individual para pengikut, pemimpin, kelompok, dan organisasi.
Kepemimpinan Transformasional sanggup mengubah pengikut melebihi kinerja yang diharapkan, sebagaimana mereka bisa mencapai kepuasan dan komitmen pengikut atas kelompok ataupun organisasi. Matriks pendekatan Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional tampak sebagai berikut: [17]
Gambar 13 Matriks Gaya Kepemimpinan Transformasional versi Bass and Riggio
Kepemimpinan Transformasional punya sejumlah komponen sebagai berikut:
1. Pengaruh yang Diidealkan (Idealized Influence) – Pemimpin transformasional berperilaku dengan cara yang memungkinkan mereka dianggap sebagai model ideal bagi pengikutnya. Pemimpin dikagumi, dihargai, dan dipercayai. Pengikut mengidentifikasi diri mereka dengan pemimpin dan ingin menirunya. Pemimpin dipandang pengikutnya punya kemampuan, daya tahan, dan faktor penentu yang luar biasa.
Item pertanyaan untuk mengukur Idealized Influence yaitu “Pemimpin menenkankan pentingnya seluruh kelompok punya misi bersama” atau “Pemimpin memberi keyakinan bahwa kendala niscaya bisa dilalui.”
2. Motivasi yang Inspiratif (Inspirational Motivation)- Pemimpin transformasional berperilaku dengan cara yang bisa memotivasi dan menginspirasi orang-orang yang ada di sekeliling mereka dengan memberi makna dan tantangan atas kerja yang dilakukan oleh para pengikutnya. Semangat tim meningkat. Antusiasme dan optimisme ditunjukkan.
Idealized Influence dan Inspirational Motivational secara bersama-sama membentuk Faktor kepemimpinan Karismatik-Inspirational yang serupa dengan kepemimpinan ibarat dimaksud teori kepemimpinan karismatik. Contoh item pertanyaan guna mengukur Inspirational Motivation yaitu “Pemimpin bisa menjelaskan visi yang harus dicapai di masa mendatang.”
3. Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation) – Pemimpin transformasional merangsang perjuangan pengikutnya untuk kreatif dan inovatif dengan mempertanyakan anggapan dasar (asumsi), memetakan masalah, dan memperbaharui pendekatan-pendekatan lama. Kreativitas kemudian terbentuk. Pengikut jadi berani mencoba pendekatan-pendekatan gres dan gagasan mereka tidak dikritik alasannya yaitu beda dengan gagasan pemimpin.
Contoh item pertanyaan guna mengukur Intellectual Stimulation yaitu “Pemimpin membuat bawahan bisa melihat problem dari aneka sudut pandang.”
4. Pertimbangan Individual (Individualized Consideration) – Pemimpin transformasional memberi perhatian khusus atas kebutuhan setiap pengikut dalam rangka mencapai prestasi dan perkembangan dengan bertindak sekaligus instruktur dan pembimbing. Pengikut dan para kolega bisa mencapai potensi tertinggi mereka. Pertimbangan individual diterapkan tatkala satu kesempatan berguru gres diciptakan bersamaan dengan iklim yang mendukung. Perbedaan kebutuhan dan hasrat individual diakui. Pemimpin memperlihatkan penerimaan atas perbedaan individual tersebut.
Contoh item pertanyaan untuk Individualized Consideration yaitu “Pemimpin meluangkan waktu untuk melatih dan mengajar tim kerjanya.”
Seperti telah disebutkan sebelumnya, lawan dari kepemimpinan transformasional yaitu kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional muncul tatkala reward atau punishment dilakukan oleh pemimpin atas pengikut tanggapan kinerja yang terakhir (pengikut). Kepemimpinan transaksional bergantung pada penguatan terus-menerus, baik reward berlanjut yang bersifat positif (CR/Contingent Reward) atau bentuk aktif atau pasif dari manajemen dengan pengecualian (management-by-exception) (MBE-A atau MBE-P).
Komponen dalam kepemimpinan transaksional sebagai berikut:
1. Contingent Reward (CR). Transaksi konstruktif ini terbukti efektif dalam memotivasi orang lain untuk mencapai kinerja tertinggi mereka, kendati tidak sebesar komponen kepemimipinan transformasional. Kepemimpinan Contingent Reward melibatkan pemberian pekerjaan oleh pemimpin atau menambah persetujuan pengikut atas kebutuhan apa yang harus dituntaskan dengan komitmen atau reward konkret yang ditawarkan dalam pertukarannya dengan derajat kepuasan yang muncul dari pekerjaan tersebut.
Contoh item untuk mengukur Contingent Reward yaitu “Pemimpin menjelaskan apa yang orang bisa peroleh bila tujuan dari kinerja dicapai.”
2. Management-by-Exception (MBE). MBE terdiri atas Management-by-Exception Aktif (MBE-A) dan Management-by-Exception Pasif (MBE-P). Dalam MBE-A, pemimpin secara aktif merancang perangkat guna memantau penyelewengan dari standard, kesalahan, dan error yang ditunjukkan oleh pengikut untuk selanjutnya dilakukan langkah-langkah perbaikan. Dalam MBE-P, pemimpin secara pasif menunggu terjadinya penyelewengan, kesalahan, dan error untuk muncul terlebih dahulu gres kemudian mengambil langkah perbaikan. MBE-A efektif untuk dilakukan dalam situasi pekerjaan yang penuh bahaya. MBE-P efektif untuk dilakukan tatkala pemimpin membawahi pengikut yang cukup banyak dan mereka melaksanakan pelaporan kepadanya. Contoh item MBE-A yaitu “Pemimpin mengarahkan perhatian supaya kesalahan yang terjadi diperbaiki hingga sesuai dengan yang diharapkan.”
Contoh item MBE-P yaitu “Pemimpin tidak mengambil tindakan hingga keluhan diterima oleh mereka.”
3. Laissez-Faire Leadership (LF). Kepemimpinan Laissez-Faire yaitu penghindaran atau ketiadaan kepemimpinan, dan merupakan kepemimpinan yang paling tidak efektif. JIka dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, laisses-faire tidak memperlihatkan transaksi sama sekali. Keputusan-keputusan yang diharapkan tidak dibuat. Tindakan ditunda. Wewenang kepemimpinan diabaikan. Otoritas tidak digunakan.
Sampel dari item laissez-faire yaitu “Pemimpin menghindari keterlibatan dirinya tatkala muncul perkara penting.”
Bagan Lengkap item pertanyaan untuk kepemimpinan transformasional dan transaksional sebagai berikut:[18]
SKALA | ITEM PERTANYAAN |
Tranformasional | |
Idealized-Influence (Attibuted Charisma) | Pemimpin menanamkan pujian pada diri saya alasannya yaitu saya bergabung dengan mereka. |
Idealized-Influence (Perilaku) | Pemimpin merinci pentingnya mempunyai tujuan dalam bekerja. |
Inspirational Motivation | Pemimpin menyatakan visi-visi yang menarik di masa depan. |
Intellectual Stimulation | Pemimpin selalu mengupayakan cara pandang yang berbeda dalam menuntaskan masalah. |
Individual Consideration | Pemimpin kerap meluangkan waktu untuk mengajari dan melatih bawahannya. |
Transaksional | |
Contingent Reward | Pemimpin terperinci membedakan apa yang akan saya peroleh lewat kinerja tertentu. |
Management-By-Exception Aktif | Pemimpin fokus pada ketidakteraturan, kesalahan, pengecualian, dan penyimpangan atas standar kerja. |
Management-By-Exception Pasif | Pemimpin memperlihatkan bahwa ia yakin bahwa kalau tidak ada masalah, jangan mengutak-kutik sesuatu. |
Laissez-Faire | Pemimpin kerap menunda tanggapan atas perkara atau usul penting. |
Pendekatan Kepemimpinan Otentik
Kepemimpinan otentik terdapat dalam goresan pena Bruce J. Avolio and Fred Luthans.[19] Avolio and Luthans mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai “proses kepemimpinan yang dihasilkan dari perpaduan antara kapasitas psikologis individu dengan konteks organisasi yang terbangun baik, sehingga bisa menghasilkan sikap yang tinggi kadar kewaspadaan dan kemampuannya dalam mengendalikan diri, sekaligus mendorong pengembangan diri secara positif.”[20]
Kepemimpinan otentik mempunyai empatkomponen, yaitu: (1) Kewaspadaan Diri; (2) Perspektif Moral yang Terinternalisasi; (3) Pengelolaan Berimbang; dan (4) Transparansi Hubungan. [21]
Kewaspadaan Diri. Meningkatnya kewaspadaan diri yaitu faktor perkembangan penting bagi pemimpin otentik. Lewat refleksi, pemimpin otentik sanggup mencapai derajat yang terperinci seputar nilai-nilai inti yang mereka anut, identitas, emosi, dan motivasi atau tujuannya. Dengan mengenali diri sendiri, pemimpin otentik mempunyai pemahaman yang berpengaruh seputar kediriannya sehingga menjadi fatwa mereka baik dalam setiap proses pengambilan keputusan maupun dalam sikap kesehariannya.
Kewaspadaan diri digambarkan pula sebagai mempunyai kewaspadaan atas, dan keyakinan dalam, motif, perasaan, hasrat, dan pengetahuan diri relevan lainnya. Kewaspadaan diri juga melibatkan kesadaran akan kekuatan diri, kelemahan diri, sebagai unsur-unsur yang saling bertolak belakang yang ada pada setiap manusia. Kewaspadaan diri yaitu proses yang berlangsung selama refleksi seorang pemimpin atas nilai, identitas, emosi, dan motivasi serta tujuannya yang unik.
Nilai. Pemimpin otentik akan melawan setiap tuntutan situasional serta sosial yang dianggap mencoba melemahkan nilai-nilai yang mereka miliki. Nilai-nilai ini bisa didefinisikan sebagai “konsepsi yang diinginkan seorang pemain film sosial – pemimpin organisasi, pembuat kebijakan, individu – yang membimbing cara mereka dalam menentukan tindakan, menilai orang dan peristiwa, serta menjelaskan tindakan dan evaluasinya tersebut.
Nilai juga menyediakan dasar bagi tindakan pemimpin dalam upaya penyesuai mereka atas kebutuhan komunitas yang mereka pimpin ataupun unit organisasi mereka secara khusus. Nilai dipelajari lewat proses sosialisasi. Sejak terinternalisasi, nilai tersebut menjadi penggalan integral dari sistem kedirian seseorang. Sehubungan dengan pemberian imbas pemimpin pada pengikut, nilai tersebut tidak bisa dikompromikan dan akan mereka transfer.
Identitas. Identitas yaitu teori yang mencoba untuk menggambarkan, menghubungkan, dan menjelaskan sifat, karakter, dan pengalaman individu. Dua tipe identitas yang didiskusikan dalam konteks kepempinan otentik yaitu : (1) identitas personal, dan (2) identitas sosial.
Identitas personal yaitu kategorisasi diri yang didasarkan pada karakteristik unik seseorang – termasuk sifat dan atributnya – yang membedakan satu individu dengan individu lainnya. Identitas sosial yaitu identitas yang didasarkan atas sejauh mana individu mengklasifikasikan dirinya selaku anggota dari suatu kelompok sosial tertentu, termasuk kekuatan emosi dan nilai yang terbentuk terkait dengan keanggotaan tersebut.
Identitas personal dan sosial saling berafiliasi satu sama lain sebagai hasil refleksi seseorang atas dirinya sendiri serta interaksinya dengan orang lain. Pemimpin otentik memahami identitas personal dan sosial ini secara terperinci dan selalu mewaspadainya.
Emosi. Pemimpin otentik juga mempunyai kewaspadaan diri yang bersifat emosional. Semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, semakin waspada mereka atas emosi tersebut sehingga sanggup memahami pengaruhnya atas proses kognitif dan kemampuan pembuatan keputusannya. Kesadaran diri seputar dimensi emosi seseorang merupakan prediktor kunci untuk membangun kepemimpinaan yang efektif.
Motivasi/Tujuan. Pemimpin otentik berorientasi pada masa depan. Mereka secara terus-menerus berupaya mengembangkan baik dirinya maupun para pengikutnya. Tindakan pemimpin otentik diarahkan oleh motif-motif untuk menyempurnakan dirinya. Mereka cenderung aktif mencari feedback yang akurat dari para stakeholder (pengikut, teman, mentor, pelanggan) tidak hanya untuk mengkonfirmasi pandangan pribadi mereka sendiri, tetapi juga guna mengenali diskrepansinya (kesenjangannya) antara kondisi nyata dengan pandangan pribadinya.
Perspektif Moral yang Terinternalisasi. Perspektif moral yang terinternalisasi menggambarkan proses pengaturan diri sendiri di mana pemimpin cenderung meresapkan nilai-nilai mereka kepada maksud juga tindakan mereka. Pemimpin otentik akan melawan setiap tekanan eksternal yang berlawanan dengan standar moral yang mereka pegang melalui proses regulasi internal di dalam diri mereka, yang memastikan bahwa nilai-nilai mereka tetap selaras dengan tindakan yang mereka ambil. Dengan meresapkan nilai ke dalam tindakan serta bertindak berdasarkan kesejatian diri sendiri, pemimpin otentik memperlihatkan konsistensi antara apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka lakukan.
Pengelolaan Berimbang. Pengelolaan berimbang juga kerap dirujuk sebagai pengelolaan yang tidak memihak. Terhadap informasi negatif dan positif, pemimpin otentik bisa mendengar, menafsir, dan memprosesnya dengan cara yang obyektif. Proses ini mereka lakukan sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Proses ini mencakup pengevaluasian kata-kata dan tindakan mereka sendiri secara obyektif tanpa mengabaikan atau menyimpangkan sesuatu yang ada, termasuk interpretasi seputar gaya kepemimpinannya sendiri. Pengelolaan berimbang juga berafiliasi dengan aksara dan integritas seorang pemimpin.
Transparansi Hubungan. Pemimpin otentik tidak cukup hanya mempunyai kewaspadaan diri, selaras antara tindakan dengan nilai, dan obyektif dalam menafsir, tetapi seorang pemimpin otentik juga harus bisa mengkomunikasikan informasi dengan cara terbuka dan jujur dengan orang lain lewat pengungkapan diri sendiri yang cenderung bisa dipercaya.
Sulit untuk waspada dan tidak memihak apabila sudah diperhadapkan dengan kelemahan diri sendiri. Namun, yaitu lebih sulit lagi untuk mengekspos kelemahan tersebut pada orang lain di dalam organisasi. Kendati begitu, menjadi terbuka dengan perasaan, motif, dan kecenderungan orang lain akan membangun kepercayaan dan perasaan stabil, menguatkan kerjasama dan semangat kerja di dalam tim yang mereka pimpin. Pemimpin yang memperlihatkan transparansi hubungan akan dianggap sebagai pemimpin yang lebih sejati dan lebih otentik.
Tim yaitu kelompok di dalam organisasi yang anggota-anggotanya saling bergantung satu sama lain, saling menyebarkan tujuan bersama, dan dicirikan oleh adanya satu orang yang mengkoordinasikan kegiatan bersama mereka. Koordinasi tersebut dilakukan demi mencapai tujuan bersama. Contoh dari sebuah tim yaitu tim manajemen proyek, gugus tugas, unit-unit kerja, atau tim pengembang organisasi.
Di dalam tim, fungsi utama kepemimpinan yaitu berupaya mencapai tujuan organisasi (tim) secara kolektif, bukan individual. Tim umumnya mempunyai seorang pemimpin yang telah ditentukan. Pemimpin tersebut sanggup berasal dari dalam tim itu sendiri maupun dari luar.
Peran kepemimpinan di dalam tim sanggup saja dirotasi sehingga mungkin saja diisi oleh para anggota lain antarwaktu. Peran kepemimpinan di dalam tim juga bisa disebar di antara sejumlah anggota tim tanpa harus ditentukan seorang pemimpin secara formal. Kepemimpinan yang tersebar tersebut umum ditemukan dalam kepemimpinan tim. Posisi kepemimpinan dalam tim tidak lagi bercorak satu pemimpin formal selaku pemegang tanggung jawab utama melainkan jatuh ke tangan beberapa orang yang berpengalaman di dalam tim.[22]
Model kepemimpinan tim dicontohkan sebagai berikut:[23]
Gambar 14 Model Kepemimpinan Tim versi Hill
Kepemimpinan di dalam tim umumnya digariskan ke daftar serangkaian keputusan utama yaitu sejumlah kondisi yang menentukan kapan dan bagaimana seorang pemimpin gres ikut campur guna meningkatkan fungsi tim. Pertimbangan pertama apakah lebih baik meneruskan pengamatan dan memonitoring tim ataukah mengintervensi kegiatan tim dengan mengambil tindakan. Pertimbangan kedua, apakah intervesi yang dilakukan lebih kepada kiprah yang tengah dilaksanakan ataukah dalam konteks hubungan yang dengan anggota tim lain. Pertimbangan ketiga apakah intervensi sebaiknya dilakukan pada tingkat internal (di dalam tim itu sendiri) atau eksternal (di lingkungan sekeliling tim).
Tindakan yang juga umum diambil dalam kepemimpinan tim terbagi menjadi dua: Internal dan eksternal. Tindakan internal artinya yaitu tindakan yang dilakukan di dalam tim itu sendiri, yang terdiri atas kiprah dan hubungan. Tindakan eksternal artinya tindakan dilakukan pada lingkungan sekeliling tim.
Tindakan kepemimpinan dalam kiprah internal terdiri atas model yang merinci serangkaian skill atau tindakan yang dilakukan pemimpin untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu :
- Fokus pada tujuan (menjelaskan, memperoleh persetujuan)
- Merinci hasil (perencanaan, pemvisian, pengorganisasian, klarifikasi peran, dan pendelegasian wewenang)
- Pemfasilitasian proses pembuatan keputusan (penginformasian, pengendalian, pengkoordinasian, pemediasian, pensintesisan, dan penekanan pada masalah)
- Pelatihan anggota tim sehubungan keahlian yang dibutuhkan dalam pekerjaannya (pendidikan, pengembangan)
- Pemeliharaan standar prima (penilaian tim dan kinerja individual, pembahasan kinerja yang tidak sesuai)
Tindakan hubungan dalam konteks internal dibutuhkan untuk meningkatkan skill interpersonal anggota tim sekaligus hubungan yang terjalin di dalam tim. Tindakan dalam konteks ini terdiri atas:[24]
- Pelatihan untuk meningkatkan skill interpersonal
- Penguatan kerjasama di antara anggota tim
- Pengelolaan konflik supaya konflik tetap ada di tataran intelektual, bukan pribadi.
- Penguatan komitmen tim.
- Pemuasan kepercayaan dan pertolongan yang dibutuhkan oleh anggota tim
- Bertindakan fair dan konsisten dalam perilaku-perilaku yang bersifat prinsipil.
Tindakan kepemimpinan eksternal yaitu tindakan yang dibutuhkan untuk menjaga tim supaya terlindung dari dampak lingkungan eksternal, tetapi di dikala sama, mempertahankan hubungan tim dengan lingkungan eksternal. Termasuk ke dalam tindakan ini adalah:[25]
- Memperoleh jalan masuk atas informasi demi membangun aliansi eksternal;
- Membantu tim yang telah terkena imbas lingkungan ;
- Bernegosiasi dengan manajemen senior seputar pengakuan, dukungan, dan sumberdaya yang perlu bagi kelangsungan tim;
- Perlindungan anggota tim dari penetrasi lingkungan internal organisasi maupun eksternal organisasi;
- Melakukan pengujian atas indikator efektivitas yang berasal dari lingkungan eksternal, contohnya survey kepuasan pelanggan; dan
- Menyediakan informasi dari luar yang dibutuhkan oleh anggota tim.
Efektivitas tim terdiri atas dua dimensi yaitu : (1) kinerja tim dan (2) pengembangan tim. Kinerja tim mengaju pada seberapa baik kualitas kiprah yang bisa dicapaioleh tim. Pengembangan tim mengacu pada seberapa baik tim tetap terpelihara sehubungan dengan pencapaian tugas-tugas tim. Sejumlah peneliti menganjurkan kriteria penilaian efektivitas tim, contohnya yang ibarat ditawarkan Carl E. Frank M. J. LaFasto tahun 1989, yaitu:[26]
- Apakah tim punya tujuan yang spesifik, masuk akal, dan disampaikan secara jelas?
- Apakah tim mempunyai struktur pencapaian hasil?
- Apakah para anggota tim memenuhi syarat?
- Adakah kesatuan dalam tim yang didasarkan pada komitmen atas tujuan tim?
- Adakah iklim kerjasama diantara anggota tim?
- Adakah standar prima yang membimbing tim?
- Adakah pertolongan eksternal serta akreditasi bagi tim?
- Adakah kepemimpinan tim yang efektif?
Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan psikodinamik dalam kepemimpinan dibangun berdasarkan dua perkiraan dasar.[27] Pertama, karakteristik personal individu tolong-menolong telah tertanam jauh di dalam kepribadiannya sehingga sulit untuk diubah walaupun dengan aneka cara. Kuncinya yaitu pengikut harus mendapatkan secara legowo karakteristik seorang pemimpin, memahami dampak kepribadiannya tersebut diri mereka, dan mendapatkan keistimewaan dan faktor ideosinkretik yang menempel pada seorang pemimpin. Kedua, invididu mempunyai sejumlah motif dan perasaan yang berada di bawah alam sadarnya. Motif dan perasaan ini tidak mereka sadari. Sebab itu, sikap individu tidak hanya merupakan hasil dari tindakan dan respon yang bisa diamati, melainkan juga residu emosi dari pengalaman sebelumnya yang telah mengendap sekian usang di alam bawah sadarnya.
Pendekatan psikodinamik berakar dari karya psikoanalisis Sigmund tahun 1938. Freud berusaha membantu perkara para pasiennya yang tidak berhasil ditangani oleh metode-metode konvensional. Metode yang ia gunakan yaitu mensugesti pasien guna menyingkap alam bawah sadanya. Kajian Freud kemudian dilanjutkan muridnya, Carl Gustave Jung. Kajian psikoanalitis Frued dan Jung inilah yang kemudian mendasari pendekatan psikodinamika dalam kepemimpinan.
Carl Gustav Jung kemudian mengembangkan alat ukur yang menjadi dasar pengukuran Kepemimpinan Psikodinamik. Alat ukur tersebut dikembangkan berdasarkan 4 dimensi. Pertama, menekankan pada kemana individu mencurahkan energinya (internal ataupun eksternal). Kedua, melibatkan cara orang mengumpulkan informasi (secara zakelijk ataupun lebih intuitif dan acak). Ketiga, cara individu membuat keputusan (apakah rasional-faktual ataukah subyektif-personal). Keempat, menekankan pada perbedaan antarindividu, antara yang terpola dengan yang spontan.
Berdasarkan keempat dimensi tersebut, Jung kemudian membuat empat pembagian terstruktur mengenai yang menjadi dasar kategorisasi kepemimpinan psikodinamik yaitu: (1) Ekstraversi versus introversi, mencakup kemana individu cenderung mencurahkan energinya, kepada aspek internal ataukah eksternal; (2) Sensing versus intuiting, mencakup apakah individu cenderung mengumpulkan informasi secara empirik ataukah intuitif; (3) Thinking versus feeling, yang mencakup kecenderungan individu untuk membuat keputusan secara rasional atau subyektif; (4) Judging versus perceiving, mencakup kecenderungan individu untuk hidup secara tertata/terencana ataukan spontan. Berdasarkan keempat modelnya ini, Jung bisa membuat 16 kombinasi.
Ekstraversi dan Introversi. Ektraversi yaitu kecenderungan individu untuk mengumpulkan informasi, inspirasi, dan energi dari luar dirinya. Salah satu ciri individu ekstrovert yaitu mereka bicara banyak hal. Orang ibarat ini suka berafiliasi dengan orang lain dan mempunyai kecenderungan bertindak. Mereka terkesan bersemangat dan disukai dalam pergaulan sosial.
Sebaliknya, individiu introvert cenderung memakai gagasan dan pemikirannya sendiri dalam mengumpulkan informasi tanpa terlalu membutuhkan rangsangan eksternal. Individu ibarat pun cenderung mendengar ketimbang berbicara. Mereka bisa mengumpulkan informasi baik melalui kegiatan membaca ataupun menonton televisi. Ciri utama introversi yaitu kebutuhannya untuk menyendiri supaya bisa berpikir serta memulihkan diri.
Sensing dan Intuition. Dimensi sensing dan intuition berkait dengan kegiatan invididu dalam memperoleh informasi. Sensor mengumpulkan data lewat perasa (sensing), dan pemikiran mereka berkisar di sekitar perkara mudah dan faktual. Individu kategori sensing cenderung menyukai rincian serta melibatkan diri di dalam dunia praktis. Mereka lebih memperhatikan segala apa yang bisa mereka lihat, dengar, sentuh, bau, dan rasakan. Ketepatan dan akurasi yaitu kesukaan utama orang yang berdimensi sensing.
Tipe Intuition yaitu orang yang intuitif. Mereka cenderung konseptual dan teoretis. Pengalaman mudah dalam kehidupan sehari-hari justru membosankan mereka. Mereka lebih menyukai kegiatan pemikiran yang kreatif, berpikir ihwal masa depan, serta melaksanakan hal-hal yang tidak umum dikala menuntaskan suatu masalah. Dalam mengumpulkan informasi, tipe intuition mencari segala keterhubungan dan mengkaji hipotesis-hipotesis; mereka cenderung memakai kerangka teoretis dalam memahami dan memperoleh data.
Thinking dan Feeling. Setelah memperoleh informasi, individu perlu membuat keputusan berdasarkan data dan fakta yang mereka miliki. Terdapat dua cara dalam membuat keputusan, yaitu dengan thinking dan feeling. Individu yang masuk kategori thinking cenderung memakai logika, menjaga obyektivitas, dan berpikir secara analitis. Dalam melaksanakan kegiatan ini, mereka cenderung tidak melibatkan diri ataupun terkesan terpisah dengan orang lain. Mereka lebih suka membuat keputusan secara terukur.
Kebalikan dari thingking adalah feeling. Tipe ini cenderung subyektif, mencari harmoni dengan orang lain, serta lebih memperhatikan perasaan orang lain. Individu tipe ini pun cenderung lebih terlibat dengan orang lain baik di dalam lingkup pekerjaan, serta umumnya dianggap sebagai individu yang bijaksana atau manusiawi.
Judging dan Perceiving. Tipe judger cenderung menyukai sesuatu yang terstruktur, terencana, terjadual, dan hal-hal yang solutif (menyelesaikan permasalahan). Mereka lebih menyukai kepastian dan cenderung bertindak secara step-by-step. Sebab itu, tipe ini merasa yakin pada metodenya ketika bertindak. Sebaliknya, perceiver cenderung lebih fleksibel, adaptif, tentatif, dan terbuka. Mereka ini lebih spontan. Perceiver menghindari deadline yang serius dan bisa mengubah pikiran ataupun keputusannya sendiri hampir tanpa kesulitan. Tabel kelebihan dan kekurangan dari dimensi Jung sebagai berikut:
Tipe Pemimpin | Kelebihan Pemimpin | Kekurangan Kekurangan |
Thinker | Obyektif Rasional Penuntas masalah | Kritis Penuntut Tidak sensitif |
Feeler | Empatik Kooperatif Loyal/Setia | Tidak tegas Berubah-ubah |
Ekstravert | Bersemangat Komunikatif Terbuka | Kebanyakan ngomong Ceroboh |
Introvert | Pendiam Reflektif Pemikir | Lambat memutuskan Ragu-ragu |
Intuitor | Pemikir strategis Berorientasi masa depan | Samar-samar Tidak rinci |
Sensor | Praktis Berorientasi tindakan | Tidak imajinatif Cenderung rincian |
Judger | Tegas Ketat pada rencana | Kaku Tidak fleksibel |
Perceiver | Fleksibel Penasaran Informal | Berantakan Tidak fokus |
Kuesioner yang terkenal untuk mengukur keempat dimensi Jung tersebut yaitu yang dikembangkan Myers dan Briggs yang disebut MBTI (Myers-Briggs Typhology Inventory).
Kajian formal atas pendekatan psikodinamika dalam kepemimpinan dilakukan seorang profesor manajemen di Harvard University, Abraham Zaleznik, tahun 1977. Zaleznik banyak memakai data dari para pemimpin karismatik. Pada masa yang kemudian, Michael Maccoby mulai mengembangkan pendekatan psikodinamik, yang memadukan antara bidang antropologi dengan pembinaan psikoanalitik. Akhirnya, pada tahun 2003, Maccoby berhasil mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai tipe pemimpin bercorak narsistik produktif sebagai kategori pemimpinan yang visioner. Pendekatan psikodinamik ini juga menganggap bahwa gaya kepemimpinan seseorang dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan polesan-polesan psikologis.
[1] Stephen P. Robbins, Essentials of Organization Behavior, 7th Edition (New Jersey : Pearson Education, Inc., 2003), p.130.
[2] Laurie J. Mullins,Management and Organisational Behavior, 7thEdition, (Essex: Pearson Education Limited, 2005), p.282.
[3] Robert N. Lussier and Christopher F. Achua, Leadership : Theory, Application, and Skill Development, 4th Edition (Mason, Ohio : South-Western Cengage Learning, 2010) p.6.
[4] Gary Yukl, Leadership in Organizations, Sixth Edition (Delhi : Dorling Kindersley, 2009) p.26.
[5] Peter G. Northouse, Leadership : Theory and Practice, Fifth Edition (Thousand Oaks, California : SAGE Publication, 2010) p.3. Sebelum muncul footnote baru, materi ini masih mengikut pendapat Northouse.
[6] Don Hellriegel and John W. Slocum, Organizational Behavior, 11th Edition (Mason, Ohio : Thomson Higher Education, 2007) p. 219.
[7] Peter G. Northouse, Leadership ..., op.cit., p.71
[8] W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, Cases in Leadership, Second Edition (Thousand Oaks, California : SAGE Publications, Inc., 2010) p.101-3.
[9] Gambar diambil dari Peter G. Northhouse, op.cit., p. 74.
[10] W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, op.cit., p. 101.
[11] Diambil dari Don Hellriegel and John W. Slocum, Organizational ..., op.cit., p. 222.
[12] Laurie J. Mulllins, op.cit., p.295-99.
[13] Ibid.
[14] Peter Guy Northouse, op.cit., p.147-56. Sebelum diseling footnote lain, klarifikasi menginduk pada bahasan Northouse.
[15] Richard L. Daft, The Leadership Experience, 4th Edition (Mason, Ohio : Thomson Learning Education, 2008) p. p.55.
[16] Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd Edition (Mahwah, New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2008) p.1-16.
[17] Ibid. p.10
[18] Ibid.
[19] Bruce J. Avolio and Fred J. Luthans, The High Impact Leader: Moments Matter in Accelerating Authentic Leadership (New York: McGraw-Hill, 2006) p.2
[20] Ibid.
[21] Daina Mazutis, “Authentic Leadership” dalam W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, eds., Cases in Leadership (Thousand Oaks, California: SAGE Publications, 2011) p286-7.
[22] George R. Goethals, eds., et.al.,Encyclopedia of Leadership, (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2004) p.1529.
[23] Susan E. Kogler Hill, “Team Leadership” dalam Peter Guy Northouse, Leadership ..., op.cit., p.244.
[24] W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, Cases in Leadership, (Thousand Oaks, New York: SAGE Publication, 2011) p.314-6.
[25] Ibid.
[26] Carl E. Larson and Frank M.J. LaFasto, Teamwork: What Must Go Righ, What Can Go Wrong (Newbury Park, California: SAGE Publications, Inc., 1989)
[27] Ernest L. Stech, “Psychodynamic Approach” dalam Peter Guy Northouse, Leadership ..., op.cit., p.272-3
Tags:
kepemimpinan organisasi jenis kepemimpinan definisi kepemimpinan pendekatan kepemimpinan model kepemimpinan psikodinamik trait tim leader otentik
Tags:
kepemimpinan organisasi jenis kepemimpinan definisi kepemimpinan pendekatan kepemimpinan model kepemimpinan psikodinamik trait tim leader otentik
0 Response to "Pengertian Kepemimpinan Dalam Organisasi"
Posting Komentar